Chapter 7 : Tasya

1740 Words
NATHAN Ini minggu kedua Alice berlatih menggunakan heels. Akhirnya dia memakai heels kemanapun dia pergi, walau hanya setinggi 5 senti. Tiap malam, dia menggunakan heels 10 cm milik Lau yang baru di gantinya dengan heels 7 cm miliknya. Dia berusaha keras. Tapi itu membuatnya berjalan lambat. Dan saat ini aku sedang menunggunya berjalan ke arah mobilku, seperti biasa, mengantarnya ke kantor, sudah menjadi salah satu kebiasaanku tiap hari kerja. "Alice, gue tau lo mau latihan pake heels buat ke acaranya Mike, tapi gak harus dipakai kemana-mana kan?" Seruku. Ya, aku berjalan lebih cepat darinya, sedang menunggunya di samping mobilku. "Just shut up!" seru Alice, jelas kesal dengan sikapku. "Fine, but lo bisa telat tau." Kataku. "Yeah, whatever. Gak bakal ada yang marahin gue walau gue telat." Gumam Alice, dia sudah berdiri tegak di hadapanku. "Er, mobil lo mana?" "Ini," jawabku, menunjuk mobil Ferrari yang sebenarnya bukan milikku, tapi milik Mike. "Bukannya biasa warna hitam? Kok berubah jadi merah... er, ini Ferarri kan? Bukannya mobil lo itu BMW?" tanya Alice. " BMW gue lagi di bengkel. Terpaksa gue pake ini buat sementara waktu." Jawabku, membukakan pintu untuk Alice, "masuk," dan Alice pun duduk. "Ternyata lo hobi mobil juga ya." Kata Alice, setelah aku duduk di balik kemudi. "Not really, Mike dan Dad yang suka. Gue gak begitu tertarik otomotif. Mereka yang koleksi mobil sports. Gue cuma punya satu mobil yang biasa gue pakai itu. Tapi karena lagi di bengkel, jadi pinjam mobil Mike." Jelasku. Kenapa aku menjawab sepanjang lebar itu? "Oh." Dan hanya dijawab dengan 'oh'? Good job, Nathan. Pikirku. Kenapa lo jadi cerewet gini? "So, nanti siang lunch bareng yuk." Ajakku. "Sorry, gak bisa, siang ini ada janji dengan klien. Kalo mau malam aja ya?" jawab Alice. "Oh, okay. Gue jemput jam tujuh ya?" "Oke" jawab Alice. Aku baru sadar, entah sejak kapan, Alice tidak lagi menggunakan smartphonenya jika sedang berbicara denganku. Yah, kecuali kalau memang ada hal penting. Mungkin sejak aku mengejeknya karena memperhatikan wallpaper? Tanpa sadar, aku terkekeh pelan. "Lo gila? Ketawa sendiri gitu." Tanya Alice. "Gak, gak ada apa-apa." Jawabku pura-pura cool di depannya. Oke, gak biasanya gue begini. "Gak jelas lo." Gumam Alice. Oh ya, satu lagi perubahan Alice, dia udah gak nolak kalo gue ajak lunch atau dinner, well, dengan pengecualian tertentu, seperti siang nanti dia sudah janji dengan klien. ALICE Kenapa di luar ribut banget sih?! Keluhku dalam hati. Aku harus menyelesaikan pekerjaan satu ini sebelum jam tujuh. Tiba-tiba, pintu ruang kerjaku terbuka, Karina menyembulkan kepalanya ke celah pintu. "Karina, ketuk dulu dong! Jantungan gue kalo gini terus!" keluhku "Kenapa juga diluar ribut banget?!" "Tasya datang!" kata Karina, tanpa menghiraukan protesku. "Tasya? Tasya? Eh?! Bukannya minggu depan baru balik?" tanyaku. Tasya adalah pacar Ryan yang sedang mengikuti beberapa seminar kedokteran di luar negeri. Ah, bukan sedang, tapi baru saja selesai. "Ayo! Keluar, lagi ngumpul nih, banyak oleh-oleh loh!" ajak Karina kemudian segera meninggalkan ruanganku tanpa menunggu jawaban. "Ah, iya iya." Aku berdiri, jujur saja, bimbang, antara keluar menemui sahabatku atau melanjutkan pekerjaanku, karena sekarang sudah setengah tujuh lewat yang artinya Nathan akan segera muncul. "Alice! Lo nggak kangen sama sahabat lo yang satu ini ya? Yang lucu, yang baik, yang cantik!" Tasya menyerobot masuk ke dalam ruangan Alice sebelum Alice sempat melangkah keluar. "Lo gak berubah... tetep cerewet." Gumamku, tersenyum. Tentu saja kangen. Dua bulan tanpa bertatap muka dengannya. Tasya memelukku erat dan aku membalasnya. "Gue punya banyak pertanyaan ke lo! Beraninya lo punya pacar tapi gak bilang-bilang!" tuntut Tasya setelah melepas pelukan. "Pokoknya harus sekarang. Sambil dinner. Berdua. Gak boleh nolak." "Wow, Sya, gue baru tau lo suka banget sama gue sampe ngajak dinner berdua. Ryan gimana?" candaku. "Well, My beloved Tasya. Bertiga aja ya? Gue juga mau dengar. Dia gak mau cerita." Ryan muncul, memeluk Tasya dari belakang. "Well. Okay okay, I'll tell. But wait a minute. I have something to do first." Jawabku. Aku mengusir Ryan dan Tasya keluar, menjanjikan akan segera keluar setelah selesai. Gue gak bisa nolak Tasya. Too bad Nath, dinner batal. Setelah mendial nomor Nathan, "Alice," ujarnya, terdengar...senang? "Er, sorry, kayaknya dinner batal deh." Ujarku. "Kenapa?" rasanya aku bisa membayangkan Nathan sedang mengerutkan keningnya. "Tasya, lo tau Tasya kan? Nah, dia baru balik dari luar negeri dan maksa gue buat dinner bareng dia." Jelasku. "Well, too bad. Gue udah di kantor lo." Jawab Nathan. Di saat bersamaan, Alice bisa mendengar suara berisik di luar. "Uhmm..." Aku bingung harus merespon apa. Tiba-tiba, sekali lagi pintu ruangannya terbuka mendadak. Terbanting. "Alice, cowok lo nongol tuh." Teriak Tasya. Aku memberinya tatapan kesal. "Well, perubahan rencana. Kita double date aja! Kalo cowok lo setuju." "What?! No." Balasku, tanpa berpikir. "Kenapa?" yang menanyakan kenapa bukan Tasya, melainkan Nathan. Darn it! "Gue gak masalah kok. Boleh aja," "Err... okay. Whatever." Gumamku pada akhirnya karena tidak memiliki alasan untuk membantah. "Okay then. Let's go!!!" teriak Tasya, membuatku harus menutup telinga. Tasya memang begitu orangnya, tidak bisa diam, tidak menerima penolakan, hiperaktif dan masih banyak lagi. Tapi itulah good pointnya, dia jadi selalu berusaha sebaik mungkin untuk mencapai keinginannya, menjadi pacar Ryan, gelar dokter yang sekarang dimilikinya dan seminar-seminar kedokteran yang baru saja dilewatinya. Dan, setiap bersama dengannya, aku merasa...tenang, aman dan semua masalahku seolah terlupakan. She's the bestest friend I'll ever got. And here we are, at Cassis. Restoran ini cukup, tidak bukan cukup tapi sangat mewah dan gue merasa out of place karena semua wanita yang ada di restoran itu memakai dress mewah dan para pria mengenakan setelan rapi. Seriously, get me out of here. Kenapa pula Nathan malah merekomendasikan tempat ini?! Penampilan Nathan memang pas, dia mengenakan kemeja pas badan putih, vest dan jas coklat, dasi hitam dan celana kain coklat. Ryan berpenampilan nyaris sama, tapi lebih berantakan, memakai kemeja, celana dan jas berwarna hitam. Tasya? Jangan tanya, dia memakai dress selutut berwarna peach yang elegan, memang seorang yang sangat girly, menurutku. Kemudian, aku memperhatikan pakaianku, kemeja putih bergaris horizontal dan celana kain panjang. Boleh kabur gak ya?! "Nath, kenapa lo milih tempat ini sih?!" protesku sebelum keluar dari mobilnya. "Well, emang rencananya gue mau ajak lo ke tempat ini." Jawab Nathan santai, kemudian segera keluar dari mobilnya – mobil Mike lebih tepatnya. Setelah semenit menolak keluar dari mobilnya, Nathan berjalan ke arah pintuku, membukanya, "Lo mau kehabisan oksigen?" tanya Nathan, tajam, membuatku menyernyit. "Iya." Jawabku, sama tajamnya. Nathan menghela napas, "Lo kenapa? Gak suka tempat ini?" tanyanya, terkesan lembut. Kemana nada tajamnya tadi? Aku menggeleng, siapa sih yang gak suka resto mewah dengan makanan enak dan interior mewah seperti Cassis? Orang buta sekalipun akan menyukainya. "Terus kenapa?" tanyanya lagi, sama lembutnya. "Lo gak bilang kalo kita bakal ke sini. And look at what I wear!" jawabku. Nathan terdiam sejenak sebelum tertawa pelan, tawa renyah yang, harus kuakui, enak di dengar. Tapi tetap saja aku kesal karena ditertawakan. Aku menatapnya tajam. "Well, sejak kapan lo peduli sama penampilan? Come on, gak usah peduliin hal sepele gitu. Gue udah lapar nih dan Ryan sama Tasya udah nunggu tuh di pintu masuk." Nathan mengulurkan tangannya, menggapai tanganku kemudian menarikku perlahan keluar dari mobil. "I do care. Tapi gue milih style yang gue suka." Gumamku pelan. "Okay, honey. You look great." Kata Nathan dengan santainya, menggandengku sambil berjalan ke arah pintu masuk. Tadi dia bilang apa? Honey? Seriously? Gue gak salah dengar kan?! Gak, pasti salah. Pasti ada kesalahan pendengaran! Kayaknya gue butuh dokter THT deh. Ternyata, Nathan mereservasi sebuah ruangan. Sebuah ruangan di lantai dua yang khusus untuk tamu VIP. Oh GOD! What happen to him today? Pertama, tadi pagi dia muncul dengan Ferrari dan malam ini dia mengajakku – kami – ke Cassis? Tapi, ruangan yang kami masuki adalah ruangan untuk dua orang. Nathan kemudian menginstruksikan pelayan disana untuk menambahkan dua kursi lagi. "Pertama, kayaknya gue harus minta maaf karena menghancurkan dinner romantis kalian berdua." Ujar Tasya setelah kami duduk di kursi masing-masing, jelas merasa bersalah. Tapi bagiku, aku bersyukur. Karena dia membatalkan dinner berdua di tempat seromantis ini. "But I'm lucky becuase I gotta eat at this awesome resto! Penghasilan dari praktek pun gak bakal bisa membuatku makan sering-sering di tempat ini. Apalagi membayangkan masuk ke ruang VIP ini!" "Gak masalah kok. Masih ada lain waktu buat dinner berdua." Jawab Nathan santai. "Nathan, can I date you and bring me here, like everynight?" tanya Ryan, nadanya terdengar serius, tapi aku yakin dia bercanda. "Nope. Gue normal dan cewek lo jelas-jelas ada di sebelah lo." Nathan memberi Ryan tatapan ngeri yang kontan membuat kami tertawa. "Okay. Gue belum kenalan dengan lo secara lebih formal. Nama gue Anastasya Wijaya. Biasa dipanggil Tasya. Temen Alice sejak SMP, uhm, sebenarnya dari SD sih. Terus apa lagi ya? Ah! Gue dokter, masih dalam proses untuk memperoleh gelar spesialis mata. Uhm, pacaran dengan Ryan udah kurang lebih sepuluh tahun. Lama banget kan?! Soalnya gue tuh orangnya setia, Ryan aja nih yang suka nyosor sana-sini." Jelas Tasya panjang lebar. Dasar cerewet! "Okay, gue Nathaniel." Jawab Nathan singkat, kemudian mereka saling menjabat tangan. "Nama lengkap lo?" tanya Tasya. "Nathaniel Stephans Prasetya." Jawab Nathan. "Umur?" tanya Tasya lagi. Nah, kalo ini aku juga gak tahu pastinya. "bentar lagi 27 tahun." Jawab Nathan. "Tanggal lahir?" "Dua puluh satu Juni." "Bulan depan?" "Yep." "Oke, lanjut, anak ke berapa? Dan punya berapa saudara?" "Anak sulung, satu adik cowok dan satu cewek." "Yang cowok kembarannya." Celetukku. "Kembar? Identik? Atau bersaudara?" tanya Ryan. Kenapa dia ikut-ikutan? "Identik." Jawab Nathan, jelas mulai bosan. "What's this? Some kind of interogation?" "Gak, bukan, gue cuma mau memastikan kalo lo orang yang cocok buat Alice, my lovely siblings from another planets, eh salah, parents ding bukan planet." Jawab Tasya, tanpa rasa bersalah. "Okaayyyy. Jadi?" tanya Nathan lagi. "Pertanyaannya belum selesai. Tapi kayaknya lo mulai kesal, so, kita berhenti aja." Kata Tasya, "Oh, dan mulai makan." "Okay." Jawab Nathan singkat, jelas lega karena berhenti di tanya-tanya. Kami makan dalam diam, menikmati makanan masing-masing. Setelah menandaskan makanan di piringku, Tasya menendang kakiku, memberi isyarat untuk mengikutinya ke toilet. "Errr... gue.. ke belakang dulu ya." Gumamku, memperoleh anggukan dari Nathan dan Ryan. "Gue ikut." Kata Tasya, ikut berdiri denganku. "Lo yakin lo bakal akur dengan Nathan?" tanya Tasya saat kami sudah di dalam toilet khusus wanita. "Nggak. Tapi mau bagaimana lagi. Gue dijodohin." Jawabku setengah hati. "EHH? Lo dijodohin? Kok Ryan gak bilang gitu ke gue?" gumam Tasya. "Jangan tanya gue soal itu." "Okay. Weekend gue nginep di rumah lo. Jadi lo harus cerita sedetail-detail mungkin." Putus Tasya. "Aye aye Captain!" aku menirukan prajurit yang sedang menghormat ke atasan militernya. "That's my girl!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD