Ara mengucak matanya. Ia terbangun karena suara alarm ponselnya. Tangannya meraih benda pipih itu kemudian melihat jam yang menunjukkan pukul 6 pagi. Ia tersenyum dan kemudian bangkit dari kasurnya. Setelah mandi dan memakai seragam sekolah, Ara langsung berlari keluar kamar dengan wajah sumringah.
Mama dan Ayahnya sedang berada di meja makan bersiap untuk sarapan. Arden juga ada di sana, bermain bersama Bunny. Ara menayapa ketiganya. “Selamat pagi, penghuni rumah,” sapa Ara sambil melambaikan tangannya pada Arden.
“Pagi, Mama Alya dan Ayah Deva,” sapanya sambil mencium pipi kedua orang tuanya,
Arden, Alya, dan Deva melongo melihat Ara yang sudah turun dari kamar padahal baru jam setengah tujuh pagi. Biasanya gadis itu turun lima menit sebelum jam tujuh.
“Kesambet set*n mana lo, bangun pagi?” tanya Arden terheran-heran.
“Setan yang ada di kamar lo, yang sering duduk dekat lemari sambil cekikikan megang cilok,” jawab Ara asal.
Arden langsung bergidik ngeri mendengarnya. Ia ikut duduk di kursi meja makan lalu mulai memakan sarapannya sambil sesekali melirik wajah adiknya yang benar-benar bahagia pagi ini. Apa ada kaitannya dengan tetangga sebelah? Gama?
Ara buru-buru menghabiskan rotinya lalu meneguk susunya hingga habis. Ia langsung bangkit dan kemudian berlari ke luar. Diambilnya kursi kecil yang memang selalu ada di dekat keran, kemudian ia menaikinya hingga ia bisa melihat rumah Gama dari balik tembok pembatas. Ia tersenyum ketika melihat Gama yang baru saja keluar dengan seragam rapi sambil membawa helm dan tasnya. Bahkan dari jauh saja wajah Gama tetap terlihat tampan. Ara samapi pangling dibuatnya.
“Kenapa yang kaya gini baru dikirim sekarang, Tuhan?” gumamnya sambil tersenyum.
Setelah memanaskan motornya sebentar, cowok itu langsung berangkat ke sekolah lebih dulu. Begitu saja Ara sudah puas. Yang paling penting, ia jadi orang pertama di sekolah yang melihat wajah Gama. Suatu kebanggaan karena kali ini ia bisa mengejar ketertinggalannya dari Sena yang mengetahui nama Gama lebih dulu kemarin.
“Gama … tunggu, ya. Ara sebentar lagi nyusul ke sekolah,” katanya sambil cekikikan.
“Dasar bucin!” kata Arden yang tiba-tiba muncul. Ara mendengkus sebal. Sudah bagus mood sedang baik-baik saja hari ini. Malah dibuat kembali tidak baik karena wajah Arden yang menyebalkan.
“Sirik aja lo, Sarden!”
“Buruan ayok! Katanya Ara mau ngejar Gama. Nih, pangeran Arden akan antar dengan kuda putihnya,” kata Arden sambil menepuk-nepuk motor merahnya.
“Warnanya merah, Bang!”
“Warnanya emang merah, tapi namanya kuda putih. Terserah gue, lah, mau namain dia siapa.”
Ara menendang kaki Arden sebelum akhirnya masuk ke dalam mengambil tasnya.
***
Gama baru saja sampai di kelasnya. Ia duduk di kursinya lalu manaruh tasnya di atas meja. Baru saja ia akan mengeluarkan bukunya, tiba-tiba saja seseorang menahan tangannya. Ia mendongak mendapati seorang gadis yang tengah menatapnya sambil tersenyum.
Ia tahu nama gadis itu adalah Caca. Dia adalah ketua kelasnya.
“Nanti, lo mau, gak, ikut jadi perwakilan kelas buat tim pelajaran olahraga? Kelas kita mau ngadain pertandingan voli sama kelas sebelah. Lo mau, kan?”
Gama melepaskan tangannya dari geggaman Caca, lalu menggelangkan kepalanya. “Enggak.”
“Yah. Di kelas enggak ada lagi yang mau. Tinggal lo aja. Tolong bantu gue, dong. Gue akan sangat berterima kasih kalo lo mau bantu.”
Gama menghela napas pelan. Sebenarnya ia malas. Tapi jika tidak dibantu, pasti Caca akan terus mengganggunya. Ya, siapa tahu itu yang akan terjadi. “Ya udah, iya.”
Caca tersenyum senang. “Makasih, Gama. Lo emang penyelamat gue.”
Gama tidak menggubrisnya. Bukannya ia malas, hanya saja ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Baginya, Caca senang saja itu sudah bisa menjelaskan bahwa ia memang sudah membantu gadis itu. Ia tidak perlu lagi mengatakan apapun.
Gama melirik gadis itu kemudian menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa lagi?” tanyanya pada Caca yang masih berdiri di sana.
“Eng, nanti istirahat … lo mau, gak, ke kantin bareng gue?” tanya Caca dengan wajah malu-malu.
Gama terdiam sebentar. Mungkinkah kebaikannya tadi disalah artikan? Kenapa ia merasa jadi serba salah seperti ini? Inilah yang membuatnya agak enggan membantu perempuan. Selalu saja disalah artikan dan dilebih-lebihkan.
“Gama nanti ke kantin sama gue,” kata Arden yang baru saja datang. Cowok itu langsung duduk di sebelah Gama dan merangkulnya.
“Lagian, ngapain lo ngajak Gama? Mau gebet dia? Sory, dia udah punya adek gue,” kata Arden dengan wajah sombongnya.
Caca mengernyit. “Maksud lo Ara?”
“Ya iyalah, Ara yang cantik, imut, shining, shimering, splendid.”
Caca mendengkus. “Dibandingkan adik lo, lebih pantas gue sama Gama. Ara terlalu ceroboh dan suka lupa diri. Gak pantas sama Gama.”
Gama tidak menggubris keduanya. Ia hanya diam sambil melanjutkan kegiatannya yang tertunda yaitu mengeluarkan bukunya dan memindahkannya ke laci meja.
***
Kelas 3A dan 3B berkumpul di lapangan untuk pelajaran olahraga. Ini kali pertama bagi mereka bergabung bersama, karena sebelumnya di kelas 2 mereka tidak pernah melakukannya. Ara bersama teman-teman sekelasnya berkumpul di sisi kanan lapangan sedangkan kelas Arden berada disisi kiri lapangan. Mereka berkumpul untuk berdiskusi sebelum bertanding voli. Lapangan tentu menjadi ramai dengan teriakan semangat dari kedua kelas untuk perwakilan kelas mereka yang bertanding. Ara menjadi tim hore, tentu saja. Ia terlalu malas ikut bergabung menjadi kelompok yang bertanding.
Matanya tetap saja terfokus pada Gama yang ikut berpartisipasi dalam pertandingan. “Gama ganteng banget,” gumam Ara sambil menggigit bibir bawahnya.
“Ah, bucin lo!” omel Sena.
“Sirik, Mbaknya?”
“Enggak makasih.” Sena menjulurkan lidahnya yang dibalas cubitan pelan Ara. Keduanya langsung tertawa.
Dari kejauhan, Caca menatap Ara dengan tatapan tidak suka. Jika benar yang dikatakan Arden tadi, itu artinya ia tidak boleh membiarkan Ara mendapatkan Gama. Ia tidak akan membiarkan Ara menang kali ini. Semua orang selalu membanding-bandingkannya dengan Ara. Dan ia membenci ketika mereka mengatakan bahwa Ara lebih baik darinya dalam segala hal. Ia tidak suka berada di bawah Ara.
“Lo gak sepantas itu untuk dapetin Gama, Ra. Dia milik gue,” gumam Caca sambil mengepalkan tangannya.
Ara hendak mengambil sepatunya yang terlempar oleh Marcela. Namun saat hendak mengambil di dekat ring basket, sebuah bola terlempar ke arahnya cukup keras, hingga mengenai kepala. Ara meringis, kemudian terduduk. Ia mengusap kepalanya yangterasa berdenyut. Tentu saja semua yang ada di lapangan langsug menghampirinya. Arden yang berlari paling cepat. Ia menghampiri Ara dengan wajah panik.
“Ra, sakit banget, gak? Ke UKS ya?”
Ara mengangguk pelan. Namun, ketika Arden hendak menggendong Ara, Gama tiba-tiba saja datang dan langsung mengangkat Ara dengan kedua tangannya kemudian menggendongnya dan berjalan cepat menuju UKS. Ara tidak sempat bertanya kenapa Gama yang menggendongnya. Kepalanya terasa sakit, hingga bicara saja rasanya ia tidak mampu.
Gama menidrukan Ara di ranjang lalu dokter yang bertugas di sana langsung memeriksanya. Gama terlihat tampak khawatir. Ara bisa melihat itu.
“Ini gapapa. Nanti kalo ngerasa sakit lagi kepalanya, lebih baik langsung ke rumah sakit.”
“Baik, terima kasih, Dok,” kata Ara sambil tersenyum.
Kini Ara menatap Gama yang juga tengah menatapnya. Setelah beberapa detik mereka hanya diam, akhirnya Gama mengeluarkan suara. “Maaf.”
Ara mengernyit. “Untuk?”
“Bola tadi … gara-gara gue.”
Sekarang Ara mengerti kenapa tiba-tiba saja Gama menggendongnya dan terlihat begitu khawatir. Ia kira Gama memang peduli. Ternyata karena merasa bersalah.
Tapi gapapa. Setidaknya gue udah maju satu langkah.
“Enggak papa, udah gak sakit, kok,” kata Ara sambil terus tersenyum, lebih tepatnya karena mengagumi wajah tampan Gama.
“Gue yang kenapa-napa. Gue yang bikin lo gini, jadi kalo nanti kepala lo sakit lagi, lo bisa bilang gue.”
Ara mengangguk. Ia bangun dari ranjang lalu berjalan dengan langkah gontai. Kepalanya masih sedikit pusing, mungkin karena baru bangun dan langsung berjalan. Darah rendahnya sungguh membuat repot. Untung saja Gama cepat menahannya, kalau tidak Ara bisa jatu ke lantai.
“Beneran enggak papa?”
Ara menyengir. “Enggak papa. Cuma hilang keseimbangan tadi.”
“Lo emang gini, ya?”
“Gini gimana?”
“Senyum terus.”
Ara menggelangkan kepalanya. “Enggak, kok. Tapi kalo di depan lo, gue bisa senyum terus.”
Keduanya tertawa, meskipun tawa Gama lebih pelan dan terkesan hanya seperti kekehan.
-bersambung-