Tetangga?

2344 Words
Sayup-sayup ku dengar perdebatan kecil dari teman-temanku, dan sepertinya mereka sedang mengintrogasi seseorang yang tidak ku ketahui.  "Jadi sebenarnya Anda itu siapa sih?" Tanya temanku yang dari suaranya sepertinya Ifa "Saya tetangganya Dia." Jawa seseorang itu.  Ku buka mataku dengan menyesuaikan cahaya yang masuk. Ku lirik sebelah kananku, ku lihat mereka duduk di sofa dan beberapa berdiri karena memang hanya tersedia satu sofa panjang. Sebentar? Sofa? Aku dimana? Tanyaku pada diriku sendiri.  Ku edarkan pandanganku melihat ke seluruh ruangan, dan sepertinya aku di rumah sakit. Ku lihat tanganku tertancap jarum infus disana, dan ya aku menggunakan CPAP untuk membantu pernapasanku.  Aku tahu, sepertinya alergi kambuh. Tapi tidak pernah separah ini. Ku coba lepas alat bantu pernapasan ini dari wajahku.  "Eh.. Ri Ri.. jangan dilepas dulu atuh." Ucap seseorang yang nampak khawatir dan orang itu adalah Arok. Tidak ku indahkan larangannya itu, karena aku merasa sudah baikan. "Nggak papa, udah baikan kok." Ucapku dengan mencoba duduk bersandar di ranjang rumah sakit ini.  "Aku takut banget tau Ri, lihat kamu kayak gitu tadi." Ucap Cahya yang berjalan mendekat ke arahku. "Its ok Cahya, as you see that im okai." Ucapku mencoba menenangkan teman-temanku ini. Hanya tersisa 4 orang, mungkin yang lain sudah pulang pikirku. Dan satu orang yang berdiri di dekat sofa ruangan ini. Tentunya aku tidak kenal siapa orang itu.  "Berapa lama aku pingsan?" tanyaku pada teman-temanku. "2 jam." ucap seseorang yang sempat kuamati tadi. Dan dia berjalan mendekat juga. "Aa.. " sahutku dengan menganggukkan kepalaku dan melihat ke teman-temanku. "Oh iya Ri, kamu kenal sama Dia?" Tanya Udin yang sedari tadi hanya diam. "Mmm.. nggak." Jawabku singkat, ya karena memang aku tidak kenal dengan orang ini. "Nah kan, berarti anda yang sok kenal sama Duri. Sekarang mending Anda pulang deh, mana ngaku-ngaku tetangga lagi." Ucap Arok sewot. "Tetangga?" ucapku bingung. "Iya, kita tetanggaan." Sahut orang itu. "Hah, sejak kapan? Tetangga yang mana?" tanyaku bingung.  "Nah kan suka ngaku-ngaku nih orang." Sewot Arok lagi.  "Saya tetangga baru kamu." ucapnya datar. "Tetangga baru? Tapi dimana?" tanyaku masih tidak mengerti. "Depan rumah kamu." jawabnya yang lagi-lagi datar.  Ku berpikir sejenak.. depan rumahku kan rumahnya Pak Yanto, lah Pak Yanto nggak jual rumahnya juga perasaan. Sebelah rumah Pak Yanto itu rumahnya Pak Agung, tapi Pak Agung kan sudah meninggal beberapa bulan lau, dan rumahnya kosong apa dia tinggal disitu. "Saya tinggal di rumahnya Pak Agung." Ucapnya seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Cenayang kali ya. batinku berkata. "Oalah, saya baru tahu." Ucapku seadanya juga.  "Mmmm.. aku boleh pulang kan ya?" Tanyaku pada teman-temanku. "Udah kok Ri, nggak harus nginap kok." Jawab Cahya. "Eh tapi nanti aku nggak bisa nganterin kamu Ri, ini dah disuruh pulang sama Papa soalnya gimana?" Tanya Cahya bingung. "Mmm kamu Fa, bawa motor nggak tadi?" Tanyanya pada Ifa. "Nggak kan aku kesini bareng Udin tadi." Jawab Ifa. "Ntar aku anterin aja Ri nggak papa." ucap Arok yang kini sudah berbaring di sofa tadi. Sebenarnya nggak papa si, tapi.. "Nanti Duri bareng saya aja yang searah." Sahut seseorang yang bahkan belum aku kenal itu. "Eh mana bisa." Ucap Arok yang segera terbangun dari rebahannya. "Nggak, nggak boleh. Duri aja nggak kenal sama Anda, nih orang dari tadi kok ngeselin sih, sksd." Ucap Arok yang entah kenapa sangat sewot dengan orang itu. "Saya sudah dapat izin dari Pak Ali." Ucapnya lagi. "Yahh cepu, bawa-bawa Pak Ali lagi. Emang siapa Pak Ali, sok-sok an banget." Ucap Arok lagi. "Pak Ali nama ayah aku Arok." Jawabku dengan malas, dasar orang ini ya. "Lah masa sih? Bukannya Pak Yanto?" Tanyanya sok polos itu. "Bukannn.. pak Yanto depan rumahku." Sangat malas sebenarnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tak penting dari Arok itu. "Lahh gue lupa anjayyy.. kalau gitu kamu bareng Dia aja nggak papa Ri, kan dah dapet ijin dari Pak Ali." Ucapnya dengan cengengesan. Semudah itu Arok membiarkan aku diantar orang lain yang katanya tetangga baru aku itu? definisi teman laknat kan, nanti kalau aku diculik bagaimana coba? "Kalau gitu Duri sama aku aja, nanti aku antar, Ifa biar diantar Arok kalau gitu." Sahut Udin. "Nggak bisa Din, nih gue dapet kabar ayah temen gue meninggal, gue harus segera pulang buat ngelayat ini." Ucap Arok dengan cepat. "Yaudah nanti aku ngantarin Ifa, terus kesini buat antar Duri aja gimana?" Tanya Udin yang sepertinya menunggu persetujuanku itu. "Nggak usah Udin, nggak enak juga aku sama kamu. Nanti aku telfon kakak aku aja buat jemput. Mereka pasti mau kok." jawabku pada Udin, sebenarnya tidak apa-apa di antar Udin. Cuma selama ini aku tidak pernah dibonceng laki-laki kecuali keluargaku sendiri.  "Hm ok Ri, kalau gitu aku sama Ifa pamit dulu ya." Ucapnya yang sepertinya agak sedikit kecewa itu. Sungguh aneh orang itu, kalau curhat katanya belum move on sama mantannya, tapi perlakuannya itu seperti ada sesuatu denganku. Entahlah. "Iya hati-hati Udin dan Ifa." Ucapku pada mereka yang segera meninggalkan ruangan ini. "Kalau gitu aku juga pamit pulang ya Ri, TTDJ." Ucap Cahya berpamitan, dan ku balas dengan anggukan kepalaku. Entah kenapa suasana menjadi canggung. Ku coba untuk mengambil handphone dinakas samping ranjang tempatku berada ini untuk menghubungi keluargaku, semoga saja mereka sedang tidak sibuk jadi bisa menjemputku deh.  "Kamu pulang dengan saya." Ucap seseorang tadi. Ku tegakkan kepalaku dan menatapnya dengan kening berkerut.  "Tidak usah Pak, biar saya dijemput keluarga saya saja." Ucapku padanya. "Pak Ali sekalian belum pulang, jadi pulang bareng saya." Ucapnya yang sepertinya tidak mau di bantah itu.  "Ta-tapi, kalau gitu saya dijemput adek saya saja Pak, Bapak bisa pulang duluan saja."  "Kamu bareng saya." Ucapnya yang kemudian meninggalkan ruangan ini.  Ku hanya menatap punggung yang meninggalkan ruangan ini. Segera ku tatap Arok. "Gimana nih Rok?" tanyaku cemas. "Aduh gimana ya Ri, ini bentar lagi malah aku mau pamitan pulang sama kamu." Ucapnya dengan mengusap rambutnya itu. "Kayaknya orang tadi baik si Ri, tapi aku juga baru 50% percaya sama dia. Gini aja deh, nanti kalau dia apa-apain kamu langsung telfon aku aja gimana?" ucapnya mencoba menenangkan itu.  "Hmm yaudah deh, sana pulang." Usirku padanya.  "Lah ngusir nih anak, yaudahlah aku pulang dulu kalau gitu ya Ri. Bye." ucapnya yang segera meninggalkanku sendiri di ruangan ini.  "Dasar temen nggak guna ih." gumamku saat ia sudah tak nampak lagi. "Kalau gitu nggak usah temenan lagi sama dia." Ucap seseorang yang memasuki ruangan ini dengan mendorong kursi roda.  "Kursi roda? buat siapa?" tanyaku tak suka dengan kedatangannya itu. "Buat kamu." Jawabnya "Nggak perlu Pak." ucapku datar. "Emang bisa jalan, tadi aja saya yang bawa kamu kesini."  "Apa?" tanyaku kaget. "tanya aja teman-teman kamu" "Kok bapak lancang ya?" Tanyaku tak suka.  "Dari pada teman kamu yang hanya ngelihatin." "Karena mereka segan." "Segan sampai buat kamu hampir mati?" Tanyanya dengan menaikkan sebelah alisnya itu. Apa tadi dia bilang, mati? Kok asal sih ngomongnya. "Bapak kok asal kalau ngomong." Ucapku tak suka. Dia hanya menghendikkan bahunya. Kenapa dia begitu menyebalkan, bahkan sampai sekarang aku tidak tahu namanya. Ku lihat seorang laki-laki memasuki ruangan ini. Ku hanya melihatnya tak suka. Mungkin dia juga sama menyebalkan seperti temannya itu.  "Bum, udah siap." Katanya yang kemudian duduk di samping Bum? Bum siapa itu entahlah aku juga tidak tahu. "Mau pulang kapan?" Tanyanya.  "Sebentar saya coba telfon adek saya dulu Pak." jawabku. Sungguh aku tidak mau pulang dengan orang aneh itu.  Kucoba telfon adek sepupuku itu, panggilan pertama tak ada jawaban dari sana. Begitu pula dengan panggilan kedua. Ku hanya bisa menghela nafasku.  "Gimana?" Tanyanya lagi.  "Nggak di angkat." Jawabku singkat. "Berarti bareng saya." Ucapnya dengan sedikit senyum tipis? Oh bisa senyum ternyata.  "Hmm ok." Putusku. "Tapi nggak cuma berdua kan?" Tanyaku memastikan.  "Nggak kok Dek, ini ada saya, nggak dianggap nih?" Tanya temannya itu. "Oh." Jawabku padanya. Eh berarti pulang sekarang kan ya? Ku coba untuk melepas selang infus yang tertancap ditanganku itu, tapi suara seseorang menahan gerakkanku. "Jangan ." ucapnya datar. "Kenapa?" tanyaku bingung. "Kan mau pulang, jadi dilepas dulu kan?" tanyaku lagi. "Biar dokter yang ngelepas." Ucapnya yang kemudian beberapa perawat dan seorang dokter cantik memasuki ruanganku itu. Ku hanya diam menuruti segala instruksi dari beberapa tenaga medis ini, kadang membalas pertanyaan yang ditanyakan padaku. Setelah semuanya selesai, dan tenaga medis tadi meninggalkan kami, kecuali dokter cantik tadi, segera ku coba turun dari brankar ini. "Mau ngapain?" tanya seseorang yang dari percakapan dengan dokter cantik itu tadi sepertinya namanya Bumi? "Mau turun Pak, kan mau pulang." Jawabku polos.  "Pakai kursi roda saja." ucapnya dengan mengarahkan kursi roda itu padaku. "Nggak perlu Pak, saya bisa jalan." Ucapku padanya, emang dia kira aku lumpuh apa. "Emang bisa jalan?" "Saya hanya alergi Pak, bukan lumpuh." Jawabku kesal, yang kemudian turun dan berjalan keluar. Lihat aku bisa jalankan, sombongku dengan berjalan cepat. "Mm.. tasnya ketinggalan dek." Ucap temannya itu.  Segera ku berbalik dan mengambil tasku dan segera pergi dari ruangan itu. Malu sebenarnya, tapi yaudahlah.  Kulihat tiga orang dibelakangku itu seperti menetertawarkanku. Sungguh aku malu, kenapa nggak bisa jaga image sih, kesalku pada diri sendiri. Ku berjalan menuju tempat administrasi, tentunya untuk melunasi biaya rawat yang hanya beberapa jam tadi. "Mbak, administrasi atas nama Senduri." Ucapku pada resepsionis itu. "Ngapain?" Tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di sampingku dan diikuti dua orang tadi. "Lunasin administrasi." Jawabku padanya. "Sudah lunas." Ucapnya singkat, dan membuatku terkejut tentunya. Pasti mahal pikirku, apa lagi tadi sepertinya ruang VIP, mana aku nggak punya bpjs juga lagi. Eh emang bisa ya ruang VIP pakai BPJS? Tanyaku pada diriku sendiri. Dia yang sepertinya melihatku sedang berpikir itu segera mengajakku untuk keluar menuju lobi. "Beneran mbak dah lunas?" Tanyaku pada mbak-mbak resepsionis itu. "Iya Dek." Jawabnya dengan tersenyum. "Siapa yang lunasin mbak?" tanyaku pada resepsionis tadi, kan harus diganti juga uangnya. "Dokter Bumi Dek." ucapnya yang sepertinya sungkan. "Dokter Bumi?" Tanyaku cengo, yang kemudian diangguki oleh mbak-mbak resepsionis. Segera ku alihkan pandanganku pada orang yang berdiri disampingku ini. "Dokter Bumi itu Bapak?" tanyaku padanya. Hanya memastikan saja sih, soalnya kan tadi belum kenalan hehe.  "Iya." Jawabnya singkat, dan aku lihat kedua temannya itu seperti menahan tawa. Emang ada yang lucu pikirku. "Ou, nanti sampai rumah saya ganti ya Dok." Ucapku padanya yang kemudian mendapati anggukan darinya.  Kulihat ia meninggalkan kami, yang kemudian diikuti oleh teman dan dokter tadi. Aku pun berakhir mengikuti langkah mereka. Setelah sampai lobi. Kulihat sudah sebuah mobil Alpard? sudah terparkir manis. Teman laki-lakinya tadi segera duduk di bangku sopir. Dan dokter Bumi sepertinya membukakan pintu mobil bagian penumpang padaku? Eh buat aku kan ya? Tapi bisa saja buat dokter cantik ini kan? Huaa.. kenapa hari ini aku banyak termenung si? Tanyaku lagi-lagi pada diriku sendiri. "Ayo masuk." Ucapnya datar tapi lembut. Termasuk lembut nggak ya? Aku tidak bisa membedakan sepertinya. Karena ia memang benar-benar datar, tapi lumayan ganteng? Astaghfirullah, sadar Duri. Ucapku dengan memukul jidatku, agar segera sadar. "Kenapa?" Tanya Dokter Bumi yang sepertinya tau apa yang aku lakukan tadi. "Eh nggak papa Dok." ucapku yang sekarang memanggilnya Dokter, ya karena ternyata ia dokter kan.   "Ayo masuk." Ucap Dokter cantik yang kemudian menuntunku untuk memasuki mobil dokter bumi, tidak perlu seperti ini sebenarnya, aku bisa sendiri. Tapi kuturuti saja, karena ya setidaknya untuk menghormati kebaikan dokter cantik. "Terimakasih Dok." Ucapku tersenyum pada dokter cantik yang kemudian mendapat anggukan darinya. Pintu mobil itu pun tertutup dan kulihat dokter Bumi duduk disamping sopirnya itu. Tidak lama mobil pun meninggalkan halaman rumah sakit. Kupejamkan mataku, karena sebenarna aku merasa mual jika naik mobil, sedekat apapun tempat tujuannya. Kubiarkan dokter Bumi yang memandu, karena tadi katanya dia tetangga baruku itu. Hanya ada keheningan di mobil ini, eh hanya aku yang hening. Karena Dokter Bumi dan sopir/temannya itu sedang membicarakan hal yang tidak ku mengerti.  Setelah 15 menit perjalanan, ku rasakan mobil ini terhenti. Seharusnya sudah sampai. Aku tidak benar-benar tidur, aku hanya memejamkan mataku untuk menahan rasa mual yang melandaku itu. Ku buka mataku, dan ya kami sudah sampai. Segera ku buka pintu mobil ini agar aku segera keluar tentunya. Tapi ternyata masih dikunci. Ku hela nafasku dan kembali kusandarkan punggungku kembali. "Tunggu sebentar." Ucap Dokter Bumi yang sepertinya tahu kegiatan ku tadi. Kulihat dia keluar dan membukakan pintu untukku? Apa yang dia lakukan, aku bisa sendiri padahal, dan tunggu dia memegang bagian atas mobil ini, mungkin supaya aku tidak kejedot. Tapi kenapa dia melakukan semua itu, seperti aku ini orang yang spesial saja. Tidak kuhiraukan apa yang ia lakukan, segera aku ingin rebahan, karena entah kenapa aku merasa badanku sedikit meriang. Mungkin efek alergi tadi, dan juga bintul-bintul kemerahan yang belum hilang ini.  "Nggak papa dirumah sendiri." Ucap dokter Bumi, yang sebenarnya itu pertanyaan atau pernyataan, karena sangat datar itu.  "Tidak apa-apa Dok, kalau begitu saya permisi."  "Oh iya mengenai biaya rumah sakit, nunggu Ayah sebentar ya Dok, soalnya saya tidak ada uang cash, eh atau kalau nggak nanti saya tf saja ke dokter. boleh minta nomor rekening dokter?" ucapku lagi.  "Nunggu ayah saja." Jawabnya, yang mendapat anggukan dariku. Saat aku hendak melangkah kan kakiku menuju rumah, ia kembali berucap. "Terimakasihnya mana?" Aku baru sadar ternyata aku belum mengucapkan terimaksih padanya sejak tadi, padahal dia banyak membantuku, ya walaupun aku sedikit kesal padanya. "Terimaksih dok." Ucapku padanya. "Eh iya ini obatnya Dek." ucap Pak Sopir tadi dengan menyerahkan obat padaku. "Terimakasih Pak." Ucapku tulus dengan tersenyum. "Saya bukan bapak-bapak lho, saya temannya Bumi." Ucapnya canggung karena ku panggil Bapak. Gimana ya, mereka itu penampilannya sungguh sudah dewasa, ya walaupun teman-temanku juga sama. Tapi aku tidak bisa memperkirakan berapa umur orang-orang didepanku ini. Aku rasa tiga atau lima tahun di atasku, melihat penampilannya yang seperti rich human jadi alangkah baiknya jika kupanggil Pak kan? "Oh maaf Pak saya kira tadi sopirnya pak dokter." Jawabku tak enak. "Enak aja, gini-gini saya tangan kanannya dokter Bumi ya Dek." "Hmm iya Pak, maaf sebelumnya, mm kalau gitu saya masuk dulu ya Pak Dokter dan Pak yang ini." Ucapku dengan mengarahkan tanganku pada temannya dokter Bumi saat mengucapkan Bapak yang ini, karena tidak ada perkenalan diantara kami. Jadi bagaimana aku bisa tahu namanya kan. Saat mendapatkan anggukan dari kedua orang baik itu, segera ku langkahkan kakiku menuju rumah. Saat hendak membuka pintu, kurasakan handphoneku berdering, karena ada notifikasi dari aplikasi WA itu. Ku buka pesan tadi dengan mencoba membuka kunci rumahku. Seketika aku menegang, setelah sekian lama. Ia mengirimkan pesan lagi. Tapi kenapa bisa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD