Rewrite — Coffe Bread

1233 Words
Gama tengah merapikan buku-buku yang ada di meja belajarnya. Ia belum sempat merapikannya kemarin karena harus membantu ayahnya membersihkan gudang belakang. Ia memang sebenarnya enggan untuk pindah dari rumah lamanya. Namun karena urusan pekerjaan ayahnya akhirnya ia terpaksa menurut. Jika bukan karena ayahnya harus bekerja di Jakarta, ia tidak ingin pindah ke rumah ini. Ia lebih baik tetap di Bandung bersama Bibinya. Ketika sibuk merapikan buku, tiba-tiba ayahnya datang mengetuk pintu. “Ada yang nyari kamu di luar,” kata Ayahnya. Gama mengernyit. Ia bahkan tidak kenal siapapun di daerah ini karena baru pindah beberapa hari lalu. namun siapa yang mencarinya? Cowok itu turun ke lantai bawah kemudian berlari kecil ke arah halaman depan. Langkahnya mulai memelan ketika melihat Ara berdiri di depan teras dengan paper bag di tangannya. Ia lupa, jika ada Ara yang ia kenal. “Ara?” Ara menoleh ke belakang lalu tersenyum ketika melihat Gama muncul. Gadis itu berlari kecio mendekati Gama lalu menyodorkan paper bag yang ia bawa. “Ini dari Mama. Pie apel, nanti kasih Om juga, ya.” Gama meraih paper bag itu. “Kenapa tadi gak langsung dikasih sama bokap gue aja?” tanya Gama. “Karena mau lihat Gama,” jawab Ara dengan jujur. Gama menghela napas pelan. “Udah puas lihatnya?” Ara menggelangkan kepalanya dengan cepat. “Belum, sebentar lagi.” Gama tersenyum simpul. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jarak diantaranya dan Ara semakin dekat. “Begini, sudah puas?” Ara menahan napas. Jantungnya berdebar hebat. Pipinya langsung memerah. Ia berdeham pelan. “U-udah, kok. Gue pulang dulu, ya. Dah, Gama.” Ara berlari kembali ke rumahnya.Gama hanya bisa geleng-geleng kepala kemudian kembali ke dalam membawa pie apel pemberian Ara. Bima—kakak laki-lakinya berdiri di dekat sofa sambil tersenyum ke arahnya. “Baru pindah udah dapet gebetan baru. Laku juga lo, Gam.” Gama memutar bola mata malas. “Dia cuma tetangga yang ngasih pie apel. Kebetulan satu sekolah. Apanya yang gebetan?” “Nanti juga jadi gebetan.” Bima menggigit buah pirnya. “Jangan sok tahu.” Bima tertawa pelan. “Jutek banget lo jadi cowok. Pantes aja jomlo terus. Kasihan tetangga lo itu kalo semisal dia suka lo. Pasti tekanan batin setiap hari.” Gama hendak melempar Bima dengan sendalnya, namun ia hentikan ketika melihat ayahnya datang. Ia hanya menatap Bima dengan wajah marahnya sebelum akhirnya pergi. Bima tersenyum simpul. “Dasar, muka kulkas.” Gama menaruh pie apelnya di atas meja makan, kemudian kembali ke kamarnya sambil bergumam. “Gue enggak suka apel.” *** Ara pulang dengan wajah sumringah. Arden yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Sejujurnya ia senang melihat Ara terlihat bahagia akhir-akhir ini. Tapi agak aneh saja karena gadis itu terus tersenyum sepanjang hari, membuat Arden merasa ngeri sesekali. “Halo, Ara yang shining, shimering, splendid,” sapa Feri yang tengah duduk di sofa dengan sebungkus snack di tangannya. Ada Andi juga yang tengah memainkan game bersama Arden. Ara melambaikan tangannya. Feri dan Andi memang sering ke rumah untuk bermain game bersama. Kadang pula hanya sekadar menumpang istirahat atau makan. Alya—mamanya selalu senang ketika kedua anaknya membawa teman ke rumah. Itu sebabnya Feri dan Andi jadi lebih sering datang dibandingkan Marcela dan Sena. “Ih, apaan, tuh?!” tanya Ara yang langsung berlari menghampiri kotak piza yang ada di atas meja. Dengan tangannya yang lihai ia langsung mengambil dua slice piza sekaligus lalu memakannya. “Pelan-pelan makannya, Ra,” ceramah Andi. Meskipun matanya fokus pada layar televisi, namun ia bisa tahu cara makan Ara yang urakan seperti orang kelaparan. Sejujurnya itu lucu, tapi jika membiarkan Ara seperti itu, dia bisa tersedak. “Iya, Aa Andi,” saut Feri yang dibalas sebuah tendangan di kakinya. “Habis dari mana lo, Ra?” tanya Feri penasaran. “Rumah calon pacar.” “Hah? Siapa yang mau jadi pacar lo, Ra? Hebat banget dia, kalo beneran jadi sama lo.” Ara berdecak senal. “Emang gue kenapa? Gue, kan, cantik, pintar, dan suka menyanyi.” Feri menggelengkan kepalanya. “Lo berisik!” Ara memukul Feri dengan bantal sofa. Meskipun sebenarnya dalam hati ia mengakuinya. “Serius gue, Ra! Lo habis dari mana?” “Rumah Gama,” jawab Ara sambil tersenyum. “Ah, si muka kulkas? Gue hampir lupa kalo itu manusia tetangga lo.” “Gimana kalo kita ajak dia main aja, Den?” tanya Feri sambil menggoyangkan bahu Arden yang tengah fokus dengan layar persegi di depannya. “Enggak akan mau dia.” “Sok tahu! Padahal belum dicoba,” sungut Ara. “Ya kenapa enggak lo aja yang ngajak, Ra?” Ara memukul bahu Arden dengan keras, membuat cowok itu memekik kesakitan. Bahunya sampai terasa panas karena pukulan itu. “Enak aja! Gue cewek, punya harga diri. Masa gue ngajak main.” “Tadi lo ke rumah dia, harga diri lo di mana? Di kantin sekolah?” Ara memalingkan wajahnya. “Ya … itu beda cerita. Kan, gue disuruh Mama Alya.” “Udah, ah. Gue mau balik ke kayangan. Bye!” Ara mengibaskan rambutnya sebelum akhirnya pergi ke kamarnya. Feri langsung terbahak-bahak. “Kayangan,” gumannya tanpa berhenti tertawa. *** Ara berjalan menuju kelasnya. Kelasnya ada di lantai dua. Namun ia harus berjalan melewati lapangan basket untuk sampai ke tangga. Ketika melewati lapangan, ia melihat Gama tengah bermain bola nbasket sendirian di sana. Mata Ara berbinar ketika melihatnya. Gadis itu berlari kecil dan masuk ke lapangan. Gama hendak memasukkan bolanya ke dalam ring, namun sebuah panggilan membuatnya terkejut. “Gama!” Bola yang harusnya masuk ke dalam ring justru memantul di ring kemudian terjatuh mengenai Ara yang baru saja datang. Gama buru-buru berlari dengan wajah paniknya, sedangkan Ara tengah mengusap-usap kepalanya yang sakit. “Sial banget gue. Lo ada dendam apa, sih, sama gue, hah?!” tanya Ara pada bola basket yang ada di depannya. “Ara! Lo Enggak papa?” tanya Gama, panik. Ara mendongak kemudian tersenyum. “Kalo gue bilang Enggak papa, kayaknya bohong banget. Ini kepala gue sakit dua kali kena bola, karena lo juga!” rengek Ara sambil mengusap kepalanya. Gama berdiri mendekat kemudian mengusap kepala Ara, berfikir itu akan membantu mengurangi rasa sakitnya. “Maaf.” “Iya, dimaafin, kok.” Ara tersenyum, namun Gama tidak. “Ke UKS aja.” “Enggak usah! Gue enggak papa.” Gama terdiam, lalu menghela napas pelan. “Gue gak percaya.” “Ck! Terserah kalo enggak percaya. Yang jelas gue Enggak papa. Gue bukan cewek lemah yang kena basket aja langsung sekarat. Gue bukan tokoh utama di sinetron azab,” kata Ara dengan wajah agak kesal. Sejujurnya, ia memang kesal. Kesal karena Gama bebal sekali. Padahal ia sudah bilang tidak apa-apa. Meskipun ia tahu itu hanya kekhawatiran karena kepalanya terbentur bola dua kali karenanya. Ara meraih tangan Gama kemudian memberikan ponselnya. “Sebagai permintaan maaf lo, kasih gue nomor lo.” Gama menatap ponsel Ara kemudian kembali menatap sang pemiliknya. “Buat apa?” Ara mendesah pelan. “Buat berkomunikasi. Kayaknya fungsi nomor ponsel masih belum berubah seinget gue.” Gama terdiam sebentar, sebelum akhirnya benar-benar mengetikkan nomor ponselnya di ponsel Ara. Setelahnya, Gama memberikan ponsel itu. “Udah.” Ara tersenyum. “Terima kasih, Gama.” “Iya.” “Gue duluan ke kelas, ya. Sampai bertemu di dunia online. Bye!” Gama menatap kepergian Ara, lalu menghela napas pelan. “Harusnya tadi enggak gue kasih,” gumamnya dengan perasaan menyesal. -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD