My Crazy Fear - 06

2001 Words
Sungguh, tidak pernah sekali pun Colin membayangkan dirinya bertarung di tengah arena luas yang disaksikan oleh ribuan orang yang berasal dari berbagai negara, apalagi sosok yang akan menjadi lawan bertarungnya adalah orang yang sangat ditakutinya, yaitu Paul Cozelario. Dari sikapnya saja, Paul sangat brutal dan mengerikan, bahkan dia terlalu tangguh jika harus dikalahkan oleh lelaki penakut dan pengecut seperti Colin, itu terlalu mustahil. Mengapa semua ini harus terjadi padanya? Colin ketakutan. Sangat ketakutan. Apa yang harus dia lakukan agar bisa memenangkan pertandingan ini? Colin tidak bisa berpikir jernih! Namun, sebenarnya Colin tidak terlalu dirugikan dalam pertarungannya, karena dia memiliki pasangan dalam berhadapan melawan Paul. Ya, seharusnya dia berpikiran begitu dan tenang. Tapi sayangnya, nasib buruk masih menimpa dirinya, karena orang yang menjadi pasangannya dalam bertarung melawan Paul adalah Lizzie, seorang gadis yang sifatnya tidak beda jauh dengan musuh yang akan dihadapinya. Colin tidak yakin dia bisa bekerja sama dengan Lizzie, mengingat gadis itu mempunyai kebencian yang sangat besar terhadap kaum laki-laki. Entahlah karena apa, Colin juga tidak begitu mengerti dan mengetahuinya. Tapi yang jelas, dia sama sekali tidak beruntung karena dipasangkan dengan gadis seperti Lizzie, dan juga harus bertarung melawan lelaki seperti Paul. Ini gila. Terlalu gila. “WOY! b******n! JANGAN MELAMUN!” Colin terkejut dan mulai mengerjap-erjapkan matanya untuk kembali menyadarkan dirinya dari lamunannya, keterkejutannya semakin meningkat karena saat ini dia sudah benar-benar ada di tengah-tengah gelanggang, lokasi dirinya yang diharuskan bertarung bersama Lizzie melawan Paul. Orang yang tadi meneriakinya tentu saja Lizzie, gadis itu kini sedang berdiri di samping Colin, sembari memasang wajah sebal dengan matanya yang tampak menindas, menunjukkan kemarahannya karena melihat pasangannya tidak berguna di situasi seperti ini. “Y-Ya!? K-Kenapa!?” Setelah menyadarkan dirinya, Colin dengan tergagap menoleh dan menatap dalam-dalam wajah gadis tomboi yang ada di sebelahnya dengan keringat dingin yang menetes-netes di keningnya. “Inilah mengapa aku tidak suka berpasangan dengan laki-laki, mereka semua tidak bisa diandalkan!” gerutu Lizzie pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memelototi Colin. “Sekarang, kita sedang berada di hadapan para penonton! Yang perlu kita lakukan, sambil menunggu lawan kita tiba, adalah menyapa mereka semua! Perlihatkan senyumanmu dan pandanglah wajah semua penonton di sekitar kita! Bodoh!” “E-Eh!? T-Tapi aku harus mengatakan apa untuk menyapa mereka!? Lagipula di sini kita tidak membawa mikrofon!? Bagaimana cara mereka mendengar suara kita sedangkan arena ini sangat riuh!?” Yang dikatakan oleh Colin memang benar, karena munculnya mereka berdua di tengah lapangan, membuat semua penonton jadi bersorak-sorai, menciptakan suasana yang riang gembira, menyambut kedatangan mereka dengan bergemuruh, berteriak-teriak, atau sekedar memberikan tepuk tangan. Tampaknya, semua orang sudah tidak sabar ingin melihat bagaimana dua orang itu mengalahkan mentornya sendiri di tengah lapangan. Selain itu para penonton juga—yang semuanya adalah kumpulan dari para pahlawan dan mentor dari berbagai negara—ingin menilai kemampuan generasi baru dari pahlawan-pahlawan Madelta dalam melakukan pertarungan sungguhan, yang artinya, mereka ingin mengamati sejauh mana ketangguhan dari sepuluh orang yang kelak akan menjadi pahlawan pelindung masyarakat Madelta, sembari mencari tahu kelebihan dan kelemahan dari setiap peserta yang bertanding. “Kau mempermalukanku! Seharusnya kau tidak perlu berdiri di sini jika kau tidak punya keberanian untuk menyapa para penonton!” Selepas mengatakan itu, Lizzie langsung membuang muka dari Colin, untuk memandang para penonton di sekelilingnya, lalu mengacungkan kepalan tangan kanannya tinggi-tinggi sambil memamerkan senyuman buasnya, yang membuat arena jadi semakin gaduh oleh gaya gadis tomboi itu yang seakan-akan menunjukkan pada semua orang bahwa dia bakal jadi seorang pemenang. Tentu saja, melihat semua penonton begitu heboh setelah melihat acungan tangan kanan Lizzie, membuat Colin terkagum pada gadis tomboi berambut oranye pendek itu, yang kelihatannya sangat percaya diri pada kemampuannya. Sementara Colin, sama sekali tidak percaya pada kemampuannya sendiri, dia menganggap kalau pertandingan ini terlalu mustahil untuk dimenangkan oleh orang seperti dirinya. Sekali pun menang, pasti itu bukan berasal dari kemenangannya dalam bekerja sama, melainkan kemenangan yang berasal dari usaha Lizzie sendiri. Menghembuskan napasnya, Colin jadi murung, dia tampak meneguk ludahnya dengan canggung dan tampak gugup. Ekspresi wajahnya kelihatan sendu, padahal pasangannya terlihat tersenyum penuh bangga di hadapan para penonton. Sikap mereka berdua benar-benar sangat berlawanan. Colin dengan rasa takutnya, sedangkan Lizzie dengan kebanggaannya. Entah akan seperti apa jalannya pertarungan ini, membuat beberapa penonton jadi bersemangat ingin melihat pertandingan tersebut. “Laki-laki yang berambut biru itu,” celoteh Leo dari tempat duduknya, berbicara pada orang-orang yang ada di dekatnya, dengan menatap tajam sosok Colin yang berdiri di tengah arena. “Terlihat payah dan lemah, aku tidak mengerti megapa orang seperti dia bisa terpilih menjadi seorang pahlawan, soalnya,” Leo terkekeh-kekeh, menertawakan sosok Colin yang berdiri di tengah arena. “Dia tampak seperti marmut yang ketakutan dari tadi.” Mendengar omongan dari mentornya, membuat pahlawan-pahlawannya yang duduk berjejer di sebelah kanannya mengangguk secara serentak, dan memberikan responnya masing-masingnya, yang semuanya sepemikiran dengan Leo. “Ya, kau benar, Bos!” “Payah! Hahahahaa!” “Dia cuma pengecut, Bos!” “Pertarungan ini pasti akan berpusat pada gadis berambut oranye itu, Bos!” “Ya! Ya! Dibanding dengan lelaki berambut biru itu, gadis itu terlihat lebih meyakinkan!” “Aku yakin semua penonton ingin menyaksikkan gadis itu bertarung!” “Tapi sayang sekali, ya? Pasangannya tidak berguna.” “Ya, sangat disayangkan.” Seringaian di wajah Leo jadi semakin lebar, dia benar-benar senang karena pahlawan-pahlawan bimbingannya selalu satu arah dalam memandang sesuatu, itu membuatnya jadi semakin mudah untuk mengendalikan mereka semua sesuai dengan keinginannya. Bahkan, dalam benaknya, Leo tidak menganggap ke sepuluh pahlawannya sebagai ‘pahlawan’, sebaliknya, dia menganggap mereka semua seperti kacung-kacungnya yang bersikap patuh dan hormat padanya, dan itu benar-benar membuat dirinya bahagia karena memilih orang-orang bodoh seperti mereka. Suasana di arena jadi semakin ribut saat melihat kemunculan Paul yang berjalan gagah dari ujung arena yang berlawanan dengan Lizzie dan Colin. Kedatangan lelaki berwajah beringas itu sangat ditunggu oleh semua orang, membuat para penonton jadi sangat heboh. Lizzie menyeringai puas, sedangkan Colin tampak panik dan resah, hingga beberapa detik kemudian, Paul benar-benar telah sampai tepat di depan mereka, menampilkan mukanya yang tampak seram dan mengerikan, seperti singa yang bersiap-siap menerkam dan mencabik-cabik mangsannya sampai habis tak tersisa. “Datang juga kau, Bajingan.” ucap Lizzie, menyapa kedatangan Paul di hadapannya, dengan mengucapkan kata-kata yang kasar dan memancing kemarahan. “Kukira kau bakal kabur dan bersembunyi di suatu tempat, tidak kusangka kau muncul juga. Untuk seukuran laki-laki bodoh, keberanianmu boleh juga.” “Jangan pikir kau bisa mengendalikan emosiku,” balas Paul dengan menampilkan tatapan mata yang menindas pada Lizzie. “Sebaiknya kau bersiap-siap, karena di sini, aku tidak akan menahan diri. Jangan sampai ada tulang yang patah atau tubuh yang terluka, karena kau harus bisa melindungi dirimu sendiri,” Perhatian Paul langsung dialihkan pada Colin. “Begitu juga denganmu, Colin Sialan! Kau jangan bertingkah seperti seorang pengecut di sini, karena semua pahlawan dan mentor dari berbagai negara, sedang memperhatikanmu sekarang!" "A-Aku mengerti!" Angguk Colin dengan lagi-lagi meneguk ludahnya, tampak meyakinkan dirinya untuk percaya pada kemampuannya, meski sebenarnya jantungnya berdegup-degup sangat kencang. Di posisi barat, pahlawan-pahlawan Madelta yang menunggu giliran, tampak duduk berjejer di bangku penonton paling depan, untuk ikut menyaksikan pertandingan pertama yang diisi oleh Colin dan Lizzie melawan Paul. Mereka semua ikut merasa tegang melihat Sang Mentor telah muncul di hadapan Colin dan Lizzie, situasinya benar-benar semakin menegangkan saat Paul terlihat berbicara pada dua orang itu dengan memasang wajah mengancam, seakan-akan nyawa bisa saja ada yang melayang dalam pertandingan tersebut. "Hah~ Menontonnya saja sangat menakutkan, ya?" ujar Isabella yang bersuara di samping teman-temannya, sambil meregangkan dua tangannya ke atas. "Kau juga berpikiran begitu, kan? Nico?" tanya Isabella yang mulai menolehkan kepalanya ke samping kiri, ke arah laki-laki berambut putih berkaca mata yang duduk di sebelahnya. "Maksudku, sekarang pacarmu akan bertarung melawan Paul, dan kelihatannya dia sangat ketakutan. Bagaimana menurutmu? Apakah Colin bersama Lizzie bisa memenangkan pertarungan ini? Aku penasaran pada pengamatanmu." "Jangan banyak omong dan lihat saja ke depan," timpal Nico tanpa sedikit pun melirik wajah Isabella yang ada di sampingnya, membuat teman-temannya yang lain jadi terkaget saat mendengar omongan dingin dari si lelaki berkaca mata itu. "Aku tidak perlu bilang apa-apa, yang perlu kulakukan hanyalah percaya dan yakin, bahwa dia akan menjadi pemenang dalam pertandingan ini." "Wow," Isabella terkaget dan tersenyum tipis. "Mengejutkan sekali, kukira kau akan mengkhawatirkannya, ternyata tebakanku salah, ya?" Naomi diam-diam memandangi Nico, dia masih tidak mengerti mengapa orang itu jadi terlihat lebih dingin dan angkuh dari biasanya, padahal belakangan ini seharusnya lelaki berkaca mata itu mudah diajak bicara, tapi sekarang sudah tampak berbeda. Hal itu membuat Naomi jadi gelisah, kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan itu, ia jadi tidak yakin pertandingannya kelak bakal berjalan dengan baik, melihat Nico jadi berubah sangat dingin seperti itu. Tiba-tiba bunyi terompet kembali melengking, menandakkan bahwa pertandingan sudah benar-benar dimulai, dan para peserta yang berdiri di tengah arena telah diizinkan secara resmi untuk saling menghajar, membuat Paul dan Lizzie menyeringai senang, sementara Colin wajahnya jadi sangat memucat. "Mari kita lihat, seperti apa pahlawan-pahlawan Madelta itu," Lolita terkikik-kikik ria di samping Gissel dan para pahlawannya, wanita itu tampaknya masih menyimpan dendam kesumat pada Paul. "Nona Gissel, Anda harus menontonnya baik-baik, agar kelak Anda bisa mengalahkan mereka semua, terutama mentornya itu." "Diamlah, Lolita," kata Gissel dengan kesal. "Tanpa diperintah pun, aku pasti akan melakukannya." Mendadak, ketika Lizzie dan Paul akan saling memukul, suara mikrofon yang ditepuk-tepuk membuat mereka semua jadi terkejut dan menoleh ke sumber suara, begitu pula dengan Colin dan semua penonton di arena. Dan tertampaklah Roswel dengan senyuman tipis dan jubah hitamnya yang berkibar, sedang berdiri tegap di puncak dari tiang tertinggi yang tertanam di depan bangku para pahlawan Madelta duduk. "Mau apa orang itu berdiri di sana?" Lolita mengernyitkan alisnya saat menemukan keberadaan Roswel di tiang tertinggi. "Padahal acara telah dimulai, dasar mengganggu saja." "Abaikan saja saya, Tuan-Tuan, Nona-Nona," kata Roswel dengan memegang satu mikrofon di tangan kanannya yang didekatkan ke mulut tipisnya, membuat suaranya terdengar ke setiap penjuru dari arena besar dan luas itu. "Di sini saya berperan sebagai pembawa acara. Saya akan memeriahkan pertandingan dengan menjelaskan hal-hal yang terjadi di tengah arena, Anda-Anda sekalian dapat menyaksikan pertandingan sembari mendengarkan penjelasan saya." Kemudian, Roswel melempar tiga mikrofon dari tiang tertinggi ke arah Paul, Lizzie, dan Colin, membuat tiga orang itu segera menangkapnya dalam kebingungan. "APA MAKSUDNYA INI, b******k!?" Paul mendekatkan mikrofon yang dipegangnya ke mulut dan langsung berteriak pada Roswel dengan suara yang sangat keras, mengagetkan seluruh penonton yang mendengarnya. "Tolong, tempelkan saja mikrofon kecil itu di mulut Anda, agar setiap hal yang Anda ucapkan saat bertarung melawan Colin dan Lizzie bisa terdengar juga oleh penonton. Itu semua demi memeriahkan pertandingan, Tuan." "YAAA! AKU SUDAH MENEMPELKANNYA DI PIPIKU, BAJINGAAAAAAN!" pekik Lizzie, yang lagi-lagi mengagetkan para penonton karena suaranya yang tidak kalah keras dengan Paul. "SEKARANG, URUS SAJA URUSANMU SENDIRI! JANGAN GANGGU PERTANDINGAN KAMI, ROSWEL b******n!" "Tentu saja, Tuan," jawab Roswel sembari menganggukkan kepalanya. "Silahkan, lanjutkan pertandingannya." Memalingkan kepalanya ke depan untuk kembali memandangi wajah Paul, Lizzie tersenyum lebar. "Baiklah, sepertinya ini akan menyenangkan. Aku sudah tidak sabar ingin menghabisi laki-laki b******n sepertimu, Paul!" "Tutup mulutmu dan diam saja di sana, b******k!" Paul langsung bergerak melangkahkan kakinya, mendatangi Lizzie dengan kecepatan yang sangat kencang sembari mengayunkan kepalan tangan kanannya kuat-kuat untuk menghajar hidung gadis tomboi itu. "Heh! Kau pikir hanya dengan itu bisa mengalahkanku!?" Dengan gesit, Lizzie mengindari sedikit dan memutarkan badannya untuk berada di belakang Paul, lalu melingkarkan dua lengannya tepat ke leher Sang Mentor dan tersenyum. "Bagaimana sekarang? Apa kau siap untuk mati di sini, b******n!" Kini leher Paul dikunci oleh lengan kanan Lizzie yang melingkar di sana, membuat lelaki beringas itu tersentak dan kesal. "Lepaskan lengan kurusmu ini dari leherku, k*****t!" Lizzie terbelalak saat kuncian lengan kanannya berhasil dilepas oleh tarikan tangan kiri Paul, membuat gadis tomboi itu jadi terlempar keras ke samping kanan, terjatuh dan tergerusuk ke tanah, menimbulkan kepulan debu yang menyebar ke mana-mana. Colin gelagapan saat menyaksikan Lizzie yang berhasil dijatuhkan oleh Paul, membuat Sang Mentor kini mulai memandang ke arahnya, seolah-olah memberi kode bahwa sekarang giliranmu. Cepat-cepat Colin memundurkan langkahnya, sambil bilang, "K-Kumohon, Paul! B-Bisakah kau tidak menyerangku dulu!? A-Aku masih belum terlalu siap untuk bertarung denganmu! M-Mentalku masih--" "JANGAN MEMBUATKU SEMAKIN JIJIK PADAMU, b******k!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD