Ta'aruf

1365 Words
Rumah Fatrial, Jl Slamet Riyadi Proses perjodohan dengan jalur tukar biodata berlangsung begitu cepat. Beberapa saat yang lalu ustad Habib menghubungi Fatrial dan menyerahkan sebuah amplop coklat berisi biodata seorang wanita yang akan dikenalkan dengannya. Pertemuan yang berlangsung singkat di rumah ustad Habib itu tidak memberikan gambaran seperti apa wanita dalam amplop tersebut. Ustad Habib tidak menyinggung atau memberi kode sedikit pun, hanya tiba-tiba menyerahkan begitu saja disertai senyum, meminta Fatrial membuka dan membacanya di rumah saja. Kini amplop itu telah di tangan Fatrial, siap untuk dibuka. Ada rasa sedikit ragu, akankah proses ini akan berjalan baik? Dan apakah mungkin bisa menemukan jodoh dalam proses yang sedemikan singkat? Ia ingat bagaimana proses pernikahan Nadia –kakaknya– juga hampir sama seperti itu, hanya bedanya Davidli adalah anak dari sahabat ayahnya, sehingga tak sulit untuk mengenalnya meskipun proses perkenalan hingga pernikahan hanya berlangsung tiga bulan. Fatrial menarik napas dalam-dalam. "Ya Allah, aku tidak tau apakah yang kulakukan ini adalah yang terbaik, semua kembali padaMU. Sejujurnya aku belum bisa melupakan Aina, tapi jika aku terus-terusan dalam kesendirian maka hanya akan membuat hidupku kian terpuruk. Aku juga tidak tau sosok seperti apa yang Engkau berikan padaku kelak. Apakah lebih baik dari Aina atau sebaliknya, tapi aku berharap bisa mencintainya jika memang kelak proses ini berlanjut." "Bismillah.." Perlahan Fatrial membuka amplop tersebut, mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terjilid rapi, bersampul warna putih polos tanpa corak atau tulisan. Di halaman pertama setelah sampul ada nama pemilik biodata tersebut. Veve Fitria Sontak ada kejutan dalam jantungnya. Nama yang tidak asing. Seperti pernah membaca nama tersebut, tapi lupa di mana. Fatrial mulai penasaran, ia pun membuka lembar berikutnya. Membaca secara detail siapa Veve Fitria tersebut. Nama : Veve Fitria TTL : Malang, 21 Januari 1996 Umur : 25 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Guru SMP LB Ngudi Hayu Blitar Membaca pekerjaan sosok Veve sempat membuat jantung Fatrial melompat. Guru? Mungkin jika dibandingkan profesi dokter jelas amat jauh, tapi entah kenapa Fatrial fine-fine saja, ia terus melanjutkan membaca. Pada halaman terakhir tertulis satu paragraf yang membuatnya tertegun. Aku ingin membangun cinta bersamamu Jika kau merasa berat, kan kubantu memikul bebanmu Jika kau merasa lelah kan kuhapus lelahmu dengan perjuanganku Aku ingin membangunnya bersamamu Berharap kau gandeng tanganku menuju surga-Nya -Veve Fitria- Membaca paragraf tersebut memberi kedamaian tersendiri, bahkan mampu membuatnya tersenyum. Veve mungkin perempuan yang unik dan cukup berani untuk menulis kalimat semacam itu, yang jelas-jelas akan dibaca oleh lelaki yang tidak ia kenal. Setelah selesai membaca semua, Fatrial pun menghubungi ustad Habib. "Assalamualaikum, Ustad. Ini Fatrial." "Waalaikumsalam. Oh, Dokter Fatrial. Gimana, sudah dibaca?" "Sudah, Ustad." "Saya tidak tau perempuan seperti apa yang diinginkan Dokter, tapi jika kriteria utama Dokter adalah baik dan sholehah, Insya Allah dia memenuhi. Namun jika sebaliknya, semua keputusan untuk lanjut atau tidak ada di tangan Dokter." Fatrial menarik napas. "Bagaimana Dokter? Apakah mau lanjut untuk bertemu atau bagaimana?" Sekali lagi Fatrial menarik napas. Ia tidak akan tau seperti apa pribadi dan sosok Veve jika tidak bertemu dengannya. "Insya Allah bisa dilanjutkan Ustad." Putus Fatrial. "Alhamdulillah." ustad Habib nampak lega di ujung sana. "Saya akan segera menyerahkan biodata Dokter pada Mbak Veve, juga menentukan kapan waktu bisa bertemu." Fatrial tersenyum. "Terima kasih banyak Ustad." Setelah pembicaraan tersebut, Fatrial memasukkan kembali biodata Veve ke dalam amplop coklat, lalu menaruh amplop tersebut di dalam laci kamarnya. Ia membantingkan tubuhnya di atas ranjang, memejamkan mata sejenak, memikirkan hal apa yang akan terjadi jika nantinya proses itu terus berlanjut dan orangtuanya mengetahui. Apalagi perasaan untuk Aina belum luntur, ia tak yakin bisa membangun cinta dalam keterpurukan hati seperti itu. Akan ada malam-malam penuh pertimbangan, akan ada waktu yang habis untuk memikirkan keputusan dan langkah apa yang akan ia ambil. Tidak, Fatrial tidak akan berfikir sendirian, ia akan menyerahkan semua pada Allah. Fatrial pun memutuskan untuk mengambil air wudlu dan shalat istikharah. @@@ Perempuan berjilbab hijau toska itu sedang menghapus papan tulis yang beberapa saat lalu digunakan untuk proses belajar anak-anak SLB tingkat SMP. SLB Ngudi Hayu, tempat di mana Veve mengabdikan diri sebagai guru Biologi di sana. Mendidik penuh kesabaran pada anak-anak cacat mental dan fisik. Sedikit pun ia tidak merasa lelah. Sudah dua tahun ia mengajar di sana, mempersembahkan yang terbaik dengan cara terus menerus melipatgandakan kesabaran saat begitu banyak dari mereka yang sulit memahami pelajaran. Sesaat ia menghentikan tangannya yang sedari tadi masih berputar-putar menghapus papan tulis. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya, rasa sesak yang seketika membuatnya susah bernapas. Ia pun memutuskan untuk berhenti, memilih duduk di kursi guru sambil memegangi dadanya. "Pasti karena aku tidak memakai masker saat perjalanan ke sini." "Bu Veve kenapa?" seorang gadis dengan kruk di tangan kirinya masuk kelas, melihat penuh dengan kekhawatiran. Veve mencoba tersenyum, lalu menggelengkan kepala. "Ibu sakit apa sih? Kok selalu pakai masker kalau di luar?" "Bukankah memakai masker di luar rumah adalah hal yang baik, karena polusi di negara ini sudah sangat buruk, sehingga disarankan memakai masker, apalagi saat di jalan raya. Banyak virus yang bertebaran di udara, jadi penting untuk menjaga kesehatan." Jelas Veve, berharap gadis kelas dua yang hidup dengan bantuan kruk itu paham. Sejujurnya apa pun penyakit yang diderita Veve bukanlah hal besar dibandingkan dengan hidup gadis di depannya itu. Aisya namanya. Sejak lahir ia hanya memiliki satu kaki. Ia berjalan dengan bantuan kruk. Tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dia menjalani masa remaja dengan keadaan seperti itu, ditambah keluarganya tak mampu membelikannya kaki palsu. Dan yang lebih menyedihkan lagi ia harus masuk SLB disaat kemampuan otaknya normal. Seharusnya ia bisa belajar di sekolahan umum, hanya saja tak ada sekolah yang bersedia menerima siswi cacat sepertinya. "Ibu bohong, aku telah banyak membaca buku, juga selalu konsentrasi saat Ibu mengajar. Ada beberapa penyakit yang harus dalam perlindungan masker saat keluar rumah, seperti paru-paru atau bronchitis. Kalau orang sehat tidak akan memakai masker secara terus menerus, pasti ada saat di mana mereka lupa memakainya, tapi ibu sudah sebulan memakainya tanpa jeda." Veve terkejut, apa yang baru saja Aisya katakan mengingatkan dirinya akan hasil rotgen yang seharusnya ia ambil tiga hari lalu di rumah sakit Mardi Waluyo. Ia pun hanya bisa menatap Aisya penuh kebingungan. "Ibu sakit apa?" desak Aisya sambil melotot menatap Veve, hal yang selalu ia lakukan saat merasa butuh jawaban cepat. Veve mencoba tertawa untuk menutupi sesak di dadanya, lalu bangkit dari duduknya dan memegang kedua pundak Aisya. "Ayo pulang. Ibu antar sampai rumahmu." Kata Veve, lalu berjalan mendahului Aisya yang hanya bisa bengong penuh tanda tanya. Setelah mengantar Aisya, Veve segera ke rumah sakit mengambil hasil rotgen sekaligus mengantarkan sampel dahak tadi pagi. Ia menunggu di depan loket bersama para pasien yang entah mengalami permasalahan kesehatan seperti apa. Siang itu rumah sakit masih ramai, padahal biasanya setelah jam istirahat siang jumlah pasien di ruang tunggu umum berkurang, tapi hari ini nyaris tak terhitung lagi adanya kursi kosong. "Veve Fitria." Seorang petugas memanggilnya. Segera Veve berjalan cepat menuju loket, menyodorkan lembar pemeriksaan yang minggu lalu ia terima dari Klinik Paru setelah serangkaian pemeriksaan seperti cek dahak, darah dan foto d**a. "Langsung ke Klinik Paru ya, setelah selesai kembali lagi ke loket, baru bisa ambil obat ke apotek." Kata petugas tersebut Veve mengangguk, dan mengambil lembar pemeriksaan itu kembali untuk diserahkan kepada petugas yang ada di Klinik Paru. Sebelum menuju Klinik Paru, Veve menaruh terlebih dahulu hasil sampel dahak di laboraturium yang terletak di lain gedung dari gedung poliklinik. Selama di perjalanan ia berpapasan dengan berbagai orang yang mengalami macam-macam permasalahan kesehatan. Pandanganya terus beredar hingga tak sadar menabrak Fatrial. Ketika itu Fatrial sedang bersama Rian baru keluar dari ruang Radiologi. Tak sengaja hasil rotgen yang dibawa Fatrial terjatuh tepat di depan Veve. "Maaf." Kata Veve dengan kepala tertunduk, lalu segera mengambil map hasil rotgen yang tergeletak di lantai, dan menyerahkannya pada Fatrial. "Maaf saya tidak sengaja, Dokter." Seketika sebutan 'dokter' itu keluar dari mulutnya setelah mengetahui lelaki di hadapannya memaki jas putih dengan papan nama bertuliskan dr. Fatrial. Fatrial hanya mengangguk sambil melihat Veve dengan wajah bertanya-tanya. Seperti pernah kenal entah di mana. Tidak asing. "Permisi." Kata Veve lalu melangkah pergi. "Perempuan itu, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi lupa di mana." Gumam Fatrial sambil sesekali melihat Veve yang berjalan menuju laboraturium. "Pasienmu, Dok?" "Bukan." "Oh, sudahlah. Ayo segera kembali ke klinik." Fatrial mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD