Bab 4 [Lampu Mati]

1699 Words
Aliran listrik terputus, akibat ada kabel yang putus karena pepohonan yang ambruk. Rumah-rumah menjadi gelap. Ditambah cuaca di luar sana yang mendung serta petir menambah kegundahan hati Ningsih. Ia takut berada dalam kegelapan. Apalagi tak ada lilin. Mau ke kamar mandi saja ia tak berani. Hanya diam bergelung di dalam selimut. Sore tadi, hujan turun dengan deras. Setelah seminggu tidak hujan di desa Manggis, akhirnya turun hujan juga sampai sekarang masih tersisa rintik-rintiknya. Bulan januari, yang semestinya waktunya musim hujan justru cuaca tetap panas, untuk hujan pun jarang-jarang. Sehingga banyak kekeringan di sekitar wilayah tertentu. Hal inilah yang ditunggu para warga, memikmati kesejukan dan bau petrichor. Suara burung hantu terdengar dari luar rumah kos Ningsih. Ningsih menutup kepalanya dengan selimut. Ia memejamkan mata, merasa takut. Suara angin yang kencang membuat pintu kamarnya berderit. Ia lupa untuk menutup pintu tadi. Setelah shalat maghrib, langsung saja ia menuju ranjang. Kata orang, suara burung hantu di sekitaran rumah pertanda ada yang lagi hamil, ada yang meninggal, ada hantu di sekitar. Mitos itu kerap sekali diperbincangkan oleh warga di daerah rumahnya dulu. Sehingga hal ini membuat Ningsih menjadi was-was. Memang tidak seharusnya ia takut menghadapi hal ini, tetapi ia juga manusia yang punya rasa takut ketika mendapati hal-hal yang tak terduga. Suara burung hantu itu sungguh mengganggunya. Terlebih ia sendirian berada dalam rumah kos ini. Dibukanya selimut dengan pelan, hanya sebatas kedua matanya saja. Ia mendelik melihat jam dinding yang ada di kamarnya sudah menunjukkan waktunya shalat isya'. Waktu tak terasa berlalu begitu cepat. Ningsih bergelung kembali ke dalam selimut. Ia tak berani untuk sekedar beranjak mengambil air wudhu. "Astaghfirullah, astaghfirullah. Kenapa aku harus takut dengan hantu? Jika aku takut, hantu pasti akan senang menghampiri. Astaghfirullah. Kamu harus berani Ningsih, jangan paranoid begini," ujarnya menyemangati dirinya sendiri. Dengan penuh keberanian, Ningsih beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Ia menggunakan senter ponselnya. Ditaruhnya ponselnya agak jauh dari air bak mandi. Dinginnya air menyambutnya. Mengalahkan udara di luar sana yang dingin. Suara ketukan pintu terdengar. Ningsih yang telah selesai wudhu pun bergegas mengambil ponselnya menuju pintu depan. Kakinya bergetar, seiring perasaannya yang  yang masih diliputi rasa takut. Ia membuka pintu pelan. Tampak lelaki botak dengan kacamata menggantung hampir membuatnya teriak, jika tak ingat bahwa sosok yang membelakanginya adalah Pak Somad, pemilik rumah kosnya. Ningsih berusaha menetralkan detak jantungnya. Ia benar-benar kaget. Pak Somad membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih. "Mbak Ningsih, ini saya bawakan lilin dan jenset. Jaga-jaga jika lain kali akan terjadi pemadaman." Ningsih tersenyum kikuk lalu mengambil pemberian pak Somad. Dengan hati-hati agar kulitnya tak menyentuh kulit Pak Somad. "Terima kasih, pak." Pak Somad mengangguk lalu berpesan untuk jaga diri baik-baik. Katanya juga pemadaman berlangsung kurang lebih selama tiga hari. Karena memang tidak hanya satu yang putus, ada sekitar dua kabel di tempat yang berbeda. Ningsih menutup pintu rumah kosnya setelah pak Somad berpamitan. Ia sampai lupa bertanya dengan siapa Pak Somad datang. Kedua matanya tak sengaja menatap rumah yang ada dihadapannya. Gelap, dan kotor. Ia segera menutu pintunya dengan kencang. Bulu-bulu halus tampak berdiri. Ia merinding sekali. Ia pun memutuskan mengambil korek api di dapur dan menghidupkan lilin di lantai kamarnya yang agak jauh dari hal-hal yang menyebabkan kebakaran. *** Ningsih membolak-bali telur yang digorengnya. Setelah sholat shubuh tadi, ia memutuskan ke toko untuk membeli telur. Seadanya saja untuk makan pagi. Untung saja toko buka karena pemiliknya mau belanja ke pasar.  Gara-gara mati lampu semalam, ia tak sempat makan malam. Rasa keberanian yang dimilikinya di rumahnya dulu hilang entah kemana. Alhasil, perutnya sekarang merasa sakit. Ia yang memiliki magh memamg seharusnya tak boleh telat makan.  Nasinya sudah tanak, ia akan memindahkannya ke dalam baskom kecil. Disini tidak ada magic com. Lagipula biasanya dia juga menanak nasi di tungku. Digesernya kursi lalu duduk dan memakan nasi telur dengan penuh nikmat. Tangannya berhenti menyendok kembali ketika teringat pagi ini Mbok Nah makan apa, siapa yang membantu Mbok Nah. Walau terkadang ada Pak Supri yang bisa membantunya, tetapi Pak Supri cuman petani yang mengurus kebunnya saja. Ingin menelfon Mbok Nah, tetapi tidak ada telfon di rumah Mbok Nah. Ingin menelfon lewat tetangganya, tetapi akan mengganggu tetangganya jika menelfon sekarang. Mengingat waktu terus bergulir, Ningsih segera menghabiskan makanannya.  Dengan baju atasan putih lengan panjang, rok hitam panjang, tak lupa tas kerja yang sudah ia siapkan dengan beberapa dokumen penting didalamnya termasuk KTP. Ia mengambil peniti dan mengancingkannya ke jilbab bewarna hitam tepat di bagian leher.  "Bismillah, semoga lancar," ujarnya pelan. "Eh, mbak. Mau kemana pagi-pagi gini?" tanya ibu yang kemarin membantunya. Ningsih mengunci rumah kosnya lalu menghampiri ibu tersebut yang sedang menimang anaknya.  "Mau kerja, Bu." Ibu-ibu disini memang tidak tahu tentang pekerjaannya, hanya di daerah Pak Li saja yang tahu. "Kerja apa, mbak?" "Mengajar, Bu Siti." Ningsih membelai pipi bayi itu yang terasa lembut di tangannya.  Ibu tersebut terkekeh menyadari. Siti itu nama lamanya, ia memiliki nama baru sejak nikah dengan suaminya. "Panggil saja Bu Dien. Siti itu nama asli saya. Dien nama suami saya. Anak saya ini namanya Aira." Ningsih mengangguk paham. Aira kembali menangis. Bu Dien berusaha menenangkan Aira. Ningsih yang merasa tak enak pun berpamitan kepada Bu Dien.  Ningsih berjalan dengan hati-hati. Tanah masih becek. Ia lupa tak membawa sandal dulu. Roknya sedikit dinaikkan. Ia menggerutu kesal. Kemarin keberuntungannya, sekarang jadi kesialannya.  Ia melihat tiang bendera berdiri. Lalu di depan bangunan tersebut terdapat tulisan "SMP Manggis". Beberapa anak sekolah sudah ada yang datang. Ningsih melangkahkan kakinya menuju ke kantor. Memperkenalkan diri kepada pegawai lain yang sudah datang. Benar saja, ketika mendapati bel masuk, banyak para siswa bergerombolan masuk ke dalam kelas.  Ia mendapati mengajar di kelas 7 A sampai 7 F. Ningsih mengucapkan salam dengan senyuman. Para siswa menyambutnya tak kalah bahagia. Kebanyakan siswa perempuan.  Hari pertama, ia mulai dengan perkenalan. Semua siswanya ia tanyakan namanya, alamat rumahnya, hobi, cita-cita, dll. Berusaha memahami karakter para siswanya. Agar ia dapat memilih model mana yang tepat untuk pembelajaran kali ini. Agar siswa dapat mudah memahami materi yang ia ajarkan nanti. Point terpentingnya, bukan hanya teori saja yang diperlukan dalam pembelajaran, tetapi praktek juga perlu. Harus seimbang. Jika hanya teori saja, semua siswa ia yakin pasti ada yang sudah paham dengan membaca walau tanpa diterangkan, tetapi jika praktik, pasti perlu dibimbing. Praktik tersebut yang nantinya bisa dikembangkan para siswa nantinya di kemudian hari. Tetapi, menerangkan materi juga penting kepada siswa, agar siswa lebih menangkap materi yang diajarkan. Karena cara belajar siswa berbeda-beda. Ada yang dengan membaca langsung bisa, ada yang diterangkan baru bisa, ada yang lebih suka langsung praktek.  Ningsih keluar kelas 7 B dengan wajah ceria. Hari ini jadwalnya di kelas 7D, 7 B, dan 7 F. Cuaca tampak cerah, di dekat sekolah ada petugas listrik yang membenahi kabel yang putus. Ternyata penyebabnya pohon di depan sekolah ini juga di dekat rumah Pak Somad.  Ningsih tersenyum menatap langit. Ia percaya bahwa apa yang ditakdirkan untuknya semua adalah untuk kebaikannya. **** Sepulang dari mengajar, Ningsih memandang tanaman di sawah yang hijau dan menyegarkan. Kebanyakan para petani disini menanam padi dan jagung. Rata-rata pekerjaan warga di desa Manggis juga sebagai petani.  Kedua mata Ningsih tak sengaja melihat ada sosok anak kecil yang sedang berlari ke jalan sempit di tengah-tengah petak. Ningsih seperti mengenal perawakan itu. Dengan masih memakai baju mengajarnya, ia mengejar anak kecil itu. Ia merasa khawatir. Siapa kedua orang tuanya? Membiarkan anak sekecil itu bermain sendirian. Umurnya jika ditaksir sekitar 6 tahunan.  Beberapa kali Ningsih hampir terpeleset. Ia melepas sepatunya dan menjinjingnya agar memudahkannya mengejar gadis kecil itu. Gadis kecil itu larinya begitu cepat. Ia sampai merasa lelah. Dari kejuahan ia melihat gadis itu berjongkok. Bajunya yang bewarna putih tampak kotor. Ningsih semakin mendekatinya. "Hai," sapa Ningsih sembari memegang pundah gadis kecil itu. Gadis kecil itu menoleh. Kedua mata Ningsih membulat kaget. Wajahnya pucat dengan bibir yang membiru. "Shofi," pekiknya. Ia membantu Shofi berdiri. Tangannya begitu dingin. Bagaimana bisa Shofi berkeliaran disini? Dimana pula Pak Li? "Kamu kenapa ada disini?" tanya Ningsih mengelus pelan rambut Shofi. Shofi hanya menggelengkan kepala pelan. Sepertinya Shofi tak membawa buku notesnya. Ningsih mengangguk paham. Ia memutuskan mengantarkan Shofi ke rumahnya. Ningsih menggendong Shofi. Memakai kembali sepatunya yang berhak itu. "Lain kali jangan main jauh-jauh, ya," ujar Ningsih memperingatkan sambil menyapa beberapa warga yang menatapnya.  Tak berapa lama kemudian ia sampai di depan rumah kos yang ditempati Pak Li. Rumahnya tampak sepi dan pintunya bahkan terkunci. Ia menoleh kearah Shofi yang menunduk duduk di kursi. Ia menghampiri Shofi, merapikan rambutnya yang berantakan. "Kamu ke rumah kos kakak dulu saja ya?" ajak Ningsih yang tak tega meninggalkan Shofi sendirian. Shofi mengangguk pelan. Ia menerima uluran tangan Ningsih. Bagi Ningsih, Shofi adalah gadis yang ceria dibalik kesedihan dan cobaan yang menimpanya. Ingin sekali ia mengutarakan perihal keinginannya yang terbesit baru-baru ini. Ia menjadi ingin menyekolahkan Shofi. Tentunya atas izin Pak Li. Bagaimanapun pendidikan juga penting bagi anak. Apalagi seusia Shofi ini memang seharusnya sudah menapaki Sekolah Dasar kelas 1. Tetapi, seperti yang dikatakan Pak Li sebelumnya, bahwa ia tak mampu menyekolahkan Shofi. Ningsih ingin mengusulkan agar ia saja yang menjadi guru Shofi. Ia dengan sukarela tanpa dibayar. Masa depan Shofi masih panjang. Ia juga yakin Shofi pasti bisa sembuh melewati masa sakitnya itu. Pak Li juga berusaha untuk memenuhi obat yang harus diminum Shofi. "Shofi ingin sekolah juga?" tanya Ningsih ketika melihat pandangan Shofi menatap para anak SMP yang baru pulang sekolah. Shofi menganggukkan kepala pelan.  "Bagaimana kalau kakak saja yang jadi guru untuk Shofi?" tanya Ningsih lagi. Shofi kembali mengangguk dan tersenyum manis. Ningsih rasanya ingin menangis. Kenapa gadis sekecil itu harus mengalami penderitaan yang begitu berat?  Rumah kos sudah tampak. Ningsih mengajak Shofi untuk masuk ke dalam rumah kosnya. Membantunya mandi dan meminjamkan baju kaosnya yang memang tampak sangat kebesaran di badan Shofi. Lalu membuatkannya nasi goreng yang langsung disantap Shofi. Ningsih tersenyum senang melihat pemandangan ini. Ia memang bukan orang yang tergolong berada. Ia hanyalah anak orang yang tak punya. Ia juga pernah merasakan tak bisa makan sehari karena tak ada makanan yang bisa dimakan. Bahkan, ia juga tak tahu dimana kedua orang tuanya. Kata Mbok Nah kedua orang tuanya sudah meninggal. Entah karena apa. Makamnya pun ia tak tahu dimana, apalagi rupanya. Ia hanya bisa mendo'akan mereka agar tenang disana. Selagi masih hidup, ia akan berusaha membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Sebisanya, semampunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD