Chapter 6 : High-heels Problem

1309 Words
ALICE Saat ini gue sedang fitting baju dengan Nathan. Bukan wedding dress. Hanya dress untuk acara Mike dan Akiko. Dress itu dipesan khusus untuk keluarga. Walau sebenarnya gue belum jadi keluarga sih. Emang mau jadi keluarga? Long dress untukku berwarna biru muda, warna favoritku. Strapless dress berpotongan rendah yang memiliki design elegan. Bagian bawah dress itu memiliki dua lapisan, bagian dalamnya memiliki panjang diatas lutut dan melekat di badan sedangkan pada bagian luar terbelah dua di bagian tengah kemudian memanjang hingga ke belakang. Dress yang harusnya tidak akan pernah mau kupakai. Tapi ini pengecualian. Setelah pertemuan pertamaku dengan Akiko dan Sophie, kami jadi akrab, walau baru seminggu. Dan dia sudah seperti sahabat yang sudah lama kukenal, jadi ini adalah pengecualian, walau harus kuakui, aku suka pada dress ini. Lalu Nathan keluar, dengan kemeja berwarna sam, jas hitam dengan kerah biru tua, dasi bermotif garis berwarna biru tua dan muda dan celana kain berwarna hitam. Dan harus kuakui dengan berat hati, dia KEREN! Apalagi matanya juga berwarna biru, dia seperti habis menelan cat biru, oke, ini gak lucu. "Kenapa liat-liat?" tanya Nathan. "Gak pernah liat orang keren?" "Gak, udah sering. Orang jelek aja yang belum pernah liat, makanya diliatin." Elakku, tiba-tiba mendapat pukulan pelan di kepala. Dari Mike. Jadi, selain dekat dengan Akiko dan Sophie, aku juga mulai dekat dengan Mike. Dengan semua anggota keluarga Prasetya, kecuali Nathan. "Kalo lo bilang dia jelek, berarti gue juga. Muka gue sama kayak dia." Protes Mike. Ah, dasar kembar identik tapi beda sifat! Oh ya, Mike dan Akiko datang bersama kami, walau mereka sudah terlebih dulu fitting pakaian kemarin. "Emang lo keren?" candaku. "Keren lah!" kata Mike, terlalu pede. "Kalian berdua cocok sekali!" seru Akiko. Oh ya, baru ingat, karena dia orang jepang asli, dia tidak bisa bilang 'L', jika mengatakan kata dengan akhiran 'N' maka huruf 'G' akan ikut serta dan pada huruf mati yang berdiri sendiri akan terdengar huruf vokal yang samar. "Thank you," balas Nathan, tersenyum. Dia jarang tersenyum padaku, tapi pada calon istri orang... eh, gue mikir apa sih?! "Kak, aku gimana?" tanya Sophie yang baru saja keluar dari ruang ganti. Dia mengenakan dress off-shoulder pink dengan pita berukuran sedang di tengah, pada bagian depan panjangnya hanya selutut kemudian memanjang di bagian samping dan belakang. Dia juga mengenakan high heels pink setinggi 7 cm dan berjalan dengan sangat baik. "Cantik!" ujarku nyaris berteriak. Akiko, Mike dan Nathan mengangguk-angguk setuju. "Nah, ini sepatu untuk Alice, sudah ketemu." Ujar Gaby, pemilik butik sekaligus designer semua pakaian yang kami kenakan. Sepatu yang dia bawa adalah high heels berwarna perak dengan pinggiran biru muda dengan tinggi 10 cm. Yang dapat kulakukan hanyalah menelan ludah dengan ekspresi ngeri. High-heels setinggi 5 cm saja bisa membuatku jatuh, apalagi 10 cm?! "Ayo dicoba dulu," Walaupun sepatu itu cantik, sangat, tetap saja memakainya sama dengan mati, bagiku. "Eh, kak Gaby, gak ada yang lebih pendek ya?" tanyaku. Kupanggil 'kak' karena dia hanya dua tahun diatasku. Teman Nathan dan Mike. "Hanya ini model yang cocok dress kamu," ujarnya. Tak punya pilihan, aku pun memakainya, tapi dalam posisi duduk, tidak punya nyali untuk berdiri. "Coba di pakai jalan dulu." Saran Nathan. Kenapa dia harus mengusulkanku untuk jalan sih?! "Nggak perlu." Bantahku. "Kalo gak coba jalan, nanti malah nggak nyaman loh kak." Tambah Sophie. Dan aku menjadi pusat perhatian mereka berlima. "Harus mastiin dulu." "Gak ada flat shoes ya?" tanyaku memelas. Seolah aku belum berbicara setelah Sophie tadi, Nathan dengan mudah menarikku berdiri. Apa aku seringan itu? Eh, aku langsung oleng. High heels sialan. Tapi cantik sih. Saat nyaris jatuh, Nathan menahan kedua pinggangku agar aku tidak jatuh dan aku mencengkram, ok bukan mencengkram, bajunya bisa rusak, memegang kedua lengannya. Dan terdengar paduan suara Ooooo dan siulan dari penonton kami. And I'm blushing. "Gue lepas ya, udah seimbang kan?" tanya Nathan. "Don't. Don't even try to let go." Gumamku panik, meraih tangannya yang sudah melepas pinggangku. Dia mengangkat kedua alisnya. "Till I take off this heel." Tambahku sebelum ada salah pengertian. "Okay." Jawabnya, dia menarikku mendekatinya, tapi juga melangkah mundur. "Coba jalan," katanya memberi intruksi. Yang dapat kulakukan adalah melangkah sebanyak satu langkah dalam semenit, sambil gemetar. "Udah deh, gue nyerah!" menghempaskan diriku ke kursi pendek tanpa sandaran di dekatku. "Pokoknya harus pakai sepatu itu nanti," kata Akiko, masih dengan aksen khasnya. "Eh," aku mengeluh. Jadi dalam 3 minggu ini gue harus latihan pake high heels dong? Gue gak punya. "Nanti aku pinjemin satu heelsku deh buat kak Alice. Latihan ya!" ujar Sophie seolah membaca pikiranku. "Yang ini di simpan buat acara." NATHAN Alice dengan dress itu benar-benar...cocok. Ya, dress itu terlalu seksi. Dan ini pertama kalinya aku melihat Alice memakai rok. Kakinya bagus. Harus kuakui, aku tidak bisa melepaskan mataku darinya. Dia benar-benar cantik dan... seksi. Kemudian Gaby, teman SMAku yang adalah fashion designer muncul membawakan high-heels berwarna perak dan biru. Sepatu untuk Alice. Alice lucu sekali saat memakai high heels 10 cm, nyaris tertawa, tapi kasihan juga ya? Jadi cewek memang merepotkan. Sebelum dia jatuh, aku segera menahan pinggangnya, sedikit menggendongnya sebenarnya, dan dia ringan. Tentu saja, dia kurus. Tingginya nyaris sejajar dengan tinggiku, membuatku ingin mengecup bibirnya. Andai saja tidak ada orang lain disini.... ah, apa yang sedang kupikirkan? Dia menggenggam tanganku sangat kuat hanya untuk satu kali melangkah dan hanya berhasil melakukan dua langkah. Ekspresi protes diberikannya pada kami semua, karena mengharuskannya memakai sepatu itu pada saat resepsi nanti, yang merupakan standing party. Lau berjanji akan meminjamkannya high heels untuk berlatih selama sisa waktu yang ada. Jadilah kami sampai dirumah, dirumah orang tuaku tepatnya. Untuk meminjam sepatu Lau. Sekaligus membawa Lau pulang. "Ini sepatunya. Cuma tujuh senti kok, latihan pakai ini dulu ya." Ujar Lau pada Alice, yang melotot. "Cuma? Cuma tujuh senti? Lima senti aja gue bisa jatuh." Protes Alice, lebih pada dirinya sendiri. Aku terkekeh, terdengar sedikit meremehkan. Dia berbalik ke arahku, menampilkan wajah tidak suka. "Tenang aja, nanti kubantu latihan deh," gumamku, memfokuskan pandangan ke depan dan melajukan mobilku. Malam itu juga, aku membantunya latihan, di apartementnya. Ah, tidak membantu sih, hanya duduk sambil menahan tawa saat melihat ekspresinya, seperti anak kambing yang baru lahir mencoba berjalan. Tapi aku suka melihatnya begitu. Seolah itulah dia yang sebenarnya. Tidak seperti selama ini saat sedang bersamaku. "Kalo cuma mau ketawa lebih baik lo pulang aja deh," ujarnya kesal. Melihatku yang sedang duduk di sofanya dengan gaya sangat santai dengan ekspresi menyeramkan. "Jadi, gue harus apa?" aku berdiri, masih ingin melihatnya latihan. Dia sampai keringatan di dalam ruang berAC hanya karena sepatu. "Bantu!" teriaknya masih dengan nada kesal. "Caranya?" tanyaku, tanpa menunggu jawaban, aku meraih pinggangnya, kami berhadapan, "Nah, ambil langkah lurus liat ke depan." "Bicara sih gampang." Protesnya, dia menggenggam kaus abu-abuku dengan sangat kuat, yang tak diragukan akan melar saat dia melepasnya. "Oh ya, kayaknya lo harus belajar dansa juga pakai sepatu ini," ujarku, memang rencananya akan digelar resepsi ala barat, yang artinya para tamu juga bisa ikut berdansa. "Nggak!" serunya. "Gue nonton orang aja," katanya. "Lha, terus gue dansa sama siapa?" tanyaku. "Cari orang lain saja," usul Alice. "Heh? Lo kan pasangan gue, kenapa harus cari orang lain?" tanyaku, ada-ada saja ide gadis ini. "Gue gak usah datang deh, nyerah pake sepatu ini." Katanya lagi, pesimis sekali sih?! Lagipula, hanya karena sepatu dia tidak mau datang?! "Lo harus datang, gue gak bakal ngelepasin lo deh waktu acara." Apaan gak datang?! Mau gue di semprot Dad sama Mom? Mike dan Akiko? Lau? "Yah, asal jangan ngerusak baju gue nanti, jangan kayak sekarang." Tambahku. "Eh? Sorry!" katanya panik dan melepas pegangannya di bajuku, dan langsung oleng, membuatnya jatuh kebelakang. Tanpa pikir panjang, aku memeluknya agar dia tidak mendarat di lantai. "Lo gak papa?" tanyaku cemas. Setelah diam sejenak, dia berkata "Lepasin. Kalo lo berani macam-macam, besok lo udah terpampang di koran." "Hah?" tidak mengerti apa yang di maksudnya. Lalu aku dapat melihat ekspresi takut di matanya. Bukan, bukan karena high heels yang dipakainya. Lalu apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD