Rewrite — Try to Get You

1560 Words
Ara mengambil segelas air lalu meneguknya. Ia juga mengambil sebuah apel kemudian mengigitnya dan berniat kembali ke kamar. “ARA!” Betapa terkejutnya ia ketika Feri datang sambil berlari dan merentangkan tangannya seolah ingin memeluknya. Ara langsung menjauh, membuat Feri gagal memeluk gadis itu. “Ara, lo telah menyia-nyiakan pelukan seorang Feri.” Ara tidak menggubrisnya. Ia justru tersenyum pada Andi. “Lo bawa apa?” Andi terkekeh. Sudah paham apa yang akan Ara katakan jika ia berkunjung ke sana. Ia memang selalu datang dengan membawa sesuatu. Itu sebabnya Ara langsung bertanya karena ia penasaran apa yang dibawa oleh Andi hari ini. “Bawa diri, sama sama anak konda,” katanya sambil menunjuk Feri. Ara merungut. “Bercanda. Nih, gue bawa bolu melon kesukaan lo.” Mata Ara berbinar. “Andi baik banget,” kata Ara sambil memeluk Andi erat. Feri yang melihat itu langsung mendengkus. “Ra, lo enggak mandi berapa purnama?” tanya Andi. “Ck. Gue gak mandi tadi pagi doang. Lagian, gue wangi gini.” Ketiganya duduk di sofa. Seperti biasa, mereka langsung berbincang-bincang perihal yang terjadi di sekolah, sampai pada titik Andi menceritakan perihal Gama yang membantu Caca. “Tadinya, Gama mau ikut jenguk lo. Tapi si Caca mita bantuan beresin buku di perpustakaan.” Ara mendengkus sebal. Ia tidak suka mendengarnya. Melihat wajah Ara yang berubah cemberut, Andi langsung berdeham pelan. “Nanti Gama ke sini, kok. Tunggu aja.” “Lagian, di antara ratusan cowok di Aeris, kenapa harus Gama, sih?” tanya Arden yang baru saja datang dari dapur membawakan dua botol sprite dan beberapa camilan. “Kenapa emang kalo Gama?” tanya Ara sewot. “Gue gak terima kalo gebetan lo lebih ganteng dari gue,” kata Arden asal. “Pokoknya di hidup lo, yang paling ganteng harus gue.” Ara melongo. ia memang tahu omongan Arden kadang selalu tidak masuk aka. Tapi untuk kali ini, rasanya ia ingin memutus hubungan persaudaraan saja. Bagaimana bisa ada orang yang sepede Arden? Bahkan bicara seenaknya. “Ra, lo stres, gak, punya abang kaya dia?” tanya Feri. “Gue udah ditingkat di mana gue pengin tenggelamin dia ke laut selatan, Fer.” “Gue dukung.” *** Gama memarkirkan motornya. Hari sudah hampir gelap. Ia harus mengantarkan Caca pulang juga. Jika bukan karena permintaan Bu Rani, ia tidak akan melakukannya. Hanya saja, ia adalah orang yang selalu menepati perkataan dan janjinya. Rumah terlihat sepi. Bibi yang bekerja di rumahnya juga pasti sudah pukang jika sudah sire begini. Ayahnya pasti ada di kantor, dan Kakaknya masih ada di luar kota. Sendirian di rumah, Gama sudah biasa, bahkan sejak di Bandung. Ia mengambil handuknya, lalu memilih mandi karena tubuhnya terasa lelah. Selesai mandi, Gama meraih ponselnya yang ada di nakas. Baterai ponselnya habis dan ia lupa membawa charger. Ia berjalan ke arah meja belajar kemudian mencharger ponselnya. Kakinya melangkah ke arah balkon. Ia menoleh ke balkon Ara, namun pintu kamarnya tertutup. Ia harusnya menjenguk Ara tadi. Baru saja Gama akan masuk, tiba-tiba pintu kamar Ara terbuka. Cowok itu langsung menoleh dan tersenyum ketika melihat Ara berdiri dengan sweater merah mudanya. “Ara,” panggilnya. Ara menoleh dan terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya matanya membulat dan kemudian ia kembali masuk ke dalam kamar. Gama melongo. Namun beberapa detik setelahnya ia kembali ke luar sambil tersenyum. “Kenapa tadi masuk lagi?” Ara berdeham pelan. Gue tadi enggak pakai lipstik. Bibir gue pucet kaya orang sekarat. “Enggak, tadi ada yang jatuh,” bohong Ara. “Lo udah gapapa? Atau masih sakit?” “Udah enggak, kok. Nih, udah sehat, udah bisa lihat Gama,” kata Ara dengan senyuman khasnya. Gama mengangguk lega. “Udah gitu aja?” tanya Ara setelah tidak ada lagi yang Gama katakan padanya. Cowok itu menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya apa lagi?” Ara menghela napas. “Kirain lo mau kasih gue apa gitu. Kan, ceritanya lo lagi jenguk gue. Kalo enggak, ya, pokoknya anggap aja gitu.” Gama terkekeh. Ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran Ara. Tapi ia selalu saja tertawa ketika Ara mengatakan hal-hal yang membingungkannya. Gama mengeluarkan sebuah permen lolipop yang tadi ia ambil di dekat meja Bu Rani. “Nih.” Gama menyodorkan lolipop itu. Ara menerimanya dengan wajah sumringah. “Makasih.” “Tapi dimakannya kalo udah sembuh. Sekarang jangan.” Ara berdiri tegak, kemudian memberikan hormat layaknya seseorang yang tengah melakukan upacara bendera. “Siap, grak!” *** Ara sudah merasa lebih baik dari kemarin. Padahal, Mamanya masih melarangnya pergi ke sekolah, tapi Ara bersikeras ingin tetap berangkat. Ia tidak bisa berdiam saja di rumah tanpa melakukan apapun. Setidaknya di sekolah ia bisa bertemu kedua temannya itu—Marcela dan Sena. Ara berlari kecil menghampiri keduanya yang tengah duduk di kursi mereka. “Jahat lo berdua! Gue sakit enggak ada yang jenguk!” omel Ara dengan wajah cemberut. Keduanya menoleh, agak terkejut melihat Ara yang datang ke sekolah. Padahal biasanya jika Ara sakit, gadis itu akan izin selama 3-5 hari. “Kok, lo ke sekolah, Ra?” tanya Sena dengan wajah melongo. Ara terbilang jarang sekali sakit. Tapi jika sakit bisa sampai berhari-hari. “Kenapa? Lo enggak pengin gue masuk, kan? Biar bolu melon enggak dihabisin sama gue? dendam lo, ya, sama gue?” Sena menepuk lengan Ara kemudian terkekeh pelan. “Tadinya kita mau jenguk lo hari ini. Kemarin enggak bisa. Gue ada les piano. Sena juga harus rapat osis. Lagian, tumben lo sakitnya sehari doang. Sakit bohongan, ya, lo?” tanya Marcela. “Enggak, lah! Gue bela-belain ke sekolah demi ngelihat Gama,” katanya dengan wajah sumringah. Ia kemudian mengingat kembali kejadian semalam ketika Gama memberikannya sebuah permen lolipop. Melihat senyum Gama membuat hatinya berdebar. “Lo beneran suka banget sama dia, Ra?” tanya Sena. “Banget!” serunya. “Yakin?” Ara mengangguk tanpa ragu. Sebelumnya ia tidak pernah merasa sesuka ini dengan seseorang. Bahkan seantusias ini menyukainya. Ara pikir, perasaannya kali ini benar-benar nyata. Ia yakin, Gama lah orang yang benar—benar mampu membuat hatinya seperti ini. “Gimana kalo kejadiannya kaya Calvin dulu?” Ara menghela napas. Calvin lagi dan Calvin terus. Selalu saja dikaitkan dengan cowok itu. Jujur saja, Ara agak menyesali perlakuannya terhadap Calvin dulu. Meskipun ia menyukai Calvin, tapi bukan berarti ia ingin Calvin menjadi pacarnya. Lagipula, ia dan Calvin sudah memperjelas perasaan mereka. “Calvin udah enggak ada di sini dan di hati gue. Jadi, jangan sebut lagi.” Sena sangat menyayangkan Ara yang tidak menerima Calvin sebagai pacarnya dulu. Calvin termasuk cowok populer di Aeris. Tidak hanya tampan tapi juga pintar. “Sayang banget, padahal kalian cocok kalo pacaran.” Marcela ikut mengangguk. “Iya, cocok banget, sumpah. Enggak bohong.” “Kalian telat ngomongnya. Orangnya udah enggak ada, baru lo pada bangga-banggain.” Sena dan Marcela hanya bisa tertawa. “Ya udah, sini-sini duduk. “ *** Ara berjalan menghampiri meja kantin tempat Arden dan teman-temannya termasuk Gama. Gadis itu langsung mengambil tempat di debelah Gama yang tengah memakan nasi pecalnya. Ara menopang kepalanya dengan telapak kedua tangannya lalu menatap Gama tanpa memalingkan pandangannya. Arden yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala dan berharap Gama tidak terganggu dengan kelakuan adiknya yang absurd itu. “Ra, lo ngapain ngelihatin Gama gitu, sih? Enggak bakal berubah jelek dia,” kata Feri. Ara tersenyum. Gama tidak terlihat terganggu dengan kehadiran Ara. Cowok itu tetap melanjutkan aktifitasnya tanpa berkata apapun. Ara berdeham pelan. “Gama, besok ada acara penyambutan duta dari Singapura. Gue akan tampil sama anak marching band yang lain. Lo mau nonton, kan?” Gama kini menoleh. Wajah Ara sangat dekat dengan wajahnya. Jujur saja, dalam situasi seperti ini Gama merasa agak sedikit kikuk jika ditatap seperti itu. “Tapi lo masih sakit.” Itulah yang dikatakan Gma. Ara terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum. Ia menarik tangan kiri Gama yang tidak memegang sendok kemudian menaruhnya di pipinya. “Coba lihat, masih kaya orang sakit enggak?” “Jadi, besok lo harus nonton gue. Karena besok, gue akan jadi cewek paling cantik di Aeris,” katanya menyombongkan diri. Gama terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Setelah mendapat jawabannya, Ara langsung pergi dari sana. Arden berdeham pelan, lalu menyilangkan kedua tangannya dan menatap Gama dengan tatapan mengintimidasi. “Lo suka Ara?” Gama mendongak kemudian menggeleng sebagai jawaban. “Terus kenapa lo mau datang ke acara penyambutan besok?” “Gue enggak bisa nolak.” “Dengan alasan?” tanya Arden semakin menyudutkan Gama. Andi dan Feri saling tatap. Mereka merasa hawa disekitar mereka sudah berubah menjadi lebih serius. Meskipun Arden sering bertengkar dengan Ara, tapi jika masalah begini, Arden juga harus turun tangan. Ia tidak ingin Ara menyukai orang yang salah. “Acara itu di sekolah. Kedua, gue harus bantu Caca karena Wahyu belum masuk. Gue janji sama Bu Rani, jadi gue harus datang,” jelas Gama. Feri mendengkus. “Bu Rani sekarang gitu sama gue. Dulu sebelum lo dateng, gue jadi anak kesayangan. Eh, ada yang pinteran dikit langsung berpaling. Jahatnya Bu Rani.” Andi tertawa, sedangkan Arden masih menatap Gama dengan tatapan tidak suka. Buknnya apa, ia hanya tidak suka Gama memberikan harapan pada adiknya itu. sebaiknya jika tidak suka, Gama menolaknya meskipun ia tetap datang ke sana. Ia tahu betul bagaimana Ara. Gadis itu akan lebih mencoba mendekati Gama nantinya. “Lo bisa bikin dia kecewa,” kata Arden pada Gama. Keduanya saling tatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Feri mencoba mengalihkan pembicaraan. -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD