Keputusan yang Sulit

1127 Words
Dengan sabar Veve menjelaskan kembali pelajaran yang sudah ia sampaikan sepuluh menit lalu. Di sela-sela mengajar, ia ingat akan pertemuannya dengan Fatrial. Entah kenapa sejak saat itu ia tidak bisa fokus terlalu lama dalam mengajar. Pertemuan itu justru membuatnya tersudut, kepikiran dan semakin minder. Akankah semua berakhir indah? Tidak, ia tidak akan berharap banyak. Ia tahu diri, sangat jauh dibandingkan Fatrial. Kemungkinan untuk lanjut amat kecil sekali, sehingga ia hanya bisa pasrah. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan itu, tapi belum juga ada kabar keputusan dari Fatrial. Sejujurnya ada rasa berharap akan berlanjut. Jelas, karena diam-diam Veve mulai menyukainya. Memikirkan semua itu justru membuatnya sesak. “Ibu melamun?” tanya Aisya yang duduk tepat di barisan depan. Veve terkejut, sesegera mungkin ia menghapus pikiran buruknya. Menarik napas dan mengusap wajahnya. “Maafkan Ibu, akhir-akhir ini banyak pikiran.” “Kalau Ibu lelah, sebaiknya pelajaran hari ini, disudahi, Bu.” Veve tersenyum. “Maafkan Ibu. Kalian boleh pulang cepat.” Putus Veve pada tiga murid yang sedang mengikuti pelajarannya. Tiga anak berkebutuhan kusus itu segera menata buku-buku mereka yang berserakan di meja, memasukkan dalam tas, dan segera keluar kelas setelah bersalaman dengan Veve. “Kenapa aku jadi kacau begini ya, tidak seharusnya aku rendah diri. Toh dia juga manusia yang makan nasi sama sepertiku.” Gumamnya, lalu meninggalkan kelas menuju kantin untuk makan siang dan minum obat. @@@ Apotek RSD Mardi Waluyo. Veve duduk menunggu antre-an pengambilan obat. Tiga minggu lalu ia hanya membeli obat setengah dari resep yang diberikan dokter, kendeala tak ada uang, dan hari ini ia memutuskan untuk kembali mengambil sisanya sebelum obat yang diberikan sebelumnya habis. Apotek di rumah sakit ini terletak satu gedung dengan UGD, laboratorium, dan ruang Radiologi. Untuk menghilangkan kebosanan, ia mengedarkan pandangan, melihat para pengunjung yang berlalu-lalang. Beberapa kali ambulance datang membawa pasien darurat. Nampak jelas kesibukan di sana, para perawat dan dokter berlarian menuju UGD. Ia mulai berpikir, jika kelak bisa hidup bersama Fatrial, mungkin tak banyak waktu yang lelaki itu punya untuk dirinya, karena tugas di rumah sakit sangat padat. Tidak, buru-buru Veve menepis pikiran konyol tersebut. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir sejauh itu saat sudah hampir dua minggu ia digantung tanpa keputusan yang jelas. Semakin dipikirkan semakin menyakitkan. “Veve Fitria.” Panggil petugas apotek. Veve segera bangkit dan mendekati loket untuk mengambil obat yang sudah selesai diracik oleh para apoteker. Setelah membayar, ia segera meninggalkan loket, tapi nahas, setelah lima langkah menjauhi loket, langkahnya terhenti. Ia begitu kaget berpapasan dengan Fatrial dan Aina yang baru keluar dari UGD. Seperti ada granit yang membenturkan dadanya dengan dinding, sesak dan sakit. Dua pasang mata itu saling bertemu, tapi buru-buru Fatrial mengalihkan pandangan meskipun terlihat jelas raut wajah kaget bercampur kebingungan di sana. Lelaki itu hanya terus berjalan melewati Veve tanpa menyapa atau melihatnya sedikit pun. Sedang Aina sedari tadi terus mengajaknya bicara. Entah kenapa melihat mereka membuat tubuh Veve lemas. Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba pula membendung airmata yang siap tumpah kapan saja. Ia pun segera berjalan cepat keluar dari tempat itu. "Kenapa aku merasa sakit ya Allah? Harusnya aku sadar diri, dia tidak melihat atau menyapaku. Dan perempuan itu, sepertinya ia Dokter yang layak untuk Fatrial. Astaghfrullah, kenapa aku semakin kacau." batin Veve Tak mampu mengatasi kondisi hatinya, airmata yang ia bendung pun tumpah. “Jaga hatiku ya Robb. Jangan biarkan aku berharap apa pun. Keikhlasanku sudah terkotori, aku merasa sakit dan sedih, berarti aku tidak ikhlas. Berarti aku berharap lebih. Sadarlah Veve! Serahkan semua permasalahan hanya pada Allah.” Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri sambil mengelus-elus dadanya. Langkahnya lunglai berjalan menuju gerbang rumah sakit. Sekuat apa pun ia berusaha baik-baik saja, tetaplah wajah dan hatinya tak mampu berbohong. Gemuruh di dadanya kian kuat, membuatnya sulit untuk sekedar menarik napas. Ia telah menanamkan benih cinta dan harapan yang belum tentu terbalas. @@@ Usai bertugas, Fatrial memutuskan untuk menemui Nadia di klinik tempat kakak perempuannya itu kerja. Klinik kandungan tersebut berlokasi tak jauh dari rumah mereka, sehingga tak membebani Nadia yang sedang mengandung untuk pulang-pergi. Nadia adalah seorang dokter kandungan yang sudah menggeluti pekerjaannya selama hampir lima tahun, tak sulit baginya menangani pemeriksaan bahkan melayani persalinan meskipun dirinya sendiri sedang hamil. “Mbak..” “Duduklah!” Fatrial pun duduk di depan Nadia sambil melihat sejenak obat-obatan di etalase. “Kau tidak ke rumah sakit?” “Aku jaga malam.” “Oh, lalu apa yang membawamu datang ke sini?” “Ingin minta pendapat.” Fatrial sedikit tertunduk malu. Nadia mengerutkan alis. “Ada apa?” Merasa masih ragu dan bingung, ia pun mengungkapkan masalahnya pada Nadia. Ia ceritakan kronologi perjumpaannya dengan Veve sampai kondisi yang sedang dialami Aina. Nadia adalah saudara yang paling dekat dan paling ia percaya melampaui ayahnya. Ia berharap mendapat satu lagi petunjuk untuk mengambil keputusan. Sejak perjumpaan dengan Veve beberapa jam lalu di rumah sakit, jujur ia kalut, semakin kalut dan bingung. Ada perasaan aneh yang terus mengganjal dan membuatnya harus berfikir ulang untuk memutuskan. “Menurut Mbak, bagaimana? Jujur, entah kenapa aku merasa bersalah setelah melihat Veve di rumah sakit tadi. Aku merasa telah menggantungkannya, merasa buruk, meskipun aku tidak tau bagaimana perasaannya.” “Apa kau sudah membicarakan hal ini pada Ayah atau Ibu?” Fatrial menggeleng, “Belum saatnya, dan aku juga takut dengan reaksi Ayah.” Nadia menghela napas. “Seharusnya kau diskusi terlebih dahulu denganku atau Ayah. Setidaknya jika memang proses ini berlanjut, kau tidak akan kesulitan mengkomunikasikannya dengan keluarga.” “Maafkan aku, saat itu aku benar-benar bingung, aku hanya ingin melupakan dan mengikhlaskan Aina, sehingga tanpa pikir panjang aku mengikuti saran Rian untuk bertemu Ustad Habib.” Nadia mengangguk paham. “Lalu kamu sendiri bagaimana? Hati kecilmu memilih siapa?” Tidak ada suara, kali ini Fatrial memilih diam mengalihkan pandangan. Seharusnya dengan sigap dan yakin ia menjawab Aina, tapi entah kenapa justru mulutnya tak kuasa melontarkan nama itu. “Aku akan membantumu mengkomunikasikan hal ini pada Ayah dan Ibu. Sementara cobalah cari tau tentang Veve. Siapa tau dari sana kau akan menemukan keputusan yang tepat, entah lanjut atau berakhir, tapi menurut Mbak itu sangat perlu. Kita tidak bisa menilai hanya dari sebelah mata.” “Jadi Mbak tidak merasa keberatan jika aku melakukan itu?” mata Fatrial mendadak berbinar. Nadia tersenyum mengangguk, “Kita tidak bisa mengukur nilai seseorang hanya dari luarnya saja, apalagi pangkat dan latar belakang keluarga. Mbak belajar itu dari para pasien Mbak di klinik.” Fatrial mengangguk. “Aku mengerti, Mbak. Terima kasih.” “Tidak ada yang tahu jodohmu siapa, dan percayalah bahwa jalan menjemput jodoh itu banyak, tak hanya satu cara. Siapa tau justru proses seperti ini mampu membawamu bertemu jodohmu, apa pun bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak.” Nadia memang selalu punya cara membuat Fatrial kembali bangkit.  Fatrial mengangguk, ia merasa sedikit lega. Ia berharap semoga menemukan jawaban terbaik
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD