Joseph masuk ke kelasnya dan langsung menjatuhkan diri di kursinya. Nadine ada di sebelahnya, duduk tenang dengan buku pelajaran di atas meja. Seperti biasa, gadis itu tak melirik ke arahnya sedikitpun. Mereka tidak terlibat obrolan sama sekali meski duduk bersebelahan.
“Nadine…” suara itu membuat Joseph juga Nadine menengadah. Joseph bisa mendengar gadis di sebelahnya menghela napas berat lalu mengembalikan fokusnya. Gadis itu terlihat sangat tidak menginginkan kehadiran Keenan.
“Jadi kamu di kelas ini?” Keenan mendekat lalu duduk di meja yang ada di depan Joseph. Ia menatap Joseph yang menatapnya dengan tatapan tidak terbaca. Sejak kemarin melihat Joseph, ia tahu bahwa ia akan banyak berhubungan dengan laki-laki itu.
“Nadine, let’s breakfast.” ajak Keenan yang langsung mendapatkan gelengan keras dari Nadine. Gadis itu masih sibuk dengan buku biologi di depannya. Ia ingin menghiraukan Keenan. Ia tidak ingin berurusan dengan laki-laki itu. Ia merasa bahwa hidupnya sudah sangat berat. Ia hanya ingin bisa hidup dengan tenang.
“Sampai kapan mau begini?” Keenan berkata lagi saat melihat gadis itu tak mengacuhkannya. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu berkeras hati. Ia tahu hidup gadis itu sudah sangat berat, namun jika gadis itu menerima perasaannya, hidup gadis itu akan jauh lebih mudah. Paling tidak, tidak akan ada yang berani mengusilinya karena semua anak takut padanya. Paling tidak, gadis itu akan aman jika ada di sampingnya. Namun ego gadis itu terlalu tinggi, bahkan setelah keluarganya jatuh, sejatuh-jatuhnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan lagi oleh gadis itu selain kepintarannya.
Nadine masih terdiam. Ia tidak ingin terpancing. Ia hanya berdoa semoga Keenan cepat pergi dari hadapannya.
Joseph menatap Keenan yang masih tampak percaya diri meski sudah ditolak. Matanya melirik sekeliling, semua orang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hanya saja mereka sedikit menurunkan volume suara mereka.
Keenan turun dari meja dan duduk di bangku di depan Nadine. Ia menatap gadis di depannya yang tampak tak menghiraukan keberadaannya. Sebelah tangannya terulur untuk menyentuh rambut gadis itu namun sebelah tangan Nadine langsung menepisnya.
Keenan tersenyum sinis. “kamu harusnya berterima kasih karena aku masih berbaik hati.” ujar Keenan. Ia mendesis melihat Nadine yang egonya masih saja tinggi padahal sudah tak ada yang bisa gadis itu banggakan dalam hidupnya.
Suara bel masuk menggema. Anak-anak mulai kembali ke kursinya masing-masing. Keenan berdiri dari duduknya dan kali ini menatap Joseph.
“Ingat kata-kataku, Pirang.” kata Keenan pada Joseph. Laki-laki itu menepuk bahu Joseph dua kali lalu pergi menjauhi keduanya hingga menghilang di balik pintu.
***
Di dalam kelas, anak-anak mulai gelisah menuju menit-menit terakhir sebelum memasuki jam istirahat. Masing-masing mereka punya banyak hal yang ingin mereka lakukan saat jam istirahat. Makan siang, bermain bola, pergi ke perpustakaan, jajan ataupun hal-hal lain.
Suara bel istirahat akhirnya benar-benar memecah konsentrasi para siswa. Guru-guru di dalam kelas mengakhiri pelajaran dan keluar dari kelas. Suara riuh langsung terdengar. Sebagian anak langsung menghambur keluar kelas, sisanya membereskan buku-buku mereka lebih dulu.
Joseph sampai di ruang makan dan melihat bahwa sebagian meja-meja itu sudah terisi. Ia lalu mengambil tempat di barisan paling belakang untuk mengantre. Ia menatap seorang gadis yang berdiri di depannya. Gadis dengan rambut panjang yang terurai melewati bahu. Gadis itu tinggi semampai dengan tubuh sangat kurus. Ia tersenyum karena tahu gadis itu adalah Emma. Gadis itu cantik itu sangat mudah dikenali meski dari belakang.
Joseph tak langsung menyapa gadis itu, namun maju selangkah demi selangkah hingga akhirnya hampir sampai pada deretan panci prasmanan yang isinya terus diisi ulang setiap hampir habis. Joseph mengambil nampan makan ditumpukan lalu membiarkan petugas kitchen mengisinya dengan nasi dan yang lainnya. Joseph tak memerhatikan isi dari nampannya, ia justru terfokus pada porsi nasi dan segala macam yang ditaruh di nampan gadis di depannya. Semua yang di taruh di nampan gadis itu sangat sedikit. Mungkin hanya seperempat dari porsi normal.
“Kenapa makannya hanya segitu?” Joseph tak sadar mengatakan itu dengan suara yang cukup bisa didengar oleh gadis itu. Gadis itu menoleh dan tersenyum padanya.
“Hai, Joseph.” kata gadis itu dengan nada sangat ramah. “ini cukup.” Gadis itu menatap isi nampannya lalu berjalan untuk mencari meja yang kosong. Joseph mengekori gadis itu yang baru saja menempati meja kosong yang ada di sana.
“Duduklah.” Emma mempersilakan.
Emma adalah satu-satunya anak yang bisa diajaknya mengobrol saat ini. Ia beruntung bisa mengenal gadis itu. Dalam pandangannya, gadis itu ramah dan ceria, juga mudah bergaul dengan siapapun.
“Kamu hanya makan segitu setiap hari?” Joseph tak bisa mengenyahkan rasa penasarannya. Ia sudah memulai suapan pertama saat menanyakan itu. Ia berdecak saat melihat gadis di depannya mengangguk. Menurutnya, orang-orang yang diet pun porsinya masih lebih banyak dari itu. Bagaimana bisa orang kenyang hanya dengan porsi sekecil itu. Namun melihat bagaimana tubuh kurus gadis itu, ia tahu bahwa gadis itu mendapatkan tubuh itu dengan porsi seperti itu setiap hari. Tubuh kurus bak model yang mungkin jadi impian gadis-gadis lain.
Disaat anak-anak seumurnya sibuk mencoba berbagai makanan, gadis itu terlihat cukup puas dengan kebiasaannya.
“Kenapa?” tanyanya lagi. Tapi gadis itu tak menjawab. Emma hanya mengulas senyum tipis sambil menikmati makan siangnya.
Joseph tak bertanya lagi. Ia fokus pada isi nampanya hingga akhirnya melihat Nadine melewati mejanya dan duduk di kursi kosong yang ada di sana. Dari tempatnya duduk, Joseph bisa melihat Nadine duduk membelakanginya. Seperti yang sering ia lihat akhir-akhir ini, atau mungkin setiap hari. Gadis itu duduk seorang diri.
“Kenapa dia selalu sendiri?” Joseph bertanya. Emma menoleh untuk mengikuti arah pandang laki-laki itu. Ia bilang pada Emma bahwa kemarin ia melihat seseorang menuangkan air ke kepala gadis itu. Ia penasaran kenapa orang itu melakukan itu padanya, juga kenapa gadis itu tak terlihat marah sama sekali.
“Tak ada yang mau berteman dengannya.” jawab Emma. Gadis itu melihat dahi Joseph berkerut dalam. Laki-laki itu pasti kebingungan. Karena laki-laki itu tampak tak puas dengan jawabannya, ia kembali melajutkan. “dulu, dia termasuk gadis paling disegani di sekolah ini. Ayahnya seorang petinggi di perusahaan pemerintahan dan ya, dia kaya. Sangat kaya sampai dia bisa menyombongkan kekayaannya setiap hari, dan menatap orang lain dengan tatapan merendahkan.” cerita Emma, masih sambil menghabiskan isi nampannya yang tak seberapa.
Joseph melupakan isi nampannya, ia fokus menatap gadis di depannya, yang ia tahu belum menyelesaikan ceritanya.
“Beberapa bulan yang lalu, ayahnya dipenjara karena terbukti melakukan korupsi dan semua asetnya ditahan.” ceritanya lagi. “dan, ya, sejak dulu semua anak memang membencinya karena dia sombong. Tidak heran dia sama sekali tidak punya teman sekarang.” jelas Emma.
Joseph menatap punggung Nadine yang duduk tak jauh dari mejanya, lalu kembali kepada Emma di depannya, “apa dulunya dia perisak?”
Joseph melihat gadis di depannya tampak berpikir. “aku bingung harus menyebutnya seperti apa. Namun dia selalu ingin didahulukan. Dia egois dan memang kadang suka berkata seenaknya pada orang lain.”
“Lalu Keenan?” Joseph bertanya lagi saat tahu bahwa Emma tampak tak keberatan memberikan informasi-informasi itu.
“Dia baru perisak.” Emma mengatakan itu sesaat setelah menghabiskan isi nampannya. “dia siswa paling ditakuti di sekolah ini. Jangan sampai kamu berurusan dengannya.” kata Emma. Tepat saat ia mengatakan itu, ia melihat Keenan berjalan mendekat lalu melewati mejanya dan duduk di depan Nadine.
“Keenan memang menyukai Nadine sejak dulu. Tapi Nadine tak pernah tersentuh.” katanya lagi.
Setelah menatap meja Nadine, tatapan Joseph jatuh pada meja lainnya yang baru saja di tempati oleh teman sekelas mereka juga. Gadis yang Joseph lihat duduk di kursi paling depan dan selalu saja sibuk dengan buku pelajarannya. Joseph hanya mengenalnya sebagai ketua kelas. Selain Nadine, gadis itu juga sangat aktif di kelas.
Emma kembali memutar kepalanya, menatap seseorang yang dimaksud Joseph. “Ilana, si gadis peringkat dua.” jawabnya.
“Gadis peringkat dua?” Joseph melihat gadis di depannya mengangguk pelan.
“Ilana hanya tahu belajar dan belajar, namun tidak pernah bisa mengungguli Nadine. Semua orang tahu kalau mereka berdua bersaing untuk mendapatkan nilai tertinggi di semua tugas dan ujian. Semua orang juga tahu kalau Ilana membenci Nadine.”
Joseph berdecak tanpa sadar. Hal-hal seperti itu seharusnya tak membuatnya kaget. Persaingan, perisakan, strata sosial dan semacamnya. Ia hanya tidak mengerti kenapa ia menemui hal-hal seperti itu lagi.
“Bersiaplah. Akan ada banyak hal yang mengejutkanmu.” kata Emma. Beberapa meja ditinggalkan penghuninya dan digantikan siswa lain. Saat Joseph memindai ruangan besar itu, tatapannya bersirobok dengan tatapan Keenan. Laki-laki itu tersenyum sinis ke arahnya. Selama beberapa detik, keduanya saling bertatapan. Joseph ingin memberitahu bahwa ia tidak takut pada siapapun, termasuk laki-laki itu.
Keenan yang pertama kali memutus kontak. Laki-laki itu beralih pada seseorang yang baru saja menempati meja kosong. Laki-laki dengan kacamata tebal dan kawat gigi.
Keenan berdiri lalu menghampiri laki-laki itu dan duduk di depannya. Kedua mata Joseph masih mengikuti pergerakan laki-laki itu.
“Dia Haikal. Salah satu siswa yang paling sering dirisak oleh Keenan.” Emma memberitahu. Ia pikir Joseph harus tahu ia masuk ke sekolah seperti apa. Tak peduli sekolah mereka dikelilingi tembok tinggi dan terlihat megah dari luar. Tetap saja, sekolah mereka juga menyimpan kebobrokan.
Joseph menatap Keenan yang terlihat mengambil isi nampan Haikan dengan sendok dan membuangnya di lantai. Sementara Haikal mencoba tetap fokus pada makanan yang tersisa di nampannya.
Saat itu, hanya Joseph yang menatap keduanya. Yang lainnya sibuk dengan isi nampannya masing-masing, seakan hal seperti itu sudah biasa terjadi dan sama sekali tidak menganggu mereka.
Haikal sekuat tenaga mencoba fokus pada nampannya meski isinya berkurang lebih cepat karena Keenan ikut menyendok dan membuangnya ke lantai. Haikal telah mengalami perisakan sejak kelas satu dan ia tidak mengerti kenapa Keenan tampak tak pernah puas. Laki-laki itu sepertinya sangat suka mempermainkannya. Haikal tahu bahwa ia seharusnya melawan dan membela diri. Namun ia juga tahu bahwa jika ia melakukan itu, Keenan akan melakukan yang lebih buruk lagi. Semua orang tahu siapa laki-laki itu. Anak dari salah satu donatur terbesar di sekolah itu dan semua kelakukan buruknya selalu disembunyikan oleh para guru. Semua guru menutup mata karena tak ingin terlibat dengan Keenan yang merupakan anak seorang wakil kepala pemerintahan di kota ini. Haikal tak punya pilihan selain diam dan menelan semua perlakuan laki-laki itu. Ia hanya perlu bertahan satu tahun lagi sampai akhirnya ia lulus. Setelah lulus, ia bersumpah tidak ingin bertemu lagi dengan Keenan. Laki-laki itu telah membuat hidupnya di sekolah begitu buruk dan penuh ketakutan.
Haikal pernah menemui hari-hari di mana perasaannya kacau. Ia selalu bangun pagi dengan ketakutan yang luar biasa dan sama sekali tidak ingin pergi ke sekolah. Namun ia tidak punya cukup keberanian untuk memberitahu kedua orangtuanya. Keluarganya bukan berasal dari yang sangat kaya sehingga bisa dengan mudah memindahkannya ke sekolah lain. Ia tahu bahwa kedua orangtuanya sudah sangat bersusah payah untuk memasukannya ke sekolah itu. Ia tidak ingin menyusakan keduanya.
“Mulai besok, kamu boleh masuk ke sini setengah jam sebelum jam makan siang berakhir.” kata Keenan. “aku tidak suka melihatmu di sini. Wajahmu membuat selera makanku hilang.”
Haikal hanya mengangguk sebagai jawaban tercepat. Bibirnya bergetar dan tidak sanggup menjawab laki-laki itu.
Keenan tersenyum puas. Ia mengambil botol air mineral ukuran kecil di atas meja dan membukanya. Tanpa pertimbangan apapun, ia menumpahkan isi botol ke atas nampan, hingga semua makanan di atas nampan basah semua dan tak layak makan.
Sebelah tangan Emma menahan tangan Joseph yang sudah ingin bergerak. Ia menahan laki-laki itu melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat laki-laki itu menyesal.
“Bukankah dia sudah keterlaluan?” Joseph menatap Emma yang menggeleng pelan.
“Kalau kamu tidak ingin menggantikan posisi Haikal, lebih baik jangan.” kata Emma.
Joseph menarik napas panjang. Ia melirik sekeliling dan menyadari bahwa sama sekali tidak ada yang beranjak dari kursinya. Berpuluh-puluh pasang mata yang ada di sana hanya melirik mereka berdua diam-diam dan tidak ada yang berani membantu.
Keenan keluar dari ruang makan dan meninggalkan Haikal yang sedang menatap nampannya dengan tatapan menyedihkan. Tatapan yang terasa sangat menyayat di mata Joseph.
Joseph masih menatap Haikal saat melihat seseorang meletakkan satu buah apel di atas mejanya. Ia menatap Ilana yang langsung keluar dari ruang makan setelah memberikan buah itu pada Haikal.
“Biar kuperingatkan, jika ingin hidupmu tenang di sini, lebih baik jangan berhubungan dengan Keenan. Laki-laki itu seperti iblis.” kata Emma dengan raut wajah serius. Seperti ingin benar-benar memperingati Joseph untuk tidak pernah berurusan dengan laki-laki itu.
Haikla menatap sebuah apel di depannya. Ia sekuat tenaga menahan gemuruh perasaan sesak yang ia tahu bahwa sebentar lagi akan berubah menjadi tangis. Ia tidak ingin menangis. Keadaannya sudah cukup memalukan dan ia tidak ingin lebih mempermalukan dirinya di tempat ramai itu. Ia tahu bahwa meski orang sekelilingnya tampak tak acuh, tapi mereka melirik diam-diam ke arahnya. Sebgian orang mungkin menikmati apa yang Keenan lakukan padanya.
Ia mengambil apel itu, menggigitnya dan mencacahnya pelan. Ia tahu siapa yang memberi apel itu. Meski tidak sekelas, gadis itu cukup terkenal di sekolah. Ilana, gadis dengan peringkat dua yang prestasinya cukup bagus meski tetap tak bisa melampaui Nadine.
Ini bukan kali pertama ia menerima kebaikan gadis itu. Gadis itu sering memberikan hal-hal kecil setiap ia selesai berursan dengan Keenan. Meski tidak pernah emmbantu secara langsung, kebaikan gadis itu tetap menyentuh hatinya.
Mereka tidak pernah berukar sapa. Setiap berpapasa pun, gadis itu tak pernah menoleh ke arahnya apalagi sekadar menyunggingkan senyum. Seperti yang ia dengan dari anak-anak lain, gadis tak dingin, tak suka bertegur sapa dan menyukai kesendirian.
TBC
LalunaKia