Bab 2 [Shofi]

1490 Words
Pagi-pagi sekali, setelah usai sholat shubuh, Ningsih membersihkan rumah dan memasak. Dengan telaten ia mengoleni pare yang ia ambil dari kebunnya. Dalam kebun milik alm.kakeknya yang seluas satu petak namun dibagi menjadi dua tanaman. Diantaranya tanaman pare dan ketela rambak. Sedangkan untuk kebun semangka itu sudah dihadiahkan untuk istrinya, Mbok Nah. Sekarang kebun itu dikerjakan oleh Pak Supri atas permintaan Mbok Nah. Tentu hasil kebun dibagi menjadi dua. Karena Mbok Nah juga sudah tak bisa lagi untuk sekedar berkebun. Ningsih semakin merasa tak tega meninggalkan Mbok Nah.  Diusapnya keringat yang keluar dari dahinya. Ia menghidupkan tungku pakai korek  api dengan daun pohon kelapa kering agar cepat mengeluarkan api. Mengambil panci untuk memasak air yang nantinya digunakan untuk mandi Mbok Nah.  Setelah beberapa menit berkutat dengan dapur dan sejenisnya, Ningsih memutuskan untuk mandi. Ia akan berangkat pukul 07:00. Semoga saja ia langsung mendapatkan kos. Memang seharusnya ia mencari dulu, bukan langsung pergi lalu mencari. Tetapi besok ia harus bekerja, jadi tak ada waktu lagi untuk bolak-balik antara tempat kerja dan rumah. "Loh Ning, mau masak dewe (Loh, Ning. Tadi masak sendiri?" tanya Mbok Nah dengan pandangan terkejut melihat sudah ada makanan matang yang memenuhi meja makan. Ningsih mengangguk. Lalu ia menuju kamar dan membawa tasnya ke ruang tamu. "Mbok, ikut Ningsih, ya?" pinta Ningsih lagi. "Mbok wes tua, Ning. Mbok nyang omah wae (Mbok udah tua, Ning. Mbok di rumah saja)." Masih dengan teguh pendirian, Mbok Nah menolak ajakan Ningsih. Ningsih tak lagi memaksa. Karena udah sekesekian kalinya ia membujuk tetapi Mbok Nah tetap tak mau.  "Mbok gak iso ngeterne sampe terminal yo, Ning (Mbok tidak bisa mengantarkan sampai terminal ya, Ning)." Ningsih menjawab, "Iya, mbok. Gak apa-apa (Iya, mbok. Tidak apa-apa)." Ningsih membantu Mbok Nah untuk duduk. Sepertinya pinggangnya kembali sakit. Mbok Nah memang memiliki masalah pada pinggangnya. Inilah yang dikhawatirkan Ningsih, nanti siapa yang membantunya di kala seperti ini dan siapa yang akan memijatnya. Ningsih memijat pundak dan pinggang Mbok Nah. Berharap dapat meredakan sakitnya. Setelah itu, Ningsih mengambil obat-obatan untuk Mbok Nah. Ningsih memberikan sepiring nasi serta lauknya kepada Mbok Nah. Dengan senang hati Mbok Nah menerima. Sesekali meringis karena sakit di pinggangnya. Berusaha menahan diri agar Ningsih tak sedih untuk meninggalkannya. "Nih, Mbok. Kalau Ningsih tinggal jangan lupa minum obatnya ya, Mbok," ujar Ningsih. Mbok Nah menerima obat dari Ningsih lalu menelannya dengan air putih. **** "Mbok, sejujurnya Ningsih gak tega, tapi mbok gak mau Ningsih ajak. Mbok baik-baik saja ya, disini. Ningsih janji akan sering pulang," ujar Ningsih sambil memeluk Mbok Nah.  Seusai mencuci piring tadi, Ningsih langsung meminta do'a restu kepada Mbok Nah. Ia takut jika ketinggalan Bus.  "Mbok gak opo-opo. Mbok do'akan Ningsih berhasil lan segera diangkat PNS (Mbok tidak apa-apa. Mbok do'akan Ningsih berhasil dan segera diangkat PNS)." Mbok Nah mengelus rambut Ningsih pelan. Ia sangat menyayangi cucu satu-satunya itu. Ningsih mencium telapak tangan Mbok Nah dan berbalik meninggalkan rumah dengan tas yang dibawanya.  Ini hanya perpisahan sementara. Lagipula dulu sewaktu kuliah ia juga biasa pergi jauh dari Mbok Nah. Tetapi entah kenapa saat ini ia merasa kehilangan. Sekali lagi, Ningsih menoleh kebelakang. Dimana Mbok Nah tersenyum sembari melambaikan tangan. *** "Desa Manggis, desa Manggis," ujar Kernet bus dengan lantang. Ningsih mengerjapkan mata, tak menyangka ia sudah tiba di desa Manggis. Karena sedari tadi ia hanya melamun. Ningsih membawa tasnya menuju kursi paling depan. "Turun disana, Pak!" tunjuk Ningsih. Bus berhenti tepat di dekat pepohonan rimbun. Bus melaju meninggkan Ningsih sendirian di jalan. Jalannya begitu becek juga tampak gelap. Mungkin karena cuaca tampak mendung.  Ningsih mengusap lengannya. Ia merasa kedinginan. Salahnya yang tak memakai jaket ketika bepergian jauh. Jalanan untuk masuk ke desa Manggis hanya bisa dilalui oleh motor. Jika untuk mobil harus lewat jalur yang agak jauh dari jalan yang dilewati Ningsih. Jalan ini diperkirakan hanya seukuran almari berpintu dua. Disamping kanan dan kirinya terdapat pepohonan rimbun. Beda dengan jalan di depan yang dilalui bus tadi, dimana jalannya besar dan ada banyak kendaraan yang lewat. Walau memang terkesan aura tak enak kerap kali datang saat melewati jalan besar tersebut. Tetapi, Ningsih berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika ini hanya perasaannya saja. Sudah 1 km ia berjalan, namun belum juga ada perumahan warga. Apa alamat yang ia dapat salah? Tetapi katanya desa Manggis, dan di desa Manggis ini memang ada sekolah juga. Ningsih menoleh ke kanan-kiri. Ia merasa bingung sendirian diantara pepohonan yang lebat itu. Merasa takut juga jika ia diculik atau dicopet. Kebanyakan menonton film horror membuatnya menjadi parno. "Mbak." Ningsih menoleh kaget. Ada seorang bapak-bapak yang membawa cangkul dengan pakaian yang tampak kotor karena tanah. Tidak memakai sandal, tetapi kulitnya putih. "Mbak pendatang baru, ya?" "Inggih, pak (Iya, pak)." Bapak tersebut mengangguk. "Ada perlu apa, Mbak?" Ningsih menjawab dengan senyum tipis, "Jadi guru baru di smp manggis, pak." "Oh, gitu. Kalau mau menuju perumahan warga harus 1 km lagi, mbak. Memang jauh dari jalan besar sana," ujar bapak tersebut. "SMP manggis ini memang SMP satu-satunya di desa kami. Maklum ya kalau siswanya nanti banyak melebihi pada umumnya," lanjut bapak tersebut menjelaskan. Ningsih mengangguk paham. Pantas saja sedari tadi ia tak juga mendapati perumahan. Mana tidak ada ojek pula. Pantas saja desa ini sering dibilang daerah pedalaman. Ia jalan sambil membawa tas berat yang membuatnya tampak capek dan letih. Ningsih berjalan mengikuti bapak tersebut. Ia belum sempat menanyai namanya. Selama perjalanan, hanya ada suara jangkrik yang berbunyi serta suara pepohonan yang ditubruk angin. "Oh ya, pak. Kalau boleh tahu, apa ada kos di dekat smp manggis?" "Ada, mbak. Nanti saya ajak ke rumah pemilik kosnya." "Terima kasih ya, pak," ujar Ningsih sambil tersenyum. Dalam hati ia bersyukur segalanya dimudahkan hari ini. Untung juga ia dipertemukan oleh bapak ini, jika tidak ia pasti akan lebih bingung. Dari sini, ia dapat melihat rumah warga yang berdempet-dempet. Saat masuk desa disuguhi pemancingan kolam ikan. Ada banyak anak kecil yang melihat para bapak-bapak memancing. Susananya tampak hidup dan berjiwa kekeluargaan antar tetangga atau masyarakat. "Pak Li, sinten niku (Pak Li, siapa itu)?" Pak Li hanya diam tak menjawab. Raut wajahnya juga tampak bingung. "Bu siti iku pripun, seh. Pak Li niku gak bisa boso jowo (Bu Siti itu gimana, sih. Pak Li itu tidak bisa bahasa Jawa)." Ningsih yang mendengarkan terkejut. Pantas saja sedari tadi orang yang diajaknya bicara hanya berbahasa Indonesia. Jadi namanya Pak Li, batin Ningsih berucap. "Itu siapa Pak Li?" tanya ibu berbaju hitam lagi. Pak Li menoleh kearah Ningsih. "Ningsih, pak," jawab Ningsih sopan. Ibu-ibu tersebut mengangguk paham. Pak Li melanjutkan jalannya lagi tanpa mau menjelaskan kembali perihal Ningsih. Ningsih mengangguk pelan dengan sopan kepada ibu-ibu tadi. Sebagai tanda permisi ia lewat. Rumah bercat putih tanpa keramik juga genteng bewarna coklat berada di hadapan Ningsih. Rumahnya sangat kecil dibanding rumah warga lainnya yang ia lihat sepanjang jalan tadi. Seperti rumas kos. Pak Li menaruh cangkul di samping rumahnya. "Silahkan masuk dulu, nak Ningsih. Nanti saya antarkan ke rumah Pak Somad. Di dalam ada anak saya." Ningsih mengangguk. Ia duduk di kursi kayu. Kedua matanya tak henti memandang rumah Pak Li. Lalu tak lama kemudian, ada seorang anak kecil perempuan dengan wajah pucat menghampirinya. Anak kecil tersebut menulis sesuatu lalu diberikan buku notes kepadanya. Nama kakak siapa? Ningsih mengelus dengan lembut kepada anak itu. "Nama kakak Ningsih." Nama aku Shofi "Nama kamu cantik sekali, sayang. Sini duduk dekat kakak," ujar Ningsih. Ternyata anak Pak Li tunawicara. Tidak dapat berbicara. Jika menggunakan bahasa tubuh dan gerak tangan, Ningsih tentu juga takkan tahu apa yang dibicarakan. Shofi berjalan mendekatinya lalu duduk di sebelahnya. Ia tampak senang sekali. "Shofi senang dengan kedatangan Kak Ningsih?" tanya Pak Li yang baru selesai mandi. "Maaf ya, nak. Bapak sampai lupa untuk membuatkan minum," ujar Pak Li merasa tak enak karena tidak menyuguhkan tamunya dengan minuman dan makanan. "Tidak apa-apa, pak." "Shofi masuk ke dalam dulu, ya," titah Pak Li. Shofi mengangguk lalu memeluk Ningsih dengan erat. Seakan tak ingin meninggalkan Ningsih. Setelah shofi tak terlihat lagi, Pak Li mengajak Ningsih ke rumah pak Somad. "Shofi itu anak saya satu-satunya. Istri saya sudah meninggal setelah melahirkan Shofi. Disaat umurnya menginjak 4 tahun, shofi dikatakan memiliki penyakit jantung. Akhirnya saya menjual rumah saya dulu untuk biaya perawatan shofi. Dokter menyarankan untuk membawa shofi ke singapura, tetapi mau gimana lagi saya sudah tidak punya apa-apa," ujar Pak Li. Ningsih rasanya ingin menangia mendengar cerita Pak Li. Kasihan sekali Shofi. Sekecil itu sudah mengalami masalah yang besar. "Saya pun memutuskan untuk tidak menyekolahkan, shofi. Yang terpenting shofi bisa segera sembuh. Saya akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi shofi." Ningsih mengusap air mata yang mengalir ke pipinya dengan kasar. Anak sekecil itu harus mendapat cobaan yang berat. Penyakit jantung bukanlah penyakit yang sembarangan. Penyakit ini penyakit yang dapat membuat orang meninggal dan penyakit ini terkenal dengan penyakit yang mematikan.  "Shofi pasti sembuh, Pak. Ia gadis yang kuat," ujar Ningsih dengan suara yang serak. Pak Li mengangguk saja. Lalu tangannya menunjuk rumah bertingkat dua dengan gerbang hitam menjulang tinggi. Rumah yang paling mewah diantara perumahan warga lainnya. Sepertinya itu rumah Pak Somad, si pemilik kos.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD