Alergi

1592 Words
Hari ini adalah hari dimana aku akan berkumpul dengan teman-teman SMA ku. Oh iya, mengenai dua tahun lalu, ternyata takdir tidak berpihak padaku. Aku belum diterima di kedokteran NUS, but its ok. Karena aku pun sudah ikhlas dengan semua itu. Sedih? pasti sih, tapi itu hanya sementara saja, karena segala macam kegiatan penyambutan Maba dan kuliah yang lumayan padat waktu itu membuatku lupa dan akhirnya aku menerima kenyataan bahwa mungkin disinilah aku mencari ilmu. Bukan di negeri seberang. Dan di kampusku yang sekarang aku pun lumayan mendapatkan berbagai prestasi dari pendanaan hingga lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional. Sangat menyenangkan, dari berbagai organisasi dan akademik sudah ku coba. Jika dulu aku sewaktu SMA hanya berangkat, belajar, dan pulang. Maka saat kuliah aku mendapat sebutan mahasiswa kura-kura atau lebih tepatnya kuliah rapat, kuliah rapat. Sudah hampir 15 menit aku menunggu di salah satu kafe di kotaku. Kafe yang sejak aku SMA ini tidak begitu berbeda. Namun arsitektur yang nyaman, kekinian, anak muda banget, dan harga yang friendly menjadikan kafe ini selalu ramai untuk berkumpul atau mengerjakan tugas-tugas kuliah atau sekolah. Ku sibukkan diri dengan beberapa kali melihat instagramku, ku ketikkan sebuah nama, yang sedari dulu mungkin menarik perhatianku atau lebih tepatnya aku hanya kepo. Dua tahun lamanya juga, aku tidak pernah berhasil menemukan usernamenya. Sungguh aneh, biasanya aku selalu berhasil dalam membantu stalking orang-orang yang menarik perhatian sahabat-sahabatku itu. Tapi aku sendiri, tidak becus dalam menstalking seseorang yang bahkan bukan siapa-siapaku, namun sangat menarik atensiku itu. Ayolah, senduri apa yang kamu lakukan. Cukup lupakan dia. Tapi apakah kalian tahu? Rasa kepo ini sangat besar. Aku tahu rasa penasaran yang besar ini, juga karena aku yang memupuknya sendiri. Semoga rasa ini tidak menjadi-jadi sehingga menjadi rasa lain yang seharusnya tidak pernah ada. "Hayo lagi stalking siapa?" ucap seseorang dibelakangku yang membuatku terlonjak kaget. "Bukan siapa-siapa, ihhh kalian lama banget. Aku sudah nunggu hampir setengah jam ya." Ucapku kesal dengan ke delapan temanku yang bisa-bisanya datang di waktu yang sama. "Senduri - senduri.. sendiri aja terusss wkwkwk.." Ucap salah satu temanku yang bernama Arok. Aku hanya memutar bola mataku malas. Ku panggil mbak-mbak pelayan di kafe ini. "Mbak.." panggiku, yang secara tidak sadar ternyata pengunjung kafe lain juga ikut menengok ke arahku. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku malu. "Cepetan kalian pesen deh." ucapku pada teman-temanku itu. Teman-temanku yang lain segera menyebutkan masing-masing pesanannya kepada mbak-mbak yang melayani kami. Sekarang giliranku yang memesan. "Mmmm saya pesan Kwetiaw spesia, sama Leci squash saja mbak." Ucapku pada mbak-mbak yang segera dicatat, dan pamit untuk segera menyiapkan pesanan kami. "Sen.. berarti setelah minggu ini kamu berangkat ke Boyolali ya buat kkn kan?" Tanya Udin kepadaku. "Iya.. tapi setelah itu aku langsung ke Jogja kayaknya, buat PKL sama skripsian si." Jawabku. "Wahh mantul-mantul sukses lah." Ucap Ifa padaku, yang kubalas dengan anggukan kepalaku dan senyuman manisku ini. "Lah, kamu baru mau PKL Duri? Kenapa nggak pas liburan semester 5 kemaren aja?" Tanya Mirza padaku, kebetulan kami sekampus hanya berbeda fakultas saja. "Nggak, kemaren waktu liburan aku ambil semester antara buat menuhin SKS, jadi belum sempat PKL, lagian kemaren itu belum ada info terkait PKL dari pihak jurusan." Jawabku pada Mirza. "Eh BTW nih, aku ada temen nih, ada yang mau dikenalin nggak?" ucap Arok yang mulai menjalankan pekerjaannya sebagai biro jodoh itu. "Aku Rok, aku, aku butuh support system buat ngerjain skripsi nih." Ucap Dila, dan diangguki oleh Ifa dan Cahya. "Aku juga deh." Ucapku sambil menunjukkan cengiranku ini. "Loh Ri, bukane kamu udah ada ya? Itu si Hazim atau siapa itu?" Ucapnya santai. Yang segera aku pelototi agar dia tidak sembarangan bicara itu. Memang dia salah satu yang tahu siapa seseorang yang berhasil membuat aku kepo, padahal selama ini aku selalu menolak teman-temannya yang ia coba kenalkan padaku. Dan hanya padanyalah aku bisa menceritakan sedikit demi sedikit alur cerita hidupku. Entahlah kami menjadi akrab sejak SMA, kebetulan ayahnya adalah guru kimia sewaktu sekolah. Dan tentunya ia mengganggapku sebagai adek. Semoga seperti itu, batinku. "Wahh, duri ini ya. diam-diam menghanyutkan ya, tiba-tiba dah ada cowok aja sih Ri. Kenapa nggak pernah ada cerita sama aku." Ucap Cahya dengan cemberut. "Eh nggak ya, Arok aku nggak pernah ada bilang suka atau ada apa-apa sama dia ya." Belaku tak terima. "Halah Ri , Ri. Belum suka aja. Ntar juga suka lama-lama." ucapnya dengan kekehannya itu. Aku memandang sekitar tidak enak dengan teman-teman yang lain. Apalagi dengan Udin yang katanya sih dia ada sesuatu gitu sama aku. Tapi aku nggak percaya, karena setauku kan dia belum move on dari mantan gebetannya itu. "Nggak ihh.. aku aja nggak tau dia gimana, masa tiba-tiba bisa suka. Kan aneh Arok." Ucapku gemas. Begitulah Arok dia memang suka sekali menggodaku dan membuatku kesal. Sudah berapa tahun dia melakukan itu padaku. "Cinta bisa datang kapan aja Ri, Oh kalau nggak coba tanya sama Udin. Din gimana perasaanmu sekarang. Mumpung ada orangnya dan ada saksi nih." Ucapnya jahil. Ku lirik Udin yang ternyata juga melototkan matanya pada Arok. Suasana menjadi rame seketika. Mereka bersorak pada Udin agar ia segera mengungkapkan seperti permintaan Arok tadi, dasar Arok s****n. Batinku berbicara. Aku lihat ia merasa canggung seketika dan tidak berani melihat kearahku. Oh sungguh suasana seperti ini yang tidak aku suka. "Kalian apa-apaan sih, Aku sama Udin cuman temenan biasa ya!" Ucapku dengan penuh tekanan, dan aku rasa wajahku memerah karena kesal. "Iya kamunya biasa Ri, tapi kan Udin nggak bisa biasa aja." Ucap Ifa yang semakin membuat suasana menjadi rame. "Terserah kalian lah, yang penting aku biasa aja ya." Ucapku lemah. Hal seperti ini sudah biasa terjadi padaku, entah mengapa mereka selalu membullyku mentang-mentang aku jomblo. Eh maksudnya singgle. "Canda Ri, canda.." Ucap Dila dengan mencubit pipiku. "Ihhh.. sakit ya Dilla." ucapku dengan melepaskan cubitannya dari pipiku. "Tapi kan nggak sesakit perasaannya Udin yang selama ini hanya dianggap teman Ri." Ucap Nuha dengan menghembuskan rokok yang ia hisap itu. Untung jarak kami lumayan jauh, jadi aku aman dari asap rokok itu. "Hhh.. terserah kalian deh." ucapku dengan tersenyum. Aku tahu mereka hanya becanda, tapi sepertinya candaan mereka tidak baik untuk Udin. Karena ku lihat ia hanya bisa diam dengan kaku. Mungkin merasa tidak enak padaku. "Permisi mas.. mbak.." ditengah-tengah obrolan tidak bermutu kami ini, datang mbak-mbak tadi yang membawakan pesanan kami semua. Seketika kami hening saat mbak-mbak tadi menaruh makanan di meja kami. "Mbak ada camilan apa aja disini?"Tanya Arok pada si mbak-mbak. "di menu ada semua Mas. Tapi kalau yang udah ready ada Jamur Crispy sama nugget mas." jawab mbak-mbak tadi. "Oh kalau gitu tambah nugget sama jamur masing-masing satu porsi ya mbak." Ucap Arok yang kembali memesan kembali. "Lo udah pesan banyak ah Rok, buset nggak berubah-ubah ya dari dulu." Ucap Mirza pada Arok. "Nggak papa suka makan, daripada suka doi tapi doi nggak peka-peka, ya kan Din." ucap Arok kembali berulah. "Iyain biar cepet." Ucap Udin cepat. Kami pun segera menikmati makanan masing-masing. Aku berfokus pada kwetiaw di depanku ini. Ku suapkan sesendok kwetiaw ke dalam mulutku. Aku merasakan ada yang aneh dalam makanan ini. Tidak biasanya rasanya sedikit amis seperti ini, pikirku. Tapi aku merasa bodo amat. Sehingga tidak terasa sudah lima sendok mie ini yang masuk ke mulutku. Ku merasakan gatal-gatal dibagian lenganku, oh tidak sepertinya di seluruh tubuhku. Ku garuk pelan bagian tubuhku yang terasa gatal ini. Saat hendak dalam suapan ke enam ku merasakan leherku seperti tercekik. Oh tidak apa yang terjadi padaku, tanyaku pada diri ku sendiri. Aku pun segera mengambil minuman yang aku pesan tadi, dengan niat untuk meminumnya tentunya. Saat minuman itu masuk ke kerongkongan, aku merasakan rasa asam dan aneh. Seperti soda, seketika Cahya menengok dan menaikkan alisnya, dengan arti ada apa. "Minumannya aneh," ucapku dengan menunjukkan ekspresi seperti keasaman ini. "Diaduk dulu Ri," Ucapnya dengan mengaduk minumanku. "Ini ada sodanya, pantes wajah kamu gitu." Ucapnya terkekeh. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Namun rasa tercekik dalam tenggorokkanku tidak segera hilang. Aku pun mulai terbatuk-batuk. Seketika seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku. Nafasku tercekat. Ku pegang leherku, bergantian dengan ku pukul dadaku yang terasa sesak. "Ri kamu kenapa?" tanya Cahya kawatir dan segera mengerahkan atensinya kepadaku. Ia memukul-mukul punggungku pelan, mungkin ia mengira aku tersedak. Arok yang berada di seberangku segera berdiri dan mendekat kearahku. "Ri kamu kenapa? Jangan buat aku takut Ri, kamu tersedak atau gimana?" tanyanya panik. Dia di sini yang paling peduli dan keluargaku memang sudah mengenal dirinya diantara teman-teman lelaki yang ku punya. Ku lihat ia seperti ingin memegangku, memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tak jadi, karena dia tau aku menjaga batasan dengan lawan jenis. Sedangkan di sana ku lihat Udin dengan ekspresi panik tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya memandang ke arahku dengan diam. Ia pun segera memeriksa makanan di depanku. Dia melebarkan kedua matanya. "Cumi? Duri alergi seafood, sialan." ucapnya dengan membantingkan sendok yang ia pegang. Ku rasakan nafasku semakin tak beraturan, rasanya sakit sekali. Seperti ada yang sedang mencekik leherku. Mataku terpejam menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi ini. Tangan kiriku terus mencengkeram lengan Cahya. Sungguh rasa sakit ini sangat menyiksa. Sayup-sayup ku dengar ada suara sesorang. "Minggir." ucap orang itu. "Eh lu mau apain temen baik gue." Ucap Arok ngotot. Kudengar seperti ada suara seseorang yang jatuh. "Eh s****n, lu mau ngapain hah." Ucap Arok lagi. Namun setelah itu kurasakan badanku terangkat, dan Ia nampak melangkahkan kakinya buru-buru. "Man, siapkan ruangan, hubungi Angel cepat." Ucapnya yang penuh dengan kekhawatiran. Ingin sekali aku membuka mataku, melihat seseorang yang menggendongku ini. Namu rasa sakit, panas, sesak, dan gatal pada tubuhku membuatku tidak sanggup walau hanya untuk membuka mata. "Tolong bertahan." Kudengar ia mengucapkan dua kata itu. Dan setelah itu aku tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD