bc

Scandal : Harta, Cinta, dan Takhta

book_age16+
1.2K
FOLLOW
9.3K
READ
revenge
family
arrogant
scandal
goodgirl
CEO
drama
tragedy
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Cerita ini mengisahkan tentang lika-liku hubungan percintaan Alvian Mahendra seorang laki-laki tampan berasal dari Indonesia dengan seorang perempuan cantik dan kaya raya asal Korea Selatan yang bernama Stefannie Kim, putri dari seorang pemilik perusahaan terbesar di Asia.

Hubungan keduanya diawali dengan sebuah kesepakatan. Alvian harus membantu Stefannie keluar dari penjara buatan sang kakak yang kejam dan haus kekuasaan, dan sebagai imbalannya Stefannie akan melunasi hutang-hutang keluarga Alvian. Dan dari sanalah percintaan keduanya dimulai.

Akankah Alvian dan Stefannie bersatu atau justru sebaliknya, karena perbedaan kasta dan agama yang menghalangi mereka?

“Aku mencintaimu dengan tulus. Bukan karena harta atau tahta yang kamu miliki.” ~ Alvian Mahendra.

“Cinta hadir karena terbiasa. Aku mencintaimu karena kamu terbiasa ada di dekatku.” ~ Stefannie Kim

“Maafkan aku adikku, kau tidak pantas memegang kekuasaan hanya akulah yang pantas!” ~ Seano Anatama Kim

Cover by :

Picture : Orisinal (https://pixabay.com/id/users/sfetfedyhghj-2834867/)

Font : PicsArt

Edit by hyerana kim

chap-preview
Free preview
Part 1
Tampak seorang laki-laki tampan menyeret sebuah koper yang berukuran cukup besar. Laki-laki itu tersenyum sembari menatap sekelilingnya. “Hello Indonesia, I’m coming,” ujar laki-laki tampan itu. Ya, ini adalah pertama kalinya laki-laki itu menginjakkan kakinya di Indonesia setelah selama hampir empat tahun tidak pernah menginjakkan kakinya di negeri seribu pulau itu. Alvian Mahendra adalah nama laki-laki tampan itu. Alvian menyeret kopernya, meninggalkan area dalam bandara Internasional Soekarno Hatta yang setiap harinya padat oleh penumpang yang tiba atau pergi menggunakan pesawat. Alvian menyetop sebuah taksi, lalu menaikinya. “Pak, ke jalan Anggrek __” “Baik, Mas.” Sopir taksi itu pun melajukan mobilnya meninggalkan area bandara Soekarno-Hatta menuju ke tempat tujuan penumpang barunya. Selama di perjalanan, Alvian terus memainkan ponselnya seraya terkikik geli membaca beberapa rentetan pesan yang belum sempat dibalasnya, karena selama menempuh perjalanan dari Amerika menuju Indonesia laki-laki itu mematikan ponselnya. Tin … Tin … Tin … Alvian pun menoleh ke arah luar kaca mobil yang memperlihatkan kepadatan kota Jakarta, padahal ini bukanlah jam pulang atau pun jam berangkat kantor. “Pak,” panggil Alvian. “Iya, Mas?” balas sopir taksi. Netranya melirik Alvian lewat kaca spion depan. “Kira-kira kita sampai di tempat tujuan saya berapa lama lagi, ya?” tanya Alvian. Alvian sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuannya. Ia tidak sabar ingin segera mengejutkan keluarganya dengan kedatangannya yang tiba-tiba. “Kurang tahu ya, Mas. Tapi saya akan usahakan secepatnya,” jawab sopir taksi itu. Bagaimana pun sopir taksi itu tidak bisa menerobos kemacetan. Alvian menghela napasnya. Ia pun menyenderkan kepalanya pada kaca mobil. Tubuhnya cukup lelah setelah menempuh perjalanan berjam-jam lamanya, dan sekarang ia harus menunggu lagi untuk sampai di kediamannya. **** Setelah menempuh waktu hampir dua jam, taksi yang ditumpangi oleh Alvian pun berhenti di tempat tujuannya. Taksi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah megah berpagar tinggi itu. “Ini, makasih ya, Pak.” Alvian menyerahkan beberapa uang lembar seratus ribuan kepada sopir taksi itu. “Sama-sama, Mas,” balas sopir taksi itu. Setelah sopir taksi itu pergi, Alvian pun masuk ke dalam sebuah rumah mewah yang dihuni oleh keluarganya. Namun langkahnya terhenti saat melihat keramaian di teras rumahnya. Alvian juga melihat papanya tengah bersitegang dengan beberapa orang. Karena penasaran, Alvian pun masuk ke dalam rumahnya. Setelah jaraknya lebih dekat, sayup-sayup Alvian mendengar papanya memohon kepada seseorang. “Saya mohon, Pak. Beri saya waktu sebentar lagi, pasti saya akan segera melunasi hutang-hutang saya.” Alvian terkejut mendengar perkataan yang keluar dari bibir papanya barusan. Apa katanya tadi, hutang? Sejak kapan papanya memiliki hutang kepada bank. “Tidak bisa, Pak. Bapak sudah beberapa kali telat membayar cicilan, maka dari itu kami dari pihak Bank akan menyita rumah Bapak,” balas pegawai bank. “Jangan!” pekik Airin, adik perempuan Alvian. Airin histeris karena melihat ayahnya dimarahi oleh salah satu pegawai bank itu. Selain itu Airin juga tidak rela harus meninggalkan rumahnya. “Maaf, Pak. Saya harus melakukan ini karena saya juga akan dimarahi oleh atasan saya jika Bapak tidak segera pergi dari rumah ini!” tegas pegawai bank itu. “Tapi Pak—“ “Maaf, ini ada apa ya?” Semua pun menoleh ke belakang. Keluarga Alvian terkejut melihat kedatangan Alvian, terutama Airin yang barusan bertukar pesan dengan kakaknya. Ternyata kakaknya sedang dalam perjalanan kemari ketika bertukar pesan dengannya. “Nak, kapan kamu sampai? Kenapa enggak hubungi Papa sama Mama?” “Ini kenapa, Pa? Kenapa bank ingin menyita rumah kita?” Alvian mencoba mengalihkan pembicaraan, ia masih belum dapat jawaban dari pertanyaannya. Alvian menatap kedua orang tuanya dan juga adiknya bergantian, menuntut jawaban atas segala pertanyaannya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulutnya untuk sekedar menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Sebenarnya Alvian tidak bodoh, ia tentu tahu rumahnya akan disita pasti karena papanya memiliki hutang kepada bank. Namun Alvian ingin mendengar langsung dari mulut kedua orang tuanya. “Maaf Pak, Bapak dan keluarga Bapak harus meninggalkan rumah ini dengan segera! Kami tunggu sampai besok siang!” Setelah mengatakan itu, beberapa orang yang mengaku sebagai pegawai bank pun pergi meninggalkan rumah mewah itu yang sudah resmi disita oleh bank. Bahkan tembok rumahnya juga sudah ada stempel dari bank. Setelah para pegawai bank itu pergi, Alvian pun menuntut penjelasan pada orang tuanya. Apa yang ia lewatkan selama berada di Amerika. “Pa, jujur ini sebenarnya ada apa? Kenapa Papa sampai punya hutang sama bank?” desak Alvian yang ingin segera mendapat jawaban dari rasa penasarannya. “Al—“ “Kenapa?” “Sudah, mendingan kita masuk dulu. Papa akan menceritakan apa yang terjadi pada kita,” ujar papa Alvian. Alvian mengangguk, ia pun masuk ke dalam rumahnya. “Kak, sini aku bawa kopernya ke kamar Kakak,” tawar Airin. Alvian pun menyerahkan kopernya kepada sang adik. Ia pun duduk di seberang orang tuanya yang tampak gugup. “Sekarang jelasin ke aku Pa, Ma. Kenapa Papa sampai punya hutang ke bank? Dan kenapa juga Papa bisa telat bayar cicilan? Apakah terjadi sesuatu selama Alvian tinggal di luar negeri?” Papa Alvian menghela napasnya, sebelum akhirnya menjelaskan apa yang terjadi pada Alvian—putra sulungnya. “Papa kena tipu teman bisnis Papa. Teman bisnis Papa bawa kabur uang perusahaan. Papa terpaksa meminjam kepada bank untuk menutupi kerugian itu. Tapi ternyata semuanya tidak berjalan dengan lancar, pendapatan perusahaan semakin menurun sampai akhirnya uang Papa yang tersisa dipakai untuk pesangon karyawan,” jelas papa Alvian. Di sebelahnya, mama Alvian berusaha menguatkan suaminya. Mata Alvian terbelalak. Ia terkejut sekaligus tidak percaya, ternyata perusahaan papanya bangkrut, dan ia tidak tahu itu. “Sejak kapan?” “Enam bulan yang lalu, setelah kamu selesai wisuda kami tertimpa kejadian malang ini,” balas mama Alvian. Alvian melihat mama dan papanya yang tampak sedih. Ia juga baru menyadari bobot tubuh papanya berkurang, sepertinya itu terjadi karena papanya banyak pikiran. Mendadak Alvian merasa tidak berguna bagi keluarganya. Di saat keluarganya menderita, ia malah bersenang-senang di luar sana. “Maaf,” cicit Alvian. “Kenapa minta maaf, Nak?” ujar mama Alvian. “Iya, kamu enggak salah kok, ini murni kesalahan Papa,” imbuh papa Alvian. “Alvian belum bisa menjadi anak yang baik untuk Mama dan Papa …” lirih Alvian. Mama Alvian pun berpindah tempat menjadi duduk di samping Alvian. Mama Alvian merengkuh tubuh putranya yang selama empat tahun ini menempuh pendidikan di luar negeri. Alvian terisak di dalam pelukan ibunya. “Udah, jangan nangis, kita enggak apa-apa kok.” “Maaf hiks ... hiks ...” Alvian melepas pelukannya, lalu menatap sang papa yang juga sudah meneteskan air matanya. Mungkin papanya merasa sudah gagal menjadi kepala keluarga. “Berapa hutangnya, Pa?” “Lima belas milyar,” jawab papa Alvian. Deg “Udah, enggak usah dipikirin, lebih baik kamu istirahat di kamar. Nanti sore kita pindah ke rumah baru,” ucap papa Alvian saat melihat wajah Alvian yang terlihat menegang. Alvian mengangguk lemas, ia pun beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai dua yang dalam kurun dua puluh empat jam ini tidak lagi menjadi kamarnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook