“Joseph.” Guru berpakaian rapi itu menyebutkan nama Joseph sebagai siswa dengan esai terbaik. Ilana beredcak, sementara kedua mata Nadine seperti ingin lompat dari tempatnya. Nadine menatap Joseph yang duduk di sebelahnya. Ia jelas tidak menyangka bahwa laki-laki itu bisa menggeser posisinya.
“Dua selanjutnya seperti biasa, ada Nadine lalu Ilana.” kata guru itu lagi.
Semua mata menghujam Joseph selama beberapa saat. Mereka berpikir bahwa mereka akan punya juara kelas baru, yaitu Joseph. Tatapan mereka lalu berhenti pada Nadine juga Ilana yang duduk di bangku paling depan. Mereka semua tahu bahwa persaingan Nadine dan Ilana saja sudah sangat sengit. Kini Joseph sepertinya akan masuk dalam pusara persaingan Nadine dan Ilana yang tidak pernah berakhir.
Sebelah tangan Ilana terkepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menghela napas untuk menahan amarahnya yang sudah naik ke kepalanya. Ia tahu ia tidak seharusnya marah. Namun ia tidak bisa mengenyahkan perasaan itu yang datang begitu saja. Tak hanya marah, ia juga sedih dan takut. Menjadi peringkat dua saja sudah buruk baginya, apalagi harus menjadi yang ketiga.
Ilana jelas terpukul mendengar itu. Di saat ia tengah berjuang untuk menjadi yang terbaik di kelasnya, kini ia malah bergeser menjadi posisi ketiga. Setelah semua yang ia lakukan, semua kerja kerasnya, dan segala yang ia korbankan, ia malah terpelanting ke posisi tiga. Ia tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya dan apa yang kurang darinya.
Kekecewaan juga mendera Nadine. Ia tidak pernah menyangka jika kedatangan Joseph ternyata bisa membahayakan posisinya. Ia telah berusaha keras agar melaju lebih jauh dari Ilana, namun kini laki-laki itu datang dan merebut posisinya. Itu buruk, ia tak suka ada di posisi kedua dan ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya. Ia tidak akan lagi lengah. Ia tidak akan memberi laki-laki itu kesempatan untuk kembali mengambil posisinya.
***
“Selamat…” Emma mengatakan itu saat duduk di samping Joseph di koridor lantai satu. Mata pria itu sedang menatap segerombolan orang yang sedang memainkan bola oranye di tengah lapangan. Jari jaraknya, ia bisa melihat sosok Keenan di antaranya.
“Untuk apa?” Joseph bertanya saat melihat Emma duduk di sebelahnya.
“Essai terbaik.” kata Emma sambil terkekeh. Ia tahu bahwa tugas itu tidak pernah benar-benar penting bagi mereka. Tapi ia tahu bahwa tidak bagi Nadine dan Ilana. Semua orang tahu bagaimana keduanya bersaing. Dan kini, ada Joseph, anak baru yang ternyata menggeser posisi Nadine, dan membuat Ilana semakin jauh pada posisi impiannya.
Joseph berdecak, hal itu bukan sesuatu yang harus ia banggakan. Keuda orangtuanya tidak pernah memetingkan nilai. Keduanya orang hanya selalu menginginkan Joseph selalu berbuat baik dan yang penting berbahagia. Kedua orangtuanya cukup menyadari bahwa anak tidak bisa diminta untuk pintar dalam semua mata pelajaran. Tapi Joseph memang dianugerahi kepintaran di atas rata-rata, juga kesukaan terhadap proses belajar. Orangtuanya selalu menganggap bahwa nilai-nilai yang didapatkannya sebagai bonus.
***
Ilana termenung di rooftop sekolahnya. Udara siang itu terik, namun ia membiarkan kulit putihnya memerah karena terkena sinar matahari. Ia duduk di salah satu beton memanjang yang ada di sana. Ia menghirup udara dalam-dalam. Membiarkan angin yang berembus masuk ke paru-parunya.
Ilana tahu bahwa ia tidak bisa bersembunyi. Jadi kini ia tengah mempersipkan diri dengan apa yang akan ia hadapi hari ini. Ibunya selalu tahu apa yang terjadi di sekolahnya, seakan-akan wanita itu memiliki banyak mata untuk mengawasinya. Ilana tidak pernah bisa merasa bebas. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan, termasuk nilai-nilainya.
***
Joseph masih duduk dikoridor sekolah bersama Emma saat bola oranye yang sedang diperebutkan di lapangan menggelinding dan berhenti di dekatnya.
“Hei… Pirang.” Keenan berteriak, mengisyaratkan Joseph untuk melempar bola itu padanya. Joseph menatap bola oranye itu, lalu ke arah Keenan yang sedang berdiri dan bertolak pinggang sambil menatapnya dengan tatapan tidak terbaca.
“Cepat, pirang.” Keenan kembali berteriak.
Emma sudah hampir berdiri, karena melihat Joseph bergeming. Namun sebelah tangan Joseph menahannya. Ia melihat laki-laki itu berdiri, mengambil bola, mendribblenya sambil membawanya ke lapangan. Emma bisa melihat Keenan tersenyum sinis.
“Aku punya nama. Jangan panggil aku pirang.” kata Joseph saat ia berdiri di depan Keenan. Keenan tertawa lalu melirik teman-temannya yang ikut terkekeh.
“Kalau begitu, habisi saja rambutmu. Aku memanggilmu pirang, karena kamu memang pirang.” jawab Keenan dengan nada mengejek.
Semua pasang mata anak yang ada di koridor menatap ke tengah lapangan. Mereka menatap Joseph dan Keenan yang tampak bersitegang meski tidak bisa mencuri dengar. Tapi mereka tahu bahwa akan ada hal menarik sebentar lagi.
Joseph tahu bahwa Keenan bukan orang yang bisa diberi pengertian. Berbicara dengannya sama seperti berbicara dengan tembok. Joseph mendorong bola oranye itu ke arah Keenan yang langsung memegangnya.
Joseph akhirnya memilih membalik badan dan berjalan menjauhi laki-laki itu. Namun baru beberapa langkah, ia terdorong karena bola oranye itu terlempar cukup kuat dan mengenai bahunya. Ia hampir saja jatuh tersungkur jika tidak bisa menyeimbangkan diri.
“Bagaimana, pirang? Mau ku bantu mencukur rambutmu sampai habis?” Gigi Joseph gemelutuk saat mendengar Keenan mengatakan itu lengkap dengan tawa mengejek yang membuatnya naik pitam. Ia menatap Emma yang menggeleng, memberinya isyarat untuk tak meladeni laki-laki itu.
Suara tawa Keenan dan teman-temannya membuat darahnya kian mendidih. Kedua tangannya mengepal sempurna. Ia memejamkan mata dan menarik napas panjang. Ia tidak ingin gegabah. Seperti tujuan awal, ia tidak ingin berurusan dengan laki-laki itu. Ia akhirnya kembali melanjutkan langkahnya, dan memilih masuk ke perpustakaan.
“Pengecut.” Keenan mendecih sambil menatap punggung Joseph yang akhirnya menghilang dari pandangannya.
***
Nadine menghabiskan jam istirahatnya di perpustakaan. Ia tengah mempelajari beberapa materi. Ia telah bertekad untuk belajar lebih keras lagi. Kemarin ia tengah ditempa oleh berbagai masalah, ia pikir wajar jika nilai menurun sehingga Joseph bisa mengambil posisinya. Namun ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Ia mulai terobsesi dnegan peringkta pertama, seperti Ilana.
Ia menoleh saat Joseph tiba-tiba duduk di sebelahnya. Wajah putih laki-laki itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun. Laki-laki itu sepertinya tengah sekuat tenaga menahan emosinya.
Nadine tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan laki-laki itu sehingga ia memilih untuk mengembalikan fokusnya pada buku di depannya.
Setelah tenang, Joseph menengadah lalu menoleh ke samping dan melihat Nadine tengah fokus pada buku di atas meja. Sebelah tangan gadis itu memegang pensil dengan sebuah kertas berisi coret-coretan di sebelahnya. Seperti biasa, gadis itu tampak fokus dan sepertinya tidak memedulikan keberadaannya.
Joseph dan Nadine tidak tahu kalau ada yang menatap mereka dari jendela perpustakaan. Tatapan tajam yang seakan bisa menelan keduanya hidup-hidup.
Keenan sudah memeringati Joseph untuk tak terlalu dekat dengan Nadine. Namun kini lihat, laki-laki itu malah dengan sengaja menghampiri Nadine di perpustakaan dan menatap gadis yang disukainya dengan mata birunya.
Keenan bisa melihat bahwa keduanya tak saling berbicara, namun tatapan Joseph pada Nadine jelas membuat darahnya bergejolak. Laki-laki itu mencoba menghindarinya, namun kini dengan sengaja melakukan apa yang ia larang. Laki-laki itu memang sepertinya harus diberi pelajaran, pikir Keenan.
***
Nadine sedang berjalan menuju halte terdekat di sekolahnya saat sebuah mobil berhenti di sampingnya. Ia tidak menoleh. Ia tidak ingin tahu mobil siapa itu dan tetap melanjutkan langkahnya.
Mobil itu berjalan pelan mengikuti langkah Nadine.
“Ayo naik, ku antar ke rumahmu.” Nadine tahu itu suara siapa. Ia berdecak pelan, nyaris tidak terdengar dan tetap berjalan. Ia tak mengacuhkan laki-laki itu meski nyamannya mobil laki-laki itu terbayang olehnya. Matahari sedang sangat terik dan tawaran laki-laki itu tampak sangat menggoda.
Tapi Nadine tidak ingin kalah. Ia telah mati-matian menolak semua tawaran laki-laki itu dan tidak akan pernah memberikan laki-laki itu kesempatan. Berada di samping laki-laki itu mungkin terlihat sebagai jalan keluar, namun bisa juga menjadi lorong gelap tanpa ujung. Nadine tidak ingin terperangkap. Sudah saatnya ia berdiri di atas kakinya sendiri. Sudah saatnya ia menerima semua balasan atas apa yang telah ia lakukan dulu. Meski tak mudah, Nadine tahu bahwa ia harus menghadapinya. Ia perlu menebus semua dosa-dosanya pada orang-orang yang pernah ia sakiti hatinya.
“Kulitmu bisa terbakar.” kata Keenan lagi. Masih mencoba mengetuk hati Nadine yang sudah sekeras batu. Ia tahu bahwa semua usahanya akan sia-sia. Namun ia tidak pernah ingin menyerah begitu saja, meski ia tahu bahwa Nadinie tidak pernah ingin membuka hati untuknya.
Ini adalah tahun ketiganya di sekolah dan ia masih saja mengharapkan gadis itu. Saat pertama kali mengenal Nadine dan tahu bagaimana sikap gadis itu, ia menyukai gadis itu dan merasa tertantang dengan kepribadiannya. Dulu ia selalu merasa bahwa mereka akan menjadi pasangan yang cocok dan saling melengkapi. Mereka akan menjadi pasangan yang paling disegani di sekolah itu. Kedua orangtua mereka sama-sama kaya dan terpandang, sama-sama menjadi donatur terbesar di sekolah itu. Gadis itu menjadi yang paling menojol di sekolah itu, sama sepertinya.
Namun mengambil hati gadis itu ternyata tidak semudah bayangannya. Lihat, sampai saat ini, saat Nadine sudah kehilangan semuanya, ia masih juga tidak bisa mendapatkan gadis itu.
“Mobilku jelas lebih nyaman daripada berdesakan di dalam bus.” kata Keenan lagi.
“Please, leave me alone.” Nadine menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan menatap Keenan dengan tatapan memohon.
Keenan terdiam. Ia menatap Nadine yang menatapnya dengan tatapan memohon, juga kesal. Sepertinya gadis itu memang tidak ingin lagi berhubungan dengannya.
Keenan mengangguk. Ia menutup kaca mobilnya dan meminta supirnya untuk pergi dari sana. Sudah cukup Nadine menolaknya setelah ia selalu mencoba berbuat baik. Sudah cukup gadis itu melukai egonya. Sudah cukup ia merendahkan dirinya. Kini, ia tidak akan mengemis lagi.
***
Wajah Ilana terlempar ke samping saat sebuah tamparan mendarat di pipinya. Sebelah tangannya terulur untuk mengusap pipinya yang perlahan terasa panas.
“Kenapa kamu malah berjalan mundur?” Helen menatap Ilana dengan tatapan marah. Dadanya naik turun karena emosi. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu kini kalah oleh anak baru di kelasnya.
Ilana tak mengatakan apapun. Ia tidak punya pembelaan apapun, karena ia tahu bahwa ibunya tidak akan mendengarkan semua yang ia katakan. Ibunya selalu lebih percaya pada pemikirannya sendiri dan tidak pernah memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
“Sampai kapan kamu mau begini, Ilana?” Helen mengatakan itu saat ia mulai tenang. “posisi dua saja sudah buruk, sekarang kamu malah ada di posisi tiga.” kata Helen lagi. “sesusah apa esai itu, hah?” sebelah tangan wanita itu terulur untuk mencubit lengan Ilana yang langsung meringis kesakitan.
“Kalau kamu begini terus, kamu akan ada diperingkat tiga saat akhir semester.” Helen menatap Ilana yang masih menunduk. Sebelah tangan gadis itu terlihat mengusap sisi lengan yang baru saja ia cubit. Tapi ia sama sekali tidak menyesal. Ilana harus diajarkan untuk tak mengalah pada siapapun dan selalu jadi yang pertama. Ia ingin anak itu ada di posisi pertama dalam semua tugas. Ia ingin gadis itu menjadi yang terbaik di sekolahnya.
Sebelah tangan Helen kembali terulur untuk mencubit lengan Ilana yang langsung meringis kesakitan, “dengar Ilana, kalau kamu ada diposisi ketiga lagi di tugas dan ujian lain, mama tidak akan tinggal diam.”
Helen berdiri dan pergi dari ruangan itu, membiarkan Ilana yang masih menunduk dan tengah sekuat tenaga menahan tangisnya.
Dibalik tembok, sepasang mata memperhatikannya. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah itu selama bertahun-tahun kerap ikut sedih kala melihat bagaimana bosnya memperlakukan anaknya. Baginya wanita itu terlalu ringan tangan terhadap anaknya. Wanita itu selalu menekan anaknya untuk menjadi yang pertama dan sesuai dengan keinginannya. Wanita itu selalu merasa kurang dengan apa yang sudah diraih oleh anaknya.
Wanita paruh baya itu sedih karena tidak bisa berbuat apapun. Ilana selalu mengurung diri. Gadis selalu menghabiskan waktunya di kamar untuk belajar. Gadis itu tidak punya teman dan terkurung dalan dinding invisble yang tidak bisa ditembus oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Gadis itu mungkin terlihat angkuh dan dingin. Namun ia tahu bahwa gadis itu rapuh. Ia tidak ingin orang tahu kehidupannya. Gadis itu tak suka dikasihani.
TBC
LalunaKia