Keyakinan 1

1516 Words
...... Beberapa kali Ustad Habib meminta Fatrial segera memberi keputusan, bukan menggantungkan Veve tanpa kabar sedikit pun. Sudah tiga belas hari berlalu, dan keputusan itu tak juga ia buat. Di rumah sakit pun Fatrial tak bisa fokus bertugas, ditambah Aina sering sekali menemuinya, baik meminta bantuan atau sekedar ngobrol hingga kedekatan mereka melampaui kedekatan sebelumnya. Apa lagi orangtua Aina masih berharap Fatrial datang kembali pada anak mereka, dan semua yang terjadi justru menjadi beban berat baginya. Ia tidak bisa mengambil keputusan dengan jernih. Di lain hal ia merasa berat mengabaikan Veve, seperti ada tali yang mengikat mereka berdua hingga tak bisa terlepas dengan mudah, ditambah setiap usai sholat istikharah bayangan Veve kian kuat mengakar di kepalanya. “Fatrial..” seseorang memanggil dari belakang ketika ia berjalan menelusuri koridor menuju kantin. “Aina.” Fatrial sempat terkejut melihat Aina berjalan cepat menghampirinya. “Emm.. nanti malam ada waktu? Orangtuaku mengundangmu makan di rumah. Gimana? Bisa gak?” Entah kenapa bukan rasa bahagia yang muncul, justru keengganan untuk datang. Pikirannya masih dipenuhi keputusan ta’aruf tersebut. Tidak mungkin ia mengulur banyak waktu dengan bersenang-senang di luar sana. “Eee..” ia ragu untuk memenuhi permintaan itu. “Kau tidak bisa?” wajah Aina nampak kecewa. “Oh, bukan begitu Aina. Aku, iya, bisa.” Pada akhirnya keraguan itu pun tak mampu ia pertahankan. Aina tersenyum. “Terima kasih, aku tunggu kedatanganmu.” @@@ ... Mobil Fatrial merapat sejajar dengan dua mobil hitam milik keluarganya Aina. Rumah besar berlantai dua itu nampak indah dan mewah dari luar. Parkiran dan halaman yang luas cukup untuk mengadakan pesta. Di samping rumah terdapat taman bunga dan kolam renang berukuran sedang, dan di sana pula lokasi makan malam berlangsung.  Sudah tertata meja bundar dengan empat kursi yang terletak di tepi kolam. Beberapa pembantu sibuk menata hidangan di sana, juga ibunya Aina yang sudah nampak sehat membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Sungguh pemandangan harmonis. Seolah mereka akan kedatangan tamu agung, namun entah kenapa pikiran Fatrial justru tidak tenang. Ia teringat dengan kondisi kontrakan Veve yang jauh dari kemewahan. Usai siap semua, Aina mengajak Fatrial bergabung dengan keluarganya yang sudah siap di meja makan. Ayah dan ibu Aina nampak bahagia menyambut kedatangannya. “Duduklah!” pinta ayahnya Aina. Fatrial tersenyum mengangguk. “Ibu senang sekali dokter bisa hadir di sini memenuhi undangan kami.” Sahut ibunya Aina. “Iya, Bu, tapi akan sangat lebih baik jika di luar rumah sakit, Ibu memanggil saya Fatrial, bukan dokter, karena kedengarannya tidak enak.” “Oh, begitu.. Iya, Ibu mengerti.” “Fatrial orangnya rendah hati, Bu, jadi dia tidak suka dipuji atau diperlakukan berlebihan.” Sahut Aina sambil menyenggol siku Fatrial. “Tidak salah kalau begitu.” Aina tersenyum puas melihat orangtuanya nampak senang. Selama makan malam, Fatrial ditanya banyak hal oleh orangtua Aina. Pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat Fatrial tidak nyaman, karena semua menyangkut keluarga dan kelebihannya. Namun sebisa mungkin ia bersikap biasa saja, sampai akhirnya seorang pembantu datang membawa semangkuk salat bertabur butiran coklat di atasnya sebagai makanan penutup. “Kenapa kau bawa anakmu ke sini?” tanya ayah Aina ketus. Fatrial kaget, dan buru-buru melihat sosok pembantu tersebut. Ia melihat seorang anak penyandang tunagrahita sedang menempel di punggung pembantu tersebut. Tubuhnya kurus kecil. Dari poster tubuh, nampaknya ia masih duduk di bangku SD. “Maaf, Pak. Tadi dia ikut saya.” Wajah ayah Aina nampak gusar, sedang anggota keluarga yang lain hanya diam menikmati makanan. Melihat pemandangan seperti itu tentu membuat Fatrial iba. Ia menatap anak kecil itu, dan seketika ingatannya kembali melayang menuju peristiwa kemarin saat dirinya berkunjung ke sekolah tempat Veve mengajar. Anak itu memandangi kue coklat yang ada di depan Fatrial, nampaknya ia menginginkan kue itu. Tanpa pikir panjang, ia pun memberikan kue tersebut pada anak itu. “Untukmu..” Fatrial menyodorkan kue tersebut, dan tangan kirinya merangkul anak itu. Pemandangan yang membuat keluarga Aina terkejut. Anak itu buru-buru meraihnya, Fatrial tersenyum bahagia melihatnya. “Maaf..” pembantu tersebut membungkukkan badan menghadap mereka semua, merasa bersalah karena telah mengganggu acara makan malam. “Sudah, pergilah!” perintah ayah Aina lebih pelan. “Maaf ya, Fatrial.” “Tidak apa-apa.” “Padahal sudah beberapa kali aku memarahinya, tapi tetap saja seperti itu.” “Sudahlah ayah! Tidak usah dibahas lagi, kita lanjutkan makan malam kita.” Fatrial hanya diam mendengar pembicaraan mereka. Pikirannya kembali menelusuri sosok Veve. Di luar sana, gadis itu begitu mencintai anak-anak berkebutuhan kusus itu, tapi di hadapannya, ada beberapa orang yang memperlakukan mereka dengan kasar. Pemandangan yang kontradiktif.  @@@ Poli Paru, pukul 09.00 WIB Fatrial sedang mengamati hasil foto rotgen pasiennya yang mengalami TB paru. Ia membandingkan foto sebelum pengobatan selama enam bulan dengan foto usai pengobatan. “Pada foto yang baru, terlihat infiltrasi dan konsolidasi paru kanan atas dan tengah, dalam hal ini disertai pula pelebaran hilus kanan. Namun secara keseluruhan sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.” Kata Fatrial membaca kesimpulan hasil rotgen. Pasien yang duduk di depannya mengangguk saja, percaya begitu saja. “Berarti sudah sembuh, Dokter?” “Ibu baru melakukan terapi OAT dua bulan, belum bisa dikatakan sembuh maksimal, jadi untuk sementara Ibu tetap melakukan terapi selama enam bulan dan kembali kontrol sampai dinyatakan sembuh total.” Lagi-lagi ibu tersebut mengangguk. “Permisi, Dokter!” seorang perawat masuk dengan keadaan panik. “Ada apa?” “Ada pasien di UGD yang mengalami gangguan pernapasan, kulitnya tampak kebiru-biruan, dan jantungnya berdebar kencang.” Papar perawat tersebut masih dalam kepanikan, berharap Fatrial segera turun tangan. Fatrial bangkit dari kursinya. “Bukankah ada Dokter di UGD?” “Dokter Alvin lagi mengikuti seminar, Dok. Tidak bisa dihubungi.” “Oke, aku akan kesana.” Perawat itu pun segera pergi meninggalkan Poli Paru. “Maaf Ibu sepertinya sampai di sini konsultasi kesehatan Ibu, saya ada pasien di UGD yang butuh penanganan segera.” “Iya dokter.” Fatrial segera berlari menuju UGD yang terletak cukup jauh dari Poliklinik, karena UGD di RSD Mardi Waluyo tidak terletak satu gedung dengan Poliklinik, melainkan berbeda gedung, sehingga membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di sana. Sontak ia kaget melihat Veve berdiri di luar ruang UGD. Ia bersama seorang wanita paruh baya yang jauh lebih tua darinya. Wajah mereka nampak cemas. Di samping mereka seorang gadis kecil berbaring lemah di atas brankar, ia menebak gadis itu pasti salah satu murid Veve di sekolah. Pandangan mereka saling bertemu, namun secepatnya Fatrial mengalihkan perhatiannya pada gadis kecil yang bersama mereka. “Dokter tolong anak saya!” pinta Bu Maliha menghampiri Fatrial yang baru sampai di depan UGD. “Tenang Ibu, Insya Allah tidak apa-apa. Banyak berdoa saja.” Fatrial segera membantu petugas mendorong brankar. Sesaat sebelum masuk UGD, Fatrial melihat Veve. Tidak ada sapa, hanya anggukan sesaat darinya, lalu segera masuk ruang penanganan darurat satu. Veve berharap besar anggukan kepala itu sebagai tanda bahwa ia akan berusaha menangani Aisya semaksimal mungkin. Ada rasa perih yang merambat memberatkan napas Veve. Bertemu kembali dengan Fatrial sama halnya dengan membuka harapan baru, mimpi baru dan rasa yang entah terjawab atau justru akan menjadi luka di esok hari. Pagi tadi, saat sebelum pelajaran dimulai, Aisya yang ceria mendadak lemas dan sulit bernapas. Beberapa guru segera menelepon ambulance Rumah Sakit Mardi Waluyo, dan ia tahu, bahwa saat kakinya kembali menginjak rumah sakit itu, maka ia harus menyiapkan setumpuk obat untuk menutup harapan kosongnya. Setelah beberapa saat menunggu, Fatrial keluar dari ruangan penanganan. Membuka masker dan mendekati Bu Maliha serta Veve yang sudah berdiri menunggunya di luar. “Bagaimana, Dokter?” “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu. Anak ibu hanya mengalami serangan asma, sudah tertangani dan akan segera dipindah di ruang inap. Jadi untuk sementara anak Ibu harus diinapkan, agar tertangani lebih baik jika kondisinya menurun.” “Tapi sebelum sesak, dia sempat batuk darah, Dok? Apa benar tidak apa-apa?” kekhawatiran itu masih tersurat jelas di wajah Bu Maliha. “Batuk berdarah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, sedang sesak napas yang terjadi akibat dari luasnya kerusakan paru. Oleh karena itu penanganan segera harus dilakukan, dan perawatannya dalam pantauan Dokter,” jelas Fatrial, “Oya, apa sebelumnya pasien pernah check up kondisinya di rumah sakit?” “Iya, Dokter. Dioagnosanya TBC.” Jawab Veve. Fatrial mengangguk-angguk. “Kalau ada foto thorax dari pemeriksaan awal, bisa dibawa ke Poli Paru ya. Saya ingin tau hasilnya sebagai bahan perbandingan pemeriksaan selanjutnya.” Veve hanya mengangguk. “Tapi bisa sembuh kan, Dokter?” “Apa pun penyakitnya jika Allah menghendaki sembuh, pasti akan sembuh, Ibu.” Bu Maliha mengangguk meskipun masih nampak cemas. “Tidak apa-apa, Bu. Kita berdoa saja.” Hibur Veve kembali sambil memegang pundak Bu Maliha. Fatrial merasa lega melihat itu. “Saya permisi dulu, Bu. Sebentar lagi pasien akan dipindahkan, jadi Ibu bisa menemaninya.” “Terima kasih, Dokter.” Fatrial hanya mengangguk, lalu melangkah pergi. Sejujurnya bersikap seolah tak ada apa-apa seperti itu membuat Veve sesak. Ingin rasanya berbicara lebih dari sekedar keluarga pasien bertanya pada dokter. Namun, melihat sikap dingin Fatrial seperti itu membuatnya mengubur dalam-dalam harapan kosongnya. Mungkin inilah jawaban atas kegelisahannya selama dua minggu ini. Sudah saatnya berpasrah dan lupakan untuk menjadi pungguk merindukan bulan. Happy Reading Jangan lupa kasih kritik saran ya 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD