Bab 3 [Rumah Kos]

1136 Words
Tampak daun-daun kering memenuhi rumah Pak Somad. Seperti tidak di sapu selama 4 hari. Tetapi, rumah ini tampak indah. Arsiteknya pintar banget dalam mendesain pastinya. Pak Li memanggil-manggil nama Pak Somad. Tak lama kemudian suara kunci yang dibuka dari dalam. Menampilkan bapak berkepala botak dengan kacamata yang menggantung di hidungnya. "Wah, ada Pak Li." Pak Somad mempersilahkan Ningsih dan Pak Li untuk duduk. Pak Somad memanggil pembantunya, meminta untuk dibuatkan kopi dan teh. "Pak Somad, kos milik pak somad di dekat smp manggis itu masih kosong kah?" Pak Li menjelaskan perihal kedatangannya di rumah Pak Somad. "Ohh itu toh. Masih, pak," jawab Pak Somad sambil membenarkan letak kacamatanya. Ningsih bernafas lega. Ia hanya mendengarkan obrolan keduanya. Kedua matanya menatap desain rumah Pak Somad yang tampak modern. Tetapi, ada banyak patung di rumah ini yang membuatnya risih. "Ayo, Nak," ujar Pak Li yang mengagetkan Ningsih yang masih menilai rumah Pak Somad. Ningsih tampak kikuk. Apalagi melihat wajah pak somad yang tak lagi menampilkan senyum ramah padanya. Mungkin karena wajahnya yang begitu tampak menilai isi rumah itu. Ningsih memutuskan berbalik, lalu berlari mendekati pintu Pak Somad. Mengetuknya pelan. Pintu kembali dibuka. Bukan Pak Somad lagi yang membukanya, tetapi pembantu. "Ada apa, mbak?" "Mau tanya ke pak Somad, biaya untuk kos berapa ya sebulannya?" "Dua ratus ribu, mbak," ujar pembantu tersebut. Murah sekali tempat kosnya. Ningsih mengangguk lalu pamit. Untung Pak Li masih menunggunya. *** Rumah sepetak, dengan cat berwarna putih yang sudah tampak memudar. Banyak rumput-rumput kecil di sekitaran rumah. Persis seperti lama tak ditinggali. Apa tidak ada yang merawatnya? Bagaimana ia betah tinggal di rumah seperti ini?  Bahkan bau debu pun terasa memasuki hidung. Hingga membuat ia batuk-batuk. Rumah kos ini tampak tak terawat dan seperti sudah lama tak dihuni. Pintu telah dibuka oleh pak Li. Lagi-lagi Ningsih bersyukur Pak Li masih menemaninya. Seharusnya itu tugas pemilik kosnya.  Dalam rumah sepetak itu, atau di kata lain kos. Ada dapur yang berhadapan dengan kamar mandi, lalu di timurnya ada ruang yang ia tebak adalah tempat tidur. Benar saja, ketika ia membuka pintu itu ada ranjang yang hanya muat ditempati oleh satu orang juga almari besar disana. Dari luar memang tampak kotor, tetapi siapa sangka dari dalam tampak bersih. Mungkin hanya bagian dalam saja yang dirawat oleh pemilik kos. Jika dari luar pasti banyak yang mengira bahwa ini adalah rumah kosong, walaupun memang iya nyatanya. Ngomong-ngomong rumah kos ini seperti rumah yang ditempati Pak Li. Ningsih yang penasaran pun akhirnya bertanya, "Pak Li, rumah kos ini mirip dengan rumah Pak Li ya?" "Iya, Nak." Pak Li masih tetap memanggilnya Nak, tidak Ningsih. "Bapak memang ngekos. Pak Somad itu memiliki 6 kos-kosan yang terpisah tempatnya," jelas Pak Li. Tetapi untuk apa? Apa kamar di rumah Pak Li ranjangnya sama dengan rumah kos ini? Rasa penasaran masih saja timbul di benak Ningsih, namun ia tak berani bertanya lebih lanjut. Karena itu pasti akan menyinggung perasaan Pak Li. Lagipula pasti ada alasan kenapa Pak Somad membangun rumah kos begini. Tidak semua hal harus diucapkan dan ditanyakan dengan gamblang. Menghargai perasaan orang lain itu penting. "Pak Li cuman bisa membantu ini saja, Nak," ujar Pak Li yang membuyarkan pikiran Ningsih.  "Terima kasih, pak atas bantuannya. Jika tidak ada Pak Li pasti saya sekarang masih mencari kos," jawab Ningsih sambil terkekeh.  Pak Li memberikan kunci rumah kos padanya. Dengan senang hati Ningsih menerimanya.  Ningsih mulai membereskan baju-bajunya ke dalam almari setelah Pak Li undur diri. Ia tak mau menunda pekerjaan. Walaupun ia masih capek karena perjalanan panjang. Disapunya lantai berkeramik putih itu. Beda dengan rumah yang ditempati Pak Li. Ningsih kembali mengenyahkan pikirannya. Kenapa pula ia membanding-bandingkan tempat kos yang dibuat Pak Somad.  Setelah menyelesaikan pekerjaan di dalam rumah kos. Ia memutuskan untuk membersihkan luar rumah kos. Mulai dari mencabuti rumput yang ada dengan tangan, karena memang tak ada celurit yang bisa digunakannya. Kemudian ia menyapunya dengan sapu lidi yang kebetulan ada di belakang rumah kos. Ningsih mengedarkan pandangannya. Menatap rumah kos yang akan ditempatinya. Sedikit lagi akan selesai pekerjaannya. Tak sengaja kedua matanya memandang rumah yang berada di depan kosnya. Rumah yang tampak lebih kotor daripada rumah kosnya tadi. Bahkan, tampak banyak sarang laba-laba disana. Ningsih merasa takut melihat hal itu. Otaknya berputar. Apakah rumah itu rumah kosong? Ningsih menggelengkan kepalanya pelan. Ia mengusap peluh yang menetes di hidungnya. Ia begitu lelah. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul 14:00. Ia lupa belum sholat dhuhur. Ningsih segera mungkin untuk mandi lalu sholat. Selesai sholat, Ningsih memilih berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya. "Mbok Nah gimana, ya?" tanya Ningsih pada dirinya sendiri. Ia khawatir pada Mbok Nah. Mau menelfon bertanya kabar, tetapi Mbok Nah tak bisa menggunakan ponsel. Sedangkan ia tak punya nomor ponsel Pak Supri. Ia sampai lupa untuk bertanya kepada Pak Supri soal pupuk apa yang diberikan waktu itu.  Ia seketika teringat bahwa ia belum belanja untuk makan malam nanti. Dari rumahnya pun ia hanya membawa baju dan beberapa uang.  Ningsih beranjak dari ranjangnya lalu mengambil slingbagnya. Ia juga tidak tahu lagi dimana tempat penjual sayur. Ningsih menoleh ke kanan kiri, kenapa ia baru sadar bahwa di dekat rumah kosnya hanya ada beberapa rumah saja. Sedari tadi ia kemana? Pikirannya kemana? Ningsih merasa menyesal tidak melihat sekelilingnya. Ningsih melihat ibu-ibu sedang menenangkan anaknya yang menangis. Ia memutuskan menghampiri ibu tersebut. "Permisi, Bu." Ibu itu menoleh kearahnya. Wajahnya putih bersih, namun tatapannya begitu tajam. Alisnya tebal, dan memakai celak yang tebal juga. Ningsih berusaha tersenyum ramah. "Maaf, Bu. Mau bertanya, toko di sekitar sini dimana ya?" tanyanya lembut. Ibu itu mengusap dahi anaknya lembut. "Di sana, mbak." Ningsih merasa gemas pada anak ibu itu. Pipinya yang putih dan bulat serta kedua matanya yang juga bulat. Rasanya ia ingin mencubit pipi anak tersebut. Anak itu masih kecil, mungkin sekitar 10 bulanan. Anak itu masih balita. "Terima kasih ya, Bu. Anaknya cantik sekali," puji Ningsih tulus. Ibu itu tersenyum. "Iya. Cuman sering nangis begini, Mbak. Saya sampai pusing mendengarnya." "Maklum, masih bayi, Bu." Ibu itu mengangguk. Lalu memperkenalkan namanya, Siti. Ningsih jadi ingat dengan teman sekolanya dulu yang bernama Siti. Siti Maimunah. Primadona di masa menengah atas dulu yang selalu jadi kejaran para anak lelaki. Ningsih berjalan menuju toko. Ternyata tak jauh dari rumah kosnya. Hanya saja pintu tokonya yang menghadap timur juga tak tampak sekali sebagai toko. Membuatnya mengira bahwa itu hanya rumah. Kenapa selama ia sampai disini selalu menerka-nerka sesuatu? Ningsih menepuk dahinya pelan. Tidak boleh, ini tidak baik. Ningsih melihat barang-barang yang dijual di toko tersebut. Ia mengambil beberapa mie sedap goreng dan mie kare serta tak lupa untuk membeli beras. Kalau beli sayur sekarang itu juga tidak mungkin. Pasti besoknya menjadi layu dan tak segar lagi. Ia lalu memberikannya kepada penjual itu.  "Terima kasih, Bu," ujar Ningsih menerima kresek plastik isi belanjaannya.  Sesampainya di rumah kos, Ningsih meletakkan belanjaannya ke meja dapur. Ia memutuskan untuk tidur siang yang akan melewati sore.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD