CHAPTER EMPAT

2015 Words
Joseph menyusuri lorong sekolahnya hingga matanya menatap gerombolan anak yang sedang memenuhi papan pengumunan. Kakinya berjalan mendekat lalu berjinjit, mencoba melihat apa yang ada di papan pengumuman itu sehingga begitu menyedot perhatian teman-temannya. Bisik-bisik terdengar di sekelilingnya meski ia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Karena tak berhasil melihat, ia memutuskan untuk sedikit membelah kerumunan hingga sampai di depan papan pengumunan. Joseph kira itu mengenai nilai atau sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, namun ia salah. Di papan pengumuman itu tertempel sebuah potongan berita dari koran. Ia menatap headline berita itu. “Aryabrata, tersangka kasus korupsi pengadaan bahan bakar bunuh diri pagi ini.” Ia membaca potongan koran lainnya dan membaca headline yang serupa. Ia tidak mengerti kenapa berita seperti itu ditempel di papan pengumunan. Dan kenapa juga begitu menarik perhatian semua anak di sana. Karena rasa penasarannya sudah terpuaskan, Joseph menjauhi kerumunan dan berjalan menuju kelasnya. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Emma yang baru saja keluar dari kelas lain. “Sudah baca berita di pengumuman?” Emma bertanya saat ia berjalan sejajar dengan Joseph yang langsung mengangguk. “Kenapa berita seperti itu ditempel di papan pengumuman? Dan kenapa semua orang sepertinya sangat tertarik?” Josep bertanya karena sama sekali tidak mengerti kenapa berita seperti itu ditempel di mading sekolah dan dikerumuni oleh semua siswa. “Karena yang bunuh diri adalah ayah Nadine.” Saat Emma mengatakan itu, langkah kaki Joseph berhenti. Ia mengingat kembali cerita Emma kemarin. Bahwa ayah Nadine di penjara karena kasus korupsi. Dan hari ini, pria itu ternyata lebih memilih mengakhiri hidupnya. Emma ikut menghentikan langkahnya dan menatap ke arah Joseph. “hidup Nadine benar-benar menyedihkan.” katanya. Emma tidak pernah membenci Nadine. Atau bukan salah satu pembenci gadis itu. Meski berada dalam satu kelas yang sama, ia tidak pernah berurusan dengan gadis itu secara langsung. “Lalu kenapa? Bukankah itu berlebihan. Seharusnya kita berduka, bukan malah menempel berita itu secara terang-terangan di papan pengumuman. Bagaimana jika Nadine melihat.” ujar Joseph. “Berita itu pasti ditempel oleh orang yang membencinya. Bukan hal aneh, karena Nadine memang seburuk itu sebelum ayahnya di penjara dan keluarganya bangkrut.” “Kamu juga membencinya?” kali ini Joseph bertanya pada Emma. Sejak kemarin, gadis itu selalu memberitahu bahwa begitu banyak orang yang membenci Nadine. Ia ingin tahu apa gadis itu salah satunya. Joseph melihat Emma menggeleng pelan. Mereka sudah kembali berjalan. “aku tidak pernah benar-benar berurusan dengannya.” jawab Emma. “Aku akan mencari tahu siapa yang berani menempel berita ini di sini” suara teriakan itu terdengar, membuat Emma dan Joseph berhenti dan menoleh ke asal suara. Dari tempatnya, mereka bisa melihat Keenan sedang berdiri di depan papan pengumuman dengan sebelah tangannya yang sedang mencabut berita-berita itu dan meremasnya hingga kertas koran itu menjadi serupa bola. “lebih baik kalian mengaku sekarang, atau kalian akan menyesal.” sentak Keenan. Ia melihat orang-orang di sekelilingnya mundur beberapa langkah. Mereka semua terdiam dan saling menatap satu sama lain. “Sebentar lagi bel. Ayo masuk.” suara Emma menyadarkan Joseph. Laki-laki itu mengangguk lalu kembali berjalan beriringan menuju kelas. Joseph tak tahu apa yang ia rasakan. Ia hanya tahu bahwa ia merasa kasihan pada Nadine, meski tahu bahwa apa yang didapatkan gadis itu tak lain karena buah perbuatannya dahulu. Wajah Nadine tiba-tiba masuk ke pikirannya. Wajah rapuh yang ia tahu selalu berpura-pura tegar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Ayahnya di penjara dan semua asetnya disita saja sudah pasti sangat berat diterima olehnya. Kini, ayahnya ternyata lebih memilih bunuh diri. Disaat Nadine dan ibunya sedang berjuang dengan hidup mereka yang berubah seratus delapan puluh derajat, pria itu malah memilih untuk mengakhiri hidupnya. *** Nadine menatap batu nisan di depannya. Dengan sebelah tangannya, ia menabur bunga di atas gundukan tanah itu. Kuli tinta yang sejak pagi memenuhi area pemakaman baru saja pergi setelah puas mengambil gambarnya bersama ibunya dan memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat terdengar tidak masuk akal di telingannya. Ia masih tidak mengerti bagaimana bisa wartawan itu bertanya bagaimana perasaannya, padahal yang meninggal adalah ayahnya. Terlepas dari semua kesalahan ayahnya, ia pasti tetap merasa sedih dan kehilangan. Mereka semua tidak peduli dengan duka yang ia dan ibunya rasakan. Mereka hanya perlu mengambil gambar sebaik-baiknya, dan informasi darinya atau ibunya sebanyak-banyaknya. Mereka hanya peduli dengan bahan yang bisa mereka siarkan di televisi. Beberepa menit lagi, wajahnya dan wajah ibunya pasti akan menghiasi seluruh berita di stasiun TV, media cetak dan media online. Nadine tidak peduli lagi. Ia telah kehilangan sayapnya dan ia tidak peduli lagi dengan narasi yang akan dibuat oleh wartawan itu agar beritanya menarik penonton. Ia tidak peduli jika sumpah serapah kembali mengiringi kepergian ayahnya. Ia tidak peduli jika semua orang masih begitu membenci ayahnya meski ayahnya kini sudah tiada. Nadine menatap ibunya yang mulai menangis di depannya. Ia telah mati-matian menahan tangisnya, namun kini hatinya bergetar. Ia tidak sanggup lagi dan setitik air matanya jatuh. “Kenapa Papa melakukan ini?” Nadine mengatakan itu dengan bibir bergetar. Ia menatap lurus-lurus ke arah gundukan tanah di depannya. “maaf kalau Nadine pernah membenci Papa. Nadine merasa semuanya terlalu tiba-tiba dan sangat sulit menerima semuanya.” ujar Nadine diselingi air mata. “maaf karena Nadine tidak pernah menemani Papa selama persidangan. Maaf…” air mata Nadine tumpah semakin deras. Gadis itu terisak. Nadine menyesal pernah begitu membenci ayahnya. Karena ayahnya pernah menciptakan dunia yang begitu sempurna untuknya, dan akhirnya ayahnya juga yang menghancurkan dunianya. Ayahnya pernah mengurungnya dalam dunia di mana ia begitu berkuasa karena segala yang pernah dimilikinya, dan ayahnya juga yang menghancurkan pembatas itu dan akhirnya membuatnya melihat dunia dengan kacamata berbeda. Dalam sekejap, ayahnya membuat Nadine kehilangan hidup mewah dan jati dirinya. Nadine tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar membenci ayahnya. Ia telah memaafkan ayahnya setelah ia mulai bisa menerima semuanya. Ia tahu ia tidak bisa terus menangisi hidupnya sementara ibunya sudah mulai berjuang untuk kehidupannya. Ia tidak bisa terus membenci kehidupannya, saat tahu bahwa ibunya telah menerima semuanya dan akan berjuang agar mereka bisa hidup, atau sekadar makan hari ini. Nadine mengusap air mata di wajahnya. Ia pikir dengan menerima keadaan, akan membuat semuanya semakin mudah. Ia masih memiliki mimpi untuk berkumpul bersama ayah dan ibunya. Ia tidak menyangka bahwa di saat ia sedang berjuang dengan hidupnya yang baru, ayahnya justru sudah menyerah lebih dulu. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya tega meninggalkannya dengan cara seperti ini. Seharusnya ayahnya bertahan. Seharusnya ayahnya menjalani hukuman dengan baik, lalu kembali pada mereka dan bertanggung jawab atas hidupnya dan ibunya yang berantakan. Seharusnya ayahnya bisa memperbaiki semuanya. Bibir Nadine bergetar. Ia menatap ibunya yang berdiri lalu berpindah dan berjongkok di sebelahnya. Mila memeluk anak semata wayangnya, membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya. Ia tahu bahwa semuanya terlalu berat untuk gadis itu. Gadis itu telah menerima banyak dari yang seharusnya ia dapatkan. Ia hanya ingin gadis itu tahu bahwa ia akan melindungi gadis itu sekuat tenaganya. Bahwa ia akan menjaganya dan berjuang untuk kehidupan mereka. Ia tahu ia tidak bisa menjanjikan hidup mewah seperti yang pernah mereka cecap sebelumnya, namun ia akan berusaha memenuhi semua kebutuhan gadis itu. Agar gadis itu masih bisa sekolah tanpa perlu berpikir apakah mereka punya uang hari ini, ia ingin gadis itu fokus pada sekolahnya dan tidak memikirkan apapun. Meski ekonomi mereka jatuh, ia ingin anaknya bisa tetap sekolah dengan tenang dan makan dengan layak. Ia tidak ingin gadis itu kehilangan masa mudanya. Ia ingin gadis itu tetap bisa hidup layak meski tak seperti dulu. *** Sepertinya tempat yang benar-benar tenang di sekolah ini hanya perpustakaan. Joseph mengatakan itu dalam hati saat memasuki ruang perpustakaan yang besar itu dengan rak-rak yang berderet dan menjulang tinggi penuh buku. Joseph masih dalam masa pengenalan sehingga selalu menyempatkan waktu di sela-sela waktu istirahat untuk mengitari sekolah itu dan melihat fasilitas apa saja yang ada di sana. Ia masuk ke perpustakaan lebih dalam. Sebuah meja dan kursi berderet panjang berisi beberapa orang dan mereka sibuk dengan buku di depannya masing-masing, juga beberapa laptop yang terbuka. Tempat itu sangat tenang seperti perpustakaan seharusnya, meski suara ketikan pada papan laptop tidak bisa dihindari, namun tidak terlalu menganggu. Dan yang pasti, Keenan tidak akan ada di sini. Ia tahu bahwa siswa seperti Keanan tidak akan betah menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Tempat ini akan terasa seperti neraka buatnya. Ia mengitari rak dan menatap buku-buku yang tertata rapi yang ada di sana. Ia mengambil satu buku yang memuat materi ekonomi. Ia membawanya dan menjatuhkan diri di kursi kosong di sebelah seorang siswa yang sedang sibuk dengan laptopnya. Ia membuka buku yang diambilnya dan membaca isinya. Rasanya menenangkan. Pikir Joseph. Benar kata Emma, ia memang sepertinya tidak boleh berurusan dengan keenan. Ia ingin menjalani satu tahun di sekolah itu dengan tenang. Ia hanya punya waktu satu tahun untuk menikmati masa-masa sekolahnya. Satu persatu penghuni meja itu silih berganti. Suara jari-jari yang beradu dengan papan ketik yang tiba-tiba di tekan dengan sangat cepat membuat konsentrasinya buyar. Ia memberanikan diri menoleh dan menyadari bahwa yang duduk di sebelahnya dengan tatapan terarah lurus ke layar laptop itu adalah Ilana. Si gadis peringkat dua, seperti yang Emma bilang. Ia menyandarkan bahunya di punggung kursi dan memicingkan matanya untuk melihat isi layar komputer jinjing gadis itu. “Bukankah itu tugas esai bisnis management?” kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Joseph. Ia melihat Ilana sama sekali tidak terganggu dengan pertanyaannya. Gadis itu masih terus mengetik, bahkan lebih cepat daripada sebelumnya. Tatapannya sama sekali tak teralihkan dari layar di depannya. “bukankah tugas itu baru diberikan tadi?” Joseph bertanya lagi meski tahu bahwa gadis itu tidak akan menjawab pertanyaannya. Ia tidak mengerti kenapa ada anak yang mengerjakan tugas satu jam setelah tugas itu diberikan oleh guru. Kenapa gadis itu membuang jam istirahatnya unutk mengerjakan tugas padahal masih banyak waktu. Guru itu bahkan memberikan mereka waktu satu minggu untuk menyelesaikan esai itu. “Bukan…” omongan Joseph kali ini terpotong. “Oh, shut up.” Sentak Ilana. Lalu beberapa anak yang ada di sana langsung menghujam keduanya dan dengan tatapan matanya seraya meminta keduanya untuk diam. “Sorry.” ­Joseph mengangkat kedua tangannya dan meminta maaf. Cukup kaget mendnegar kata kasar gadis itu. Respon gadis itu sudah cukup memberitahu Joseph bahwa gadis itu memang benar-benar tidak suka diganggu. Ilana berdecak. Ia kembali ke tugasnya. Ia tidak suka diganggu. Ia memilih perpustakan untuk mengerjakan tugas-tugasnya karena butuh beberapa buku yang ada di sana, juga karena tempat itu tenang dan tidak akan ada yang menganggungnya. Ilana tidak suka membuang waktu luangnya. Ia hanya memakai jam istirahatnya untuk makan. Setelah itu, ia akan mengerjakan tugas apapun yang bisa ia kerjakan untuk dicicil. Orang baru seperti Joseph pasti menganggapnya aneh. Namun ia sudah melakukannya sejak dulu. Sejak ia duduk di sekolah menengah pertama. Ilana selalu menjadikan belajar sebagai prioritas utama dan di atas segalanya. Ia sampai lupa bagaimana rasanya menghabiskan waktu selain untuk belajar. Ia lupa kapan terakhir kali ia bisa bermain dengan teman-temannya. Ia lupa kapan terakhir kali pikirannya terasa rileks. Ia lupa kapan terakhir kali ia menikmati hidupnya. Ilana tidak punya kegiatan lain selain belajar dan mengerjakan semua tugas-tugasnya. Ia tidak berani bermimpi seperti gadis seusianya. Pergi jalan-jalan ke mall, menghabiskan waktu di kopi shop, ataupun pergi berbelanja dan melakukan kegiatan lainnya bersama sahabatnya. Ilana tidak bisa melakukan itu semua. Selain karena ia tidak memiliki sahabat, juga karena ibunya menganggap hal itu bukan hal penting. Ibunya tidak akan membiarkan ia melakukan kegiatan yang bagi ibunya tidak berguna. Bagi ibunya, nilai adalah nomor satu. Ibunya terlalu terobsesi dengan peringkat pertama. Hal yang sampai saat ini tidak bisa Ilana persembahkan untuk ibunya. Selama tiga tahu, ia selalu ada di peringkat dua. Dalam peringkat kelas, juga semua kelas, ia selalu ada di bawah Nadine. Ilana tidak mengerti mengapa ia tidak bisa mendapatkan posisi itu meski ia sudah belajar sebegitu kerasnya. Seperti peringkat itu memang tidak pernah ditakdirkan untuknya. Namun ibunya tidak pernah mau mengerti. Ibunya selalu bilang bahwa peringkat dua sama sekali tidak bisa dibanggakan, dan memintanya untuk terus mengejar peringkat satu. Ibunya sama sekali tidak membiarkannya untuk menyerah. Ibunya sama sekali tidak membiarkan dirinya merefresh otaknya. Ibunya hanya peduli dengan peringkat satu yang harus selalu ia kejar. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD