Hati Memilih

1417 Words
Fatrial berjalan agak cepat sambil berbicara pada perawat di belakangnya, mungkin sebuah perintah, terlihat jelas perawat itu mengangguk menanggapi setiap kalimatnya, percakapan itu terhenti saat ia memasuki ruangan yang berkapasitas 10 tempat tidur. Ruang di mana Aisya dirawat pula. Ruang tersebut memang dikususkan untuk pasien yang memiliki penyakit menular, sehingga siapa pun yang memasuki ruang tersebut disarankan memakai masker. Usai memeriksa pasien di brankar nomor 7, Fatrial berjalan menuju branker tempat di mana Aisya beristirahat. Buru-buru Veve berdiri dan sedikit menganggukkan kepala saat Fatrial datang. Degup jantungnya masih memburu, tak berkurang ritmenya. “Selamat sore.” Fatrial tersenyum menyapa Bu Maliha dan Veve. “Sore Dokter.” Jawab Bu Maliha. Sesaat pandangan mereka kembali saling bertemu, tak ada senyum atau anggukan, semua terjadi begitu cepat, dan cepat-cepat pula mereka saling mengalihkan perhatian. Fatrial segera memusatkan pandangan pada Aisya. Gadis itu sedang tertidur. “Bagaimana, Dokter?” tanya Bu Maliha. “Insya Allah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, Bu.” “E, Dokter, ini hasil foto thorax yang Anda minta.” Veve beranjak menyodorkan sebuah map coklat berisi lembar foto d**a. Dan Fatrial segera meraihnya. “Terima kasih.” Tidak ada senyum atau kata-kata lain setelah itu, sikap Fatrial lebih dingin dari tempo hari saat mereka bertemu di UGD. Lelaki itu hanya sedikit mengangguk pada Bu Maliha sebagai sikap terakhir sebelum akhirnya melanjutkan tugas. Satu hal yang dirasakan Veve saat itu. Perih. "Mungkin memang bukan aku, dan ta’aruf itu mungkin hanya mainan bagimu, sehingga kau tak memikirkan bagaimana gugupnya diriku" batin Veve @@@ Ruang Mawar lantai 2, pukul 20.30 WIB Hari itu Fatrial bertugas mengunjungi pasien di bangsal anak. Sudah seminggu ini bangsal ortopedi penuh dengan pasien dengan kondisi sama, patah tulang. Ia hanya bertugas melakukan check kondisi mereka setelah menjalani pengobatan selama di rumah sakit. Langkahnya terhenti saat melewati bangsal anak, kamar di mana Aisya dirawat. Ia melihat Veve masih berada di sana bergantian jaga dengan Bu Maliha. Wanita berjilbab ungu itu berusaha tetap terjaga dengan membaca Al-quran. Sungguh pemandangan yang seketika meluluhkan hatinya. Keyakinan tumbuh begitu cepat, secepat ia menyadari bahwa Veve adalah wanita sholehah yang selalu dielu-elukan ibunya. Iya, ibunya tak meminta menantu cantik atau pintar, ia hanya ingin memiliki menantu seorang wanita sholehah yang taat "Ya Allah, aku meyakini kekuasaanMU. Telah banyak Engkau jawab pertanyaan dari sholatku melewati banyak hal yang Engkau tampakkan darinya. Aku yang begitu bodoh selalu meragukan dan takut mengambil keputusan." Fatrial menarik napas dan tanpa pikir panjang ia menelepon Ustad Habib. “Assalamualaikum, ustad. Apakah saya bisa bertemu Ustad besok?” “Waalaikumsalam, apakah ini terkait keputusan dokter?” “Iya, Ustad. Insya Allah begitu.” “Oke.. semoga ini keputusan terbaik dari Anda, Dokter” Fatrial tersenyum mengangguk. “Terima kasih, Ustad.” lalu menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Satu tarikan napas penuh keyakinan Bismillah @@@ Jln Wahidin No 14. Sesuai permintaan Fatrial, Ustad Habib telah memilihkan hari di mana masing-masing pihak bisa saling bertemu. Untuk yang kesekian kalinya Veve duduk pasrah dengan apa pun yang akan dikatakan Fatrial. Tak berharap lagi sejak pertemuan di apotek minggu lalu. Fatrial memang luar biasa, banyak pasien yang mengakui pribadinya yang santun, tapi justru kelebihan itulah yang membuat Veve kian minder. Kalaupun diteruskan, pasti akan banyak cobaan di sana. Veve menarik napas dalam-dalam saat mengetahui Fatrial telah duduk di depannya, di sebelah Ustad Habib. “Saya sangat meminta maaf sebelumnya, karena telah membuat Mbak Veve menunggu. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan saya, juga beberapa kali saya merasa tidak yakin dengan pikiran dan hati saya sendiri. Saya butuh berhari-hari untuk mempercayai semua. Jadi mohon maaf pada semua pihak yang telah membantu saya di sini, terutama pada Mbak Veve.” Entah kenapa permintaan maaf itu justru membuat sekujur tubuh Veve merasa ngilu, seperti pengantar sebuah penolakan. “Tidak apa-apa, dokter. Saya bisa memahami kesibukkan Anda, juga mungkin hal-hal lain di luar itu, dan saya berharap apa pun keputusan yang akan dokter berikan adalah yang terbaik.” “Terima kasih.” Fatrial sedikit menganggukkan kepala. “Sebenarnya tidak hanya dokter Fatrial yang memberi keputusan, tapi juga Mbak Veve. Saya berharap jika nantinya ada perbedaan keputusan, bisa kita selesaikan dan tentunya masing-masing pihak bisa menerima. Tentunya jika menolak, harus dengan alasan yang syar’i.” sambung Ustad Habib. Fatrial dan Veve mengangguk paham. Beberapa kali Veve menghela napas, berusaha membangun dinding kesadaran dan keikhlasan saat itu juga. “Silakan, Mbak Veve. Saya beri kesempatan Anda untuk mengatakan terlebih dulu apa keputusan Mbak dalam hal ini.” Veve menarik napas, sesaat melihat wajah Fatrial yang nampak biasa saja, tak terlihat kegugupan atau kekhawatiran di sana. Rona muka yang membuat Veve kian yakin keputusan yang akan ia terima dari dokter itu. “Lebih baik dokter Fatrial terlebih dahulu yang mengatakan, Ustad.” Fatrial ngerutkan alis, terkejut. “Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bu Lely yang ketika itu duduk di samping Veve. “Saya rasa dalam hal ini dokter Fatrial yang lebih berhak untuk memutuskan. Bukannya saya merasa merendahkan diri saya, tapi kalau boleh jujur, sejak awal saya sudah mengikhlaskan semuanya.” Veve meremas kedua tangannya, menahan gelisah yang mendadak menyergapnya. “Boleh saya tanya sesuatu pada Mbak Veve?” “Silakan, Dokter!” “Saat ini, apa yang Mbak lihat dari saya? Dokter atau seorang lelaki? Saya minta Mbak menjawab dengan jujur.” Nada pertanyaan dari Fatrial seperti menunjukkan sedikit kekecewaan. “Saya merasa Anda melihat saya sebagai Dokter bukan sebagai laki-laki, sehingga muncul rasa rendah diri atau bahkan minder. Saya mohon maaf sebelumnya, tapi perlu Mbak tau, saya tak jauh lebih baik dari Mbak, dan saya tidak pernah membedakan saya siapa atau Mbak siapa. Tidak ada yang lebih baik di sini, dan saya harap Mbak Veve tidak lagi menilai saya seperti itu. Dengan memasrahkan keputusan pada saya, berarti Mbak tidak memberi kesempatan pada hati Mbak untuk memilih.” Veve tertunduk. “Maaf. Sejujurnya saya merasa kecil di depan Anda, Dokter.” Fatrial menarik napas, justru dirinyalah yang seharusnya rendah diri dengan Veve yang telah mendalami Islam jauh lebih banyak dari dirinya. “Tolong Mbak, lihatlah saya sebagai lelaki, bukan Dokter.” Veve masih tertunduk, menahan airmata. “Saya sudah berpikir panjang tentang hal ini, beberapa kali saya juga sudah menyelidiki latar belakang Mbak Veve, meminta pendapat beberapa orang yang mengenal Mbak, juga jawaban dari sholat saya. Saya putuskan untuk melanjutkan ta’aruf ini, karena saya yakin segala bentuk kebahagiaan hanya milik Allah, dan saya akan berusaha membangunnya.” Tubuh Veve lemas seketika, seolah terangkat ke langit, melayang tanpa grafitasi. Keputusan yang membuat jantungnya melompat. Nyaris ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Apa saya tidak salah dengar, Dokter?” wajah Veve penuh kebingungan. Fatrial tersenyum mengangguk. “Awalnya saya ragu untuk mengambil keputusan ini, karena kita baru bertemu dan jujur tidak ada perasaan apa pun yang hadir, tapi satu hal yang membuat saya sadar bahwa ternyata menikah itu bukan mencari seseorang yang mencintai kita atau hidup bahagia bersama orang yang kita cintai, tapi menikah itu adalah mencari seseorang yang bersedia bersama kita memperbaiki diri." Sebutir airmata meluncur bebas di pipi Veve, ia tidak bernah bermimpi Fatrial akan menerimanya. Semua kalimat penuh kemantapan yang lelaki itu sampaikan seolah menjadi secercah cahaya akan kekuasan Allah sang pemilik hati.  Fatrial tidak mengenalnya, bahkan mereka hanya saling tahu melalui biodata, namun kehendak Allah melampaui pemikiran manusia. Selalu ada jalan jika Dia telah berkehendak. “Tapi saya tidak punya apa-apa, Dokter. Saya takut Anda kecewa.” “Berharap dan menyandarkan diri pada manusia itu pasti akan kecewa, Mbak. Saya di sini hanya berharap pada Allah, jika memang sudah niat, insya Allah saya akan berusaha menerima. Bukankah segala kelebihan pasangan kita adalah hadiah, karena yang terpenting adalah ketakwaan dia pada Allah, dan saya melihat itu dari diri Mbak Veve.” Papar Fatrial penuh keyakinan bahwa pilihannya adalah yang terbaik. Tak tertahankan lagi, rasa haru karena bahagia menumpahkan kembali airmata. Untuk pertama kalinya Veve mengenal seorang dokter seperti itu, bukan, tapi seorang lelaki seperti itu. “Jadi bagaimana, Dek?” tanya Bu Lely. Veve mengangguk. “Terima kasih, Dokter. Insya Allah saya akan berusaha membangunnya, saya akan berusaha semampu saya.” Fatrial menghela napas lega. Seolah ia berhasil melakukan operasi darurat tingkat satu dalam waktu kurang dari lima belas menit. Tidak ada rasa cinta, tapi ia ingin membangunnya. Belum tau batu dan goncangan rumah tangga kedepannya seperti apa, tapi ia ingin berusaha menjalaninya. Ia hanya punya satu keyakinan, bahwa perempuan dipilih karena agamanya. Karena seperti apa pun latar belakangnya, jika dia sosok yang mencintai Allah, pastilah Allah akan membuka segala kemudahan dalam hidupnya, termasuk menumbuhkan cinta. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD