Who?

3765 Words
Nikmati malam di tengah kota Surakarta, jalanan yang padat merayap menjadi pemandangan yang menghibur. Mungkin karena kami lebih sering menyaksikan jalanan Karanganyar yang cenderung sepi. Kanya dan Anna, dua sahabat yang sedang menikmati perayaan atas diterimanya kami di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hanya mereka berdua, berbaur dengan manusia lain yang juga sedang menikmati keramaian malam di Alun-alun Kidul Kota Surakarta. “Cesa apa kabar ya, An?” Kanya menatap langit yang gelap, tak ada bintang, hanya awan gelap yang sebentar lagi akan segera menjatuhkan air dalam tampungannya. Mereka tahu malam ini akan turun hujan, bahkan gelapnya awan sudah datang sejak matahari baru akan tenggelam di ufuk barat. Anna menatap sahabatnya bosan, mungkin karena sudah terlalu sering mendengar pertanyaan itu. “Mana gue tahu, Nyung. Emang lo enggak dihubungi sama sekali sejak perpisahan kalian di Tirtonadi?” Kanya menggeleng dan tersenyum getir. “Memangnya aku siapanya dia yang harus dihubungi setiap waktu, An? Pacar juga bukan, orang tuanya juga bukan, sahabatnya doang.” Bertambah getir kala mengucap kata sahabat. “Tapi gue sih yakin kalau lo adalah salah satu orang terpenting dalam hidupnya.” Anna ikut menatap langit. Itu terdengar seperti dagelan ataupun guyonan yang sangat nyaring. Sejak kapan Kanya menjadi bagian penting dari hidup Cesa? Sahabat itu tidak sepenting orang yang dia cintai, menurut Kanya begitu. Gerimis turun, perbutirnya lembut menyapa kulit. Mereka diam, menikmati setiap butir air yang jatuh. Tuhan kembali memberi nikmatnya pada manusia, nikmat kecil yang sering dilupa para hamba. “Nyung, lo tahu nggak apa bedanya gerimis sama lo?” Sesaat setelah hening. Menggeleng. “Enggak ada,” sahutnya cepat. Menoleh, menampakkan wajah penuh tanya. “Gerimis itu jatuh membawa nikmat, tetapi manusia tak pernah menyadari nikmat itu. Lebih banyak dari mereka lupa bersyukur. Nah, kalau lo. Jatuh cinta tapi orang yang menjadi alasan lo jatuh enggak pernah sadar,” jelasnya. Kanya tertawa. “Persamaan macam apa itu, An? Kamu memang tidak cocok jadi seorang analis, jadi programmer juga tidak pantas. Sepertinya otakmu asimetris.” Menyenggol lembut bahunya. “Habis gue enggak tahu lagi caranya ngehibur lo, Nyung. Kenapa enggak lo coba aja ngomong jujur sama Cesa sih? Siapa tahu dia juga punya hal yang sama kaya lo,” saran yang selalu Anna sampaikan pada Kanya. Dia macam tak pernah bosan mendengar alasan. “Berulangkali sudah aku katakan, An. Aku ini perempuan, mana bisa jujur lebih dulu. Dan yang perlu digaris bawahi ‘Siapa tahu’, masih siapa tahu kan, An? Jika dia punya hal yang sama, entah nikmat Tuhan mana yang bisa aku dustakan. Tapi jika tidak, entah takdir semacam apa yang akan memecah persahabatan kita. Hal terakhir adalah yang paling aku takutkan sampai detik ini,” jelas Kanya juga tak pernah bosan memberi jawaban yang sama. Anna menghela napas. “Mau sampai kapan, Kanya? Mau sampai kapan lo diem dan cuma nunggu? Ya, kalau Cesa suatu saat menyadari semuanya. Kalau akhirnya dia menemukan cewek lain? Lo selamanya hanya jadi sahabatnya, Nyung. Dan lo tahu?” Berhenti sejenak. Seperti menantang untuk menjawab,  padahal pertanyaan itu tak butuh jawaban. “Lo adalah cewek terbodoh di dunia!” Senyum getir kembali Kanya kulum. Dia memang bukan perempuan kekinian yang mudah mengungkapkan cinta dengan seluruh pertimbangan, cinta tak bisa dikatakan begitu saja. Dia lebih suka memendam perasaan dan meratapinya. Entah bagaimana nanti hasil di belakangnya, Kanya percaya Tuhan punya rencana yang indah. “Lupakan, An. Kita nikmati saja malam ini. Mumpung kita dapat ijin keluar malam, kapan lagi coba kaya gini?” Mengangkat segelas s**u segar yang sudah sejak tadi kehilangan kehangatannya. “Hahaha,” tertawa. “Gue punya dua sahabat yang bodoh dalam hal cinta. Yang satu terlalu takut jujur, yang satu kagak pernah peka dengan semua kode-kode yang bertebaran. Padahal jelas sekali, semua perhatian lo sama Cesa, pandangan mata lo, dan bagaimana caranya lo bicara sama dia bukan lagi dari sahabat untuk sahabatnya, tapi dari perempuan untuk laki-laki yang dicintainya.” Anna tetap tak mau mengubah topik pembicaraan, dia memang yang selalu geram dengan perilakuku soal cinta. “Dan yang gue heran, lo itu cantik, Nyung. Bahkan Runner-Up Putri Lawu tahun ini, tapi orang kaya Cesa enggak bisa jatuh cinta sama lo. Kemustahilan yang nyata,” lanjutnya. “Karena jatuh cinta bukan soal siapa yang cantik atau siapa yang ganteng, An. Jatuh cinta itu soal rasa nyaman dan aman. Percuma cantik jika tak membuatmu nyaman.” Menyruput s**u segar yang hanya Kanya pegang-pegang saja ujung gelasnya. Anna kembali tertawa. Hidup Kanya memang lucu untuk bisa ditertawakan oleh orang lain. “Terus selama tiga tahun ini lo sahabatan sama Cesa, enggak ada gitu secuil pun rasa nyaman?” Sahabat Kanya itu ada benarnya. Tapi kenyamanan menjadi seorang sahabat dan kenyamanan menjadi seseorang yang dicintai itu berbeda. Bagaimana bisa dua hal itu sama? “Aku tidak mau lagi membahas Cesa, An.” Menghentikan setiap ocehannya, sumpah serapahnya pada Cesa. Sahabat baik Kanya itu menghela napas kesal. Kembali menikmati malam gelap bertemankan dua gelas s**u segar dan rintikan tangis sang mega mendung. Udara semakin dingin setiap menitnya. Rintikan yang tadinya tak lebih besar dari biji semangka mulai membesar. Bahkan terasa sakit mengenai kulit yang masih ingin menikmatinya. Sayang, hujan bukan teman yang baik untuk tubuh Kanya. Dia sering demam dan paling parah pingsan jika menikmati hujan. Lemah sekali, bukan? “Jangan main hujan, Nyung. Gue enggak mau lo sakit dan gue lagi enggak mau kena omel Mami karena ngajak lo hujan-hujanan. Belum lagi kalau Tante Dewi tahu lo sakit karena main sama gue. Enggak enak lah gue sama Mama lo.” Anna sungguh cerewet sekali. Kanya menarik tangan dari rintikan air hujan. Membiarkan butiran beningnya terlewatkan begitu saja. Dia suka hujan tetapi hujan sering membuatnya tumbang. Entahlah, dia rasa tidak ada penyakit khusus yang dia derita. Mungkin hanya lemah saja karena dinginnya air hujan. Alun-alun Kidul Kota Surakarta tak pernah sepi oleh para penikmat keraiaman malam, tak pernah pula sepi oleh para penikmat terik, tak pernah sepi oleh para pelancong. Kota Surakarta, kecil memang, tetapi menyimpan sejuta pesona. Baik budaya, keramah-tamahan warganya, keindahan kotanya, bahkan disebut sebagai salah satu kota ternyaman untuk ditinggali. Kanya pun selalu merasa nyaman di Surakarta, meski bukan asli orang Surakarta, hanya Kota Madyanya saja masuk Surakarta. Tetapi Surakarta menyimpan sejuta kenangan bersama Cesa. Mereka sering menghabiskan waktu bersama sekalipun hanya berkeliling-keliling, keluar masuk gang, menghafal jalanan Surakarta dengan sepeda motor. Semua kenanangan itu terputar bak film dokumenter dalam otaknya. Betapa bahagianya mereka waktu itu, tidak tahu jalanan, hanya modal yakin. Kata simbah, "Sing Penting Yakin!" Menjelajah Surakarta tanpa pernah takut tak bisa kembali. Kenyataanya mereka tetap bisa kembali meski tak menggunakan Google Maps atau peta jalanan Surakarta. “Nyung.” Anna menyentuh punggung telapak tangan Kanya. “Kamu kedinginan?” tanyanya, panik. “Kamu bisa ambilin jaketku, An,” pinta Kanya lirih. “Di motor?” Mengangguk. Anna bergegas, namun langkah pertamanya terhenti ketika seseorang memeluk Kanya dari belakang. Membungkus tunuh Kanya dengan jaket tebal yang sedikit kebesaran “Sudah hangat?” bisiknya di telinga Kanya. Jantungnya berhenti bekerja, sepersekian detik kemudian kembali bekerja tanpa mengikuti standar operating procedure yang benar. Ritmenya tak beraturan. Kanya tak berani menoleh pada pemilik suara di belakang. Cukup dengan mendengar suaranya dia tahu siapa laki-laki itu. Menundukkan kepala tidak mau menjawab apapun. Hati Kanya sudah cukup tersiksa dengan pelukan laki-laki itu. Tersiksa karena kenyataan yang ada. “Lepaskan aku, Cesa,” pintanya lirih. Sudah tidak sanggup lagi. “Don’t touch me!” lanjutnya lebih menekan. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Kanya menyadari semuanya. Hal-hal yang membuatnya bergetar, membuatnya tak berani menatap bola mata Cesa, tak kuasa menerima sentuhan darinya. Karena Kanya merasakan cinta di dalam hatinya, kesalahan fatal sebab cinta itu menyasar pada sahabatnya sendiri. “Biar kamu lebih hangat, begini saja. Aku merindukanmu,” bisiknya di telinga kanan Kanya. “Memangnya kamu tidak merindukanku?” Pertanyaan yang kembali menggetarkan. “Lepaskan, Cesa! Aku sudah merasa hangat sekarang!” Menyingkirkan tangannya yang melingkar di tubuhnya, memberi kehangatan yang berlebihan. Dingin tetapi panas di dalam d**a. “Biarkan seperti ini lebih lama,” bisiknya sekali lagi membuatku tersiksa. “Kapan lo sampai di Karanganyar?” tanya Anna, menatap kami heran. “Lebih baik lo lepasin Kanya. Dia enggak bisa napas,” tegur Anna pada Cesa. Memang hanya Anna yang bisa melepas pelukan itu, bahkan pandangan orang di sekitar mereka saja tidak Cesa pedulikan. “Tadi sore. Aku ke rumah Kanya tadi, tapi mamanya bilang kalau dia nginep di rumah kamu. Aku ke rumah kamu, mamimu yang rempong itu bilang kalian lagi ke Alun-alun Kidul. Jadi ya aku susul ke sini,” jawabnya. Kanya menggeser posisinya, menjauhi Cesa yang memang tanpa jarak dengannya. “Ya, kita lagi merayakan kebahagiaan,” sahut Anna. “Marayakan kebahagiaan tidak harus dengan menyiksa tubuh begini, An. Sudah tahu mendung sejak tadi sore, malah nekat main ke sini. Kasian Kanya lah.” Menatap Kanya tak tega. “Dia maksa ke sini juga karena lo, Cesa!” gerutu Anna kesal. “Barapa hari aja lo enggak kasih kabar sama Kanya. Lo enggak tahu sih dia nungguin kabar itu sampai hilang nafsu makan,” lanjutnya bernada kesal. “Oh ya?” Cesa menatapku. “Ma...” “Tidak selebay itu kok, aku masih doyan makan,” sahut Kanya. “Kirain.” Terdengar kecewa. “Jadi gimana hasilnya, Cesa?” tanya Kanya menatap Cesa sekilas. Kemudian terfokus pada teh jahe panas di depannya—pesanan Cesa. Menempelkan kedua telapaknya, menggenggam gelas yang terasa panas. Setidaknya kehangatan dari luar gelas dapat merubah sedikit suhu tubuh. “Belum. Lusa aku harus kembali untuk Pantukhir Pusat di Rindam IV/Diponegoro,” jawabnya penuh harap. “Semoga lulus.” Kanya dan Anna mengaminkan. “By the way, selamat atas diterimanya kalian sebagai Maba di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Semoga tidak ada halangan dan rintangan yang dapat menghentikan kalian dalam menuntut ilmu, semoga pula lelah kalian nanti berguna bagi nusa dan bangsa ke depannya.” Menatap Kanya dan Anna bergantian. “Enggak bosen jadi manusia nokturnal setiap hari, Kan?” Manusia nokturnal. Itulah sebutan Kanya di masa SMK, bukan, bukan hanya Kanya yang memiliki sebutan itu. Hampir semua siswa jurusan RPL menyandang gelar manusia nokturnal. Bagaimana, tidak? Mereka lebih sering begadang tiap malam untuk mengutak-atik tugas sekolah. Jika tugasnya hanya berupa teori informatika, itu tidak terlalu masalah. Sementara tugas yang sering diberikan oleh guru kejuruan adalah tugas praktik. Entah membuat software atau sekadar membetulkan coding yang salah. Bukan pekerjaan yang mudah. Terkadang dari pagi hingga pagi lagi bisa berkutat dengan coding atau syntax di depan layar Personal Computer maupun Laptop. Hanya untuk beberapa digit angka yang menentukan kelulusan, menjadi bukti bahwa aku pernah bersekolah. Nah, sekarang ini. Kanya kembali terjerumus dalam dunia-dunia manusia nokturnal. Dia diterima sebagai mahasiswa baru program studi Informatika. Tak akan berbeda jauh dengan Rekayasa Perangkat Lunak yang merupakan bagian dari Teknik Informatika itu sendiri. “Tahu tuh anak. Enggak bosen apa belajar PHP?" Anna ikut nyinyir. “Keseringan diPHP sih!” selorohnya. “Bukannya dia yang sering nge-PHP-in anak orang ya, An?” Cesa ikut memperburuk selorohan Anna. “Itu anak ototronik jadi korbannya” “Lah, enggak sadar siapa yang nge-PHP siapa.” Itu sindiran. Kanya tahu maksud sahabat cantiknya itu. “Ya sudahlah.” Tak mau memperpanjang, hanya akan memperburuk keadaan. Cesa menatap perempuan di dekatnya dalam. Menyentuh jari-jemarinya membuat Kanya ingin berteriak, menolak segala macam pandangan dan sentuhan dari Cesa. Itu hanya membuat Kanya sakit dan sesak. Apa yang tersembunyi selalu ingin mencuat naik ke permukaan, menunjukkan taringnya, setiap kali Cesa memberinya pandangan dan sentuhan lembut yang menusuk. Kenapa pula Cesa tak pernah sadar jika Kanya tak menyukai setiap sentuhannya? Membuat Kanya semakin jatuh pada kata cinta. “Jangan terlalu diforsir ya, Kan? Kalau sudah capek ya istirahat. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa jika nantinya aku tidak di dekatmu. Susah lah punya waktu kalau sudah jadi tentara,” pesannya yang mainstream sekali di telinga. “Kaya negara butuhin lo buat jaga aja!” nyinyir Anna. “Lo siapanya Kanya sih sebenarnya, Cesa? Pacar bukan, ngasih perhatian mulu! Kasian Kanya-nya kan! Lo enggak paham juga kalau Kanya itu...” “An!” bentak Kanya yang langsung merapatkan mulutnya. Cesa menghela napas, singkat. “Lebih baik aku antar kalian pulang. Sudah larut malam, tak baik perempuan di luar rumah malam-malam begini.” Merapikan jaketnya yang melingkari tubuh Kanya.  “Lo enggak lihat hujannya masih deras begini. Belum lagi jalanan pasti banjir, Cesa. Lo enggak hanya nyiksa hati Kanya tapi fisiknya juga!” Anna sungguh berlebihan hari ini. bibir rapatnya bahkan hampir saja mengatakan semuanya. “Gue bawa mobil, An!” jawab Cesa cepat. “Ya terus? Motor gimana?” “Lo bisa naik mobil?” Anna menggeleng. “Kalau gitu lo bawa motor di depan. Biar Kanya ikut gue di mobil. Berani?” Membuat kesepakatan. Sayangnya tak tertulis. “Berani lah, gue ini!” Dengan angkuhnya langsung berlari menuju tempat parkir sepeda motor. Dia memang bukan perempuan biasa. Pepatah mungkin mengatakan keberaniannya dengan, "Jangankan ombak, badai di lautan-pun dia terjang." Begitulah Ann, dan Kanya beruntung memiliki sahabat semacam itu 7 tahun ini. “Tunggu, ya?” kata Cesa. Ikut berlari ke arah tempat parkir. Mendekati mobil hitam—mungil yang entah milik siapa. Tak berselang lama, dia datang dengan payung hitam yang sangat besar untuk satu orang. “Kamu mau s**u hangat lagi nggak, Kan?” bertanya sebelum mereka benar-benar meninggalkan Alun-alun Kidul. Kanya menggeleng. “Ada botol kosong ndak, Pak?” bertanya pada penjual yang tengah sibuk mengaduk beberapa gelas teh hangat. “Ada, Mas,” jawab beliau, menghentikan aktivitasnya. “Emmm... saya beli air hangat satu botol aja ya, Pak,” pesan Cesa. Kanya tak memahami untuk apa air hangat dalam botol itu. “Ini, Mas.” Setelah sekian lama. Cesa mengeluarkan dompet cokelat kayunya. Membayar dengan beberapa lembar uang kertas. “Terima kasih, Pak,” ucapnya segera merangkul Kanya dari belakang. “Siap?” tanyanya ketika payung besar berwarna hitam sudah tegak melindungi tubuh mereka. Mengangguk. Setiap langkah rasanya pilu, setiap detak rasanya sendu, setiap napas sesak tak menentu. Ini kali kedua Cesa melindungi Kanya dari air hujan, tapi ini pertama kalinya jantung Kanya berdetak hebat kala bersama di tengah hujan. Itu artinya sejak Kanya jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri, ini pertama kalinya Cesa memeluknya di bawah payung. Dan ini sangat menyiksa Kanya, dia tidak menyukai sentuhan Cesa di setiap inchi lengannya. Sungguh menyiksa. “Kenapa napasmu tersenggal-senggal, Kan? Apa kamu sesak napas?” tanyanya di tengah perjalanan. Kanya ingin sekali berteriak, "Ini karena kamu, bodoh!" Sayangnya dia hanya bisa mengatakan hal lain, kata itu terlalu kasar. “Aku tidak apa-apa,” singkat. Dia hanya manggut-manggut tanpa bertanya hal lain. Laki-laki memang begitu, kode paling ringan saja tak mudah dia mengerti. Mungkin lebih baik jika tak pernah menebar kode, percuma, hanya akan menguras tenaga. Membukakan pintu mobilnya untuk Kanya. Melepas pelukannya, Kanya merasa kehilangan. “Ini, setidaknya bisa meghangatkanmu sampai di rumah Anna nanti.” Memberikan sebotol air hangat yang dibelinya tadi. Kanya bahkan tidak berpikir sampai ke situ. Cesa terlalu perhatian padanya. Entah perhatian itu alasan Kanya jatuh cinta atau hanya bahagia sesaat. Tapi, cinta terbiasa datang tanpa alasan, Tuhan menghadirkannya begitu saja. Menutup pintu dan berlari ke pintu yang lain. Duduk di balik kemudi. Rambut basahnya, kaos berlengan pendeknya, tetesan air hujan di pelipis dan dahinya. Itu semua membuat Kanya terpana. “Jangan pandang aku sedalam itu, Kan.” Memutar kemudinya. “Jantungku bisa berhenti bekerja,” lanjutnya, membuka kaca. “Lo depan, An. Hati-hati, jangan kebut-kebutan. Gue enggak mau lo kenapa-kenapa,” teriaknya pada Anna yang sudah tidak terlihat bentuk tubuhnya. Jas hujan yang telah membalut tubuhnya. Sedikit kecewa, Cesa memang tak hanya memberi Kanya perhatian lebih, dengan yang lain Anna juga perhatian. Cesa memang tidak memiliki hal spesial untuk Kanya, menurutnya begitu. Cukuplah cintanya bertepuk sebelah tangan. Oh, jika hanya sebelah itu namanya tidak bertepuk.  Anna mengacungkan jempolnya dan langsung tancap gas. Perempuan itu memang terlalu brutal, kata lain untuk dia yang terlalu pemberani. Satu kilometer pertama tak ada kalimat yang keluar dari mulut mereka satu sama lain. Bukan Kanya tak mau berbicara, dia hanya tak ingin berbicara. Memikirkan suhu tubuhnya saja sudah membingungkan. Sementara Cesa, tidak tahu kenapa sejak tadi dia terdiam. Dua kilometer selanjutnya. “Ehemm,” berdeham memecah gemericik air yang menimpa atap mobil. “Aku boleh bertanya sesuatu?” tanyanya tak menoleh ke arah Kanya. Kanya mengangkat kepala yang sejak tadi tergeletak lemah. “Apa?” “Tipe cowok kamu kaya gimana sih, Kan?” tanyanya, hanya melirik dua detik. Kanya menenggak ludahnya sendiri. Untuk apa pula dia menanyakan itu? “Seperti aku mungkin?” Mendesak. Tersenyum. “Bukan.” Tapi hati mengatakan sebaliknya, bahkan lebih jelasnya hati Kanya mengatakan, "Memang kamu orangnya." “Oh.” Bernada kecewa. “Sudah kuliah pasti pacarnya nanti juga anak kuliahan, ya? Enggak mungkin lah yang cuma lulusan SMK,” selorohnya sedikit kecewa, sedikit kesal. “Latar belakang pendidikan hanya memperkuat teorimu, Cesa. Percuma anak kuliahan tapi hanya tahu teori, aku butuh orang berpendidikan bukan bersekolah. Kita bahkan sudah sering membahas tentang pendidikan dan sekolah,” jelas Kanya yang sejujurnya kesal. Cesa tak juga paham. “Ya,” Manggut-manggut saja. “Kamu maunya pacaran dulu atau langsung dilamar, Kan?” Pertanyaan yang membuat Kanya berpikir. Diam sejenak. “Pacaran dulu,” jawabku pada akhirnya. “Kenapa?” “Perempuan butuh kepastian, Cesa. Mana bisa perempuan digantung dalam waktu yang lama. Iya, kalau beneran dilamar, kalau enggak?” “Kenapa perempuan selalu berpikir jika pacaran itu merupakan sebuah kepastian?” Kanya tertegun. “Sementara kepastian yang sesungguhnya itu adalah pernikahan. Orang yang sudah dilamar saja bisa gagal apalagi yang hanya pacaran,” lanjutnya semakin membuatku tertegun. Itu benar, tetapi perempuan mana bisa menunggu dalam waktu yang lama untuk dilamar tanpa ikatan. Bukankah itu namanya digantungkan tanpa kepastian. Jika sudah berpacaran, setidaknya kita punya arah dan tujuan. Perdebatan kecil akhirnya terjadi. “Ya, jika itu pendapatmu terserah. Yang pasti aku ingin datang ke rumah perempuan yang aku cintai suatu saat nanti. Tanpa mengajaknya berpacaran, aku berani langsung melamarnya. Dan aku sudah tahu siapa perempuan yang harus aku lamar nantinya.” Lihai mengendalikan kemudinya. Benda tumpul pada akhirnya menghujam jantung Kanya. Cesa sudah memiliki perempuan yang dia cintai. Yang jelas bukan dia, Cesa tak mengatakan apapun. Sungguh, ini kenyataan yang paling memilukan. “Siapa?” tanya Kanya, berat sekali terucap. “Kok aku tidak pernah tahu?” “Memang tidak ada yang tahu, hanya Mama dan Papa juga salah satu sahabat masa kecilku. Aku tidak mau banyak orang tahu, Kan. Malu jika nantinya tidak berjodoh. Sudah terlanjur cerita sana-sini tapi gagal. Aku tidak mau menjadikannya pacarku karena aku takut dia bosan atau kami harus putus di tengah jalan. Terlebih jika berpacaran itu banyak peraturan, banyak yang harus dijaga dan pasti dituntut untuk mempublikasikan hubungan. Aku tak suka itu,” jelasnya. Kanya tidak bisa memaksanya untuk bercerita. Sampai detik ini persahabatan mereka bebas. Tidak terlalu kepo satu sama lain, karena mereka percaya jika harus dikatakan dan nyaman untuk dikatakan pasti kami akan bercerita tanpa diminta. Toh, mereka sudah berjanji tidak memiliki rahasia satu sama lain lalu saling mengingkari janji itu.  “Tapi, kamu tidak takut jika dia diambil orang, Cesa?” Cesa menggeleng. “Perempuan tak bisa berlama-lama digantung, dia butuh tempat bersandar yang nyaman. Jika kamu hanya menggantungnya dalam waktu yang lama, aku yakin dia akan mencari bahu yang kuat untuk tempat bersandarnya. Dalam waktu gantung yang lama itu, tidak ada juga yang bisa menjamin hatimu tetap sama. Tuhan bisa saja merubah arah hatimu,” ujar Kanya. “Aku tahu dia mencintaiku. Cukup itu saja, toh selama ini aku berada di sampingnya, sudah sedekat nadi. Aku tahu bagaimana dia. Tapi jika memang dia memilih orang lain untuk bersandar dengan kata ‘pacaran’ tidak masalah. Berarti memang tidak jodoh, Tuhan menyiapkan yang lebih indah untukku.” Terdengar santai. Dia bahkan tidak takut perempuan yang dicintainya jatuh pada pria lain. Bukankah itu titik tertinggi dari cinta? Ketika kita tidak khawatir dan ikhlas jika harus melepaskan. Cesa tak main-main dengan perasaannya kali ini. Siapa pula perempuan yang membuatnya jatuh hati sampai sedalam ini? Dia pasti perempuan yang luar biasa dan beruntung. “Kamu pasti sedang bertanya-tanya perempuan mana yang bisa membuatku jatuh cinta, bahkan sudah sedekat nadi.” Tebaknya menginjak rem ketika lampu kuning berganti dengan lampu merah. Anna juga menghentikan laju motornya di depan kami. “Tidak perlu dipusingkan, Kanya. Toh, nantinya kamu juga tahu, tinggal menunggu waktu saja.” Tersenyum menggoda. “Ya, perempuan itu pasti tidak beruntung dicintai laki-laki macam kamu, Cesa. Orang paling cuek sedunia, orang paling nggak peka, orang yang paling...” “Kamu tahu?” Memotong perkataan Kanya. “Hanya kamu dan Anna yang tidak pernah aku perlakukan dengan buruk. Aku tidak pernah jutek ataupun cuek sama kalian. Yah, walaupun kadang suka kesal sama Anna, tapi memang hanya kalian yang mendapat perlakuan berbeda. Aku tidak tahu perempuan itu merasa beruntung atau tidak, yang jelas aku tahu jantungnya selalu berdetak kencang ketika bersamaku, dia juga selalu tersenyum bahagia, ah, lupakan!” Kanya tidak mau menanggapi satupun kalimat Cesa. Sudah terlalu sakit menerima hantaman benda tumpul di d**a. Setiap kalimat yang dia ucapkan tentang perempuan itu terlalu tajam untuk telinga. “Kamu tidak terkejut karena aku tiba-tiba datang?” Membelokkan topik pembicaraan, padahal Kanya sudah tidak mau lagi berbicara. “Sedikit,” jawabnya Sejujurnya Kanya juga terkejut, tiba-tiba saja Cesa memeluknya dari belakang, memberinya jaket tebalnya. Tapi dibanding sibuk dengan perasaan terkejut, Kanya lebih sibuk dengan kerja organ di dalam d**a. “Ah, kamu! Aku bela-belain jauh-jauh dari Semarang, mohon-mohon sama Papa biar boleh bawa mobil, tahunya yang dikasih kejutan enggak terkejut. Itu tuh berasa kaya lagi mengintai musuh, sudah dibidik tepat dibagian dahinya, pas ditembak eh dia enggak mati,” nadanya sungguh kecewa. Kanya hanya mengulum senyum tipis. Tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Hatinya juga sama kecewanya dengan Cesa. “Aku datang karena aku merindukanmu, Kan. Besok aku sudah harus kembali lagi,” ucap Cesa. “Omong kosong macam apa yang kamu bicarakan, Cesa.”  “Itu sangat berisi, Kan,” bantahnya. “Berisi kebohongan yang nyata!” “Ah, mau sampai kapan kamu jadi perempuan yang tidak peka, Kanya. Bisanya cuma bikin kode tanpa pernah bisa menangkap kode dari orang lain,” gerutunya. Tidak peduli. Memejamkan matanya. Semua organ menolak bekerja keras mulai menit ini. Mereka semua layu hanya karena kalimat-kalimat dari Cesa. Lebih baik jika membuat mereka semua beristirahat. Tak lagi peduli dengan kalimat-kalimat Cesa. Perjalanan panjang yang seharusnya bisa ditempuh dengan waktu 30 menit, menjadi lebih lama karena hujan lebat dan banyak jalan tergenang air.  Akhirnya mereka sampai juga di Tugu, Jumantono, Karanganyar. Termasuk Karanganyar bagian selatan dan berbatasan langsung dengan kabupaten Sukoharjo. Rumah Anna jauh dari pusat kota, tetapi jalanan yang melintas di samping rumahnya adalah jalan provinsi. Sedikit ramai kendaraan tetapi suasana pedesaan masih kental. “Terima kasih, Cesa. Hati-hati di jalan,” ujar Kanya tersenyum manis, menyembunyikan luka. “Iya.” Mengangguk pelan. “Langsung istirahat ya. Sekalian pamit, besok aku langsung kembali ke Semarang.” Menggenggam tangannya. Mengangguk saja. Kalimat-kalimat perpisahan terlontar, di bawah atap yang tertimpa gemericik air hujan, di tengah malam yang jelas tanpa bintang. Susahnya bila perjuangan kita akhirnya berbeda, maka banyak perpisahan yang harus terjadi, pertemuan pun tiada pasti. “Lo kenapa murung, Nyung?” tanya Anna ketika mereka sama-sama memasuki kamar. “Lo ini emang lagi sakit atau bagaimana?” Mengulum senyum segaris. Mulai duduk di tepian ranjang, mengganti jaket yang sedikit basah, kemudian mulai menceritakan semuanya. Anna wajib tahu apa yang kami bicarakan barusan. Aneh, bukannya Anna ikut prihatin dengan Kanya, dia justru mentertawakannya. “Lo bodoh banget ya, Nyung!” Kembali menutup dengan gelak tawa mengejeknya. “Why?” “Cari tahu sendiri lah. Yang bisa membaca sebuah kode itu ya si aplikasi yang menerima kode itu sendiri. Misalkan begini, sebuah kode dibuat dengan Java, tidak mungkin bisa di jalankan di Delphi.” Anna kembali menggunakan bahasa rumitnya tapi Kanya paham apa yang dia maksud. “Ah, aku masih pusing soal ujian praktek nasional tiga bulan yang lalu, An. Jangan membahas soal Delphi. Tapi siapa perempuan yang dimaksud ya, An?” “Arrgggghhh!” Anna justru berteriak frustasi. “Ini bukan anak mesin yang enggak peka sama kode tapi justru anak RPL yang enggak ngerti kode. Frustasi sendiri gue, sudah jelas begitu tetep aja enggak tahu!” Menutup wajahnya dengan bantal. Kanya mungkin sedikit mengerti apa yang dimaksud oleh Anna. Akan tetapi, dia tidak mau terlalu percaya diri, karena melambung lalu dijatuhkan itu sakit sekali. Apa yang diduga Anna belum tentu benar. Mungkin ada perempuan lain yang tidak mereka kenal, tetapi mendapat perhatian lebih dari Cesa. Ah, pertanyaan siapa? Siapa perempuan yang dicintai oleh Cesa itu masih menghantui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD