Awal Cerita Bermula

1803 Words
10 tahun sebelum kejadian .... Seorang gadis terlihat tersenyum cerah, menolehkan kepalanya ke arah jendela dari kendaraan umum yang dia tumpangi, menatap banyaknya kendaraan roda empat yang melaju bersamaan dengan motor yang jauh lebih kecil namun lebih gesit melewati deretan mobil yang mendominasi. Ruwetnya jalanan bersamaan dengan cuaca yang panas tak menghilangkan senyum semringahnya Langit yang berada di atasnya terlihat begitu cerah dengan warna biru yang jauh lebih jernih dari hari-hari sebelumnya. Hanya ada awan tipis seperti tumpukan bulu angsa yang sedang terbang tersapu angin. Hari ini hari sedang bersinar dengan sangat cerah sama seperti perasaannya. Tangannya menggenggam selembar kertas dengan kop surat nama SMAnya. Tulisan lulus tepat di tengah surat seolah sengaja ditulis dengan bercetak besar, hitam dan digaris bawahi agar semua Tulisan itu menjadi pusat perhatian begitu membuka kertasnya. Senyum semringahnya sama sekali tak berubah meskipun udara panas memenuhi keadaan sekitarnya mengingat kendaraan umum yang dia tumpangi penuh dengan orang-orang. Mata gadis itu berbinar, membentuk bulan sabit saat senyum manisnya menghiasi wajah cantiknya. Hidungnya mancung dengan porsi yang pas, tidak terlalu mancung seperti orang arab, atau tidak terlalu mungil seperti yang banyak diinginkan oleh orang Indonesia. Perasaannya membuncah menyadari bahwa dia akhirnya menyelesaikan sekolahnya di masa SMA dan bisa melanjutkan kuliah di salah satu Universitas terbaik dengan beasiswa penuh sehingga dia tidak akan membebani keluarga angkatnya lagi setelah ini dan bisa membalas semua apa yang mereka berikan. Naraya Aruna, nama gadis cantik itu yang lebih sering dipanggil Yaya oleh keluarga angkatnya. Ya... dia memang seorang anak angkat yang dipertemukan dengan Ayahnya saat berumur empat tahun sebelum akhirnya menjadi anak bungsu keluarga Ibrahim. Keluarga kecil yang hanya terdiri dari Mama, Papa dan kakak laki-lakinya yang sangat menyayanginya dan tak pernah membedakannya karena itulah membuat Nara selalu berhutang budi, dan cara yang paling tepat menurut Nara untuk membalas semua perlakuan baik mereka adalah dengan menjadi anak baik, penurut dan juga pintar. Dia tak ingin membebani mereka terlalu banyak lagi, terutama jika mengingat Papanya kini sedang berjuang dengan penyakit sirosis hati yang sedang dia jalani. Golongan darah Papa yang langka membuatnya masih harus menunggu donor hati yang harus dia jalani, sedangkan dia sendiri, tak bisa mendonorkan hatinya sama seperti Kakak dan Mama. Yag bisa mereka lakukan sekarang hanyalah menunggu hingga mereka mendapatkan donor hati untuk ayahnya. Dia tak ingin berubah menjadi jahat dengan mengharapkan ada orang yang akhirnya mati otak dengan golongan darah yang sama sehingga Papa bisa tertolong, tapi ... itu sekarang satu-satunya harapan mereka untuk menyelamatkan Papa, Nara menarik napasnya dalam mencoba membuang perasaan tak nyaman yang sejenak terlintas jika mengingat kondisi Papanya. Dia tahu sebelum sampai ke rumah dia harus kembali mengubah moodnya, Papa tak pernah ingin dia bersedih dan Nara harus terus melakukannya. Tersenyum ceria di hadapan Papanya dan tak memperlihatkan kesedihannya. Tak seberapa lama, kendaraan yang dia tumpangi berhenti di dekat kompleks perumahannya. Jarak dari tempatnya berada sekarang hingga ke rumah hanya sekitar 5 menit. Rambut panjangnya berkibar begitu dia berlari menuju rumahnya, perasaan riang dan ceria yang dia rasakan menemani langkahnya yang terasa begitu riang. Dia tak sabar untuk memberitahu kedua orang tua angkatnya bahwa dia telah lulus SMA dan diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Yakin bahwa setelah ini Mamanya akan memeluknya era dan tersenyum bangga, sedangkan Papa tentu saja akan mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Langkahnya terus berjalan cepat menuju ke rumah dengan bayangan indah itu yang terus memenuhi dirinya, sebelum akhirnya langkahnya terhenti di depan pagar rumahnya. Senyumnya membeku saat melihat pagar rumah yang biasanya tertutup rapat kini terbuka lebar. Debaran jantungnya terhenti dengan tatapan mata berbinarnya yang berubah redup dan tak percaya dengan apa yang dia lihat di salah satu sudut pagar, sebuah tiang yang terikat tali rafia. Tangannya meremas kertas yang awalnya dia jaga baik-baik itu hingga lecek. Tubuhnya bergetar dengan begitu hebat. Isakannya keluar bersamaan dengan air matanya yang terjatuh saat melihat bendera kuning terikat di tali rafia itu bersebelahan dengan bendera hijau bertuliskan Innalillahi wa Inna illaihi ra’jiun dalam bahasa Arab. Wajah semringahnya berubah menjadi pias, keringat dingin bercucuran ke seluruh tubuhnya. Dunianya yang awalnya terang berubah menjadi gelap seketika saat menyadari maksud dari bendera itu. bergegas dia masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Mamanya. “Ma....” panggil Nara dengan terisak. Tubuhnya luruh begitu melangkah saat melihat banyak orang mengenakan pakaian hitam berada di halaman rumahnya. Tenda hitam, susunan kursi yang dipenuhi oleh orang-orang berwajah sedih membuat jantungnya serasa diremas begitu kencang. Dia tak pernah melihat ada begitu banyak orang berkumpul di rumahnya seperti ini, bahkan jika keluarganya mengadakan halal bi halal saat Idul Fitri ataupun Idul Adha tak pernah sebanyak ini terutama saat melihat raut wajah sedih yang diperlihatkan semua orang. “Mama..” panggil Nara berusaha mencari Mamanya hingga langkahnya kembali terhenti saat melihat ke ruang tengah. Kertas yang sedari tadi dia genggam dengan begitu erat terlepas begitu dia mengurai tangannya, tas selempang yang dia bawa jatuh ke lantai, bersamaan dengan telinganya yang sedari tadi memekak, kini mulai mendengar isakan Mama di depannya. Menangis histeris dengan memeluk tubuh seseorang yang tertutup dengan kain batik panjang. Air matanya kembali, tubuhnya bergetar begitu hebat saat melihat tubuh Papanya terbarik kaku dikelilingi oleh banyak orang yang sedang membacakan surat Yasin. “Papa!” pekik Nara kencang membuat semua orang terarah ke arahnya. Dia tersentak saat melihat mama yang awalnya menangis hebat dalam tangisan adik mama kini menatapku. Beliau melepaskan pelukan Tante yang menghalanginya, matanya yang awalnya terlihat sendu berubah menatap Nara dengan penuh kebencian sebelum kemudian. Plak Nara tersentak saat merasakan pipinya nyeri merasakan tamparan hebat. Tatapan penuh kasih yang selalu beliau berikan kini berubah menatapku dengan penuh amarah, “DASAR ANAK SIALAN!” hardik beliau ingin kembali menampar Nara namun ditahan oleh Tante Dian -adik mama yang tadi menahan beliau. “M-ma!” lirih Nara dengan nada bergetar tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Jangan Panggil saya Mama! Aku nggak pernah sudi kamu memanggilku dengan sebutan itu!” Pekik Beliau lagi, menghempaskan tangan Tante Dian yang menahannya lalu kembali menatapku. Nara kembali tersentak, ingatan bahwa selama 13 tahun tinggal bersama dengan mereka, ini pertama kalinya dia melihat mamanya menatapnya dengan penuh kebencian. Wajah penuh kasih dengan tatapan lembut yang selama ini beliau perlihatkan, kini berbeda 180 derajat sehingga membuatnya ketakutan. Belum sempat rasa sakit di pipi kanannya hilang, Mama kembali menampar keras pipi Nara kali ini hingga membuatnya terjatuh, semua orang memekik. Beberapa orang bergerak mendekati Nara yang menatap mamanya takut, tubuhnya bergetar hebat dengan air mata yang membasahi wajahnya. Tangan kirinya menahan pipi kanannya yang panas, nyeri bahkan dia dapat merasakan sudut bibirnya pecah. “DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!” hardik Mama lagi membuat telinga Nara memekak. “SEHARUSNYA SAYA TIDAK PERNAH MENYETUJUI DIA MENGADOPSI KAMU JIKA TAHU KALAU KAMU ADALAH ANAK DARI WANITA JALANG ITU!” teriak Mama menggelegar. Nara tak mengerti, dia tak mengerti satu pun kata yang mamanya ucapkan. Siapa anak pembawa sial? Wanita jalang? “PERGI KAMU DARI SINI DAN JANGAN PERNAH MEMPERLIHATKAN WAJAH KAMU DI DEPAN WAJAH SAYA LAGI!” Nara tersentak saat Mama menyeret tubuhnya keluar. “Ma..” pinta Nara dengan tubuh lemah kepada Mamanya namun tak dia gubris, bahkan tak ada satu orang pun yang menghentikan tindakan Mamanya. Brak! Tubuh Nara sontak terjatuh di aspal saat mamanya melemparnya dengan cukup keras, lutut dan sikunya terluka, namun rasa sakit yang dia rasakan di tubuhnya sama sekali tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan di hatinya. Dunianya serasa berhenti saat melihat tatapan mengerikan yang mamanya berikan. “ANAK p*****r! SEHARUSNYA AKU MENGERTI KENAPA PRIA ITU BEGITU MENYAYANGIMU!” teriakan mamanya kembali terulang. Telinganya tak dapat mendengarkan semua hardikan yang diberikan oleh mamanya, dia mendengar kata-kata umpatan yang selama ini tak pernah sama sekali keluar dari mulut lembut mamanya. Pelacur? Selingkuh? Anak Haram? Kata-kata itu terus keluar dari mulut mamanya. Nara mencoba bergerak menyentuh kaki mamanya, memohon agar tidak diusir seperti ini, namun Mamanya menghempaskan tangannya, kembali mendorong tubuhnya hingga membuatnya kembali terjerembab ke tanah. “m-mama,..” hanya satu kata itu yang dapat Nara ucapkan namun tak digubris oleh Mama, Dia merangkak berjalan ingin kembali menggapai mamanya, namun pintu pagar yang awalnya terbuka kini tertutup rapat. Nara sontak berdiri, “Mama salah Nara apa, kenapa mama ngusir Nara. Nara ingin ngelihat Papa untuk terakhir kalinya, Mama.. Ma... mama... Nara mohon, Ma....” pinta Nara namun tetap tak digubris. Tangisnya kembali terjatuh dengan begitu hebat saat melihat beberapa penjaga keamanan rumahnya kini berbaris seolah menutupi dirinya dari orang-orang yang sedari tadi melihat apa yang sebenarnya terjadi. Nara berdiri di luar pagar besi itu sembari terus menangis dengan keras, melihat banyak orang yang menatapnya dengan kasihan namun tak ada yang berani untuk membantunya. Yang Nara lakukan hanya bisa menangis dengan hebat. Tubuhnya luruh di salah satu sudut pagar, tangisannya meraung. Dia masih tak mengerti dengan semua hal yang menyakitkan yang terjadi hari ini mengubah semua rasa bahagia yang baru saja dia rasakan. Bayangan tubuh kaku Ayahnya sekelebat masuk ke dalam ingatannya menyisakan rasa sesak. Dia lemah, hampir tak menerima kenyataan bahwa Pria yang terlah membawanya masuk ke dalam rumah itu dan memberinya kehangatan keluarga bukanlah Ayah angkatnya, melainkan ayah kandungnya sendiri. Dan apa yang baru saja dia dengar tadi, Ibu kandungnya adalah selingkuhan Ayahnya. Dia tak ingin percaya, namun kebencian yang diperlihatkan oleh Mama Angkatnya seolah membuktikan semua hal yang terjadi. Dia adalah anak haram ayahnya yang dirawat oleh Istri sah Ayahnya sendiri. Cuaca cerah yang awalnya terlihat berubah seketika, awan-awan kelabu yang tiba-tiba datang mulai mengeluarkan tetes airnya, bersamaan dengan kesedihan yang Nara rasakan. Dia bangkit saat melihat Mamanya terus berjalan tanpa menoleh ke arahnya. Nara menangis dengan keras, dunianya yang awalnya penuh warna kini berubah menjadi hitam putih sama seperti awan kelabu yang perlahan mulai menghitam. Bagaimana mungkin wanita yang lemah lembut dan begitu menyayanginya itu berubah drastis menjadi wanita yang menatapnya tajam, bengis dan penuh kebencian, seolah dirinya hanyalah sampah yang tak berharga. Belum lagi saat melihat tubuh kaku Papa tadi. Kain putih yang menyelimuti tubuhnya membuat tubuhnya kembali bergetar. Dia bahkan tak bisa mengantarkan ayahnya kembali ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dia berjalan tertatih meninggalkan kompleks rumahnya di tengah hujan yang turun begitu deras, tangisannya pecah bersamaan dengan suara gemuruh. Melangkah dengan begitu berat meninggalkan rumah itu. Rumah yang tak lagi pantas untuknya. Selama ini, dia selalu menuruti perintah Mama dan kali ini juga seperti itu. Sama seperti permintaan yang diucapkan Mamanya yang terdengar seperti titah yang tak terelakkan. Dia akan berbakti untuk terakhir kalinya kepada orang yang merawatnya sejak kecil itu bahwa seumur hidup dia tak akan pernah memperlihatkan wajahnya lagi di hadapan beliau, kecuali beliau yang memintanya untuk kembali. Langkahnya getir berjalan dalam guyuran air hujan yang membasahi tubuhnya yang masih berbalut seragam sekolahnya, membiarkan dirinya larut dalam kesakitan. Rasa sakit yang terasa di pipi kanan dan sudut bibirnya menyadarkannya bahwa semua hal yang terjadi ini bukanlah mimpi. Tapi adalah kenyataan pahit yang akan terus menerus menghantui dirinya sampai kapan pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD