Rewrite — Resend

1282 Words
Ara mengambil salah satu buku yang ada di rak perpustakaan. Ia duduk di dekat jendela lalu mulai membaca buku yang tadi ia ambil. Meskipun Ara terlihat seperti orang malas, tapi tidak seperti itu. Karena Ara pintar dan sangat suka membaca buku. Ia begitu fokus pada bukunya sampai tidak menyadari Andi yang kini duduk di depannya sambil menatap Ara. Andi tidak sengaja melihat Ara duduk sendirian di tempat itu, itu sebabnya ia datang menghampiri Ara. “Serius banget, Ra,” kata Andi yang langsung mengalihkan pandangan Ara dari buku yang ia baca. “Tumben lo ke perpus,” tanya Ara pada Andi. “Gue balikin buku yang gue pinjam kemarin buat tugas fisika. Kebetulan lihat lo, ya gue samperin.” Ara menutup bukunya, kemudian menatap Andi dengan wajah penasaran. “Oh, iya. Gama ikut tim basket?” tanya Ara. Ia baru saja mendengar anak-anak membicarakan perihal anggota baru tim basket yang tampan. Ia tahu jika itu adalah Gama. Tentu saja. Siapa lagi anggota tim baru yang akan direkrut Arden jika bukan Gama? Andi mengangguk. “Iya. Arden ngajak dia beberapa hari lalu. Awalnya dia nolak, tapi akhirnya setuju juga buat ikut. Kenapa emangnya?” Ara menggelengkan kepalanya. “Enggak, nanya aja.” “Lo suka Gama, Ra?” tanya Andi yang langsung bisa menebak apa yang Ara rasakan. Ara hanya menjawabnya dengan anggukan. “Kali ini beneran suka atau kasusnya sama kaya Calvin kemarin?” Ara langsung memukul lengan Andi dengan tempat pensilnya. Ah, perlu kalian tahu satu hal. Calvin adalah salah satu anak paskibra yang penah Ara taksir. Itu yang membuatnya bertengkar dengan Caca. Ara pikir ia benar-benar menyukai Calvin, hingga akhirnya ia sadar bahwa ia hanya kagum saja. Padahal, awalnya ia sudah bersikap heboh dan bilang bahwa ia paling menyukai Calivn, tapi beberapa minggu kemudian ia langsung melupakannya. Jangan salahkan jika Ara terlihat seperti playgirl. Mungkin karena Ara terlalu mudah menyukai seseorang. Setelahnya, ia tidak lagi bersikap seperti itu. Kejadian itu sudah satu tahun lamanya. Calvin juga sudah pindah ke Amerika dan tidak lagi di sana. Mungkin Andi berpikir bahwa yang ia rasakan pada Gama sama seperti yang ia rasakan pada Calvin. Tapi sepertinya … Ara rasa tidak sama. Karena ia benar-benar menyukai Gama. “Tenang aja.” Ara mencondongka tubuhnya, lalu berbisik, “Kali ini gue beneran suka Gama.” Andi terkekeh pelan, kemudian menyentil dahi Ara gemas. “Oke, gue percaya.” “Kalo gitu, lo harus bantu gue.” Andi tahu sekali apa yang akan Ara katakan. Ia sudah bisa menebaknya. “Gue bantu semampu gue. Tapi kalo kalian sampe jadian, lo harus traktir gue jajan tujuh hari tujuh malam.” Ara tersenyum lebar. “Itu gampang.” Keduanya tertawa dengan suara pelan. Tentu saja karena sedang berada di perpustakaan. “Jadi, udah sampai tahap apa?” Ara menunjukkan nomor Gama yang ada di ponselnya. “Tahap nomor telepon.” *** Gama memarkirkan motornya di taman yang ada di dekat danau. Ia berjalan menuju sebuah kursi yang memang ada di sana. Ia tak sengaja menemukan tempat itu ketika perjalanan pulang. Ia memutuskan untuk mampir dan duduk di sana sebentar. Jarang sekali ia menemukan tempat sebagus itu. Di Bandung tidak banyak taman dengan danau yang sepi. Pasti ramai dengan orang-orang. Sedangkan di sini, suasana begitu tenang. Cocok sekali untuk menenangkan pikiran. Ia mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor baru. Halo, Gama. Simpan nomor gue, ya. Dilihat dari pesan itu, tentu saja ia bisa tahu bahwa itu Ara. Hari ini, hanya Ara yang mendapat nomornya. Ia tidak membalas pesan itu. Namun ia langsung menyimpan nomor Ara di kontaknya. Setelah melakukannya, ia kembali menatap danau di depannya. Kini ponselnya berdering lagi. Kali ini ayahnya yang menelepon. “Iya, halo?” wajah Gama berubah serius. “Di mana? Oke saya ke sana.” Gama meraih tasnya lalu berlari menghampiri motornya dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Ia pergi menuju sebuah bar yang tidak jauh dari danau yang tadi ia datangi. Ia melihat ayahnya yang tidak sadarkan diri sedang dipapah oleh sekretarisnya. Gama menghela napas berat, kemudian berlari menghampiri pria itu. “Ayah kenapa lagi?” tanya Gama pada pria berkaca mata itu. “Tadi setelah rapat, Tuan langsung pergi ke sini. Saya sudah berusaha melarang, tapi Tuan tetap bersikeras. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa selain mengikutinya.” Gama memapah Ayahnya kemudian memasukannya ke dalam mobil. Wajah Ayahnya memerah akibat mabuk. Gama ikut masuk lalu membukakan dasi Ayahnya. “Udah Gama bilang, berhenti, Yah!” omel Gama. Pria itu tersenyum, lalu menatap putranya kemudian tangannya terulur mengusap pipi Gama. “Kamu mirip Andini,” gumamnya sambil tersenyum lirih. “Kenapa kamu mirip Andini?” Gama membenarkan posisi duduk Ayahnya, kemudian menyandarkannya dan membiarkannya memejamkan mata. Gama menghela napas pelan, lalu bergumam. “Kalau Ayah enggak ingin aku mirip dia, kenapa Ayah menikahinya?” gumam Gama dengan perasaan hancur. Melihat Ayahnya seperti ini sangat membuatnya sedih. Sejak bercerai dengan Ibunya 3 tahun lalu, Ayahnya jadi senang minum-minum. Itulah yang dia lakukan untuk menghilangkan kesedihannya. Ayahnya terlalu mencintai Ibunya. Namun Ibunya malah berselingkuh dengan pria lain. Melihat itu, Gama selalu percaya bahwa cinta sejati tidak benar-benar ada. Perasaan orang dewasa yang sangat kuat pun bisa berubah, apalagi perasaan anak seumurannya? Bukankah itu hanya perasaan abu-abu yang bisa menghilang kapan saja? Gama selalu tidak ingin membuka hatinya karena takut. Lihatlah Ayahnya. Mencintai wanita yang sudah tiga tahun meninggalkannya dan anak-anaknya. Bagaimana Ibunya bisa begitu tega menelantarkan keluarganya? Bahkan setelah tiga tahun pun Ayahnya tidak baik-baik saja. Dia selalu bersikap kuat dan ceria di depannya dan Kakaknya. Tapi jika tidak di rumah, maka inilah yang terjadi. “Mau sampai kapan Ayah terus-terusan kaya gini? Kak Bima enggak tahu, karena aku gak pengin dia tahu keadaan Syah. Tapi aku juga gak mungkin nyembunyiin kebiasaan Ayah ini seumur hidup, kan?” Gama meneteskan air matanya. “Lupakan dia. Kenapa Ayah enggak bisa?” Tirta—Ayahnya itu tersenyum simpul. “Andini enggak salah,” racaunya. Gama mendengkus. “Ayah masih bela dia? Udahlah, Yah. Seseorang yang sudah memilih pergi enggak berhak lagi Ayah harapkan.” Tirta meneteskan air matanya, lalu menatap putranya dan berkata,” Jangan benci Andini,” katanya sebelum akhirnya hilang kesadaran. *** Setelah menidurkan Ayahnya di tempat tidur, Gama turun ke bawah. Biasanya, ia akan membawa Ayahnya ke hotel, karena pasti Ayahnya tidak ingin Kakaknya tahu bahwa dirinya sering minum-minum. Tapi berhubung Kakaknya sedang bertugas di luar kota, Gama membawa Ayahnya pulang ke rumah. Hari sudah hampir gelap. Ia berjalan ke ruang tamu untuk menyalakan lampu. Jika sudah sore begini, Bibi yang bekerja di rumahnya akan pulang. Gama berjalan ke dapur, lalu menuang segelas air putih dan meneguknya. Ia membuka kulkas untuk mencari cemilan karena ia bekum sempat makan sejak tadi. Matanya kini teralih kesebuah kotak berukuran sedang yang dibawakan Ara kemarin. Ia membuka kotak itu dan melihat pie apel pemberian Ara masih utuh. Ia terdiam sebentar kemudian beralih menatap buah pir yang ada di sebelahnya. Gama duduk di meja makan sambil membuka ponselnya sebuah pesan masuk dari Ara. Ara Gimana pie apelnya? Enak, gak? Itu buatan Mama, dibantu gue juga, sih. Sedikit, tapi. Gama hanya membalasnya dengan kata “enak”. Padahal, ia tidak tahu rasanya. Ia tidak suka apel. Tapi jika ia bilang tidak suka, apakah akan termasuk tidak menghargai? Jujur saja, Gama tidak ingin membuat siapapun salah paham dengan sikapnya. Meskipunkekhawatirannya sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Bukan sebuah kesalahan jika tidak suka apel. Sebuah balasan muncul. Ara Syukurlah kalo enak. Gue kira lo gak akan suka. Gama tidak membalasnya. Ia lebih memilih mengabaikannya. Pikirannya kini kembali pada sang Ayah. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia heran kenapa ayahnya masih mencintai wanita itu—yang bahkan tidak pernah mencintainya? Kenapa perasaan begitu rumit? Ia tidak mengerti sama sekali. -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD