Kamu Bukan Takdirku

1608 Words
Masih di lokasi yang sama, Fatrial menghabiskan dua jam setelah kepergian Aina dengan hanya duduk diam. Menatap beberapa menu makanan yang sudah terhidang sejak dua jam yang lalu. Tidak berniat untuk memakannya sedikit pun. Ia putuskan menghubungi Rian, meminta perawat yang setia membantunya di rumah sakit itu untuk datang ke restoran. Tak lama setelah dihubungi, Rian datang, ia terkejut melihat Fatrial yang terdiam depresi. "Dokter, kau kenapa?" Rian segera menggeret kursi, duduk di sebelah Fatrial. "Sudah berakhir." "Apanya, Dokter? Katakan kau kenapa?" "Aku ditolak." "Ditolak siapa? Dokter Aina?" Rian mencondongkan kepalanya. Ia bisa menangkap dengan jelas kekalutan di wajah Fatrial. Selama ini tidak ada seorang pun wanita yang mampu membuka hati Fatrial kecuali Aina. Siapa yang tidak tahu? Se-isi bangsal paru pun tahu. Fatrial mengangguk. "Ternyata dia sudah dijodohkan dengan orang lain." Rian kaget sekali. Matanya melotot menatap Fatrial penuh rasa iba. "Sabar ya, Dok. Allah pasti akan menghadirkan perempuan yang jauh lebih baik dari Dokter Aina, dan tentu saja datang di saat yang tepat." Patah hati, meratapi nasib cinta bukanlah karakter Fatrial selama ini. Ia menepuk-nepuk dadanya, berusaha membuang segala kesedihan dan kekecewaan yang hanya membuang banyak waktu dan tenaga. Dia adalah dokter, bukan pujangga yang meratapi cinta. "Aku mengerti. Hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan semua." Rian tersenyum mengangguk. "Ikhlaskan, Dokter. Serahkan semua rasa dan masa depan pada Allah. Dia tau mana yang terbaik untuk kita, juga siapa yang layak hidup dengan kita. Jika memang sudah waktunya, pasti Allah akan mempertemukan Dokter dengan perempuan luar biasa di luar sana." Tidak ada komentar, apa pun kalimat yang keluar dari mulut Rian tak sanggup mengembalikan kepingan hati yang telah luluh lantak. "Jodoh itu tidak akan tertukar, Dok, tidak akan salah waktu, salah tempat apalagi salah orang. Jadi Dokter yakin saja, apa pun yang sudah menjadi takdir kita, tidak akan berpindah pada orang lain, pun sebaliknya." Rian mengutip kalimat yang pernah ia baca dari buku-buku tentang tauhid. "Terima kasih." @@@ Sejak penolakan itu suasana hati Fatrial sering labil, tidak tenang dan mudah sekali terbawa emosi. Ia nyaris putus asa pada dirinya sendiri. Cinta itu terlalu dalam pun ia terlalu bodoh dalam menyikapinya, hanya penyesalan demi penyesalan yang tersisa. Andai dan terus saja berandai. Bahkan ia berfikir akan menikahi gadis siapa saja yang mampu menyembuhkan luka di hatinya. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempatnya menolong pasien, kini justru terkesan dirinya yang harus ditolong. Banyak pekerjaan terbengkalai karena seringnya dia melamun secara tiba-tiba, juga tak jarang ia mendapat teguran dari perawat yang merasa tindakkan Fatrial akhir-akhir ini sangat lambat dan banyak membuang waktu. Andai waktu bisa berputar kembali, ia tidak akan menjadi lelaki dungu dan bodoh yang hanya bisa menyimpan rasa. Andai waktu bisa kembali ia akan menjadi lelaki pertama yang mengisi hati Aina, hanya saja semua tinggal mimpi. Aina akan segera menikah. "Kau tidak akan bisa melupakan Aina jika tidak berusaha mencintai orang lain, dan kau akan tetap terpuruk selama masih bekerja satu tempat dengan Aina, karena aku tau kau orang seperti apa. Jadi solusinya hanya menikah." Nadia, kakak tertua Fatrial yang sedang hamil empat bulan itu berusaha menasehati. Hanya dia satu-satunya anggota keluarga yang dekat dengan Fatrial. Fatrial mendengus kesal. Ia tahu Nadia pasti akan memberi solusi yang justru membuatnya kian terpuruk. "Kadang aku merasa tak yakin mampu membuka hati untuk perempuan lain. Aku nyaris hilang ingatan sejak ditolak, aku merasa dunia runtuh menghancurkan tubuhku. Dia cinta pertama juga luka pertama?" kalimat itu menegaskan kondisi hati dan pikiran Fatrial yang mulai lelah. Bahkan ia berfikir akan menikahi siapa saja asal bisa melupakan Aina. Nadia agak geli mendengar penuturan Fatrial, namun ia berusaha untuk bersikap bijak menghadapi lelaki yang sedang patah hati. Sesekali ia tersenyum sambil mengangguk. "Jangan hinakan dirimu hanya karena perempuan. Di luar sana masih banyak wanita baik bahkan lebih baik dari Aina." Fatrial tersenyum getir, mengangguk ogah-ogahan. Sejurus kemudian iPhone-nya berbunyi, ada pesan masuk dari Rian. From: Rian Dokter nanti malam jaga? Tidak. Kenapa? Send From: Rian Saya ingin mempertemukan Dokter dengan ustad saya, siapa tau bisa memberi banyak motivasi dan arahan. Saya pikir Dokter butuh taujih. Gimana Dokter? Jika bersedia nanti malam Anda bisa jemput saya. Kita datang ke rumah ustad saya. Namanya ustad Habib. Fatrial tidak langsung menjawab, ia hanya diam menatap layar iPhone-nya. Memikirkan baik-baik tawaran Rian. "Ada apa?" tanya Nadia "Tidak ada, hanya pesan dari Rian." Jawab Fatrial, lalu mengetik jawaban. Oke. Send @@@ Rumah Ustad Habib, Jl. Wahidin 14A Fatrial tersenyum menjabat tangan ustad Habib yang tidak lain adalah guru ngaji Rian. Untuk sesaat Fatrial bingung harus mengatakan apa ketika nanti ditanya banyak hal. Haruskah menceritakan kisah cintanya yang mengenaskan? Atau kebodohannya selama ini yang hanya bisa menyimpan rasa. Sesungguhnya ia tidak tahu tujuan Rian mengajaknya bertemu ustad Habib. Ia menurut saja, siapa tau memang dapat taujih yang bisa menenangkan dirinya. "Silahkan duduk!" ustad Habib mempersilakan. Fatrial dan Rian tersenyum mengangguk, dan segera duduk. "Tunggu sebentar ya." ustad Habib memutuskan untuk ke belakang sebentar, meninggalkan mereka di ruang tamu berukuran 4x5 meter dengan beberapa perabotan seperti lemari berisi buku dan sebuah pot keramik di pojok ruangan. "Sebenarnya apa tujuanmu membawaku ke sini?" Fatrial dengan wajah menodong menatap tajam Rian. Rian menghela napas, menepuk lutut Ftrial dengan penuh semangat, matanya pun berbinar. "Konsultasi jodoh. Siapa tau ustad bisa membantu Dokter mendapatkan istri yang sholehah." Jawab Rian tanpa rasa bersalah. "Apa!" Fatrial seketika berdiri, matanya melotot kaget bukan main. "Duduk dulu, Dokter! Saya akan jelaskan semua." Rian buru-buru menarik tangan Fatrial, memaksanya duduk. "Waahh.. kau parah banget Rian. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Seolah aku ini gak laku." gerutu Fatrial jengkel sekaligus bingung karena dirinya telah berada di rumah ustad Habib. "Aduh Dokter, ini bukan sesuatu yang memalukan. Wajar kalau kita minta bantuan ustad, toh dengan cara ini Insya Allah lebih syar'i, juga Insya Allah ustad akan memilihkan wanita sholehah." "Tapi." "Saya sudah mengatakan semua pada ustad, terkait kedatangan kita di sini. Heheh.. Maaf Dokter." Rian tersenyum sambil garuk-garuk kepala malu, tanpa penyesalan dengan tindakannya. "Haaahhh," Fatrial menghela napas berat, "Ya Tuhan, aku mulai stres." Keluh Fatrial sambil memijat-mijat pelipisnya, tak tau jalan pikiran Rian. Fatrial tau betul Rian orang seperti apa, mereka telah berteman sejak SMA, tapi baru kali ini Rian bertindak ekstrim. Mau marah juga percuma, mau kabur juga lebih memalukan dan bukan karakter dia banget. Kini Fatrial hanya bisa menarik napas dalam-dalam, terima apa yang terjadi. Toh Rian sebenarnya bermaksud baik meskipun caranya kurang tepat. "Maafkan aku, Dokter. Aku hanya ingin membantumu." "Sudahlah." Fatrial mulai pasrah. "Aku hanya tak ingin melihat Dokter terus-terusan kepikiran Dokter Aina." "Aku paham, meskipun ini konyol banget bagiku." Kata Fatrial penuh penekanan, dan Rian hanya tersenyum meringis sambil garuk-garuk kepala. Tak lama kemudian ustad Habib datang dengan membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk yang ia buat sendiri di dapur. "Silakah diminum!" "Terima kasih, ustad." Kata Fatrial sedikit menganggukkan kepala. "Saya sudah mendengar semuanya dari Mas Rian terkait keinginan Dokter untuk menggenapkan separuh agama." Apa? menggenapkan agama? Menikah? Sontak pandangan Fatrial tertuju pada Rian. Cerita macam apa yang sudah lelaki itu umbar pada ustad Habib. Haisssttt. Ia menahan kesal. Tidak sekarang, ia tidak mungkin menghardik Rian sedang di saat yang sama dirinya telah berdiri di depan ustad Habib. "Ee,, sebelumnya, saya meminta maaf jika hal ini akan merepotkan Anda." Fatrial merasa amat malu. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya justru sangat senang jika memang nantinya bisa membantu. Biasanya seorang Dokter di luar sana selalu melihat level dalam memilih istri, tapi di sini Anda memiliki keinginan yang mulia." Fatrial keheranan. Apa saja yang diceritakan Rian tentang dirinya sampai ustad Habib berbicara begitu. Ia pun hanya bisa tersenyum hambar. "Sebelumnya perlu Dokter tau, saya di sini hanya bisa membantu, tidak bisa memberikan apa yang Dokter mau. Siapa tau jika nanti seseorang yang ingin saya kenalkan adalah orang yang pas, meskipun dia bukan seorang Dokter. Dalam proses ini Dokter bisa menolak atau melanjutkan." Apa? Kenalan? Dengan siapa? Ingin sekali ia sumpal mulut Rian dengan serbet dapur agar ia tidak lancang bercerita.  "Dokter bisa mengatakan ingin dikenalkan perempuan seperti apa." Buru-buru Rian menimpali, ia tau Fatrial kebingungan. "Sejujurnya saya tidak mengerti ustad." Fatrial tersenyum geli dengan dirinya sendiri. Jangan bilang ini proses macam Siti Nurbaya. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, mengenalkan Dokter Fatrial dengan seorang wanita. Insya Allah sholehah." Fatrial menahan napas. Rian benar-benar gila. Berani-beraninya ia mempermainkan masa depan seorang dokter. Gerutu Fatrial dalam hati. "E-saya, saya terserah ustad saja." apa lagi yang bisa dikeluarkan oleh mulutnya selain kata pasrah macam itu. Rian tersenyum lebar, merasa usahanya berhasil. Sedang ustad Habib mengangguk. "Insya Allah saya akan berusaha membantu, dan semoga niat baik Dokter ini akan mengantarkan Dokter bertemu jodoh. Saya juga tidak bisa menjamin memberikan yang terbaik, jika memang nanti Dokter berkenan, ya Alhamdulillah, tapi jika tidak, maka ta'aruf tidak akan dilanjutkan."  Fatrial berusaha untuk tidak banyak bertanya, dan ia mengangguk begitu saja. "Nanti saya akan kabari Dokter, tapi sebelumnya saya meminta Dokter untuk membuat proposal diri sebagai bentuk pengenalan, dan nantinya jika Dokter berkenan dengan seseorang yang saya kenalkan, proposal itu akan saya serahkan padanya, agar dia tau latar belakang Dokter." "Lalu untuk saya bagaimana, ustad?" "Ya sebaliknya, saya akan terlebih dahulu menyerahkan biodata diri perempuan tersebut pada Dokter, sehingga ketika nantinya Dokter menolak ia tidak akan mengetahuinya, atau kalau diterima kita akan lanjut berta'aruf dengan cara bertemu langsung pada masing-masing pihak." Jelas ustad Habib. Fatrial terdiam sejenak, apakah ia siap dengan proses semacam itu?  "Bagaimana Dokter Fatrial?" "E-saya, saya bingung ustad, tapi sepertinya tidak ada salahnya." Ustad Habib tersenyum. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD