Chapter 5 : It’s Decided

2218 Words
ALICE Ting tong! Kenapa sih ada tamu pagi-pagi gini?! Pikirku terbangun dari tidur. Eh, ini jam berapa?! Segera menoleh-nolehkan kepalaku mencari jam. Oh dear! Gue telat! Jam setengah sembilan!!! Aku segera beranjak dari kasur empukku dan baru saja akan masuk ke kamar mandi kalau tidak mendengar bunyi bel sekali lagi. Akhirnya, dengar setengah berlari, menuju pintu depan. Lupa bahwa penampilanku masih acak-acakan karena baru bangun. "Lo lama bang..." argh, suara Nathan. Cowok itu ngapain masih ada di sini?! Dengan pakaian santai berupa kaos hitam berkerah dan jeans. Gak kerja apa? "Lo baru bangun?" "Iya." Jawabku, "Kenapa lo ada di sini? Gak kerja?" "It's Sunday. No works today." Jelas Nathan, "Dan kalo hari kerja pun, gak masalah kan kalo gue telat, gue yang punya perusahaan juga." "So? Kenapa lo disini?" tanyaku. Oke, gue lupa ini hari minggu. Terus dia ngapain bangunin gue coba?! "Lo lupa? Janji buat makan sama orang tua kita?" tanya Nathan. Astaga! Gue lupa! Pikir ku, hanya sanggup membulatkan mataku karena kaget. "Gue...lupa." kataku, "Errr..lo pergi duluan deh, bilang aja gue bakal telat." "Gue tunggu. Lo gak tau dimana rumah gue, kan?" Kata Nathan, melangkah masuk ke apartementku. Dengan terpaksa aku menutup pintu, segera masuk kembali ke kamar dan mandi secepat mungkin. Memakai baju pertama yang kutemukan. "Lo gak punya rok ya?" tanya Nathan memperhatikanku dari puncak kepala hingga ujung jari kaki. Yah, pakaianku tidak bisa dibilang pas untuk bertemu 'calon mertua' but this is how I like to dress up! Kaus berwarna biru langit, warna kesukaanku, dan skinny jeans berwarna navy blue menjadi pilihanku. Bukan pilihan sih. "Hah? Punya kok. Kenapa?" jawabku. "Lo gak pernah pakai?" tanya Nathan lagi. "Cuma pakai kalo ke pesta." Jawabku. "Gak pakai sekarang?" tanya Nathan. Dia suka cewek feminim ya? Too bad, I'm not one of those. "Udah telat." Jawabku mengelak. Seriously, gue gak suka pake rok. Gak leluasa banget!! Kami pun bertolak ke rumah Nathan, rumah orang tuanya. Waktu sampai, papa dan mama udah asyik bicara sama om dan tante. Dan, surprise surprise! Ada dua Nathan di rumah itu! Yaps, ternyata dia punya kembaran bernama Michael Sebastian Prasetya, atau Mike yang kalo di perhatikan, lebih murah senyum daripada Nathan, sayangnya udah punya tunangan bernama Akiko yang keturunan asli Jepang tapi sudah lama tinggal di Indonesia. Kenapa bukan dia aja yang dijodohin ke gue. Eh? Gak mau juga kali. Dan perlu kuberitahu, wajah keduanya sama persis! Model rambut mereka pun mirip. Mereka kembar identik, untung saja baju yang mereka pakai berbeda sehingga aku bisa membedakan mereka hari ini. Nathan juga punya adik perempuan bernama Lauriel Sophia Prasetya, yang berkeras ingin di panggil Sophia atau Sophie dan bukan Lauriel, terdengar seperti merek pembalut, bisiknya padaku. Sophie masih duduk di bangku SMA kelas dua. And, you know what? Udah punya pacar dan lebih tau pake make-up dari pada gue! Bukannya gue peduli sih. Sophie, berbeda dengan kedua kakaknya yang memiliki rambut hitam, dia memiliki rambut coklat seperti mamanya. Rambutnya panjang setengah bergelombang yang benar-benar bagus! Gosh! Kurang apa coba keluarga ini?! Eh, tunggu, setelah dipikir-pikir pantas saja Nathan dijodohin, adik-adiknya sudah pada punya pacar dan dia yang paling tua belum punya pacar. Senasib dengan gue. Pantesan kita di jodohin. EH?! Hell no! Gue masih harus usaha buat batalin ini perjodohan. Oh ya, gue harus menggumamkan nama keempat orang yang baru pertama kali kutemui itu supaya tidak melupakan nama mereka. Kamipun segera berpindah ke meja makan, dengan Nathan di samping kananku, disamping kanan Nathan ada papa dan mama, om Bayu duduk di kepala meja, di depanku ada Sophie, kemudian Mike dan tunangannya dan tante bule. Iya. Mamanya Nathan ternyata bule asli Inggris yang udah tinggal di Indonesia sejak nikah sama papanya Nathan. Pantas saja mata Nathan warna biru. Biru? Gue baru sadar. Setelah diperhatikan baik-baik, mata Nathan ternyata berwarna biru jernih. Dan gue suka warnanya. Bukan berarti gue setuju mau dijodohin sama dia. "Mulai suka sama gue ya? Dari tadi ngelirik terus." Bisik Nathan. "Hah? Nggak." Jawabku, setelah sempat terdiam karena kaget. Jujur saja, yang kulirik bukan dia, tapi matanya. Biru! My favorite color in his eyes! Kemudian berkata dengan suara pelan, "Lo nggak pernah bilang lo blasteran. Dan punya kembaran. Dan adik perempuan." "Lo yang nggak pernah tanya. Kalo soal blasteran, well, gak kelihatan ya?" tanya Nathan dengan suara yang sama pelannya. "He-eh, gak kelihatan, rambut lo item gitu." Jawabku. "Bukan cuma rambut yang jadi patokan," ujarnya tersinggung. "Eeits, kalian so sweet banget, dari tadi bisik-bisik. Sampai lupa makan gitu." Goda Mike. Aku terdiam dan kembali memperhatikan piringku yang belum tersentuh. Nathan menatap Mike tajam. "Serem lo bro!" komentar Mike. "Both of you, stop it!" kata tante bule. Well, kupanggil begitu dalam hati karena jujur saja, namanya susah dan sama sekali tidak kuingat. "Mike dan Aki kan akan menikah bulan depan. Bagaimana dengan kamu Nate? Alice? Bagusnya kapan?" tanya tante bule lagi, mencari topik pembicaraan lain. Sangat fasih berbahasa Indonesia, walau memiliki aksen. "Gimana kalau tahun depan?" usul mama. Saat itu, aku yang sedang minum nyaris menyemburkan air dalam mulutku dan memaksa tenggorokanku untuk segera menelan semua air. Wait what?! Gak kecepetan tuh? "Wah ide bagus!" om Bayu setuju. "Wah wah, jadi tidak sabar," papa menambahkan. "Wah, tahun depan ya, ide bagus." Mamanya Nathan mengangguk-angguk setuju. Dan, setelah itu, mereka asyik membicarakan pernikahan kami, yang sama sekali tidak kuinginkan. ARGHHHH!!! Sial!!! Setelah makan, para orang tua masih tetap asyik membicarakan P.E.R.N.I.K.A.H.A.N. Sedangkan Nate malah asyik main basket dengan Mike di halaman belakang. Gue ngapain coba?! Eh, lupa, ada Sophie sama Akiko, tapi mereka sedang asyik berbincang entah apa. Mending gue pulang kalo gini caranya. Karena tidak ada yang kulakukan, aku hanya memperhatikan desain interior rumah itu. Kebiasaan aneh yang muncul sejak SMA. Dari pintu depan hingga ke halaman belakang, semuanya menakjubkan. Dari pintu utama, dapat dilihat foto keluarga Prasetya dalam ukuran besar. Masuk lebih dalam ke rumah itu, terdapat sofa-sofa panjang berwarna putih dan sebuah meja kaca pendek. Di sebelah kiri ruangan terdapat sebuah tangga setengah melingkar menuju lantai dua dan di dekat tangga terdapat dua piano putih, sebuah grand piano dan yang lainnya adalah piano eletrik yang bersandar di dinding dekat tangga. Di sebelah kanan ruangan, terdapat jalan yang menuju ke ruang makan besar dan dapur. Masuk lebih dalam lagi, terdapat jejeran pintu dan jendela kaca yang mengarah ke halaman belakang. "Kak Alice, ke belakang yuk." Ajak Sophie. Akiko berdiri disebelahnya. "Eh? Eh, boleh..." gumamku, kemudian mengikuti kedua gadis cantik nan feminim itu. Ternyata rumah ini punya kolam renang yang cukup besar dan lapangan basket berukuran sedang. Selain itu ada juga gazibo di pinggir kolam. Seriously, rumah ini jauh lebih besar dari rumah papa mama. Yah, yang pasti gue harus jauh-jauh dari kolam, yang katanya dalemnya 3 meter, gue gak bisa renang sih. Tapi, bad luck, Sophie dan Akiko malah mencelupkan kaki mereka di pinggir kolam. Yah, mereka sih enak, pake rok, celana panjang gini gimana nyelupnya. Dan akhirnya tersisih lagi lah gue. "Kak, ikutan disini deh, enak loh, airnya sejuk." Ajak Sophie, melihatku duduk sendirian di gazibo. "Alice-chan, ayo ikut." Akiko turut mengajak. Nama gue di tambah –chan kedengarannya aneh. Tapi, kedua orang ini sudah berbaik hati mengajak, gak mungkin di tolak kan? Tapi sebelum itu, aku masih menggelengkan kepala, mau bilang apa nggak ya? Malu tau, kalau orang tau gue gak bisa renang. Sophie berjalan mendekatiku, menarik-narik tanganku, "Ayolah, aku pengen lebih tau soal calon kakak iparku." Dan aku mengalah. Jujur saja, tidak sanggup melihat wajah memelas seperti yang ditampilkan Sophie. Berjalan ogah-ogahan mengikutinya, masih menarik tanganku. Dan, kepleset! Good job Alice! Mati gue! BYURR! Tubuhku menghantam air, menarik Sophie denganku. Gue masih mau hidup! Gue mau nikah! Eh, nggak deh! Tapi gue masih mau hidup! GOD, help me! NATHAN Terdengar suara benturan ke air saat aku dan Mike sedang asyik bermain basket. Lau sedang terbatuk-batuk di pinggir kolam sedangkan Akiko menepuk-nepuk punggungnya pelan. Mana Alice? Bukankah tadi mereka sama-sama? "Alice mana?" tanyaku mendekati kedua gadis itu segera. Ekspresi yang mereka tunjukkan segera setelah mendengar pertanyaanku adalah panik. Jangan bilang kalau... ada gelembung-gelembung kecil muncul ke permukaan. Dia gak bisa berenang? Tanpa pikir panjang aku langsung menceburkan diri ke kolam. Menggapai pinggangnya, kemudian menariknya naik. Alice sudah tak sadarkan diri, aku membaringkan tubuhnya agak jauh dari kolam dibantu dengan Mike. Lau dan Akiko panik dan Mike berusaha menenangkan mereka. Aku berusaha memompa air agar keluar dari sistem pernafasannya, berhasil. Dia terbatuk-batuk sambil mengeluarkan air, dari mulut maupun hidung. Tapi tetap tidak sadarkan diri. Dia kenapa?! Kuperhatikan tubuhnya menggigil. "Kak, maaf." Aku mendengar suara Lau bergetar. Bulir air mata mulai mengalir dari kedua matanya. "Aku gak tahu kak Alice gak bisa berenang." "Aku juga, maaf." Akiko turut serta. "Gak papa kok. Dia pasti baik-baik saja." Gumamku menenangkan mereka dan... diriku sendiri. "Nate, kayaknya lebih baik kalau bajunya di ganti deh." Usul Mike. Ya, seluruh tubuhnya basah, sama sepertiku. "Lau, pinjem baju dong. Dan kamu juga harus ganti baju." Pintaku. "Ah! Iya, aku ambil sekarang." Lau beranjak dari tempatnya dan mulai berlari. Dan kepleset, dia pasti jadi membentur lantai kalau Mike tidak menahannya. "Hati-hati," tegur Mike. Aku menggendong Alice, masuk. Dan seluruh rumah pun heboh melihat Lau yang basah berlari masuk ke kamarnya, diikuti oleh kami, terutama karena Alice tak sadarkan diri. Aku meminta Mike menenangkan orang tua kami dan orang tua Alice. Kecuali mama Alice, yang bersikukuh ingin ikut dengan Alice. Aku membaringkannya di tempat tidurku yang menyebabkan tempat tidur itu ikut basah. Lau masuk membawakan bajunya dan mama Alice serta Lau mengusirku karena ingin menggantikan pakaian Alice. Sebelum keluar, aku mengambil pakaianku secara acak dan masuk ke kamar Mike untuk mengganti pakaianku. "Weits, jangan ngotorin kamar orang woi," protes Mike yang masuk ke kamarnya setelah orang tua kami tenang. "Gak kotor kok, gue diusir dari kamar gue sendiri tau." "Udah nggak kok, tinggal Lau yang ada dalem kamar lo, mamanya udah turun tadi." Mike memberitahu. "Oh, kalo gitu gue ke kamar dulu, bye," ujarku, segera meninggalkan kamar Mike. "WOI, baju kotor lo!" teriaknya dari dalam kamar, yang tak kuhiraukan. Dikamarku, Alice sudah dipindahkan ke bagian kasur yang kering, Lau duduk di sampingnya. "Lau, pergi sana," "Yah, kak, jangan marah dong. Aku mau nemenin kak Alice sampe sadar. Boleh ya?" Pinta Lau. "Gak, kamu keringin rambut dulu sana," usirku, rambutnya memang masih basah karena tadi ikut tercebur. Siapa yang narik siapa? Gak tau lah. "Ya udah, kalo gitu kakak yang ngeringin rambut kak Alice ya~" kata Lau, berjalan meninggalkan kamarku. Rambutnya masih basah. Harus dikeringkan, kan? Perlahan, aku mengangkat kepalanya, membungkus rambutnya dengan handuk yang baru saja kupakai untuk mengeringkan rambutku. Kemudian aku mengeringkan rambutnya. Berusaha mengeringkan rambutnya, lebih tepatnya. Kenapa rambut cewek susah kering sih? Nyerah. Selama beberapa saat hanya memperhatikan wajah Alice. Kalau di perhatikan dia memang cantik. Aku menunduk untuk mengecup keningnya, singkat. "Uhuk, uhuk," ah, dia sadar. Aku segera menjauhkan kepalaku. "Lo udah sadar?" Ujarku. ALICE "Lo udah sadar?" suara Nathan mencapai telingaku, beserta dengingan aneh. Aku menepuk-nepuk telingaku pelan. "Lo bisa denger kan?" ada nada cemas dalam suaranya. "Bisa kok." Jawabku agak ketus. Saat itu barulah aku sadar kepalaku ada di pangkuannya, dan tangannya dengan handuk, sedang mengeringkan rambutku. Eh, kenapa rambutku basah sedangkan badanku nggak. Kemudian segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku. Bukan kemeja dan jeans yang tadi kupakai, melainkan dress selutut berwarna pink. Sekali lagi, dress. "Lo... lo yang ganti baju gue?" tanyaku panik. "Hah? Bukan gue, nyokap lo sama Lau yang ganti." Jelasnya. "Lau?" tanyaku, "Oh, Sophie." "Iya, Sophie." Ujarnya membetulkan. "Eh, gue bisa keringin rambut gue sendiri." Ujarku ingin mengambil alih. Kemudian memukuli kedua telingaku pelan, masih ada suara mendenging. "Udah mau selesai kok." katanya menolak memberikan handuk di kepalaku. "Lo baik-baik aja?" tanyanya memperhatikan tingkahku. "Suara mendenging." Keluhku singkat. "Oh, nanti juga hilang kok." Katanya santai. Aku bangkit, terduduk. "Kenapa?" tanyanya, tangannya masih mengikuti gerakan kepalaku. "Ini dimana?" tanyaku melihat sekeliling. Kamar itu bernuansa biru, walau lebih mendominasi biru gelap. Spreinya, yang kini basah berwarna biru nyaris hitam, lemarinya memiliki warna yang sedikit lebih cerah, sedikit. Hanya dinding kamarnya yang berwarna biru muda, warna kesukaanku. "Kamar gue." Jawabnya. Oh, kamarnya. Eh, kamarnya? "Lo suka warna biru?" tanyaku, tangannya sudah melepas handuk yang digunakan untuk mengeringkan rambutku. "Iya. Kenapa?" tanya Nathan, balik. "Gak, gak papa." Elakku. Warna kesukaan kami sama. "Oh, keluar yuk, Mom sama Dad pasti cemas." Dia beranjak dari kasurnya, menarikku bersamanya. Dan di depan pintu, sebelum keluar, dia mengecup keningku, hanya sedetik, mungkin kurang, but it successfully made me blush. Kenapa gue malu? Gue bahkan gak punya perasaan sama dia. Atau ada? Tapi kalaupun ada, gue belum mau nikah! Nathan tidak mengantarku, aku minta ikut dengan orang tuaku. Aku harus membicarakan soal pernikahan ini. Harus dibatalkan. "Papa mama, aku belum mau nikah!" aku memberitahu mereka saat mobil papa sudah keluar dari pekarangan rumah keluarga Prasetya. "Emang belum, kan? Tahun depan kan masih lama." kata papa. "Itu cepat tau!" protesku. "Loh, kenapa tiba-tiba nolak gitu?" tanya mama. "Kami tidak punya perasaan apapun pada satu sama lain!" protesku lagi. "Lah, kalo Nathan gak suka, kenapa waktu kamu tenggelam dia langsung nyebur buat nolong kamu?" tanya papa. "Dia juga panik waktu kamu gak sadar." Tambah mama. Ehhh? Nathan yang nolong? Bukan Sophie? Eh, tapi rambutnya tadi emang basah sih... masa iya? Toh dia gak pernah ngomong soal perasaan. Tapi tadi dia mencium keningku. Argh! Bodoh ah! "Pokoknya gak mau, kalo emang dia suka, belum tentu aku suka kan?" "Belum suka, tapi akan." Kata mama. Hmmm. Benar juga ya… Eh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD