CHAPTER LIMA

2111 Words
Seperti dugaan Nadine, selama satu hari kemarin, wajahnya dan wajahnya ibunya terpampang di berbagai berita di televisi nasional ataupun swasta. Semua stasiun televisi memberitakan kematian ayahnya yang mengenaskan. Semua stasiun televisi menjual kesedihannya dan juga ibunya demi meraup keuntungan. Semua berita berlomba-lomba untuk membuat narasi menyedihkan demi menjual berita. Nadine tidak heran, sejak ayahnya dijadikan tersangka korupsi, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah tenang lagi. Saat itu, wartawan selalu mengikuti ke manapun ia pergi. Nadine mendadak kehilangan privasinya. Wartawan itu menunggu di depan rumahnya, juga di depan sekolahnya. Bahkan saat ayahnya resmi dijadikan terdakwa, semua asetnya disita dan ia pindah ke ruko kecil tempatnya kini tinggal, wartawan masih sering terlihat di depan rumahnya. Menunggu keluar dari rumah. Mengerubunginya saat ia berjalan menuju sekolahnya. Sejak saat itu, Nadine tak punya lagi tempat untuk bersembunyi. Semua wartawan itu bisa dengan mudah menemukannya. Ruko kecilnya ada di pinggir jalan, tepat di depan sebuah komplek mewah. Sampai tadi malam, ia masih melihat beberapa wartawan ada di depan rukonya dan mengambil beberapa gambar. Namun hidup tetap harus berjalan. Saat Nadine melihat ibunya sudah kembali membuat kue, ia tahu bahwa mereka bahkan tidak bisa punya waktu untuk berduka terlalu lama. Ibunya harus kembali mencari uang agar mereka bisa melanjutkan hidup. Ibunya mati-matian meredam perasaan sedihnya agar terlihat tegar. Nadine tahu seberapa besar ibunya mencintai ayahnya. Meski ayahnya telah melakukan kesalahan yang membuat mereka berdua kini kesusahan, ibunya sama sekali tidak pernah membenci ayahnya, atau bahkan hanya sekadar kesal. Wanita itu masih begitu sering memberitahu Nadine bagaimana ia mencintai suaminya. Kejadian mendadak ini jelas membuat wanita itu sangat terpuruk. Nadine tahu karena mendengar ibunya menangis diam-diam semalaman. Wanita itu selalu mengatakan padanya agar jangan bersedih berlarut-larut karena ia harus kembali fokus pada sekolahnya. Tapi ibunya menanggung semua kesedihannya sendiri. Seharusnya mereka menangis berdua dan saling menguatkan, namun mereka tidak bisa melakukan itu. Sekali lagi, hidup harus terus berjalan. Waktu tidak akan berhenti dan menunggu luka mereka sembuh. Mereka harus ikut bergerak seiring putaran waktu. Tidak ada yang boleh menyia-nyiakan waktu hanya untuk menangisi sosok ayahnya yang kini sudah tiada. “I gotta go.” Nadine mengatakan itu sambil menuruni tangga dengan cepat. Memberitahu ibunya bahwa ia sudah terlambat. Nadine masih dalam tahap menyesuaikan diri. Dan setelah tiga bulan lamanya, ia masih tak mengerti kenapa ia belum juga bisa membiasakan diri. Ia yang terbiasa tidur di ranjang yang empuk dengan ukuran besar, kini ia harus puas dengan kasur kecil dan keras di kamarnya. Nadine tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak jika ia tidak benar-benar kelelahan, sehingga ia lebih sering bangun kesiangan. Sedangkan sekarang, ia harus menggunakan transportasi umum untuk pergi ke sekolah dan itu jelas memakan waktu lebih lama dari pada dengan mobil pribadi. “Sarapan dulu.” Mila mengatakan itu saat anak semata wayangnya sampai di anak tangga terakhir. Ia melirik nasi goreng di atas meja makan kecilnya. Nadine mengikuti arah pandangan ibunya lalu melirik jam analog di pergelangan tangannya. Ia akhirnya mengangguk lalu mendekati meja makan kecilnya. Ia tahu bahwa ibunya sudah meluangkan waktu untuk membuatkannya sarapan di sela-sela kegiatannya membuat kue. Paling tidak, ia harus menghargai usaha ibunya. *** Nadine berjalan seperti biasa melewati koridor sekolahnya. Ia meneggakkan wajahnya, tidak peduli tatapan mencemooh ataupun bisik-bisik yang menggelitik telinganya. Ia tidak terlalu mendengar, dan sepertinya ia memang tidak ingin mendengar. Ia sudah cukup muak mendengar semua kata-kata sampah yang keluar dari mulut mereka. Atau mungkin ia tidak ingin mendengar apa yang dulu pernah ia katakan pada mereka, dan itu berarti kata-katanya dulu juga sampah. Ia menggigit bibirnya saat merasakan nyeri. Seperti ada benda begitu besar yang menghantam dadanya. Ia tahu semua yang pernah ia lakukan keterlaluan. Dulu ia mengira bahwa kekayaannya akan abadi. Padahal roda kehidupan selalu berputar. Ia menatap tiga orang gadis yang tengah mengobrol tepat di depan lokernya. Ia menghela napas dan terus berjalan. “permisi.” kata Nadine. Ia melihat gadis di depannya melipat kedua tangannya di depan d**a dan tersenyum, lalu menatapnya dari atas sampai bawah seakan Nadine adalah sosok yang baru dilihatnya. Tatapan gadis itu serasa menelanjanginya. Nadine tidak mengenal gadis itu. Namun dari bias kebencian yang tersirat dari tatapan gadis itu, ia bisa menebak bahwa gadis itu adalah salah satu orang yang pernah menjadi korban kesombongannya. Tatapan gadis itu berakhir tepat ke manik mata Nadine. Bias kebencian itu semakin kental. “aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu.” kata gadis itu. Ucapan bela sungkawa itu terdengar seperti cemoohan di telinga Nadine. Ia tahu bahwa gadis di depannya tidak benar-benar menguapkan bela sungkawa, dan ia memang tidak membutuhkan itu. Ia tidak membutuhkan ucapan-ucapan semacam itu. Ia hanya mendengus dan menatap gadis di depannya dengan tatapan dingin. Ia masih dalam keadaan berduka, tidak biasakah hidupnya tenang untuk hari ini saja. “Aku perlu ke lokerku.” kata Nadine. Ia tidak ingin membuang waktu atau berbasa-basi. Ia melihat kedua mata gadis di depannya melebar. Gadis yang berdiri di depannya, yang terlihat lebih dominan dan sejak tadi berbicara padanya tampak tak suka mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. “Sudah seperti ini, kamu masih saja sombong.” Gadis itu menatap Nadine dengan tatapan mencemooh. Nadine menelan ludah. Ia menyadari bahwa tangannya mulai berkeringat. Ia sepertinya sudah memiliki bayangan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Ini bukan yang pertama kali, dan hatinya selalu sakit jika ia membayangkan apa yang terjadi dalam perjalanan hidupnya. Ada terlalu banyak hal yang luput dalam ingatannya selama perjalanannya di sekolah ini. Ia selalu hidup untuk hari ini dan tidak pernah berpikir lagi apa yang terjadi kemarin. Ia tidak pernah menyadari bahwa ia telah meninggalkan banyak luka kepada orang-orang. Luka yang setelah sekian lama akhirnya perlahan menguak dan membuatnya menyadari orang seperti apakah ia selama ini. “Kamu harusnya tahu… bahwa semua yang terjadi pada keluargamu adalah akibat kesombonganmu, Nadine.” Kalimat yang keluar dari mulut gadis itu terasa menohok Nadine, tepat ke ulu hatinya. Orang-orang di sekitar sudah menghujam keduanya. Mereka jelas tidak ingin kehilangan tontonan menarik di depan mata mereka. “Kebangkrutanmu, juga kematian ayahmu, adalah doa dari semua orang yang pernah kamu sakiti.” Gadis itu tersenyum sinis. Tidak peduli wajah Nadine sudah pucat pasi dengan kedua tangan terkepal dan gigi gemelukuk menahan amarah. Nadine ingin sekali meninju gadis di depannya dan memberikan pelajaran atas ucapannya. Namun ia tidak ingin terlibat masalah. Kini ia adalah siswa yang bergantung oleh beasiswa. Semua tindak tanduknya sangat diperhatikan. Ia jelas tidak boleh terlibat dengan masalah sekecil apapun. “Kamu ingat siapa aku?” gadis itu maju selangkah. Nadine diam. Karena pada kenyataannya, ia memang tak mengingat gadis itu. “Aku Naomi.” kata gadis itu lagi. Ia memberi waktu untuk Nadine berpikir. Namun Nadine sama sekali tidak memiliki ingatan apapun tentang gadis di depannya. “Tidak ingat juga? Biar aku mengingatkanmu.” *** Naomi sedang duduk menikmati es kopi dalam cupnya di taman sekolah. Matanya menatap lapangan lurus-lurus. Di sana ada ia malihat Keenan sedang memainkan bola oranye dengan teman-temannya. Gadis bibirnya terangkat membentuk senyuman. Ia mengamati tubuh laki-laki itu yang sudah banjir keringat. Kaos putihnya basah dan memperlihatkan otot dibaliknya. “Keenan keren, ya?” Nadine tanpa permisi duduk di sebelah Naomi. Ia ikut memerhatikan sekelompok orang yang tengah memperebutkan bola itu. Naomi memandang bingung ke arah Nadine yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia jelas tidak menginginkan kehadiran gadis itu. “tapi kamu pasti tahu kalau dia anak mami. Dia tidak punya otak. Walau harus kuakui kalau dia sangat tampan.” ujar Nadine. “meski begitu, jelas dia akan lebih memilih gadis yang tepat untuk menjadi pacarnya dan…” Nadine menggantungkan kalimatnya. Ia menoleh dan melihat gadis di sebelahnya dari atas sampai bawah. “sepertinya kamu buka tipenya.” lanjutnya. “Dari yang kulihat, Keenan menyukai gadis-gadis yang memiliki otak. Seperti orang di sana.” Nadine menunjuk ruang perpustakaan. Di mana anak-anak berprestasi suka menghabiskan waktu untuk belajar. Semua orang tahu bagaimana Keenan menyukai Nadine. Laki-laki itu terus menerus mencoba mendekati Nadine meski sampai sekarang tidak pernah membuahkan hasil. Nadine jelas tidak pernah berpikir untu menjalin hubungan, apalagi dengan laki-laki seperti Keenan. “Mak…maksudmu aku tidak berotak?” wajah putih Naoni memerah sedangkan Nadine justru tertawa geli. Semakin membuat amarah Naomi naik ke kepalanya. Sebelah tangannya sudah terkepal sempurna. “Aku tidak bilang seperti itu. Kenapa kamu tersinggung?” Nadine menatap Naomi dengan mata cokelatnya. “lagipula, tidak apa-apa jika kamu tidak berotak. Kamu cukup cantik untuk menjadi boneka porselen.” Sekali lagi, Nadine menatap wajah Naomi yang sudah serupa kepiting rebus. Nadine tersenyum lalu berdiri dan membalik badan. “Kamu pikir kamu berotak, hah?” sentak Naomi saat Nadine mulai berjalan menjauh. Ia tahu ia tidak seharusnya mengatakan itu. Semua orang tahu bagaimana prestasi gadis itu di sekolah. Selain cantik, gadis itu memang pintar dan selalu ada di peringkat pertama. Namun ia jelas sakit hati mendengar semua yang gadis itu katakan. Apakah memang kalimat gadis itu harus semenyakitkan itu. Ia berbeda kelas dengan gadis itu, dan ia tidak pernah berurusan dengan gadis itu sebelumnya. Mereka bahkan tidak pernah bertegur sapa atau sekadar tersenyum saat berpapasan. Itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka hanya satu sekolah dan sama sekali tidak saling mengenal. Ia tidak mengerti mengapa Nadine tiba-tiba menghampirinya, duduk di sebelahnya dan mengatakan semua hal itu padanya. Gadis itu mengatakan itu seakan-akan ia tahu semua hal tentang dirinya. Nadine membalik badannya dan kembali menghampiri Naomi. Ia menatap gadis di depannya dengan tatapan sedingin es. “sejauh ini, belum ada yang bisa menggeserku menjadi siswi paling berprestasi dibidang akademik dan non akademik. Aku pikir kamu cukup sering mendengar namaku disebut sebagai pemenang di kejuaraan-kejuaraan diluar sekolah.” Nadine bisa melihat kilatan gugup dalam wajah Naomi. Bukan hanya kepintaran Nadine, juga wajahnya yang cantik, tapi juga karena Nadine masuk dalam daftar donatur terbesar di sekolah itu. Wajar jika gadis itu paling menonjol di antara siswi lainnya. “Masih perlu bukti kalau aku lebih berotak darimu?” Nadine mengambil cup milik Naomi yang ada di bangku. “kamu harus lebih pintar kalau ayahmu hanya sekelas supervisor. Bukankah kasihan kalau ayahmu membiayaimu begitu mahal dan otakmu tidak juga bertambah pintar.” Tepat saat kata ketakhir terucap dari mulutnya, Nadine mengngkat tangannya dan membiarkan isi cup keluar dari wadahnya dan mengenai sebagai wajah Naomi yang sudah sepucat kapas. *** “Sudah ingat?” tanya Naomi. Bayangan-bayangan itu berputar di otak Nadine seperti roll film. Perlahan ingatan-ingatan kejadian itu memenuhi kepalanya. Iya ingat. Namun ia tidak gentar sama sekali. Semua orang telah menginjak harga dirinya sejak keluarganya bangkrut. Ia tidak ingin mengalah lagi. Ia harus menyelamatkan harga dirinya sendiri, dengan atau tanpa kekayaan yang ia punya. Ia tahu semua yang telah ia lakukan sangat keterlaluan. Dan ia sama sekali tidak ingin mencari masalah. Namun jelas orang lain tidak berpikiran seperti itu. Ini adalah saat yang tepat untuk membalaskan dendam mereka dan ia harus menerimanya. “Aku ingin kamu berlutut dan meminta maaf.” kata Naomi. Ia hanya perlu Nadine berlutut dan meminta maaf padanya dan ia tidak akan menganggu gadis itu lagi. “Aku menyesal.” Hanya itu yang keluar dari mulut Nadine. Ia jelas tidak akan memenuhi permintaan gadis itu untuk berlutut. Jika gadis itu hanya menuntut permintaan maafnya, ia mungkin bisa mempertimbangkannya. Naomi menghela napas kasar. Ia menghentakkan sebelah kakinya. Menyuruh Nadine berlutut seperti keinginanya. “lakukan dengan benar.” ujar Naomi dengan nada kesal yang tidak bisa lagi disembunyikan. “I won’t do that.” kata Nadine dengan tatapan tepat ke manik mata Naomi yang langsung membulat. Naomi mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tidak mengerti mengapa gadis itu masih begitu sombong bahkan saat sudah tidak punya apa-apa. Naomi maju selangkah lebih dekat lalu menghela napas kasar. Sebelah tangannya terangkat dan hampir saja mengenai sebelah pipi Nadine jika tangan seseorang tak menahannya. Nadine sudah memejamkan matanya. Mungkin ia memang harus mendapatkan. Namun tamparan itu tidak juga mendarat di pipinya. Ia membuka kedua matanya dan melihat sebelah tangan Joseph menahan tangan Naomi. “Joseph?” Naomi menatap laki-laki itu dengan tatapan terkejut. “Jangan gunakan tangan berhargamu untuk menampar.” kata Joseph. Ia memang belum terlalu mengenal teman satu kelasnya. Namun ia yakin kalau Naomi bukan salah satunya. Ia tidak tahu kenapa gadis itu tahu namanya. Atau memang semua orang sudah tahu siapa dia. “Naomi.” gadis itu mengulurkan sebelah tangannya sambil menatap Joseph dengan tatapan senang. Sejenak, ia melupakan Nadine yang kini berdecak. Nadine menyenggol bahu Naomi dan menerobos keduanya. Ia menghampiri lokernya dan mengambil barang-barang yang ia butuhkan. Orang di sekelilingnya sudah mulai bubar dan kembali pada kegiatannya saat tahu bahwa tontonan sudah selesai. Nadine masih bisa mendengar Naomi mengobrol banyak pada Joseph. Gadis itu sepertinya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengenal Joseph lebih dekat sehingga melepaskan Nadine begitu saja. Nadine membawa beberapa bukunya lalu berjalan menjauhi lokernya. Ia kembali menyusuri lorong menuju ruang kelasnya. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD