Secret Love Song

1885 Words
Pagelaran kelulusan telah usai. Mentari pun tenggelam malu di sisi barat. Dari pagi hingga sore, hanya beristirahat di kala azan Zuhur dan Asar saja. Semua kegiatan dan acara yang telah disusun sejak 3 bulan yang lalu akhirnya terlaksana dengan lancar. Meski satu dua masalah klasik tetaplah terjadi, ya, molornya jadwal acara beberapa menit, hingga kurangnya komunikasi antara koordinator kegiatan dan ketua panitia. Kanya dan Anna melangkah pergi ke arah sebuah tempat di mana kuda-kuda besi terparkir rapi, mereka termasuk siswa yang pulang paling akhir. Mereka harus mengurus beberapa keperluan lain termasuk pembubaran panitia. Padahal rumah Anna cukup jauh dari sekolah.  Motor matik berwarna merah milik Kanya melaju, menyusuri jalanan setapak tepi barat gedung sekolah, dari tempat parkir sekolah menuju gerbang utama memang cukup jauh. Maklum, sekolah mereka termasuk yang terbesar di Karanganyar. Mengalahkan luasnya SMA terfavorit di kabupaten berjuluk Bumi Intanpari ini. Di belakang Kanya, Anna dengan kecepatan lambat. “Kanya, Kanya, Kanya,” teriak seseorang yang sudah tak asing lagi di telinga Kanya. Suara yang hari-harinya selalu mejadi pengiring terbaik dalam hidupnya, Cesa. Berisik sekali dari arah belakang. Terpaksa Kanya menghentikan motor mendadak. “Huh, huh!” Napas Cesa terengah-engah. “Anterin aku ke Tirtonadi, Kan. Buruan! Aku ketinggalan bus ke semarang.” Tanpa persetujuan Kanya langsung naik ke jok belakang dan tanpa helm. Kanya pikir sahabatnya sudah gila, meminta Kanya mengantarnya ke Solo tanpa helm. Kanya turun, membiarkan Cesa duduk di jok belakang. “Turun, nggak!” bentaknya. “Bentar lagi Magrib, Cesa. Aku harus pulang,” serunya menarik tangan Cesa agar dia mau turun. “Kanya, cantik deh,”  menggoda Kanya, klasik sekali rayuan yang digunakan. Anak pemesinan memang tidak bisa merayu perempuan, benda kerja saja yang mereka perhatikan. “Malam ini juga aku harus sampai ke Semarang. Soalnya, besok pagi jam enam aku harus sudah di Kodam IV/Diponegoro. Tidak bisa ditunda-tunda lagi, dan aku sudah ketinggalan bus dari Terminal Tegalgede, jadi aku harus ke Terminal Tirtonadi” jelasnya dengan wajah yang memelas. “Aduh, kenapa ni anak, Nyung?” Anna baru saja sampai di depan gerbang, menghentikan kendaraannya. “Muke lo kagak usah di jelek-jelekin gitu kali!” sinis pada Cesa. “Lo pulang ajalah, An. Berisik doang di sini kagak bisa bantu apa-apa!” usir Cesa, tak berperikemanusiaan. “Ayolah, Kanya Bhakti Mayanetra, sahabatku yang paling cantik, anak baik nan budiman.” Mengedip-ngedipkan bulu matanya, cepat. “Aigoo, bisa gila gue lihat kalian. Gue pulang dulu lah. Turutin aja yang dia minta, Nyung. Sebelum dia beneran kaya orang enggak waras!” Langsung tancap gas setelah menerima timpukan buku kecil dari Cesa. Kanya menghela napas. Jika Kanya antar Cesa ke Terminal Tirtonadi, itu setidaknya setengah jam perjalanan dari sekolah. Dengan catatan tidak macet dan kecepatan penuh, belum lagi terjebak banyak lampu merah, belum lagi nanti pulangnya. Sampai rumah jam berapa coba? Masih Kanya pikirkan, bagaimana enaknya. Jika tidak Kanya antar, dia bisa istirahat lebih cepat dan sudah dipastikan sebelum Magrib sampai di rumah. Tetapi bagaimana dengan Cesa? Dia akan terlambat besok, dan padahal besok adalah hari penentuan untuk masa depannya. Apalagi hal yang sudah dia inginkan sejak lama. “Ayolah, Kan," rengek Cesa menampakkan wajah memelas. Tak ada waktu lagi untuk berpikir tapi Kanya masih terlalu banyak berpikir. Yang namanya keputusan harus diambil sesegera mungkin karena jika tidak akan kehilangan banyak waktu. Terbuang sia-sia apa yang tidak bisa diulang kembali. “Pinjam helm sana!” suruh Kanya cepat. Cesa juga dengan sigap meminjam helm milik satpam sekolah. Kanya kembali menaiki jok depan motornya. Tancap gas secepatnya, menikung-nikung di setiap kelokan. Tak peduli peringatan rambu-rambu soal kecepatan laju kendaraan dalam kota. Hampir 100 km/jam. Ini gila, sebelumnya Kanya hanya berani sampai 80 km/jam saat hanya dia sendiri. Jika memboncengkan orang paling cepat itu 60 km/jam. “Kanya, kamu kaya Rossi tahu, nggak?” teriak Cesa dari belakang. “Gila, aku takut!” Memegang erat tas mungil di punggung Kanya. Perempuan itu menahan tawa. “Penakut lu!” ejeknya. “Gimana mau jadi tentara kalau diajak ngebut aja takut. Lagian kalau nggak ngebut emangnya mau ketinggalan bus lagi?” Menyusup di antara sebuah mobil box dan bus mini. “Aaakkkk!” Cesa berteriak di belakang. Padahal biasanya dia juga mengendarai sepeda semacam kerasukan Marc Marquez. “Kanya, aku bukannya takut diajak ngebut atau bagaimana. Ini karena yang nyetir kamu, perempuan. Lebih menakutkan daripada yang nyetir laki-laki. Huah! Lebih baik ketinggalan bus deh kalau kaya gini, huah, lihat depan, woy! Itu mobilnya mau belok kiri!” Cesa makin tak karuan di belakang. Kanya membanting kendali ke arah kanan. “SIM-nya nyogok nih!” bentaknya saat melewati mobil yang berbelok tanpa memberi tanda. “Lah kamu, sudah tujuh belas plus nggak punya SIM! Sama-sama pelanggaran juga!” Cesa mengumpat. Mulutnya memang susah dikondisikan sekarang. Memasuki Kota Surakarta, tepatnya depan Universitas Sebelas Maret, jalanan semakin padat. Sudah waktunya jam pulang kantor. Tak hanya menggunakan okol, kali ini akal dalam berkendara sedang diuji. Bagaimana caranya mereka bisa sampai di paling depan kemacetan tanpa melanggar peraturan, seperti lewat di atas trotoar itu tidak boleh. Sama saja melanggar hak asasi pejalan kaki. Putar otak, putar otak. Mata Kanya mulai menyipit, menyaksikan celah-celah sempit antara satu kendaraan dengan kendaraan yang lainnya. Mulai membuat strategi. Dari mana dia akan mulai penyusupan. Jika mengambil celah yang kiri, itu terlalu sempit, tetapi di bagian depan sangat cukup dilalui. Jika mengambil celah di kanan, itu sangat muat untuk motornya, tetapi di depan tak ada celah sama sekali. Jika dari kanan kemudian menyusup ke kiri, mungkin di depan ada celah untuk berbelok. Sudah macam maling yang akan menjalankan aksinya. “Kanya, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi lebih baik kamu urungkan niat burukmu itu, Kan. Daripada timbul masalah baru. Aku tidak yakin dengan kamu. Please, Kanya, dengerin aku!” Cesa mulai berisik lagi, itu justru membuat Kanya semakin tak tahan lagi dengan kemacetan dan ingin segera melaksanakan rencana matang di otaknya. “Huah, dasar perempuan gila!” teriak Cesa saat Kanya mulai penyusupan. Dia terlalu berlebihan, padahal ujung sepatunya hanya terkena tepian ban mobil tipis saja. Kanya tak peduli dan terus melaju. Menyusup, menampilkan keahlihannya dalam membelok-belokkan motor. Memang Kanya ahlinya jalanan, terutama sejak sering diajak Anna touring  hingga Pacitan dan Gunung Kidul. Luar biasa memang. “Kurang-kurangin bergaul sama Anna, Kanya. Kamu jadi semakin brutal sekarang!” Cesa sedikit lebih tenang karena kami sudah berada di ujung kemacetan, tinggal menunggu detik dan lampu merah akan berganti kuning lalu hijau. “Rasanya aku juga harus mengurangi waktu bergaulku sama kamu, Cesa. Telingaku hampir tidak bisa mendengar karena ocehanmu yang tidak penting itu. Cukup duduk diam dan pegangan sama tas di punggungku. Suaramu itu hanya mengganggu konsentrasiku. Percayalah kita akan sampai dengan selamat.” Akhirnya Kanya menanggapi berisiknya Cesa.  “Aku tidak bisa mempercayaimu, kamu sesat!” “Sejak kapan orang sesat membawamu ke tempat tujuan, Cesa?” Kanya menghentikan motor. Mereka sudah sampai di gerbang utama Terminal Tirtonadi. “Alhamdulillah. Hampir saja aku gagal jadi tentara karena tragedi nyium aspal jalanan sama kamu, Kan. Gila, pusing kepalaku!” keluhnya memegangi kepala yang sudah berambut cepak. Kanya bahkan baru sadar sekarang, ke mana saja dia sejak tadi. Cesa bahkan terlihat lebih gagah dan berwibawa, meski hanya soal potongan rambutnya. “Kenapa kamu ngelihatin aku kaya gitu?” Cesa sadar jika pandangan Kanya telah berubah, yang sebelumnya kesal menjadi sangat tajam dan dalam. Kanya segera merubah arti tatapan, dia tak mau dia tahu soal rahasia terbesarnya. Karena matalah yang  terkesan lebih banyak bicara dibandingkan mulut. Jika mulut masih bisa dikontrol dengan otak, masih bisa berbohong dan mengelak. Matalah yang tak bisa dikontrol, dia akan mengatakan yang sejujurnya. Bola mata hitam tak pernah berbohong. “Enggak apa-apa, lucu aja potongan rambutmu. Macam Biksu Tong.” Baru saja Kanya katakan jika mulut itu mudah berbohong, baru saja pula dia berbohong. Memangnya apa yang membuatnya menatap Cesa terlalu dalam? Yang pasti bukan urusan rambut yang lucu. “Bohong kok kelihatan banget!” gumam Cesa. Samar-samar saja Kanya mendengar, terganggu suara berisik kendaraan yang lewat. “Gimana?” “Lupakan!” Menggenggam tangan Kanya. Inilah saat yang paling menyebalkan bagi Kanya. Untuk apa Cesa selalu menggenggam tangannya bila pada akhirnya dilepaskan? Memberiku fatamorgana indah yang menyakitkan. “Pulanglah, sudah malam. Tapi sebelum itu mampir dulu ke DENBEKANGAD, yang kalau dari sini kanan jalan. Di dalamnya ada masjid, kamu bisa sholat dulu di sana,” pesannya menatap dalam, menyibak remang-remang cahaya yang minim. Hari memang sudah gelap, senja tergantikan bulan. Kanya mengangguk, tetapi tiba-tiba dia merasakan kesedihan yang mendalam. Rasanya seperti akan menjalani perpisahan yang tak pasti kapan akan bertemu kembali. Akankah butuh waktu yang lama? Bisa atau tidak aku menemuinya sesuka hati seperti biasanya? Seperti saat Kanya merasa sedih kala menikmati senja yang telah berlalu. Untuk menanti esok hari pun terasa berat. “Terima kasih sudah mengantarku jauh-jauh ke sini. Pulangnya hati-hati. Jangan kebut-kebutan lagi, jangan buat aku mati secara tiba-tiba karena mendengar kabar buruk darimu setelah ini. Patuhi rambu-rambu lalu lintas dan fokuslah pada jalanan, jangan khawatirkan yang lainnya.” Pesan yang cukup panjang, melambungkan Kanya tinggi sekali, sayangnya dia tahu setelah ini dia  jatuh dengan sendirinya. Kanya mengangguk dan tersenyum. “Aku pulang dulu,” pamitnya tak tahan terus menerus menerima sentuhan Cesa di antara jari-jarinya. Itu hanya membuat Kanya merasa sedih karena perpisahan ini, juga karena ada sesuatu yang dia mau tetapi tak bisa Cesa penuhi. Sesuatu itu adalah menggenggam tangannya selamanya, Cesa tak akan sanggup memenuhi itu karena suatu saat tangannya akan menemukan tangan lain untuk digenggam selama hidupnya. Cesa menahannya kuat. Hingga gas yang Kanya tarik terpaksa dia urungkan. “Terima kasih telah menjadi sahabat yang luar biasa selama aku di Karanganyar. Besok aku akan berjuang demi masa depanku, demi mimpi yang setiap malam telah menghantuiku. Aku akan segera kembali ke Karanganyar dan memberimu kabar baik.” Semakin menyiksa genggaman tangannya. “Berjuanglah yang sungguh-sungguh untuk masa depanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu,” kata Kanya hampir-hampir menangis. Ujung matanya bahkan sudah siap mengeluarkan butir air bening. “Terima kasih.” Jari-jemari Kanya bergerak-gerak. "Senja Bhuana Wicesa, kamu tahu itu sangat menyiksaku," batinnya.  Kanya mengangguk dua kali. “Aku akan merindukanmu, kamu harus ingat itu, Kanya.” Sorot matanya bercahaya. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya tumpah. Deras sekali, bak hujan yang turun untuk pertama kalinya setelah melewati musim kemarau satu tahun. Cengeng sekali, ini hanya jarak antara Semarang-Karanganyar. Tiga jam perjalanan darat, bisa lebih cepat jika laju kendaraan setara dengan Rossi. Sesungguhnya, tak hanya perpisahan yang membuatnya menangis begitu deras. Ada rasa sakit yang lebih dari sebuah perpisahan. Hal menyakitkan yang tak pernah Cesa ketahui. Hanya Kanya dan Anna. “Jangan nangis, nanti cantiknya luntur.” Cesa mengusap pipi Kanya yang basah dengan kedua ibu jarinya. “Berhenti memujiku cantik, menggodaku atau merayuku, Cesa. Aku tak menyukainya mulai detik ini!” Kanya mengibaskan tangannya, membuang jauh dari wajahnya. “Aku pulang dulu, selamat berjuang, semoga tercapai apa yang kamu inginkan. Aku tunggu kamu kembali ke Karanganyar dan kabar baik darimu. Hati-hati di jalan, Assalamu’alaikum,” pamitnya tanpa kalimat-kalimat tambahan, tancap gas dengan kecepatan penuh. Perempuan manis itu tak berniat mendengar kalimat-kalimat dari Cesa lagi. Terkadang itu membuatnya melayang tetapi lebih banyaknya akan jatuh setelah melayang dan itu menyakitkan. Kenyataan bahwa mereka hanyalah sahabat, bahkan selamanya akan tetap menjadi seorang sahabat, itu lah yang menyakitkan. Pulang dengan rasa sesak, dengan kepiluan hati yang pahit. Sepanjang jalan itu tangisnya tak pernah mau berhenti. Kenapa sesuatu yang tersembunyi selalu sangat menyakitkan? Benar kata Anna, Kanya adalah manusia terbodoh dalam urusan cinta. Dia tak berani melempar kode, dia hanya berani merangkai flowchart, tanpa pernah berani mewujudkannya menjadi syntax dan pada akhirnya akan berwujud sebuah aplikasi. Terlebih yang harus menerima kodenya bukanlah seorang analis ataupun programmer. Dia hanyalah bekerja keras yang selalu memastikan benda kerjanya presisi dan tidak blong barang hanya satu inci saja. Mana tahu soal kode, Cesa hanya tahu tentang hitung-hitungan fisika pada benda kerjanya. Tetaplah beralun semestinya, membentuk lagu tentang cinta yang tersembunyi. Entah sampai kapan seseorang bisa menghentikan lagu itu. Dan jika telah berhenti, tak boleh ada yang memutar ulang. Itu sangat menyakitkan. Secret Love Song. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD