Batu Sandungan

1498 Words
Fatrial mulai berupaya mengkomunikasikan keputusan dan rencananya pada keluarga. Tidak mudah memang, sehingga ia meminta bantuan Nadia untuk meyakinkan kedua orangtuanya. Ia tahu bahwa Nadia begitu dekat dengan ayah, tidak sulit baginya untuk melobi dan merayu ayah agar menyetujui “Kamu yakin dengan keputusanmu? Memang kamu sudah tau bagaimana keluarganya?” kali ini pertanyaan ayah sedikit lantang menggoyahkan pertahanan Fatrial. Ia memang belum tahu bagaimana keluarga Veve, tapi ia yakin bahwa Veve pasti berasal dari keluarga baik-baik. “Keputusan menikah tidak segampang itu, Fat. Ayah tidak masalah kamu mau menikah dengan siapa pun wanita pilihanmu, tapi jika wanita ini sosok yang baru kau kenal, dan lantas kamu langsung memutuskan untuk menikahinya, bagi Ayah ini konyol. Kau harus memikirkan baik-baik. Menikah itu untuk seumur hidup, bukan seperti orang pacaran yang sebulan bisa ganti pasangan.” Nada suara ayah sedikit meletup-letup, membuat Fatrial pada akhirnya memilih tertunduk. Ia tak berani membantah ayahnya, sosok yang paling ia hormati dan ia takuti di rumah itu. “Ayah, Fatrial memutuskan untuk menikahinya, pastilah ia sudah berfikir banyak hal. Saya yakin Veve dari keluarga baik, karena seorang anak tidak mungkin menjadi baik jika keluarganya justru sebaliknya.” Nadia berusaha menengahi, ia berupaya membela Fatrial. Suasana ruang keluarga malam itu sedikit menegang. “Nak, sekarang kamu jelaskan pada kami tentang wanita bernama Veve itu. Kami harus tahu siapa dia sebelum kami memberimu restu. Itu penting, Nak.” Kali ini ibunya menyahut, memberi peluang pada Fatrial untuk berbicara. Hening sesaat, Fatrial sedikit ragu apakah cara ini akan berhasil, tapi ia tak punya pilihan lain, mereka harus tahu siapa Veve. Kini ia hanya bisa pasrah, jika memang takdir, Allah selalu punya cara untuk memudahkan langkahnya. “Veve itu, dia guru di salah satu SLB di kota ini. Orangtuanya seorang petani yang tinggal di Malang. Selama aku mengenalnya, juga mencari tahu siapa dirinya, bagiku dia perempuan yang baik, jujur, tulus dan shalihah. Awalnya aku pun ragu apakah dia perempuan yang baik, namun bukti demi bukti yang Allah tunjukkan sudah cukup membuatku yakin bahwa dia perempuan yang baik. Meskipun...” kalimat Fatrial tertahan, ia melihat ke arah ayahnya yang masih menatapnya penuh keraguan. “Meskipun apa, Fat?” “Meskipun ia berbeda pendidikan dengan kita.” Fatrial menahan napas saat kalimat itu terucap. Ia ingin katakan semua meskipun berat, tak ingin ada kekecewaan di kemudian hari dari orangtuanya setelah mengetahui siapa Veve. Ayahnya memandang istrinya sejenak. Ada masa lalu yang kembali terulang. Apa yang sedang dialami Fatrial sama persis dengan apa yang ayahnya dulu lakukan, menikahi wanita yang tak sependidikan dan baru ia kenal. Ya Allah, takdir itu terulang kembali.  “Ayah bukan sedang mempermasalahkan apa pendidikannya atau siapa keluarganya, tapi Ayah hanya ingin tanya padamu apakah keputusan ini memang sudah bulat, apakah kau tidak ingin berfikir ulang lagi? Ayah hanya tidak ingin ada penyesalan dikemudian hari. Ingin segera menikah dengan terburu-buru menikah itu berbeda. Apalagi kamu sempat bercerita bahwa sebelum ini lamaranmu pada Aina sempat ditolak. Ayah takut rencana pernikahan ini hanya upayamu melarikan diri dari Aina.” “Ayah...” buru-buru Nadia menimpali, “Saya rasa itu bukan alasan tepat. Saya yakin Fatrial sudah memikirkan banyak hal, Yah. Dia sudah bukan anak kecil yang lari dari masalah dengan mencari masalah baru.” Satu tarikan napas, menemani sorot khawatir ayahnya pada Fatrial, “Kamu sungguh yakin ingin menikah dengan wanita itu?” pertanyaan itu kini terlontar penuh ketegasan, seolah meminta jawaban tegas pula dari Fatrial. “Iya.” Satu kata penuh keyakinan. “Baiklah, Ayah izinkan kamu, tapi satu hal yang kamu perhatikan dengan betul,” ia membenarkan letak kacamatanya sebelum melanjutkan kalimat, sedang Fatrial menunggu dengan hati berdebar-debar, “Kamu harus bisa mempertanggungjawabkan keputusanmu, karena menikah itu bukan main-main.” Pesan ayahnya, begitu dalam menembus relung hati Fatrial. Ini seperti cambuk yang sengaja mengingatkannya akan sebuah komitmen seumur hidup. “Iya, Ayah. Insya Allah, saya akan bertanggungjawab.” @@@ Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, Fatrial datang ke rumah Veve bersama Ustad Habib dan ayahnya untuk melamar. Allah telah memudahkan prosesnya, semudah hati ayah dan ibunya yang menerima keputusan Fatrial dengan tangan terbuka.  Entah dorongan kekuatan seperti apa yang membuat Fatrial rela maju sejauh ini. Ia sesungguhnya tidak memahami kenapa ia bisa bertindak sampai di titik ini, ia hanya mengikuti apa kata hatinya.  “Apa? Menikah?” seketika Aina berdiri dari duduknya. Matanya melotot karena kaget saat Fatrial menceritakan semua. “Maksudmu apa, Fat?” “Insya Allah ini yang terbaik, Aina.” Aina menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu. Seperti ada bongkahan batu yang menimpa tubuh dan dadanya. Ia nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sejak kapan Fatrial merencanakan semua itu? Kenapa ia tidak cerita apa-apa? Dan kenapa wanita itu bukan dia? Berbagai pertanyaan melayang menyesakkan dadanya. Sudah  “Aku tidak percaya. Kenapa kau tidak menceritakan padaku? Dan bagaimana bisa kau menikahi perempuan yang baru kau kenal? Dan kenapa pula kau memilih dia, dia bukan dokter, dia…” Aina tak mampu menuntaskan kalimatnya karena airmatanya telah berhamburan keluar. “Maafkan aku.” Fatrial tertunduk, ia berharap Aina bisa mengerti meskipun sejujurnya dalam hati ia berat jika harus menceritakan semua secara detail. “Kenapa, Fat? Kenapa bukan aku?” Fatrial mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah memikirkan jauh-jauh hari, sudah banyak pertimbangan kenapa aku memutuskan semua ini. Mungkin tak banyak yang menghendaki keputusanku, tapi aku merasa Allah menuntunku hingga sejauh ini. Jadi aku benar-benar minta maaf. Bukannya aku mengabaikanmu, tapi sejak penolakanmu ketika itu, aku sungguh depresi, kuputuskan untuk meminta bantuan Ustad. Jujur ketika itu aku masih sakit hati dan begitu sulit melupakanmu, tapi sejak melihat perempuan itu, aku merasakan kedamaian di sana.” “Omong kosong!” timpal Aina setengah membentak. “Mana ada hal semacam itu? Mana mungkin perasaan bisa berubah secepat itu? Dan sungguh aku tak percaya kau bisa memutuskan semua ini. Aku tau kau orang seperti apa, Fat. Bagaimana mungkin kau bisa berfikir konyol di saat aku sudah membuka pintu hatiku. Aku masih tidak percaya.” Aina terus menyerang dengan pertanyaan bertubi-tubi yang disertai dengan lelehan airmata, ia tak memberi kesempatan pada Fatrial menjelaskan. Suasana taman belakang rumah sakit yang tadinya hening berubah seketika.  “Apa kau ingin balas dendam atas sakit hati yang pernah kulakukan padamu?” Fatrial terkesiap. “Astaghfirullah, Aina. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu.” “Lalu kenapa kau bisa seperti ini?” “Karena sebelumnya kita tidak pernah terikat apa pun.” Aina kaget, ia mengalihkan pandangan sejenak untuk mengusap airmata dan menarik napas. Apa yang dikatakan Fatrial benar, tak seharusnya ia marah karena ia tak punya hak apa-apa. “Jadi itu alasannya? Bukankah kau tau ketika itu aku sudah bertunangan? Dan kenapa kau tidak mengatakan perasaanmu sejak awal? Jika saja kau katakan sejak dulu, pastilah semua kerumitan ini tidak akan pernah terjadi. Bukankah kita saling menyukai? Lalu kenapa bisa seperti ini?” lagi-lagi Aina berusaha membantah kenyataan. Sesaat Fatrial diam. Memikirkan baik-baik kalimat apa yang bisa membuat perempuan di depannya itu mengerti. “Kau tidak menyukai perempuan itu kan? Aku yakin ketenangan yang kau dapat darinya itu hanya sesaat. Tidak mungkin kau menyukai perempuan seperti itu.” Entah kenapa mendengar kalimat tersebut membuat d**a Fatrial terasa perih. “Aina, dengarkan aku baik-baik. Ya, aku salah karena tidak mengungkapkan perasaanku sejak dulu, aku salah karena tidak memberanikan diri. Aku butuh membangun komitmen dan keyakinan terlebih dahulu, juga perlu kau tau kalau selama ini aku tak pernah pacaran, dan aku hanya ingin bersamamu dengan cara yang halal. Begitupun saat ini, aku memutuskan melanjutkan proses ini karena aku merasa memang inilah jawaban atas sholatku selama ini.” Aina menahan emosi. “Sejak kapan kau belajar Islam sedalam ini, sehingga kata-kata dan perbuatanmu seperti para ahli surga?” umpat Aina, setengah menghina. “Aina!” suara Fatrial agak tinggi. “Oke, aku mengerti, kau memang pernah menjadi anggota ROHIS waktu masih kuliah di kedokteran dulu. Aku bisa paham, tapi aku masih belum memahami jalan pikiranmu.” “Lalu? Apa aku salah dengan keputusanku?” Aina bergeming tak mampu melontarkan sepatah kata pun.  “Aku tahu keputusan ini pasti menyakitimu Aina. Aku pun memohon maaf jika semua terkesan mendadak, tapi proses ta’aruf ini kujalani sebelum aku tahu kamu ternyata memiliki perasaan terhadapku. Kenapa aku memutuskan untuk melanjutkan? Karena aku memiliki kemantapan, meskipun Veve adalah orang baru dalam hidupku, tapi entah kenapa ia mampu meyakinkanku bahwa ia bisa membuatku lebih baik. Tanpa sadar ia mengajariku banyak hal.” “Cukup!” Aina berdiri dari duduknya, seiring dengan gertakan setengah berteriak itu, “Aku tidak bisa memahami pemikiran konyolmu itu. Sebagai Dokter kuanggap kau begitu bodoh dan terburu-buru mengambil keputusan. Kau bahkan menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan. Semua keputusan memang ada padamu, aku tidak punya hak. Kau yang menjalani hidup, dan semua terserah kamu, tapi satu hal bahwa dalam hal ini aku kecewa dan sakit hati.” Kalimat beruntun itu tak sekedar gertakan, wajah dan sorot mata Aina benar-benar menegaskan isi hatinya. Tanpa pikir panjang, bahkan tak perlu mendengar komentar Fatrial ia memutuskan untuk segera melangkah pergi sambil menahan letupan kemarahan di dadanya. "Aku minta maaf Aina." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD