Ara tengah dirias oleh salah satu gurunya. Posisinya sebagai mayoret adalah poin utama hari ini. Penyambutan duta dari Singapura kali ini memang dilangsungkan agak mewah. Sekolahnya memang bekerja sama dengan salah satu perusahaan besar Singapura yang berperan sebagai penyumbang dana dalam pembangunan.
Selagi di make up, anggota marching band yang lain sibuk mengagumi kecantikan Ara yang semakin bertambah. Bahkan guru yang meriasnya juga ikut terpesona. “Kamu cantik sekali, Ra,” puji gurunya itu.
“Heheh. Kalo ini silakan bilang ke Mama Alya yang nurunin cantiknya,” kata Ara dengan senyumnya.
Setelah memakai hiasan kepala, Ara sudah siap untuk pergi ke lapangan. Begitu ia keluar, semua mata langsung tertuju padanya. Siapa yang tidak akan terpesona dengan kecantikan Ara. Itulah mengapa ia dijadikan mayoret kebanggaan sekolah.
Gama baru saja datang dengan sebuah kardus di tangannya. Ia hendak menaruh kardus itu ke kantor guru. Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya dari belakang. Ia berbalik, mendapati Ara berlari ke arahnya dengan kostum mayoretnya.
“Gama!”
Bohong jika Gama tidak terpesona dengan tampilan Ara hari ini. “Gimana? Gue cantik, gak?” tanya Ara sambil memutar tubuhnya, memperlihatkan dress selututnya yang berwarna biru tua.
“Cantik,” kata Gama.
Ara cemberut. “Bilang cantiknya enggak ikhlas. Mukanya datar gitu. Ulang, dong,” pinta Ara.
“Cantik, Ra. Udah, ya. Gue mau ke kantor.”
Gama berbalik lalu melanjutkan langkahnya. Ara cukup kecewa karena reaksi Gama tidak sesuai ekspetasinya. Namun ia tetap senang karena Gama mau datang ke acara itu. Hari ini sekolah di liburkan. Hanya ada beberapa anak yang datang kesekolah, yang mana salah satunya anak marching band. Meskipun begitu, beberapa anak yang lain juga datang untuk melihat. Alasan kenapa sekolah diliburkan karena sudah pastinya tidak ada kegiatan belajar-mengajar. Jika membiarkan para siswa belajar sendiri di kelas, dikhwatirkan justru akan menggangu. Tahu sendiri jika disuruh belajar sendiri, yang belajar hanya satu dua orang, selebihnya membuat keributan,
Gama menaruh kardusnya di dekat meja Bu Rani. Saat itu, Irga menghampirinya sambil tergesa-gesa. Tangannya memegang sebuah kamera. “Gam, bisa minta tolong? Gantiin gue jadi dokumenter, ya. Lo Cuma tinggal foto-foto kegiatan aja. Gue mau antar ini ke kepala sekolah,” kata Irga sambil memberikan kamera yang dipegangnya.
Gama mengangguk mengiyakan. Meskipun dalam hati ia merasa seperti sedang dimanfaatkan di sini. Padahal ia bukan anggota osis atau panitia acara. Tapi sejak tadi ia tidak berhenti bekerja sedangkan anak-anak yang lain bisa duduk santai di lapangan menunggu acara dimulai.
Gama berjalan menuju lapangan dengan kamera menggantung di lehernya. Ia memotret beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak Aeris. Entah yang sedang mempersiapkan acar atau bahkan sedang sarapan karena hari masih pagi. Seseorang menepuk bahunya, kemudian menyodorkannya sebuah bolu melon dan sekotak s**u. “Ini untuk sarapan.”
“Tapi gue udah sarapan,” kata Gama.
“Ini dari bagian konsumsi. Pegang aja, nanti lo lapar.”
Akhirnya Gama mengambilnya. Ia bisa melihat anak-anak marching yang tengah berdiri di tepi lapangan, bersiap menyambut tamu yang sebentar lagi akan datang. Ara tengan bersenda-gurau dengan Marcela dan Sena yang ada di sana juga. Keduanya adalah panitia dengan kaos merah serta name tag di leher.
Gama mengarahkan kameranya ke arah Ara, kemudian memotret Ara yang tengah tersenyu. Ia melihat hasil potretannya lalu tersenyum. “Lumayan,” pujinya untuk hasil potretannya yang cukup bagus.
Acara dimulai. Kini semuanya di awali oleh marching band yang berdiri di depan gerbang menyambut tamu sebagai arak-arakan. Gama tersenyum ketika melihat Ara yang dengan lihainya memutar tongkatnya, mengarahkan grup marchingnya berjalan di belakang tamu. Ara juga selalu menyemoatkan untuk menoleh ke arah Gama dengan senyumnya.
Setelah penyambutan oleh anak marching, kini acara penyambutan oleh kepala sekolah dan juga beberapa penampilan ekstrakulikuler yang ada di Aeris, seperti tari modern, paduan suara, karate, dan lain-lain.
Caca datang menghampiri Gama yang berdiri di barisan paling belakang. Dengan senyum sumringahnya, gadis itu berlari-lari kecil hingga sampai ke tempat Gama. “Gama! Fotoin, dong,” kata Caca dengan nada manis. Gama tidak menolak. Ia langsung mengarahkan kameranya ke arah Caca.
Ara bisa melihat itu dari jauh. ia bersama Marcela dan Sena tengah duduk sambil memakan snack. Gadis itu mendengkus. “Gama punya gue,” katanya dengan wajah sebal. Sena yang mendengar itu hanya tertawa. “Belom punya lo, Ra. Jadi, Caca masih boleh dekatin dia.”
Caca mengajak Gama berfoto berdua dengan kamera ponselnya. Ara semakin tidak suka. Selalu saja Caca yang membuatnya kesal. Ara memaki dalam hati.
Caca tersenyum. “Makasih, ya, Gama,” katanya.
“Untuk?”
“Karena udah fotoin gue.”
Gama mengangguk kemudian pergi dari sana menghampiri Irga yang memanggilnya. Caca memkik kegirangan lalu memeluk temannya. “Foto gue ada di kamera, dong! Pasti cuma gue yang di foto Gama,” katanya dengan wajah gembira.
“Lo emang beruntung, Ca,” kata Temannya.
***
“Udah selesai fotonya, Gam?’ tanya Irga yang yang datang mengambil kameranya.
Gama mengangguk sebagai jawaban. Cowok itu menyalakan kameranya. Ia tersenyum dengan hasil potretan Gama yang lumayan bagus, bahkan lebih bagus darinya.
“Enggak sia-sia gue minta tolong lo,” gumam Irga.
Kemudian, dahinya berkerut. Ia melihat banyak sekali foto Ara yang diambil. Bahkan lebih banyak dari yang ia duga. Irga mendongak. “Lo sesuka itu sama Ara, ya? Sampai foto dia lebih banyak dari yang lain.”
“Dia cantik, jadi gue foto.” Begitulah yang Gama katakan, lengkap dengan kebiasaannya yang berbicara dengan wajah datarnya.
Irga terkekeh. “Mau gue pindahin, gak? Enggak mungkin gue kasih memorinya ke Pak Bahrun kalau isinya foto Ara semua.”
Gama sebenarnya tidak memotret Ara saja. Mungkin, ia tanpa sadar memotrtr Ara terlalu banyak. Padahal seingatnya hanya beberapa. Gama mengangguk, lalu memberikan ponselnya pada Irga. Setelah lima menit Irga memindahkan foto-foto Ara yang ia ambil.
“Nih. Jangan sampai Caca tahu, nanti dia ngamuk,” kata Irga sambil tertawa.
“Kenapa ngamuk?”
“Ya ampun, Gam. Lo enggak peka, ya? Dia suka lo, tuh. Kalo dia tahu lo suka Ara, bisa hancur harga dirinya. Udah dua kali dia kalah sama Ara.”
Gama tidak menanggapinya. Baginya, itu bukanlah urusannya. Lagipula, ia tidak mengatakan bahwa ia menyukai Ara.
***
Ara menghampiri Gama di parkiran dengan napas ngos-ngosan. Make up di wajahnya masih ada dan belum dibersihkan. Rambutnya yang tadi penuh dengan hiasan, kini sudah tidak ada. Ara juga sudah mengganti pakaiannya dengan baju rajut berwarna lilac serta celana putih.
“Gama, tunggu!”
Gama menoleh. Ara mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya merungut sambil menyilangkan kedua tangannya. “Kenapa udah pergi duluan? Gue, kan, mau foto sama lo pakai baju kebangsaan.”
Gama tidak menjawabnya, membuat Ara semakin kesal. “Jawab, dong, Gam!”
“Lo enggak bilang,” jwab Gama pada akhirnya. Ara menghela napas. Ternyata sulit sekali mengerti Gama karena cowok itu irit bicara. Ditanya saja kadang tidak menjawab.
“Ya udah, ayo foto,” kata Gama.
“Tapi gue udah enggak pakai dress nya. Masa pakai baju kaya gini. Enggak cantik.”
Gama tidak tahu apakah Ara memang tidak menyadari kecantikannya sendiri atau gadis itu hanya sedang merendah di depannya. Tapi baginya, Ara dalam keadaan apapun juga tetap cantik, bahkan ketika wajahnya pucat saat sakit kemarin.
“Kalo enggak mau, ya udah.”
“Eh! Tunggu.” Ara menahan Gama yang ingin naik ke motornya. Gadis itu mengeluarkan ponselnya kemudian memeluk lengan Gama.
“Setidaknya gue harus punya foto selfie berdua sama lo.”
“Senyum, ya!” perintah Ara. Keduanya berfoto beberapa kali. Untungnya Gama menurut ketika Ara menyuruhnya tersenyum. Jadi, ia tidak harus mengomel lagi untuk memaksa cowok itu.
“Udah puas?”
Ara mengangguk senang.
“Ya udah.”
“Eh, lo mau ke mana?”
“Pulang.”
“Ikut, ya?”
“Arden mana?”
“Arden masih di sana sama Marcela. Gue ikut lo aja, ya? Gue capek, nih. Kalo nunggu Arden lama.”
Gama menghela napas pelan, kemudian mengangguk. Entah kenapa, rasanya sulit sekali menolak gadis ini.
“Gama!” panggilnya lagi.
“Apa lagi?”
“Terima kasih.”
Gama mengernyit. “Untuk?”
Ara tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum begitu tulus. Entah kenapa, rasanya ia amat-amat menyukai Gama. Masa bodo jika ia dibilang tidak tahu diri. Meskipun Gama tidak menyukainya, ia masih bisa membuat itu berubah. Ia akan membuat Gama menyukainya appaun caranya.
***
Arden mengejar Marcela yang berjalan lebih dulu darinya. Ia membawa sebuah kardus berisi lampu tirai yang tadi digunakan untuk aula.
“Cel, tunggu, dong!”
“Cepetan jalannya!” seru Marcela yang sudah berada jauh di depan Arden. Arden hari ini datang untuk mengantar Ara. Tapi sebenarnya tujuan lainnya adalah untuk melihat Marcela dan menggunakan kesempatan itu untuk mendekatinya. Namun apalah daya, ia malah disuruh melakukan ini-itu, bahkan membawa barang-barang yang harusnya dilakukan panitia. Jika bukan karena Marcela, ia mana mau. Lebih baik ia bermain game di rumah daripada datang ke sekolah. Ia benar-benar menyia-nyiakan hari liburnya hanya untuk Marcela.
“Cel, habis ini pulang bareng gue, kan?” tanya Arden sedikit berteriak karena jarak di antara mereka.
“Tergantung gimana kerja lo hari ini.”
“Ya ampun, Cel. Gue udah ngerjain banyak banget, nih. Lo harus kasih gue imbalan.”
“Imbalan hanya diminta sama orang-orang yang enggak ikhlas!”
Arden langsung diam tanpa mengatakan apapun lagi. Marcela selalu bisa membuatnya bungkam. Itulah kenapa ia selalu tidak bisa mengatakan apa yang ada di hatinya. Melihat dari sifat Marcela, kemungkinan ia akan ditolak adalah sebanyak 80%. Setidaknya ia harus membuat kemungkinan itu berkurang dengan mendekati Marcela dan membuat hati gads itu tersentuh.
“Taruh di sana aja, Den!”
Arden menurut, lalu menaruh kardus yang ia bawa di tempat yang ditunjukkan Marcela. Setelah seleasi, Arden langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dahinya penuh keringat. Lelah sekali rasanya. Ia mengibaskan tangannya mengipasi wajahnya yang terasa panas.
“Panas banget,” gumamnya.
Marcela yang melihat itu hanay geleng-geleng kepala. Ia menghampiri Arden, kemudian ikut berjongkok. Tangannya terulur ke dahi cowok itu, lalu mengusap keringatnya menggunakan ujung kemejanya.
“Maaf, ya, udah buat lo kerja kaya gini. Tadi Genta enggak ada. Jadi, gue terpaksa minta bantuan lo,” kata Marcela yang agak menyesal telah menyuruh Arden membantunya.
Arden tersenyum. “Enggak papa, kok.”
“Ya udah, sekarang lo boleh pulang.”
“Terus, lo kapan pulangnya?”
Marcela tekekeh. “Gue enggak bisa pulang bareng lo karena udah dijemput sama supir. Maaf, ya. Lain kali, pasti gue bareng lo.” Marcela tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkan Arden.
“Setidaknya, hari ini gue bareng Marcela,” gumam Arden kemudian tersenyum.
-bersambung-