Chapter 4: Know You More

1504 Words
Nathan berjalan memasuki kantor Alice dengan kesal setelah menunggu gadis itu selama satu jam di mobilnya tanpa tanda dia akan muncul. Dilihatnya teman kantor Alice sedang duduk santai dan asyik berbincang. Mana Alice? "Excuse me." Kata Nathan. "Ya?" jawab salah satu cowok, "Eh, lo...Nathaniel?" tanyanya memastikan. "Iya, saya Nathan. Alice ada?" tanya Nathan, agak risih di perhatikan enam pasang mata yang penasaran, tapi berusaha tetap cuek. "Masih di ruangannya." Jawab salah seorang cewek, menunjuk sebuah pintu coklat muda. "Kalau begitu, saya permisi." Kata Nathan sekedar sopan santun. Dia masuk ke ruangan Alice setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali walau tidak mendapat jawaban. Nathan melangkah masuk, melihat ke sekeliling, menyesuaikan matanya dengan ruangan gelap itu, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk dari jendela, mendapati sosok yang sedang duduk di bingkai jendela. "Alice?" panggil Nathan. Nathan berjalan mendekati Alice. Gadis itu terlelap. Kacamatanya dilepas, memperlihatkan bulu mata lentik gadis itu. Wajahnya polos. Tidak ada make-up. Bahkan bedak sekalipun. Walau begitu, alis matanya sangat rapi, hidungnya agak mancung, bibirnya tipis berwarna pink. Kulitnya mulus. Kalau diperhatikan, walau dari dekat Alice tentu termasuk cantik. Nathan memperhatikan ekspresi damai pada wajah Alice, sangat berbeda dengan saat dia terjaga. Saat ini pukul setengah delapan malam. Seharusnya mereka pergi dinner. Tapi kenapa Nathan diam saja dan tidak membangunkan Alice? Terpesonakah? Atau kasihan karena Alice terlihat begitu nyenyak? Entahlah. Selama beberapa saat, Nathan hanya berdiam diri di samping Alice. Bimbang antara membiarkan Alice beristirahat disana atau mengantarnya pulang agar Alice dapat beristirahat dengan lebih nyaman. Nathan memilih membiarkan Alice terlelap sejenak, beranjak keluar dari ruangan gadis itu. "Loh, Alice mana?" tanya salah teman Alice, mereka masih dalam posisi yang sama seperti sebelum Nathan masuk. "Tidur." Jawab Nathan singkat. "Oh ya, kita belum kenalan," ujar seorang pria berambut cepak. Orang yang mengenali Nathan tadi. "Nama gue Ryan." Dia mengulurkan tangan ke arah Nathan yang segera disambut. "Nathan." Setelah perkenalan pendek dengan keenam teman kantor Alice, Nathan diajak duduk dan turut masuk dalam perbincangan-atau lebih tepatnya dalam interogasi. "Kalian beneran di jodohin?" tanya Lola. "Ya, begitulah." Jawab Nathan singkat. "So, gak ada perasaan apapun?" tanya Kevin. "Eh,..." Nathan bingung menjawab apa. Dia baru mengenal Alice sebentar, tentu saja belum ada perasaan istimewa, "Masih dalam proses mengenal satu sama lain." Jawabnya pada akhirnya. "Bukannya Alice pernah bilang bakal nolak?" celetuk Danny. Nathan terdiam. Ya, dia sudah meminta untuk membatalkan perjodohan ini. Tapi pada akhirnya, entah kenapa, tetap saja perjodohan ini tidak dibatalkan. "Hush, salah ingat kali." Tegur Ryan, melirik ke arah Nathan. "Eh, kalo boleh nanya, Alice orangnya gimana sih?" tanya Nathan, ingin lebih tahu soal 'calon'nya itu karena selama ini Alice sangat cuek. "Cerewet," jawab Lola. "Tomboy." Tambah Frieska. "Sopan banget, gak pernah pegang hape kalo lagi bicara sama orang." Kata Karina. Nathan mengangkat alisnya tidak percaya. "Cuek sama penampilan," kata Lola. "Paling workaholic diantara kita semua," kali ini Kevin yang menambahkan. "Hardworker," Danny ikut serta. "Kalo marah serem, lebih serem dari hantu." Ujar Ryan, yang sering merasakan amukan Alice. "Benci cowok. Cuma tiga cowok ini yang pernah diajak bicara sama Alice. And paling deket sama Ryan." Kata Frieska. "Betul tuh! Selama yang gue tau, belum pernah pacaran." Celetuk Karina. "Yah, gue baru kenal pas kuliah sih." "Pernah kok, sekali, waktu SMA." Bantah Ryan, segera membungkam mulutnya. "Itu tuh, makanya sampai orang tuanya jodohin." Tambah Danny, tertawa bersama yang lain. "Betul tuh!" serempak, Lola, Frieska, Kevin dan Karina berkata. "Ehh, Nath, gue peringatin satu hal, jangan bikin Alice marah, dia bisa meledak kalo lagi jengkel!" saran Ryan, seolah berusaha mengubah topik soal kebencian Alice pada cowok. "Ah, dia bisa ngancurin satu ruangan dalam waktu setengah jam kalo lagi marah." Kevin turut menambahkan. "Eh, dia pernah mecahin seluruh barang pecah belah di kamarnya waktu di Singapura." Kata Karina, mengingat kejadian yang sempat membuatnya syok. "Jangankan di kamarnya, kamar gue juga pernah jadi korban." Tambah Ryan, sedikit kesal mengingat hal itu. Selama itu pula, Nathan hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Serem banget nih cewek, pikir Nathan. Dan sepertinya dia dekat dengan Ryan, apakah dia pacarnya? Mereka tidak sadar Alice mendengarkan semua itu, dia sudah terbangun sejak Nathan menutup pintu ruangannya dan mendengarkan semua perbincangan mereka dari balik pintu ruangannya. Dan sekarang sedang berdiri di belakang Ryan yang sedang memunggunginya. "Ryan, lo mau amukan gue lagi?" Ujar Alice meraih bahu kanan pria itu, kesal karena teman-temannya membicarakannya. Diantara semua, Alice memang paling dekat dengan Ryan, alasannya karena Ryan adalah pacar sahabatnya sejak SMP, Tasya, yang adalah seorang dokter. "Eh, Alice, hai! Udah bangun ternyata," sapa Ryan, segera berdiri dari kursinya dan mundur teratur. Alice tetap berjalan mendekati Ryan, tidak memedulikan Nathan yang memperhatikannya. "Lo nyari masalah sama gue?" tantang Alice. "Gak kok, gue masih mau hidup. Serius deh. Suer..." ujar Ryan, tetap berjalan mundur, sedangkan Alice tetap mendekatinya. "Gue laporin lo ke Tasya kalo lo ngelirik cewek lain, baru lo tau rasa." Ancam Alice dengan suara pelan, sehingga hanya Ryan yang dapat mendengar. "Eeitss, jangan dong. Lebih bahaya dia kalo marah! Dan gue gak pernah ngelirik cewek lain, gue setia!" ujar Ryan, awalnya pelan, kemudian sedikit berteriak pada kalimat terakhir. "Alice, lo masih lama?" tiba-tiba Nathan bersuara. "Eh, lo ada? Gue gak sadar, sorry." Alice sebenarnya sadar akan keberadaan Nathan. Tapi, dia harus membuat cowok satu ini benci padanya supaya cowok ini membatalkan perjodohan mereka. Kenapa bukan Alice yang membatalkan? Karena pasti papa mama Alice gak setuju dan mengajukan berbagai pertanyaan tentang kenapa Alice ingin membatalkan perjodohan ini. "Udah bisa pulang?" tanya Nathan lagi, beranjak dari kursinya. "Eh, oh, gue ngambil tas dulu deh," ujar Alice. Kemudian berbalik ke arah Ryan, "Awas lo, kalo lo ngomong yang nggak nggak lagi!" ancam Alice. "Gak bakal kok," balas Ryan, menarik hidung Alice kuat-kuat, sebelum kabur masuk ke ruangannya. Memang, di kantor ini, semuanya memiliki ruang kerja pribadi, tapi jika kalo sedang menganggur atau jenuh dengan pekerjaan, pasti semuanya berkumpul di luar ruangan. Alice, sebenarnya ingin membalas Ryan, tapi Nathan berdeham mengingatkan keberadaannya. Alice pun mengurungkan niatnya dan masuk ke ruangannya sendiri, mengambil tas dan merapikan berkas-berkas yang ingin di bawa pulang. "Dinnernya batal aja ya, gue capek." Kata Alice saat keduanya sudah duduk dalam mobil Nathan. Nathan hanya mengangguk, menyetujui. "Lo deket banget sama Ryan," ujar Nathan, melirik ke arah Alice. "Iya, sahabat gue dari SMP," jawab Alice, memperhatikan smartphonenya. "Kenapa gak jadian aja sama dia?" celetuk Nathan, masih memperhatikan Alice melalui sudut matanya. Mata Alice membesar, WHAT?! Hell no!! Cowok gila kayak Ryan? Iuhhh!! Pikirnya. "Gak mungkin lah, dia udah mau nikah." "Tapi lo punya rasa, kan?" pancing Nathan, melihat kedekatan Alice dan Ryan, tentu saja, Alice sepertinya punya perasaan istimewa pada Ryan. Apalagi setelah mendengar bahwa Alice mau membatalkan perjodohan mereka. Pikir Nathan. "Kenapa jadi ngomongin Ryan sih?" Protes Alice. "Gak, lo keliatan akrab sama dia." Gumam Nathan pelan. Apa dia cemburu? "Hah? Apa lo bilang?" tanya Alice, tidak mendengarkan perkataan Nathan dengan jelas. "Udah sampai," kata Nathan. "Eh, iya, eh lo kenapa parkir? Bukannya biasa lo langsung pulang? Apartement lo jauh, kan?" tanya Alice. "Gue numpang di apartement saudara gue. Di lantai 20." Jawab Nathan singkat, mengambil tas hitam berisi beberapa pakaian dari kursi belakang. "Oh, lo belum makan kan? Mau makan bareng?" tanya Alice, tanpa sadar. Kenapa gue ngajak dia dinner??!! Padahal tadi sudah dibatalkan, Pikir Alice langsung menyesal, gue kan mau bikin dia benci sama gue! "Hmm, boleh. Dimana?" tanya Nathan. Hendak meletakkan tasnya kembali. "Eh, gue masak." Jawab Alice, untuk kedua kalinya, langsung menyesal. Ada apa dengan dirinya?! "Lo bisa masak?" tanya Nathan, ragu. "Kalo nggak mau ya sudah, gak usah." Jawab Alice, ketus. Apakah Alice terlihat seperti perempuan yang tidak bisa masak?! Mereka berjalan masuk ke dalam gedung apartement itu, apartement Alice terletak di lantai delapan, berbeda dua belas lantai dengan apartement Nathan—adiknya. Alice hanya membuat nasi goreng omelet, masih menyesal karena mengajak Nathan makan bareng. "Kalo gak enak gak usah dipaksa." Gumam Alice. Kebiasaan Alice berkata begitu kalau memasak untuk orang lain, walau masakan Alice termasuk enak. "Gak, ini enak kok." Jawab Nathan, menekuni nasi gorengnya. Awalnya Nathan ragu Alice bisa masak, karena dilihat dari penampilannya yang cuek dan pengakuan temannya kalau dia tomboy. Nathan menyelesaikan makanannya hingga tandas. "Lapar apa doyan?" tanya Alice yang sejak tadi memperhatikan, Nathan menyantap masakannya dengan tekun. "Lapar," jawab Nathan. "Gak nyangka lo bisa masak." "Gue tinggal sendiri, harus bisalah, kalo nggak pengeluaran buat beli makan bakal banyak banget." "Oh," Hanya 'oh'?! pikir Alice. Eh, buat apa gue peduli dia nanggapin apa? "Kalo udah selesai, lebih baik lo pulang deh, gak enak sama tetangga," kata Alice, ketus. Apa peduli para tetangga? Kenal aja nggak. "Ok, eh, piringnya?" heh? Lo mau bawa pulang? Pikir Alice sedikit sinis, eh, maksudnya cuci ya? "Ntar gue cuci. Gak bakal gue kasih ke elo." Ujar Alice. Nathan tertawa pelan. Tertawa. Untuk pertama kalinya, di hadapan Alice. "Gue bisa beli piring kok, tenang aja, piring lo gak bakal gue culik." Canda Nathan, beranjak ke pintu depan, diikuti Alice. "Nada bicara lo kayak mau minta piring, tau gak?" gumam Alice. "Sorry about that. By the way, thanks for the food. G'night!" kata Nathan, mengecup kening Alice, meninggalkan Alice ternganga di depan pintu apartementnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD