CHAPTER SEPULUH

2016 Words
Nadine sedang mengerjakan tugas di kamarnya saat pintunya diketuk pelan. Ia menengadah dan melihat wajah ibunya menyembul dibalik pintunya. “Masuk, Ma.” Nadine melihat wanita itu membuka lebih lebar pintu kamarnya dan masuk. Wanita itu duduk di depannya. Dipisahkan oleh meja lipat yang ia gunakan untuk belajar dengan buku-buku yang terserak di atasnya. “Gimana sekolah kamu?” Mila bertanya pada anaknya. “Baik.” jawab Nadine sambil tersenyum. Ia ingin memerlihatkan pada ibunya jika ia baik-baik saja. Ia tidak ingin memberitahu ibunya bahwa kehidupannya di sekolah sangat buruk. Ibunya tidak perlu tahu hal-hal itu. Ibunya sudah terlalu sibuk mencari uang dan ia tidak ingin menambah beban wanita itu. “Kamu ikul les lagi, ya? kamu kan sebentar lagi ujian.” kata Ibunya, “tapi Mama nggak bisa masukin ke tempat les kamu yang dulu. Kita cari yang sedikit lebih murah.” Nadine menelan ludah. Ia menatap wajah ibunya yang raut kelelahannya tidak bisa lagi disembunyikan. Ia memutar kembali memorinya terhadap sosok ibunya. Dulu ibunya selalu berpakain rapi, dan memakai makeup tipis meski hanya di rumah. Kulit wajah wanita itu selalu terawat. Tubuhnya selalu wangi. Wajah wanita itu cerah dan bersinar. Kini wajah ibunya terlihat kusam, bajunya lusuh karena seharian berada di dapur untuk membuat kue. Rambutnya terlihat lepek. Tapi bagi Nadine wanita itu tidak berubah. Di matanya wanita itu tetap terlihat cantik dan lembut. “Nggak usah, Ma. Lebih baik uangnya kita simpan. Nadine bisa belajar sendiri kok.” kata Nadine. Tak peduli bahwa tawaran itu terlihat sangat menggiurkan setelah Joseph merebut posisinya dalam tugas esai itu. Tapi, ia tidak bisa lagi egois dan meminta semua keinginannya dipenuhi. Mereka harus fokus untuk hidup mereka sehari-hari. “Nggak apa-apa, Nadine.” kata Mila. “jadi, tadi ada yang nawarin kerjaan buat Mama. Dia pembantu rumah tangga di salah satu rumah di komplek di seberang jalan. Dia bilang dia mau pulang kampung selama beberapa waktu. Ibu diminta gantiin dia.” Cerita wanita itu membuat hati Nadine terasa nyeri. Dulu, ibunya tidak pernah memegang pekerjaan rumah tangga selain memasak. Kini mengerjakan semuanya seorang diri saja pasti sulit, sekarang ibunya malah mau menjadi asisten rumah tangga. Nadin menggeleng pelan, tidak menyetujui keinginan ibunya. Ibunya sudah membuat kue seharian untuk dijual, bagaimana wanita itu punya waktu untuk bekerja di tempat lain. “Mama kan udah seharian jual kue. Kadang bikin kue juga sampai malam.” “Mama ke rumah itu cuma dari sore sampai malam. Jadi, toko ibu tutup sore, baru Mama ke sana. Bayarannya lumayan, makanya Mama mau.” Nadine tidak mengerti kenapa dalam pandangannya, wajah wanita itu tampak berbinar dan terlihat benar-benar senang. Buncahan senang yang entah kenapa mengundang sesak di hati Nadine. “Mama mau kita hidup lebih baik.” katanya lagi yang membuat Nadine tidak bisa melakukan apapun selain memberikan persetujuan. “Oke, tapi Nadine nggak mau ikut les lagi. Uangnya lebih baik kita simpan.” Mila akhirnya mengangguk pelan, lalu berkata, “besok pagi Mama mau ketemu yang punya rumah buat interview.” Dengan berat hati gadis itu mengangguk, “Nanti Nadine bantu, ya.” katanya. Ia pikir ia tidak bisa egois hanya dengan memikirkan sekolahnya saja, sedang ibunya membanting tulang untuk mencari uang demi menyambung hidup. “Kamu fokus sekolah aja. Biar ibu yang cari uang.” Wanita itu maju sedikit dan memeluk anak semata wayangnya. Nadine membalas pelukan itu dengan tak kalah erat sambil mati-matian menahan tangisnya. Ia tidak boleh menangis. Ibunya telah berusaha tegar di depannya. Ia tidak akan menghancurkan hati wanita itu dengan menangis di depannya. “Permisi…” suara itu terdengar dari dari bawah. Mila langsung mengurai pelukannya dan turun ke lantai satu untuk melayani pembeli yang baru saja datang. Nadine menghela napas panjang. Ia menatap jendela kamarnya dan menyadari bahwa hujan rintik-rintik masih turun. Hujan itu sudah turun sejak tiga jam yang lalu. Biasanya ia lebih suka pergi ke perpustakaan umum untuk mengerjakan tugas atau belajar. Di tempat itu jelas lebih nyaman dibanding kamarnya yang sempit dan lembab. Namun hujan menahannya kali ini. *** Emma menatap piring laki-laki di depannya. Piring laki-laki itu berisi pasta yang sangat mengunggah selera. Berbanding terbalik dengan piringnya yang hanya berisi salad sayur. Emma bahkan menelan ludah saking tergiurnya dengan isi piring Axel. Axel sudah mengambil garpu dan sendoknya saat ia menegur Emma yang terdiam. Emma akhirnya mengikuti gerakan laki-laki itu dan memulai makannya. Ia mengunyah sayuran itu meski rasanya ia sudah muak dengan itu. Ia bahkan sudah tidak bsia merasakan rasa asli sayuran itu karena ia memakannya hampir setiap hari. Semua sayuran yang masuk ke tenggorokkannya terasa seperti pasir. Namun ia tidak punya pilihan lain. Sayuran-sayuran itu adalah satu-satunya pilihannya jika ia tidak ingin kelaparan. “Enak kan? Benar kata teman aku.” kata laki-laki itu. Emma mengangguk kecil. Mereka datang ke restoran yang baru buka beberapa minggu yang lalu karena rekomendasi teman laki-laki itu. Namun tidak peduli mereka pergi ke restoran manapun, dan rasanya seenak apapun, Emma hanya akan makan semua yang berbentuk sayur. Axel tidak mengijinkan ia makan selain sayur. Meski kadang laki-laki itu berbaik hati memberikan karbohidrat dan sedikit protein hewani padanya. Namun itu jarang sekali. Pria itu hanya ingin ia menjaga berat badannya dan tidak bertambah meski hanya satu ons. Emma sebenarnya sudah terbiasa. Ia sudah melakukannya sejak bertemu dengan Axel. Tapi, kadang ia masih merasa iri pada perempuan-perempuan yang bisa makan apapun yang mereka inginkan tanpa memikirkan berat badan. Ia kadang berpikir ingin seperti mereka. Namun akhirnya ia tersadar bahwa itu hanya keinginan sesaatnya. Ia menyukai hidupnya yang sekarang. Ia kini cantik, disukai banyak orang, punya banyak teman. Ia berpikir bahwa hidupnya yang sekarang lebih baik dan memang membutuhkan pengorbanan. Ini adalah pengorbanan yang ia lakukan demi hidupnya yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Mereka makan dalam diam. Tak banyak yang bisa mereka ceritakan karena mereka sudah banyak bercerita sebelum makanan disajikan di atas meja. Kini mereka berdua fokus dengan isi piring masing-masing. *** Ilana menatap jalanan yang basah di depan. Hujan masih turun meski intesitasnya sudah berkurang. Ia duduk di kedai kopi yang ada di samping tempat bimbingan belajarnya. Saat-saat seperti ini adalah saat di mana ia merasa bisa sedikit tenang. Ia selalu menyukai waktu di sela-sela menunggu supir jemputannya. Karena waktu itu bisa ia nikmati dengan baik, karena ia tahu setelah ia kembali ke rumah, hidupnya bukan miliknya lagi. Ia mengambil cup di atas meja dengan sebelah tangannya dan menyesapnya pelan. Rasa hangat langsung menjalari tenggorokkannya. Matanya masih menatap orang yang berlalu lalang dengan payung di trotoar melalui dinding kaca di sebelahnya. “Boleh aku duduk di sini?” Suara itu membuat Ilana menengadah dan menatap Joseph yang sudah berdiri di samping mejanya. Ia memindai sekeliling dan menyadari bahwa semua meja penuh terisi. Hujan sepertinya membuat kedai kopi itu mendadak ramai karena bisa dibuat berteduh. Ilana tidak menjawab, Joseph memutuskan untuk mengartikan itu sebagai iya. Ia menjatuhkan bobotnya di kursi yang ada di depan gadis itu. Ia menyesap kopi hangatnya dan mengikuti arah pandang gadis itu. Ke trotoar yang basah, genangan air di beberapa sisi jalan. Joseph tahu gadis itu tidak akan bicara jadi ia memutuskan untuk diam. Ia akan menghargai gadis itu dan berlaku seolah mereka tidak kenal satu sama lain. Setelah puas memandang jalanan, ia menatap laki-laki di depannya. Laki-laki dengan kulit putih pucat dan rambut pirang. Bola mata sebiru safirnya tampak sangat mencolok. Ia tahu bahwa tidak hanya dirinya yang kelimpungan akibat keberadaan Joseph, ia yakin Nadine juga sama bingungnya sepertinya. Ia terlalu meremehkan laki-laki itu. Ia sama sekali tidak tahu latar belakang Joseph sehingga ia lengah dan membiarkan laki-laki itu mendapatkan posisi pertama dalam tugas esai kemarin. “Kamu pindahan dari mana?” Ilana akhirnya bertanya karena penasaran. Joseph menoleh dan menatap Ilana yang sedang menatapnya. Meski terdengar cukup ramah, namun ia bisa melihat bahwa tatapan gadis itu masih saja sinis dan mengandung kebencian. “Aku sebelumnya home schooling.” Joseph menjawab. Ia menatap Ilana yang tidak berbicara lagi. Gadis itu kembali pada cup dan pemandangan jalanan. Kali ini gantian Joseph yang menatap gadis di depannya. Gadis itu berkulit putih dengan rambut yang panjangnya melewati bahu. Gadis itu memakai jam tangan mewah di pergelangan tangannya. Joseph baru saja hendak mengalihkan pandangannya saat melihat luka memar di lengan gadis itu. Memar itu sepertinya cukup besar dan sebagian terlihat karena tidak tertutupi lengan kaos. “Lenganmu kenapa?” Pertanyaan itu keluar dengan sendirinya. Dan Joseph menyesal. Ia sudah memutuskan untuk tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Terutama Ilana yang baginya sama sekali tidak bersahabat. Sikap gadis itu sudah cukup membuatnya yakin bahwa gadis itu sama sekali tidak ingin berteman dengannya. Ilana mengikuti arah pandang Joseph dan menarik sedikit lengan kaosnya yang sedikit tersingkap, hingga luka itu benar-benar tertutup. Ia tidak memberikan jawaban. Ia menatap Joseph sekilas lalu kembali pada kegiatannya, menatap rintik hujan. Ini bukan lebam pertama yang ia dapatkan, namun semenjak ia kehilangan kakaknya, luka-luka seperti ini lebih sering mampir di tubuhnya. Semua obsesi ibunya kini dilimpahkan padanya karena ia satu-satunya yang tersisa. Ilana telah mencoba untuk menerima semuanya meski rasa sakit pada fisiknya jelas selalu terasa. Namun ia tidak mengerti kenapa dirinya selalu salah di mata ibunya dan ibunya tidak pernah puas. Joseph masih menatap lengan gadis itu. Memar itu sangat mencolok dikulit putihnya. Ia tidak bisa mencegah otaknya berpikir mengenai apa yang terjadi dengan gadis itu. Namun ia akhirnya menggeleng pelan. Ia tidak akan membuang-buang waktunya untuk memikirkan sesuatu yang sama sekali bukan urusannya. Ia kembali ke jalanan dan melihat sebuah mobil mewah berhenti di samping trotoar. Bersamaan dengan itu, ia melihat Ilana mengambil ransel dari kursi di sebelahnya dan menyantelkan talinya ke sebelah punggungnya. Tanpa salam ataupun aba-aba lainnya, gadis itu pergi meninggalkan meja, Joseph melihat gadis itu melewati trotoar lalu menghilang dibalik pintu mobil mewahnya. Joseph berdecak saat menyadari bahwa gadis itu sepertinya benar-benar tidak menganggapnya ada meski sejak tadi mereka duduk berhadapan. Atau gadis itu memang menganggapnya hanya orang asing. Sebuah mobil kembali berhenti di samping trotoar. Joseph berdiri dan baru saja hendak meninggalkan meja saat melihat sebuah buku di kursi di samping tempat duduk Ilana sebelumnya. Ia mengambil buku dan menyadari bahwa itu buku fisika. Joseph berpikir, haruskan ia membawanya dan mengembalikannya esok? Atau membiarkannya di sana. Setelah berpikir, ia akhirnya memutuskan untuk membawa buku itu. Ia jelas tidak mungkin membiarkan buku itu tertinggal di sana sedangkan besok ia pasti bertemu gadis itu. Ia menenteng buku itu dan keluar dari kedai lalu masuk ke mobilnya. Keempat roda mobil itu berputar dan membawanya ke kediamannya. *** Joseph baru saja menyelesaikan tugas matematikanya. Ia mengangkat kedua tangannya dan merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Kepalanya menoleh untuk menatap jam dinding di ruangan itu, sudah hampir jam sepuluh malam. Ia baru saja hendak branjak saat melihat buku milik Ilana di ujung mejanya. Perlahan sebelah tangannya terulur untuk mengambil benda itu. Ia membuka lembar pertama dan melihat nama gadis itu tertulis di pojok bagian kanan atas lembar itu. Joseph membacanya pelan. Ilana Cathrine S. Tangannya kembali membuka lembaran buku itu lebih cepat, sampai akhirnya ia menemukan sebuah catatan di tengah halaman. Post it berwarna kuning itu tertempel pada halaman tiga puluh dan bertuliskan, bertahanlah Ilana. Aku akan membawamu keluar dari rumah secepatnya. Dahi Joseph berkerut membaca pesan itu. Otaknya langsung berpikir bahwa pesan itu berasal dari kekasih gadis itu. “Apa dia berniat kabur dari rumah?” Joseph bertanya pada dirinya sendiri. Ia tidak berhenti di sana. Ia kembali membuka lembar demi lembar hingga menemukan pesan kedua. Jangan menangis. Aku tidak apa-apa. Joseph yang semakin penasaran kembali membalik lembar demi lembar hanya untuk mendapat lebih lagi catatan di buku itu. Beberapa tertulis, Aku lelah Ilana. Aku ingin mati, tapi aku tidak ingin meninggalkanmu. Berjanjilah untuk terus hidup. Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku membenci diriku sendiri. Dan sederet pesan penuh luka lainnya yang entah kenapa membuat hati Joseph terasa nyeri. Ia memutuskan untuk menutup buku itu dan berhenti karena ia tahu tidak akan ada yang bisa memuaskan rasa penasarannya. Ia tidak akan pernah mendapat jawaban kenapa catatan seperti itu ada di buku Ilana dan siapa yang menulis catatan itu. Juga karena ia tahu bahwa ia tidak seharusnya mencampuri urusan orang lain. Ia memasukkan buku itu ke dalam tas dan akan mengembalikannya pada pemiliknya besok. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD