Dilema

1352 Words
Sepanjang perjalanan mengemudikan mobil menuju rumah Aina untuk memeriksa kondisi ibunya, tak henti-hentinya Fatrial berpikir tentang Veve, juga keputusannya untuk meneruskan atau berhenti. Ia belum mengatakan apa pun tentang rencananya pada orangtua atau Nadia, tak mungkin tiba-tiba memutuskan. Butuh pertimbangan besar, juga perasaan pada Aina belum sepenuhnya hilang. Sedangkan ia tidak merasakan desiran sama sekali setelah melihat Veve. Tidak ada satu pun dari Veve yang menimbulkan rasa suka dalam dirinya, tapi anehnya ia seolah sudah mengenal lama, dan ada ketenangan saat dekat dengannya. Rasa aneh apa itu? Ia bahkan tak pernah mengalami sebelumnya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan Sampai di rumah Aina, ia melihat wanita itu telah berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya. Tersenyum simpul, seolah tak pernah terjadi ada apa-apa di antara mereka. Melihat senyum perempuan itu tentu saja masih menumbuhkan desiran panas di hati Fatrial. Tiga bulan berlalu belum mampu mengubur cintanya, namun sebisa mungkin Fatrial mengendalikan perasaannya. "Ibu sudah menunggumu." Kata Aina. Fatrial mengangguk, lalu mengikuti Aina masuk rumah. Ia membawa tas berisi perlengkapan check up seperti stestoskop dan beberapa peralatan ringan lain yang bisa dibawa. "Ayah lagi keluar kota, jadi rumah nampak sepi." "Tunanganmu?" spontan pertanyaan itu meluncur begitu saja. Aina menghentikan langkah, membalikkan badan, menatap Fatrial. "Akan kuceritakan nanti." Jawab Aina, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Sedang Fatrial yang tidak tau apa-apa mengikut saja. Bu Farida –Ibunya Aina– menderita emphysema sejak dua bulan lalu dan higga detik ini Fatrial masih bertugas sebagai dokter pribadinya, tentu saja atas pilihan Aina. Wanita hampir berumur enam puluhan itu tersenyum menyambut kedatangan Fatrial. Ia masih terbaring lemas di atas ranjang. "Selamat sore, Bu. Bagaimana kabarnya?" tanya Fatrial sambil meraba denyut nadi Bu Farida, normal. "Sudah lumayan baik, Dok." "Permisi ya, Bu. Saya periksa dulu." Fatrial segera memasang stetoskop dan mulai merasakan detak jantung Bu Farida. "Apa masih terasa sesak beberapa hari ini, Bu?" "Emm.. beberapa kali setelah beraktivitas." "Untuk sementara kurangi aktivitas ya, Bu. Juga jangan berhenti minum obat. Ibu masih dalam proses penyembuhan, jadi butuh istirahat banyak." Bu Farida tersenyum mengangguk. "Saya ingin mengatakan jujur pada dokter. Sebenarnya dulu ketika Aina masih kecil, saya sering merokok. Bahkan ketika stres saya merokok, dan beberapa minggu lalu sebelum kondisi paru-paru saya memburuk, saya sempat merokok. Saya sadar ketika itu saya telah menderita emphysema dan bronkhitis akut, tapi saya mengabaikan semua itu." Tutur Bu Farida, sesaat membuat Fatrial terkejut. Sedang Aina hanya tertunduk sedih. "Paru-paru obstruktif kronik yang menyerang Ibu tidak akan sembuh jika Ibu tidak berhenti merokok. Jadi mulai saat ini hindari merokok atau pun menghirup asap rokok di lingkungan sekitar. Usahakan hal itu selama masa pengobatan. Ibu bisa meminimalisir penghirupan asap rokok atau polusi dengan memakai masker, atau kalau bisa ketika ada orang merokok Ibu menjauh." Saran Fatrial. Bu Farida mengangguk. "Yang dikatakan Fatrial benar, Bu. Aku juta tidak mau melihat Ibu seperti ini terus." Sahut Aina yang duduk di atas ranjang, di samping ibunya. Fatrial tersenyum sambil memeriksa sebungkus plastik berisi obat-obatan yang beberapa hari ini diminum oleh Bu Farida. Ada satu obat yang harus diminum saat kondisi darurat, dan obat tersebut telah berkurang tiga butir. "Ibu kapan minum Formoterol ini?" tanya Fatrial sambil mengangkat obat yang ia maksud. "Sekitar seminggu yang lalu. Keadaan Ibu memburuk tiba-tiba. Jadi kuberikan obat tersebut." Jawab Aina. "Kenapa kau tidak bawa Ibu ke rumah sakit atau setidaknya telepon aku?" Aina tertunduk diam. "Hari itu sedang terjadi masalah dalam keluarga ini. Tidak mungkin Aina membawaku ke rumah sakit. Lagian aku tau kondisi tersebut juga tak memungkinkan dia untuk keluar rumah sekalipun." Sahut Bu Farida menjelaskan dengan raut muka sedih. Fatrial seketika melihat Aina. "Apa itu alasan kau absen dari tugas?" "Iya. Aku tidak bisa fokus menangani pasien jika kondisi pikiranku berantakan." "Masalah apa sampai membuat keadaan Ibu memburuk?" "Rencana pernikahan Aina dibatalkan. Ada masalah antar keluarga yang tidak bisa ditangani lagi, dan satu-satunya jalan adalah memutuskan hubungan." Jawab Bu Farida, kini tertunduk kecewa. Fatrial kaget. Nikah? Jadi Aina sudah merencanakan pernikahan tanpa memperkenalkan siapa calonnya? Dan kini rencana itu gagal. Entah kenapa justru Fatrial merasa batu granit yang menimpa dadanya terangkat, napasnya dapat berfungsi normal kembali. "Akan kuambilkan minuman." Aina memutuskan untuk pergi dari kamar ibunya, tak ingin mendengar dan mengingat peristiwa menyakitkan itu kembali. "Aku tidak tau lagi caranya menghibur Aina. Ia pasti terluka." "Sabar, Bu. Allah punya rencana indah di balik semuanya. Mungkin bukan jodoh, Bu. Saya yakin kelak Aina akan bertemu lelaki yang lebih baik." Bu Farida tersenyum. "Iya selalu berharap mendapat lelaki sepertimu, dokter." "Maksud Ibu?" Fatrial terperangah. "Aina sudah menceritakan semua pada saya, tentangmu juga perasaan kalian. Jujur, sebenarnya Aina menyukaimu, dokter. Justru rasa itu sudah tumbuh sejak kalian menjalani ko-as di rumah sakit yang sama, tapi Aina hanya diam karena dokter pun tak memberi reaksi apa-apa." Seperti dilempar ke langit tanpa gravitasi, tubuh Fatrial mendadak lemas dan ringan. Suka? Jadi selama ini Aina menyukainya? Jadi dia menolak lamaran itu karena ia telah dijodohkan? "Saya pasti akan merestui jika dokter bersama Aina. Karena saya tau hanya dokter yang bisa membahagiakannya." Tidak ada kata, mendadak mulutnya bungkam. Apa maksud semua ini? Apakah ia harus kembali melamar Aina? Lalu bagaimana dengan proses ta'aruf itu? Apakah akan dihentikan di sini juga dan beralih pada Aina. Entah kenapa semua yang terjadi hari ini justru membuat dadanya sesak. "Ibu, saya." kedua tangan Fatrial saling mencengkeram, menahan gemuruh di dadanya. Ada kekalutan, dan kebingungan nyata. Dia merasa memiliki kesempatan untuk mendekati Aina kembali, tapi entah kenapa hatinya kini terasa begitu hambar. Rasa macam apa ini? "Saya berharap besar dokter tidak menyerah, karena saya tau Aina pasti juga berharap begitu." Fatrial tertunduk seketika. Tubuhnya lemas, bahkan untuk menaruh seplastik obat di atas meja saja ia tak sanggup. Neuron dalam otaknya seolah ditarik-ulur, membuat kepalanya sakit. @@@ Fatrial membantingkan tubuhnya di serambi mushola rumah sakit usai sholat magrib, ia memutuskan memejamkan mata sejenak untuk membuang jauh-jauh beban pikiran hari ini sebelum ia kembali bertugas setengah jam kemudian. "Apa yang harus aku lakukan?" Slide-slide memorinya bersama Aina berputar begitu cepat di otaknya, satu per satu ingatan akan perasaan, kedekatan juga pertolongan yang sering ia berikan pada Aina muncul, membuat d**a kian sesak. Sedangkan di sisi lain ia tidak mengenal siapa Veve, hanya pernah bertemu sekali di rumah sakit, bahkan tak tau sama sekali latar belakangnya. Tidak ada perasaan, degup jantung atau rasa suka setelah ta'ruf itu berlangsung. Lalu kemana ia akan menambatkan hati? Pada Aina atau Veve? "Dokter!" suara Rian memanggil, dan tau-tau sudah duduk di samping Fatrial. Fatrial membuka matanya. "Dokter kenapa di sini? Sebentar lagi Anda harus mengunjungi pasien?" "Aku galau." Fatrial bangkit dan duduk menghadap Rian. "Ada masalah apa lagi?" "Ustad Habib mengenalkanku dengan seorang wanita. Namanya Veve, dia guru SLB, dan kemarin aku baru saja melakukan ta'aruf, tapi aku belum bisa memberi keputusan untuk meneruskan atau berhenti. Sedang di sisi yang lain rencana pernikahan Aina gagal, justru di sana ibunya mengungkapkan kalau Aina menyukaiku dan keluarganya bersedia menerimaku andai aku datang padanya. Menurutmu aku harus apa?" tanya Fatrial, nampak jelas kegelisahan dari wajahnya. Rian menarik napas. "Sholat, Dok. Hanya Allah yang punya jawaban terbaik. Kita tidak tau mana yang terbaik buat kita." "Tapi posisi Veve jauh berbeda dengan Aina. Dia perempuan yang baru kukenal, dan aku tak punya perasaan apa pun padanya. Sedang Aina, bertahun-tahun aku menyukainya dan hingga kini perasaan itu masih ada untuknya. Haruskah aku menghentikan proses ta'aruf itu, Rian?" Rian tetegun, namun sebisa mungkin ia memberi solusi yang bisa Fatrial terima. "Dokter tidak bisa memutuskan secara sepihak seperti itu. Kita tidak tau rencana Allah apa. Bisa jadi jodoh kita adalah seseorang yang tak pernah kita kenal. Aku tau dokter Aina memang luar biasa, siapa yang tidak menyukainya. Sedang Veve, dia mungkin hanya guru SLB, tapi belum tentu dia tidak lebih baik dari dokter Aina. Jadi saran saya hanya sholat istikharah." Fatrial mengangguk paham. "Hemm.. aku mengerti." "Insya Allah selalu ada jalan indah. Saya yakin Allah telah menyiapkan perempuan terbaik untuk Anda. Entah siapa di luar sana, tapi pasti akan bertemu di saat yang tepat." Fatrial tersenyum, menghela napas, lalu bangkit dari duduknya. "Ayo bertugas!" "Siap dokter." Rian penuh semangat mengikuti langkah Fatrial. terima kasih sudah membaca :-) empysema : Penyakit paru yang disebabkan karena rusaknya dinding alveoli
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD