Meyakinkan Hati

1189 Words
Kebon Rojo, pukul 18.40 WIB Veve duduk di kursi kayu yang tak jauh dari taman bermain anak-anak. Di depannya berdiri kolam dengan air mancur di tengahnya. Kebon Rojo merupakan taman hiburan yang menjadi fasilitas umum, bisa dimasuki siapa saja. Terletak di belakang kompleks rumah dinas Wali Kota Blitar. "Sudah lama menunggu?" Bu Lely yang baru datang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Veve. "Oh, Ibu," Veve cukup terkejut, "Belum lama kok, Bu." Bu Lely tersenyum, lalu mengeluarkan amplop coklat berukuran A3. "Untukmu." "Ini, apa, Bu?" Veve bingung. "Seseorang ingin berkenalan denganmu. Dibaca dulu saja profilnya." Perlahan Veve membuka amplop tersebut, mengeluarkan biodata diri seseorang bernama Farhan Fatrial. Ia tertegun membaca nama Farhan Fatrial, nama yang tidak asing. Ya, ia ingat pernah membaca nama itu di rumah sakit. Nama dokter di Klinik Paru. Namun buru-buru ia menghapus prasangka itu. Nama Fatrial pastilah banyak, tidak mungkin orang yang sama. Lagian di bodata tersebut tidak disebutkan pekerjaannya apa, justru tidak diisi, hanya diberi tanda penghubung. Tidak mungkin dia adalah dokter di Rumah Sakit Mardi Waluyo. Tidak mungkin seorang dokter ingin berta'aruf dengan guru SLB. "Bagaimana?" nampaknya Bu Lely butuh jawaban cepat. "Kenapa tidak ada keterangan singkat tentang dirinya? Lembar ini hanya berisi CV diri. Tidak ada sesuatu yang bisa kuketahui secara jelas dari biodata ini." "Katanya dia ingin berkenalan langsung bukan lewat biodata seperti ini, jadi lembar biodata ini hanya sebagai syarat saja." Veve mengangguk, mulutnya membentuk huru O. Tidak masalah seperti apa pun isi biodata tersebut, karena baginya kebaikan lelaki itu jauh lebih penting dari semuanya. Toh ia tak mematok kriteria tertentu, ia ikhlaskan semua pada Allah. Pastilah kalau jodoh seperti apa pun keadaanya tetap akan bersatu. "Fatrial meminta bertemu pada hari minggu pagi. Jadi gimana? Ada waktu kapan bisa bertemu?" Veve diam sejenak. "Insya Allah saya kosong, Bu." "Oke, akan segera Ibu beritahukan pada Ustad Habib, biar segera diurus." Veve tersenyum, namun sebenarnya gugup luar biasa. Ia bahkan belum sempat istikharah sudah didesak untuk bertemu. @@@ Keringat dingin membanjiri tubuh Veve, sesekali ia menghapus peluh yang mengalir dan membasahi jilbabnya. Pengalaman ta'aruf pertama yang mengguncang jantung, ia bahkan tidak menyiapkan pertanyaan apa yang akan ia katakan dan harus bersikap bagaimana. Veve hanya bisa pasrah semoga Allah memberi kemudahan, dan jika pun jodoh semoga dimudahkan prosesnya hingga akad. Ah, tunggu dulu. Belum saatnya ia berfikir sejauh itu. Buru-buru Veve menggelengkan kepala, mencoba menghapus pikiran-pikiran konyol di batok kepalanya. Kini Veve telah duduk di sebelah Bu Lely. Hari ini akan menjadi penentuan nasib masa depannya kelak. Entah nantinya akan berlanjut atau berhenti di sini, tetaplah semua harus dipersiapkan dengan baik. Fatrial belum datang tapi kegugupan telah menguasai tubuhnya. Ada rasa takut pula jika lelaki yang datang nanti kecewa dan menolaknya, tapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Toh jodoh di tangan Allah. "Tenang saja, Dek." Bu Lely tersenyum memegang tangan Veve yang tertumpu di atas lutut, saling mencengkeram erat. Tak lama kemudian Fatrial datang dengan mobil putihnya. Dari jendela ruang tamu bisa dilihat sosoknya. Namun Veve tak menggunakan kesempatan itu, justru ia memilih tertunduk. Fatrial hanya mengusap wajahnya dengan tisu, memakai kemeja yang tidak dimasukkan, juga dilipat lengannya sampai siku. Rambutnya tidak perlu disisir karena sudah berdiri rapi seperti bulu landak, tak lupa kacamata selalu menjadi penghias matanya yang tajam. Ustad Habib menyambut kedatangan Fatrial di depan pintu, dan segera menyuruh Fatrial masuk. Di saat yang sama Veve mengangkat wajahnya. Sontak jantung mereka berdua melompat bersamaan ketika dua pasang visual saling bertemu. "Dokter, Fatrial." "Anda kan?" "Sudah saling kenal?" tanya Ustad Habib melihat Fatrial. "Belum, Ustad, tapi saya pernah bertemu dengan Mbak Veve di rumah sakit." Jawab Fatrial, lalu segera duduk. Tubuh Veve menegang seketika. Ia tidak menyangka kalau lelaki itu benar-benar seorang dokter. Mendengar profesinya saja sudah membuatnya ragu dan takut. Ragu jika Fatrial bersedia menerimanya yang hanya seorang guru SLB, dan takut jika proses ini akan gagal lantaran profesi yang tidak sepadan. Kini Veve mulai menyiapkan keikhlasan jika memang bukan jodoh. Siap jika ta'aruf berakhir di sini. Sepanjang perjalanan ta'aruf, Veve hanya bisa terus menundukkan pandangan. Meskipun beberapa kali menjawab pertanyaan Fatrial, ia tetap tertunduk. Rasanya tidak layak untuk duduk di sana. Rasa minder mulai memenuhi otak dan hatinya. Tak ada kalimat yang menunjukkan kelebihan atau kebaikannya. "Jujur, saya tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan, dokter. Saya perempuan biasa, hanya seorang guru SLB. Saya juga bukan anak orang kaya, orangtua saya hanya seorang petani yang tinggal di desa. Saya hanya berusaha jujur agar tidak ada kekecewaan selanjutnya. Juga mohon maaf jika terkesan rendah diri, karena sejujurnya saya merasa tidak pantas duduk di sini. Pastilah di luar sana ada begitu banyak perempuan luar biasa yang menunggu dokter, yang seprofesi atau setingkat dengan Anda. Maaf sebelumnya." Tutur Veve dalam keadaan pasrah. Fatrial tertegun mendengarnya. Pengakuan yang berani, dan ia hanya mengangguk. "Saya tidak pernah membedakan antara dokter dan guru. Bagi saya semua sama karena pastilah mereka bisa sakit dan mati. Tidak ada yang perlu dimaafkan, justru saya berterima kasih karena Mbak Veve sudah jujur." Sahut Fatrial sopan. "Iya, silakan!" "Apa alasan sebenarnya dokter melakukan proses seperti ini?" Degg.. Fatrial kebingungan harus menjawab apa. Tidak mungkin berkata jujur kalau ini adalah ide Rian, tapi juga tak punya opsi jawaban lain. "Saya yakin di luar sana ada begitu banyak perempuan yang mengagumi Anda. Saya bertanya begini karena sedikit tau tentang Anda dari para pasien Anda di rumah sakit. Mereka selalu mengatakan hal-hal luar biasa tentang Anda." Fatrial menarik napas dalam. Tiba-tiba kegugupan merayap membungkamkan mulutnya untuk beberapa saat. "Saya tidak pernah merasa seluar biasa itu. Mereka hanya melihat saya dari luar, tidak tau apa-apa tentang saya. Dan untuk pertanyaan Mbk, sejujurnya saya tak punya jawaban yang tepat, tapi karena Mbak Veve sebelumnya sudah jujur tentang latar belakang Mbk, maka saya di sini juga ingin berusaha jujur. Sebenarnya saya melalui proses seperti ini atas saran teman saya. Terkait ada tidaknya perempuan di luar sana yang mengagumi saya, saya tidak pernah memikirkan hal itu." Veve terdiam, tidak ada bantahan atas jawaban itu, yang muncul justru kekaguman pada sosok Fatrial. Ia melihat kejujuran di sana, dan tanpa sadar hatinya berdesir. Ritme jantung Veve naik, dan ia pun segera menundukkan pandangan kembali. "Tapi, saya belum bisa memutuskan sekarang." Tambah Fatrial yang membuat Ustad Habib dan Bu Lely terkejut. Sedang Veve sudah bisa memprediksi akan pernyataan tersebut. "Jadi, dokter?" tanya Bu Lely. "Saya butuh berpikir, Bu," jawab Fatrial, "Bagaimana Mbak Veve? Apa Anda keberatan jika saya meminta pilihan seperti itu?" "Saya tidak keberatan sama sekali dokter. Anda bisa meneruskan, memutuskan atau menunda untuk berpikir. Bagi saya tidak masalah. Toh setiap keputusan membutuhkan waktu untuk berpikir panjang." Fatrial tersenyum lega. "Terima kasih." Veve hanya mengangguk, walau dalam hati ada rasa ngilu. Waktu berpikir sama halnya mencari alasan untuk menolak. Namun ia sangat sadar diri, tahu dirinya siapa. Jelas dilihat dari kaca mata segi apa pun ia tak layak bersanding dengan Fatrial. Entah kenapa dalam pikirannya profesi seorang dokter amat tinggi hingga membuatnya minder. "Saya harap nantinya dokter jujur dalam keputusannya, karena saya tidak mau ada rasa sungkan atau apa yang mengganjal hati. Apa pun keputusan itu saya akan terima dengan ikhlas. Insya Allah." Tutur Veve. Fatrial tertegun kembali. Terlihat jelas ketidakpercayaan diri dari kalimat Veve.  Terima kasih sudah membaca :-)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD