Keenan menendang seseorang yang ada di depannya hingga laki-laki itu jatuh tersungkur.
“Kamu pikir bisa lepas begitu saja.” Keenan mengatakan itu sambil mendekat. Ia sedikit berjongkok dan mengambil dagu laki-laki itu agar menatap ke arahnya. Wajah laki-laki itu sudah serupa kapas. Bibirnya bergetar. Ia ketakutan.
“Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menganggu Nadine?” kata Keenan lagi.
“Ampun…” hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Ia adalah orang yang menempel berita kematian ayah Nadine di papan pengumuman. Ia bahkan perlu berpikir ratusan kali untuk melakukan itu hingga akhirnya memberanikan diri. Ia telah mempersiapkan diri dengan matang. Ia datang lebih pagi demi menempelkan potongan-potongan berita itu di papan pengumuman. Ia pikir ia sudah cukup berhati-hati. Namun ternyata masih ada yang melihatnya dan kini Keenan mendapatkannya.
Ia tidak pernah ingin berurusan dengan Keenan. Dalam mimpinyapun tidak. Namun kini ia tahu bahwa Keenan tidak akan melepaskan siapapun yang mengganggu Nadine dan ia menyesal.
Keenan mengayunkan sebelah tangannya dan meninju wajah di depannya. Laki-laki itu meringis dan meraba pipi sebelah kanannya.
“Ampun… aku menyesal.” kata laki-laki itu. Ia serius dengan kata-katanya. Ia menyesal. Ia seharusnya bisa menahan diri. Ia seharusnya tidak bersikpa impulsif hanya karena tak suka terhadap Nadine. Ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan Keenan sampai akhir sekolah.
Laki-laki itu berlutut di depan Keenan. Ia menundukkan kepala. Sangat berharap jika laki-laki itu mau memaafkannya dan melupakan semuanya. “aku janji tidak akan mengganggu Nadine lagi.” kata laki-laki itu dengan nada memohon.
“Kamu seharusnya berpikir dulu sebelum melakukan itu.” Keenan kembali berdiri dan menaruh sebelah kakinya pada bahu laki-laki di depannya dan sedikit mendorongnya hingga laki-laki itu terlentang di tanah. Ia bisa melihat bekas sepatunya tercetak pada seragam putih laki-laki itu. Ia mendekat dan menginjak sebelah bahu laki-laki itu dengan sebelah kakinya. Ia menekannya hingga melihat laki-laki itu meringis kesakitan.
Keenan menoleh pada temannya yang langsung mendekat. Sebelah tangannya mengambil satu botol saus dan botol kecap yang diberikan temannya. Keenan tersenyum sinis lalu menumpahkan isi botol saus pada seragam laki-laki itu hingga seragam putihnya kini berwarna merah di berbagai sisi. Jerry, laki-laki itu hanya diam. Ia tahu ia tidak bisa melakukan apapun untuk lepas dari Keenan. Keenan tidak akan pernah melepaskan sebelum dirinya puas.
Selesai dengan botol sausnya, Keenan membuka botol kecap dan menuangkannya ke rambut Jery. Rambut laki-laki itu seketika terlihat lengket. Ia juga menuangkan sedikit sisanya ke dahi laki-laki yang langsung memejamkan matanya.
***
“Bukannya kamu seharusnya berterima kasih?” Joseph mensejajari langkahnya dengan langkah Nadine yang lebar-lebar. Nadine tampak tak terpengaruh oleh kalimat yang keluar dari mulut Joseph.
“Untuk apa?” Nadine balik bertanya. Masih belum menoleh dan tetap pada langkahnya.
“Aku menyelamatkanmu dari satu tamparan.” jawab Joseph, mengingatkan gadis itu apa yang sudah ia lakukan.
Nadine menghela napas kasar lalu menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap Joseph tepat ke manik matanya. “Aku tidak pernah minta bantuanmu.” kata Nadine dengan nada dingin. “dan aku minta jangan pernah campuri urusanku.” Tambahnya.
Joseph tersenyum sinis saat Nadine sudah kembali berjalan. Ia kembali melangkah lebar-lebar demi mensejajarkan langkahnya. “kalau kamu bisa membela diri, aku tidak akan mencampuri urusanmu.” ujar Joseph.
“Apapun yang terjadi denganku, itu urusanku.” kata Nadine saat ia masuk ke dalam kelas. Ia masih berjalan dan berusaha mengacuhkan Joseph yang berjalan di sebelahnya.
Joseph kehilangan kata-kata. Ia tahu bahwa percuma berdebat dengan gadis itu. Ia menghampiri mejanya dan melihat potongan koran yang kemarin ada di papan pengumuman kini berpindah di meja Nadine. Ia melihat Nadine masih berdiri di samping mejanya dan menatap potongan koran itu.
Joseph bisa melihat gadis itu menghela napas kasar lalu mengambil potongan koran itu dalam satu jangkuannya dan membuang ke tempat sampah yang ada di bekalang. Joseph sudah duduk di mejanya saat Nadine kembali dan menjatuhkan tubuh di kursi sebelahnya.
Nadine baru saja mengeluarkan buku untuk pelajaran pertama saat melihat beberapa orang masuk ke kelasnya dengan rusuh. Semua mata langsung menghujam ke orang yang baru masuk ke dalam kelas.
Nadine melihat Keenan dan dua temannya masuk, mereka tak hanya bertiga, sebelah tangan Keenan memegang kerah bagian belakang seseorang dan setengah menyeretnya hingga akhirnya menjatuhkan Jery di depan Nadine.
Nadine berdiri. Ia menatap Jery yang berjongkok di depannya. Keadaan laki-laki itu mengenaskan. Seragam putihnya bernoda merah, sedangkan rambutnya terlihat lengket dan wajahnya kotor entah karena apa.
“Ada apa ini?” tanya Nadine dengan nada kebingungan. Ia menatap ke arah Keenan seraya meminta penjelasan.
“Dia menyebar berita kematian ayahmu Nadine. Bukannya berduka, si b******k ini malah sibuk mengumpulkan berita di koran dan memajangnya di papan pengumuman kemarin.” jelas Keenan.
Nadine menghela napas. Tatapannya kembali pada Jery yang menunduk di depannya.
“Jery, pergilah.” kata Nadine. Ia melihat Jery menangadah dan menatapnya dengan tatapan berterima kasih.
Jery sudah hendak berdiri saat Keenan berkata, “Jangan.” Keenan sepertinya tidak ingin melepaskan korbannya begitu saja. Ia rasanya belum puas mengerjai laki-laki itu.
“Jery. Pergi dari sini.” kata Nadine lagi.
Jery berjalan, baru dua langkah ia kembali mendengar suara Keenan, “kalau kamu berani pergi, aku akan memastikan sebelah kakimu patah.”
Jery kembali berhenti. Ia sudah pasrah. Ia menyadari bahwa semua orang di kelas itu menghujam ke arahnya. Semua orang hanya menatapnya dengan tatapan kasihan. Tidak ada yang berani menolongnya karena tidak pernah ada orang gila yang mau berurusan dengan Keenan. Mereka jelas lebih ingin menyalamatkan diri sendiri.
“Biarkan dia pergi.” Kali ini Nadine menatap Keenan yang tersenyum.
“Aku hanya memberi sedikit pelajaran padanya karena dia main-main denganmu, Nadine. Aku ingin dia menunjukkan rasa penyesalan dan rasa dukanya untuk ayahmu.” ujar Keenan.
Nadine menghela napas berat, “aku tidak peduli apa yang dia lakukan. Jadi biarkan dia pergi.”
Keenan menggeleng pelan, “Jery, minta maaf pada Nadine.” perintah Keenan.
Nadine berdecak. Ia tahu bahwa Keenan sama sekali tidak bisa ditentang.
“Maafkan aku.” kata Jery dengan nada lirih.
Gadis itu tidak membalas pernyataan maaf Jery, namun malah berkata, “sudah, cepat pergi.”
“Tunggu dulu.” kata Keenan tepat saat Jery membalik badan. Ia mendorong bahu laki-laki itu untuk memintanya kembali membalik badan. “berlutut dan cium kakinya.” tambahnya.
“Tidak perlu.” kata Nadine dengan nada menyentak. Baginya ini sudah keterlaluan. Ia bahkan tidak memerlukan permintaan maaf Jery, apalagi perlakukan seperti itu.
“Berlutut dan cium kakinya, atau kupatahkan kakimu.”
Jery langsung berlutut di depan Nadine. Ia sudah terlalu lelah. Ia ingin mengakhiri ini secepatnya.
Nadine baru saja hendak menyentak saat melihat Jery sudah berlutut di depannya, menunduk dan berkata dengan lirih, “maafkan aku, Nadine. Aku menyesal.” Dan ujung bibir laki-laki itu menyentuh ujung sepatu Nadine.
Joseph sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Di mana harga diri laki-laki itu. Mau saja diminta berlutut seperti itu. Katanya pada diri sendiri. Oke, laki-laki itu memang salah, namun jelas tidak harus sampai seperti itu.
Tidak hanya Jery yang angkat kaki dari sana, tapi juga dua teman Keenan. Orang-orang di sekeliling mereka juga mulai kembali pada orientasinya. Semua orang secara tidak langsung memberi privasi pada Nadine dan Keenan.
“Aku hanya mencoba membelamu.” Keenan memberi penjelasan. Ia lalu bilang pada Nadine bahwa Jery pantas mendapatkannya.
“Aku sudah bilang bahwa aku sama sekali tidak butuh pembelaanmu, Keenan. Sungguh.” Nada suara Nadine terdengar putus asa. Ia sepertinya sudah mengatakan itu berulang kali dan berharap kali ini Keenan akan mengerti.
“Tapi…”
“Tidak ada tapi-tapian.” potong Nadine langsung. “aku mohon biarkan aku hidup seperti biasa. Apa yang kamu lakukan malah membuat mereka makin membenciku.” Nadine menghela napas kasar. Ia hanya ingin hidup damai. Kenapa rasanya sulit sekali.
“I’ll take care of it. Kamu hanya perlu dekat denganmu dan popularitasmu akan kembali. Bukankah bagus. Kamu tidak perlu hidup dibawah tekanan orang yang membencimu.” papar Keenan. Ia berusaha meyakinkan gadis di depannya bahwa tawaran yang ia berikan sangat menggiurkan. Gadis itu seharusnya tidak perlu berpikir untuk menerimanya.
Nadine tersenyum getir. Keenan bahkan bisa tahu bagaimana hidupnya. Apa memang begitu terlihat menyedihkan.
Nadine menggeleng pelan. “aku hanya ingin hidup seperti biasa, Keenan. Biarkan aku menjalaninya sendiri. Aku mohon jauhi aku.”
Rahang Keenan menegang seketika. Penolakan lagi. Ini memang bukan yang pertama kali. Namun rasanya tetap menyakitkan. “tolong pikirkan lagi. Aku akan memberi waktu sebanyak yang kamu butuhkan.”
Nadine menggeleng lagi. Ia telah memikirkan itu dan yakin dengan keuputusannya. Kesalahannya sudah terlalu banyak dan ia tidak ingin bersembunyi dibalik punggung laki-laki itu. Kini, ia akan menghadapi hidupnya. Ia akan menerima semua yang pantas ia dapatkan. Bersembunyi dibalik punggung Keenan hanya akan membuatnya terlihat seperti pengecut dan ia tidak suka.
***
Suasana kelas itu sunyi. Semua anak sibuk dengan alat tulis dan lembar kerja di atas meja masing-masing. Mereka sedang mengerjakan ujian ekonomi. Seorang guru wanita duduk di mejanya dan terlihat mengawasi anak muridnya. Sesekali ia jalan berkeliling kelas.
Joseph tidak pernah kesulitan dalam pelajaran. Ia termasuk anak yang mudah memahami materi. Saat sekolah dasar, ia selalu ada di peringkat satu, bahkan saat menjalani homeschooling, kemampuan belajarnya sama sekali tidak berkurang.
Joseph adalah murid yang pertama kali menyelesaikan deretan soal-soal itu. Semua mata langsung mengarah padanya saat ia berjalan ke depan kelas dan menyerahkan hasil ujiannya. Biasanya murid yang selalu jadi yang pertama kali menyelesaikan soal ujian kalau tidak Nadine, ya Ilana. Mereka berdua yang paling menonjol di kelas itu dan tampak tak pernah kesulitan dengan semua mata pelajaran.
Mata Ilana menatap Joseph yang menyerahkan kertas ujiannya dengan tenang dan percaya diri. Ia menatap sosok itu melewati mejanya hingga sosoknya menghilang di balik pintu.
Ilana menatap lembaran jawabannya dan terdiam sebentar. Entah kenapa perasaan tak enak menyeruak. Ia tiba-tiba gelisah. Ia lalu sedikit menoleh dan melihat Nadine yang masih fokus pada lembar kerjanya.
Gadis itu menghela napas berat lalu kembali pada kertas di depannya. Ia mengembalikan semua fokusnya pada soal terakhir. Tidak ada yang boleh memecah konsentrasinya. Ia telah bertekad bahwa ia akan segera mengejar ketertinggalannya. Ini adalah tahun terakhirnya di sekolah menengah atas dan ia bertekad untuk menggeser posisi Nadine. Ia tidak bisa terus menerus jadi yang kedua.
TBC
LalunaKia