CHAPTER DELAPAN

2102 Words
Ruangan tidak terpakai itu terlihat cukup bersih. Hanya ada beberapa meja dan kursi di sana, juga sofa memanjang. Ruangan itu adalah bekas ruangan klinik sebelum akhirnya klinik dipindahkan ke lantai satu bersama dengan fasilitas lainnya. Ruangan itu tampak lowong dan tenang. Lampu ruangan itu menyala. Beberapa camilan berserak di atas meja, bersama dengan beberapa buku dan lembar-lembar kertas. Di atas sofa, seorang gadis terlihat tertidur dengan sebuah buku yang menutupi wajahnya. Gadis itu sangat pulas sehingga tidak menyadari bahwa bel masuk baru saja menggema. Di saat semua anak berbondong-bondong kembali ke kelas, kesadaran gadis itu terus menurun kendati aktifitas otak tetap memainkan peran dalam mengatur fungsinya. Napas gadis itu mulai teratur dan gadis itu terlelap. Gadis itu baru saja menyelesaikan tugasnya saat rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. Ia selalu kurang tidur. Semua tugas-tugasnya selalu menyita waktunya dan mengurangi waktu istirahatnya. Akhir-akhir ini, ia memang menjadi begitu terobsesi dengan semua tugas-tugasnya. Lebih tepatnya, semenjak kejatuhan keluarga Nadine, ibunya merasa bahwa dirinya harusnya lebih unggul. Nadine mungkin tergucang dengan keadaannya yang tiba-tiba berbalik. Kini gadis itu tidak punya apa-apa. Berbeda dengan dirinya yang masih difasilitasi oleh keluarganya yang kaya. Ibunya merasa bahwa ia sudah tidak memiliki alasan untuk tidak bisa mendahului Nadine. Dengan semua yang dimiliknya, seharusnya ia bisa dengan mudah menggeser posisi Nadine. Namun Ilana tahu bahwa semuanya tidak semudah itu. Ia tahu bahwa Nadine terlihat semakin ambisius karena kini hanya bergantung dengan beasiswa. Gadis itu harus tetap mempertahankan peringkatnya di tiga besar kalau tidak ingin beasiswanya dicabut. Dan ya, kejatuhan sama sekali tidak melunakkan Nadine. Gadis itu malah berusaha lebih keras dibanding sebelumnya. Itu artinya Ilana harus belajar lebih keras lagi. Tidak peduli ia sudah muak dengan semuanya. Jika kantuk menyerangnya saat di sekolah, Ilana biasanya meminum obat yang bisa membuatnya terjaga. Ibunya memberikan obat itu agar membuatnya bisa tetap terjaga. Namun tadi, sofa itu menggodanya. Sofa itu memintanya untuk beristirahat dan Ilana kalah. Ia pikir tidur sebentar saja tidak apa-apa. Ia akhirnya merebahkan tubuhnya di sofa dan tidak butuh waktu lama untuk pulas. Suara getar ponsel itu terdengar di ruangan yang sunyi itu. Gadis di atas sofa itu terperajat dan langsung mengangkat kertas yang menutupi wajahnya. Ia buru-buru bangun dari tidurnya dan mengambil benda pipih miliknya dengan satu sentakan. Kedua matanya membulat saat melihat jam yang tertera di ponselnya. Ia sudah telat. Ia keluar dari ruangan itu dan mengangkat panggilan dari teman sebangkunya. Ia tahu apa yang ingin ditanyakan oleh temannya sehingga ia langsung bilang pada temannya bahwa ia dalam perjalanan ke kelas dan menutup panggilan sebelum temannya sempat mengatakan sepatah katapun. Gadis itu menuruni tangga dan menyusuri koridor dengan langkah terburu-buru. Langkah kakinya tampak menggema di lorong yang mulai sepi. Ia meruntuk berkali-kali kenapa bisa sampai tidak mendengar bel berbunyi. Langkah kakinya semakin cepat saat ia menyadari bahwa ia dalam masalah besar. Ia sampai di depan pintu kelasnya dengan napas terengah-engah. Ia mengatur napasnya sebentar lalu mengetuk pintu dua kali dan membuka salah satu daun pintu perlahan. “Dari mana saja kamu?” seorang guru matematika bertanya padanya. Ilana menelan ludah. Ia berjalan mendekat dan bilang bahwa ia ada di klinik karena tidak enak badan lalu ketiduran. Guru itu menerima alasannya dan meminta Ilana duduk di kursinya. Ilana menghela napas lega lalu pergi ke kursinya dan melihat guru itu kembali melanjutkan pelajaran. *** Nadine tidak punya kegiatan lain yang bisa ia lakukan setelah jam sekolahnya berakhir. Sebelum keluarganya jatuh, Nadine punya banyak kegiatan untuk membunuh waktu. Ia pergi ke tampat les, pergi berjalan-jalan, berbelanja dan kegiatan lain yang menyenangkan. Namun sekarang ia jelas tidak melakukan hal-hal itu. Ia keluar dari tempat lesnya, karena sudah tidak memiliki biaya untuk itu. Ia kini belajar secara mandiri. Memang lebih keras dari sebelumnya, namun ia tahu bahwa ia harus mempertahankan peringkatnya agar bisa tetap menerima beasiswa itu. Ia belajar lebih keras dari biasanya karena tahu bahwa Ilana bisa menyalip kapan saja. Dulu, ia tidak peduli pada Ilana. Jika gadis itu merebut peringkat satunya sesekali pun tak apa. Namun itu tidak pernah terjadi dan ia tahu kali ini ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia tidak akan memberikan celah pada Ilana untuk mengambil posisinya. Ia akan membuktikan padanya bahwa kejatuhan keluarganya tidak akan memengaruhi prestasi akademiknya. Gadis itu berdiri di trotar untuk menunggu bus yang akan mengantarnya menuju rumahnya. Ia duduk di bangku besi yang disediakan bersama beberapa orang lainnya. Jalan di depannya cukup ramai dan lancar. Terik matahari yang menyengat terasa membakar kulitnya. Ia melihat mobil yang berlalu lalang di depannya dan berpikir betapa menyenangkannya ada di dalam sana, dengan pendingin dan musik yang mengalun. Kini, ia hanya bisa membayangkan dan mengingat-ingat bagaimana rasanya. Nadine berdiri saat sebuah bus mendekat. Ia mengambil posisi di tepi trotoar dan naik saat bus itu berhenti di depannya dan pintunya terbuka. Nadine sadar ini tidak mudah. Mengganti mobil pribadinya dengan transportasi publik membuatnya sedikit kaget. Namun ia tidak punya pilihan lain. Ia membiasakan diri setiap harinya. Bus itu tak selamanya sepi. Saat pagi dan siang seperti ini, bus itu sangat penuh dan didominasi oleh anak-anak sekolah seusianya. Ia terkadang harus berdiri selama perjalanan. Sebelah tangannya yang memegang gantungan yang disediakan membuat tangannya pegal. Belum lagi jika tubuhnya terdorong saat bus itu berhenti mendadak atau bus terlalu penuh. Ia berdesak-desakan, mencium keringat di sekitarnya, merasakan panas yang terkadang sampai membuat seragam bagian belakangnya basah. Bus itu tidak bisa berhenti di sembarang tempat sehingga Nadine harus turun di halte yang terdekat dengan rumahnya. Dari halte itu, ia masih harus berjalan sekitar dua ratus meteran untuk sampai ke rumahnya. Ia turun dari halte dan menghela napas lega. Matanya menatap bus yang baru saja ia tumpangi. Bus itu penuh sesak dan membuatnya pusing. Ia mulai berjalan saat bus itu menghilang dari padangannya. Dulu, ia benci jalan kaki. Bahkan untuk ke tempat yang dekat sekalipun, ia biasanya menggunakan mobil. Berkeliling rumahnya pun ia menggunakan scooter. Ia baru sadar bahwa ia sangat memanjakan kakinya saat ia jatuh dan harus melakukan semuanya seorang diri. Kini, ia sangat bergantung pada sepasang kakinya. Panasnya terik matahari menemaninya berjalan menuju rumahnya. Ia menatap kafe dan toko-toko di sebelahnya. Kedai dan toko itu terlihat ramai. Salah satu kedai kopi yang selalu ia lewati itu selalu ramai dengan antrian mengular hingga keluar. Kedai yang cabangnya sudah ada di mana-mana dan dulu menjadi langganannya. Kini ia harus berpikir puluhan kali jika ingin membeli satu cup saja dari salah satu menu minuman di sana. Harganya tidak terlalu mahal, tapi Nadine terasa sayang membelanjakan uangnya untuk hal-hal seperti itu. Ia berpikir uang hasil keringat ibunya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih penting. Nadine masih menatap ke arah deretan toko itu saat tatapannya menangkap sosok yang ia kenal baru saja keluar dari salah satu kedai kopi dengan cup holder berisi empat buah cup di tangannya. Laki-laki itu berjalan dari arah kanan untuk menuju mobilnya yang terparkir di samping trotoar. Nadine memelankan langkahnya dan menahan diri agar mereka tidak berpapasan. Ia menatap rambut pirang laki-laki itu yang terlihat mengkilat saat terkena sinar matahari, yang juga acak-acakan saat terkena angin. Tubuh laki-laki itu menjulang tinggi dengan sepatu dan tas yang terlihat mahal. Nadine melihat laki-laki itu masuk ke mobilnya, dan tak lama empat roda mobil itu berputar. Nadine menatap bagian belakang mobil itu memasuki komplek mewah yang berada tepat di seberang rumahnya. *** Ilana turun dari mobilnya lalu menarik napas panjang. Ia menatap pintu rumahnya lamat-lamat. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia tahu masalahnya tidak berhenti sampai guru itu mempersilakannya duduk. Ia tahu bahwa akan ada lebih dari itu. Ia tidak heran jika kini jantungnya berdebar, dan tangannya berkeringat. Ia sudah bisa memperkirakan apa yang ada di balik pintu itu dan apa yang akan terjadi. Tapi Ilana tahu bahwa bahwa ia tidak akan bisa menghindar. Tak peduli ia begitu ketakutan. Semuanya hanya masalah waktu. Setelah mengambil napas panjang berkali-kali, sebelah tangannya menekan handle pintu, kakinya melangkah memasuki rumah. Ia mengucapkan salam dengan pelan lalu melewati ruang tamunya. Ia baru saja menghela napas lega saat tiba-tiba suara ibunya terdengar memanggilnya. Ia yang baru saja hendak menaiki anak tangga terdiam sebentar, memejamkan matanya lalu akhirnya pergi ke ruang tamu dan melihat ibunya sedang membaca majalah di sana. “Kata Miss Era, tadi kamu telat masuk kelas karena ketiduran di klinik.” Helen menutup majalahnya dan sedikit membantingnya ke atas meja. Ia melihat Ilana dan mengisyaratkan agar gadis itu duduk di sampingnya dengan lirikan matanya. Ilana menurut, ia duduk di samping ibunya yang langsung mengubah posisi duduk menghadapnya. “Kamu sakit?” Helen mengatakan itu sambil menyentuhkan sebelah tangannya pada dahi anaknya. Ilana menunduk, tidak berani menatap ibunya. “JAWAB!” Helen menyentak sambil menjambak rambut panjang Ilana agar gadis itu menatapnya. Bibir Ilana bergetar. Ia meringis menahan sakit. “Jangan kamu pikir Mama bodoh, ya.” kata Helen. “mama tadi telepon klinik dan dokter yang bertugas bilang kamu nggak ada di sana seharian ini.” ia semakin mengeratkan cengkeramannya. Ia tidak suka dibohongi dan Ilana tahu itu. Ia jelas murka saat tahu gadis itu berani membohonginya. Ilana menarik napas panjang. Ia menelan ludah dan menjaga agar tangisnya tidak pecah. Ini padahal bukan yang pertama kali, tapi entah kenapa rasanya tetap menyakitkan. “Maaf…” itu yang pertama kali keluar dari mulut Ilana, “tadi Ilana ngantuk, jadi Ilana tidur sebentar.” akunya. Ia berharap jawabannya cukup dan cengkeraman di rambutnya akan mengendur, namun ia salah. Cengkraman itu justru semakin erat dan membuatnya kembali meringis menahan sakit. “Kenapa kamu tidak minum obatnya?” tanya Helen. Ia tidak bisa lagi menahan amarah pada anaknya. Ia tidak suka jika gadisnya memberontak dan tak mendengarkan semua perintahnya. Ia semakin menarik rambut anaknya saat melihat gadis itu menggeleng pelan. “Sekolah itu tempatnya belajar, kalau kamu mau tidur, tidur saja di rumah.” Helen mengatakan itu sambil melepas cengkeramannya pada rambut Ilana dengan sedikit dorongan ke kepalanya. Ilana menghela napas lega lalu memegang kepalanya yang masih meninggalkan rasa nyeri. Ia menelan ludah dan kembali berusaha sekuat tenaga agar tangis tak pecah, meski ia tahu sudah ada selapis baning di kedua matanya. Ia tidak ingin menangis, ibunya akan lebih marah jika melihatnya menangis. “Makan, lalu berangkat les.” sentak Helen. Ilana mengangguk sebagai jawaban tercepat. Ia berdiri dari duduknya dan meninggalkan ruang tamunya menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sebelah tangannya membuka handle pintu kamarnya dan membukanya. Ia masuk, menutup kembali pintu dan menyandarkan punggungnya di balik pintu. Tangisnya pecah. Tubuhnya merosot ke lantai marmer kamarnya. Ia duduk memeluk lututnya, terisak, menangis tanpa suara. Ilana perlu mengeluarkan semua emosinya. Ia bukan robot yang tidak memiliki emosi. Ia ingin menangis saat mendapatkan perlakuan buruk dari ibunya. Hal yang tak akan bisa ia lakukan di depan ibunya secara langsung. Disaat semua orang lain menjadikan ibu mereka sebagai sebuah sandaran, Ilana tak seperti itu. Ilana hanya bisa menangis diam-diam di kamarnya. Ibunya tak suka ia menangis. Ibunya selalu melarangnya menangis karena itu membuatnya terlihat lemah. Ibunya ingin ia dipandang sebagai gadis kuat sehingga tidak ada yang bisa meremehkannya. *** Joseph keluar dari ruang lesnya bersama dengan teman-temannya. Ia melirik penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Sudah jam lima sore. Ia menepi di koridor dan melihat bahwa langit tampak mendung. Ia menyusuri lorong kelasnya dan memelankah langkah saat berpapasan dengan seorang gadis yang baru keluar daru kelas yang ia lewati. Tatapan keduanya bersirobok. Karena merasa kenal meski tak dekat, Joseph mengulas senyum tipis, namun gadis itu manatapnya dengan tatapan dingin dan berjalan mendahuluinya. Gadis itu bersikap seolah-olah tidak mengenal Joseph. Joseph berdecak. Ia tidak mengerti kenapa banyak anak di sekolahnya sangat sombong. Apa memang mereka terlahir seperti itu, atau keadaan yang membentuk mereka seperti itu. Joseph mengambil langkah di belakang Ilana. Ia menatap ransel yang menggantung dipunggung gadis itu. Gadis itu memakai kaos berwarna hitam dengan celana jeans warna serupa. Rambut panjang gadis itu dikuncir kuda. Joseph masih menjaga jarak di belakang Ilana saat mereka berdua bergerak menuruni tangga. Joseph menyapa beberapa teman yang dikenalnya saat mereka berpapasan. Sangat kontras dengan Ilana yang tampak fokus dengan jalan di depannya. Seperti di sekolah, sepertinya gadis itu juga tidak memiliki banyak teman di sini. Joseph sampai di lantai dasar. Ia melihat Ilana duduk di salah satu sofa yang ada di lobi. Joseph melakukan hal serupa, ia mengambil tempat di belakang Ilana. Punggung sofa itu ditempelkan ke punggung sofa yang ditempati Ilana sehingga ia berada tepat di belakang gadis itu dengan posisi saling membelakangi. Ia tahu gadis itu menunggu jemputan, sama sepertinya. Keheningan menyelimuti. Joseph mengamati orang yang lalu lalang di sekitarnya. Ia terdiam lalu berkata, “kamu sudah lama les di sini?” Seharusnya Ilana tahu bahwa Joseph bertanya padanya karena tak ada orang terdekat selain dirinya. Namun seperti biasa, gadis itu memilih diam. Joseph tahu ia berbasa-basi dengan orang salah sehingga ia akhirnya memilih diam. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD