CHAPTER DUA

1635 Words
Nadine menghela napas kasar. Ia menatap laki- laki di depannya. Laki-laki dengan kulit kuning langsat dan wajah tegas. Laki-laki yang paling ditakuti di sekolah itu. Laki-laki yang tampak tak kenal kata menyerah. “Bisakah kamu tidak menggangguku terus?” Nadine lupa sudah berapa kali ia mengatakan itu pada Keenan. Sepertinya sudah sangat sering. Ia bahkan sudah bosan mengatakan itu, namun laki-laki itu tampak tak putus asa. Laki-laki itu terus menerus mencoba menarik perhatiannya, yang baginya justru terasa mengganggunya. Nadine selalu ingin menghabiskan waktunya seorang diri. Ia ingin menjalani tahun terakhirnya di sekolah ini dengan tenang. Keenan mengangkat bahu. Ia tersenyum ramah pada Nadine yang selalu dingin. Namun dirinya tak pernah menyerah meski Nadine sudah menolaknya berkali-kali. Keenan selalu mendapatkan apa yang ia mau, begitu juga dengan Nadine. Ia akan mendapatkan gadis itu bagaimanapun caranya. “Ayolah… Nadine.” Kata Keenan, “aku bisa membuatmu kembali seperti dulu. Jadi gadis paling disegani di sekolah ini.” katanya lagi. “kamu tidak akan menderita lagi.” Keenan menggenggam erat tangan Nadine di atas meja sekuat tenaga. Nadine menghela napas lalu mencoba menarik tangannya namun gagal. Ia menatap laki-laki di depannya yang tampak menantikan jawabannya. Nadine menggeleng pelan. “Aku tidak bisa. Jawabanku tidak akan berubah sampai kapanpun.” Nadine menarik tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dari genggaman laki-laki itu. Nadine menatap Keenan yang menatapnya tajam. Gadis itu berdiri, membalik badan dan berjalan menjauhi Keenan yang sudah mengepalkan tangannya. Semua mata yang sebelumnya melirik diam-diam ke arah keduanya mulai menunduk dan mengembalikan fokusnya. Mereka tak ingin tertangkap basah oleh Keenan yang mungkin saja akan melampiaskan kekesalannya pada mereka. Keenan mengambil botol air mineral yang ada di meja dan melemparkannya ke dinding hingga isinya tumpah membasahi lantai. Semua orang terkejut, namun mencoba tak mengalihkan tatapannya dari makanan yang ada di atas meja mereka, ataupun ponsel di tangan. Hal itu bukan sekali dua kali terjadi. Laki-laki itu memang tak segan melampiskan semua kekesalannya dengan apapun yang ada di depannya. *** “Dia selalu begitu. Kamu akan terbiasa nanti.” Kata Emma pada Joseph yang tampak terkejut melihat kejadian itu. Joseph menatap Keenan yang berdiri dari duduknya dan menendang kaki meja lalu berjalan keluar dari kantin. “Kamu mau ke mana?” tanya Emma saat melihat Joseph sudah berdiri dari duduknya. “Aku duluan.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Joseph. Ia berjalan meninggalkan Emma lalu bergegas keluar dari kantin. Ia menyusuri lorong yang masih ramai dan mencoba mencari keberadaan Nadine. Ia tidak mengerti kenapa ia melakukan itu. Ia hanya… penasaran. Langkah kakinya berhenti di depan taman belakang sekolah. Ia menatap Nadine yang duduk di salah satu kursi besi yang ada di sana. Ia memberanikan mendekat saat melihat segerombolan wanita berjalan melewati bengku belakang Nadine sambil menyiram kepala gadis itu dengan air. “Heeii…” Joseph berteriak. Salah satu gadis yang memegang air menoleh ke arahnya lalu berlari meninggalkan Nadine yang masih duduk di tempatnya. Joseph berjalan lebih cepat mendekati Nadine lalu melihat gadis itu sedang menyeka sebagian rambut bagian atasnya dengan sapu tangan yang baru saja ia ambil dari dalam jas sekolahnya. Joseph terkejut melihat respon Nadine atas apa yang baru saja di alaminya. Gadis itu tak bereaksi. Tak marah atau bahkan terkejut dan reflek berteriak sepertinya. Seperti hal itu sudah biasa terjadi padanya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Joseph saat ia berdiri di depan Nadine. Nadine menengadah lalu menatap Joseph yang juga tengah menatapnya dengan raut wajah cemas. “Hei, Pirang. Jaga jarak dari Nadine.” Suara teriakan itu terdengar dan langsung membuat Joseph dan Nadine menatap ke asal suara. Nadine menghela napas saat melihat Keenan berjalan cepat mendekatinya. Ia membanting sapu tangannya lalu membalik badan dan berniat pergi dari sana saat sebelah tangannya tertahan oleh Keenan. “Tunggu…” kata laki- laki itu. “Lepaskan…” pinta Nadine dengan nada pelan namun sarat tekanan. Ia sudah meronta namun tak juga berhasil melepas genggaman Keenan yang terlampau kuat. “Lepaskan dia…” kalimat itu keluar dari mulut Joseph. Laki-laki itu melihat Keenan tersenyum sinis lalu menarik Nadine lebih dekat dan merangkul bahunya dengan kuat. “Sekali lagi aku peringatkan, jaga jarak dari Nadine. Dia milikku.” Keenan memperingatkan Joseph dengan kilatan tajam. Memberitahukan kepemilikannya pada laki-laki itu. “Keenan. Please…” Nadine melirih. Ia merasakan rangkulan Keenan melonggar. “Siapa yang melakukan ini?” Keenan menatap sebagian rambut Nadine yang basah. Ia baru saja hendak mengusap rambut gadis itu saat Nadine menepis tangannya dengan kasar lalu berjalan menjauhi keduanya. Joseph masih di sana. Menatap Keenan yang mendecih sambil menatap punggung Nadine yang menjauh. Tatapan keduanya bersirobok saat Keenan menatapnya dengan tatapan mencemooh. Laki-laki itu berjalan mendekat, “ingat kata-kataku. Jauhi Nadine.” Keenan memukul bahu Joseph cukup keras hingga membuat tubuh laki-laki mundur ke belakang dan meringis menahan sakit. Joseph mengusap bahunya lalu menatap punggung Keenan yang sudah berjalan menjauhinya, lalu ke arah Nadine yang sosoknya sudah menghilang. *** Nadine tidak pernah tahu bahwa keadaannya akan menjadi seperti ini. Ia tidak menyangka bahwa semuanya akan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia melangkah ke rumah lamanya yang megah. Biasanya rumah itu selalu ramai. Saat ia menjejakkan kaki di sana, pelayan akan menyambutnya. Ia hanya tinggal melempas tas dengan asal, melepaskan sepatu di sembarang tempat dan ia akan langsung pergi ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Jika ia membutuhkan sesuatu, ia hanya perlu berteriak atau menelepon dapur di rumahnya. Selebihnya, ia hanya tinggal menunggu di kursi santai di balkon istananya. Tapi lihat sekarang? Rumah itu sepi. Ia bahkan seperti bisa mendengar embusan angin saking sepinya. Tidak ada tanda kehidupan di rumah itu. Ia melewati ruang tamu lalu naik ke lantai atas menuju kamarnya. Ia menelan ludah karena tiba-tiba merasa asing di kamar yang sudah ditempatinya bertahun-tahun. Kamar yang didominasi warna krem itu seakan tak memberi hawa kehidupan lagi untuk pemiliknya. Tapi, ia memang bukan lagi pemiliknya. Dulu di sekolah, semua menghormatinya dan coba lihat sekarang? Ia seperti kotoran menjijikan yang seakan harus mereka jauhkan. Oke, ini memang salahnya. Ia bukan anak baik di sekolahnya, tapi apa mereka harus memperlakukannya seperti itu? Di balik kehancurannya keluarganya, semua orang sepertinya berlomba-lomba membalaskan dendamnya. Semua gambaran kehacuran sudah terpampang jelas di otaknya. Ia tak tahu akan menjadi seperti apa nantinya. Apa ia bisa menerima semuanya? Apa ia bisa bertahan? *** Joseph turun dari mobilnya lalu masuk ke dalam rumahnya. Ia melihat ibunya yang sedang menonton televisi di ruang tamu rumahnya. Joseph mendekati sofa lalu duduk di sebelah ibunya yang langsung menatapnya sambil tersenyum. “Bagimana hari pertama sekolahmu?” tanya Stefi, ibu Joseph. Ia melihat anak sulungnya mengangkat bahu sambil memejamkan matanya. “ada masalah?” tanyanya lagi. Joseph membuka matanya lalu menatap ibunya yang menatapnya cemas. Ia tidak boleh memberitahu ibunya jika sekolah itu tak jauh berbeda dengan sekolah menengah pertamanya. Sekolah elit yang sepertinya menyimpan banyak rahasia gelap yang tak pernah terdengar ke luar sekolah. Perisakan, rasisme, dan mungkin hal hal yang lebih parah lainnya yang belum sempat ia ketahui. Joseph akhirnya menggeleng, mencoba membuat ibunya tenang. Ia tahu bahwa ia yang menginginkan kembali ke sekolah formal setelah bertahun-tahun menjalani homeschooling. Setelah susah payah meyakinkan kedua orangtuanya jika ia akan baik-baik saja, ia tak mau membuat kedua orangtua khawatir. “Aku ke kamar dulu.” kata laki-laki itu akhirnya. Ia mengecup pipi ibunya sekilas lalu membawa tasnya dan berjalan ke kamarnya yang ada di lantai dua. *** Nadine menatap sebuah toko kue yang ada di depannya. Ia menghela napas, mencoba meredam sesak yang selalu ia rasakan tiap menyadari bahwa hidupnya kini begitu menyedihkan. Ia melihat ibunya yang sedang melayani pembeli. Ibunya yang dulu kerap berpakain rapi dan mewah kini terlihat sangat berbeda. Ibunya juga terlihat kurus karena kehilangan beberapa kilogram bobot tubuhnya akibat stress. Setelah melihat pembeli pergi, Nadine mendekati ibunya yang langung menyambutnya dengan senyum. “Kenapa jam segini baru pulang?” Mila, ibunya bertanya. Nadine mencium pipi ibunya sekilas lalu mengambil air dari dispenser yang ada di sana. Ia hanya bilang bahwa ia ada kelas tambahan. Ia tak mungkin bilang bahwa ia pergi ke rumah lamanya untuk mengenang sedikit masa-masa indah sebelum akhirnya ayahnya merusak segalanya. Nadine menatap sekeliling. Rumah mewahnya kini digantikan oleh ruko dua lantai. Bagian dasarnya dibuat toko kue oleh ibunya sedangkan lantai atas sebagai rumahnya. Ruko itu sempit dan panas. Pertama kali pindah, ia melihat ada tikus yang berkeliaran di sana. Makhluk menjijikan yang sekarang sudah tampak biasa baginya. Ia tahu bagaimana perjuangan ibunya untuk bangkit. Ia tahu seberapa besar ibunya berusaha menyembunyikan kesusahan dan kesedihan darinya. Nadine tak bisa melakukan hal lain selain ikut berpura-pura tegar. Ia dan ibunya harus saling menguatkan. Sekeras apapun ia mencoba menolak keadaan, ia tidak akan bisa. Ia akan bangun keesokan harinya dan menyadari bahwa tatapan teman-temannya tak lagi sama. “Kamu mau makan sekarang?” tanya Mila pada anak semata wayangnya yang langsung menggeleng pelan. “Nadine lelah. Nadine mau istirahat dulu.” kata gadis itu. Mila mengagguk lalu menatap Nadine yang mulai menaiki tangga dan menghilang dari pandangannya. Suara derit pintu terdengar saat gadis itu membuka pintu kamarnya. Ia menghirup bau kamarnya yang sumpek. Langkah kaki membawanya ke ranjang kecil yang ada di sana. Ia menjatuhkan diri di ranjang itu dan menatap langit-langit kamarnya yang tampak bernoda di beberapa sisi. Gadis itu memejamkan matanya yang sudah mengantuk. Selama dipaksa melepas semua kemewahannya, Nadine merasa bahwa dua puluh empat jam sehari selalu kurang baginya. Sekolah dari pagi hingga sore, belajar dan mengerjakan semua tugas, membantu ibunya membuat kue sampai larut malam. Nadine sudah harus terbiasa mengurangi jam tidurnya. Ia tidak lagi punya waktu bersantai sambil menonton televisi ataupun sekadar berjalan-jalan. Ia merasa waktunya terlalu berharga untuk dipakai berleha-leha. Nadine terpaksa harus menguburkan semua mimpinya. Ia yang kebetulan memiliki kecerdasan di atas rata-rata kini hanya bisa bergantung pada beasiswa. Gadis yang dulu punya power kini hanyalah seorang anak beasiswa. Anak dengan strata paling rendah di sekolah itu. Ia tersenyum miris. Meratapi hidupnya yang menyedihkan. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD