My Crazy Fear - 05

2081 Words
Desiran ombak terdengar. Keheningan malam yang dihiasi dengan suara serangga yang berderik di pepohonan turut menyempurnakan rasa kaget sembilan pahlawan bimbingannya Paul ketika gondola yang mereka tumpangi rusak pada bagian moncongnya karena menabrak sebongkah batu yang besar dan tinggi di sebuah pulau asing yang belum pernah mereka kunjungi. “Semuanya turun!” seru Lizzie menyuruh teman-temannya untuk turun dari gondola setelah dirinya mendarat di permukaan pasir pantai yang lembut. Serentak, mereka semua segera meloncat dan turun dari atas gondola untuk mendarat secara langsung di pulau asing itu, sesudahnya sembilan orang itu terkejut saat melihat bagian depan gondolanya hancur lebur menghantam badan dari sebuah batu yang cukup besar dan kokoh. Angin sepoi-sepoi mengusap rambut dan kulit mereka, kini untuk pertama kalinya akhirnya mereka berhasil mendarat di sebuah pulau, entah pulau apa itu, apakah Pulau Gladiol atau bukan, tapi yang jelas mereka bersyukur karena akhirnya bisa kembali menapaki daratan. Naomi saja kegirangan karena kakinya sudah bisa digunakan untuk berlarian lagi, mengingat sebelumnya dia hanya bisa duduk diam di atas gondola dengan ditemani oleh lautan yang sangat luas. “Rusak parah!” pekik Cherry saat gadis mungil itu memeriksa ke bagian depan gondola, ia pun menoleh ke teman-temannya yang sedang berdiri memandangi pulau asing ini. “Sepertinya kita sudah tidak bisa menggunakan gondola ini, rusaknya terlalu parah! Cherry pikir sebaiknya kita buat gondola yang baru saja! Bagaimana menurut kalian? Hihihihi!” Menggelengkan kepalanya, Nico menjawab dengan nada yang datar, “Tidak perlu, kita tidak perlu membuat kendaraan air seperti ini lagi,” Semua temannya terkejut saat Nico berkata demikian, Lizzie saja sampai menggeram mendengarnya. “Lebih baik kita istirahat dulu di sini, aku akan mencari lokasi yang cocok untuk dijadikan tempat kita tidur, kalian juga carilah sesuatu, entah itu makanan atau sejenisnya agar besok kita bisa melanjutkan perjalanan.” “Melanjutkan perjalanan?” Colin menaikan dua alisnya secara bersamaan. “Bukankah kita sudah sampai di tempat tujuan? Ini Pulau Gladiol, kan?” “Ya! Bukankah ini Pulau Gladiol, Bro!?” ungkap Jeddy, menganggukkan kepalanya seraya terheran-heran pada perkataan Nico. “Memangnya kita mau ke mana lagi, Bro? Lagipula kita sudah sampai, kan?” “Kalian yakin?” Kini Nico mengernyitkan alisnya dengan memicingkan matanya. “Jangan mengklaim suatu hal tanpa didasari fakta, kita tidak bisa menganggap ini adalah Pulau Gladiol karena kita belum tahu apa-apa tentang pulau ini.” “Kurasa ini memanglah Pulau Gladiol,” Koko ikut bersuara, mengemukakan pendapatnya dengan hati-hati. “Karena sebelumnya… aku merasakan bentuk pulau ini sama persis seperti Pulau Gladiol yang kita lihat dari tengah laut, tapi… sebaiknya kita periksa saja dulu sama-sama, karena kemungkinannya 50:50.” “Koko benar,” timpal Victor, sependapat dengan lelaki cantik berambut ungu panjang itu, dengan melontarkan pemikirannya senyaring mungkin pada teman-temannya yang lain. “Tidak ada yang tahu apakah ini Pulau Gladiol atau bukan, satu-satunya cara untuk membuktikan itu hanya dengan memeriksanya sendiri ke dalam, aku benar, kan?” “Saya setuju,” Naomi juga sepemikiran dengan Koko dan Victor, gadis berkerudung kuning itu mulai mengungkapkan pandangannya menggunakan bahasa yang sopan dan tertata. “Saya pikir ada kemungkinan ini adalah Pulau Gladiol, jadi mari kita sama-sama meninjau pulau ini agar mendapatkan jawaban yang benar." Menghembuskan napasnya dengan letih, Lizzie menggelengkan kepalanya. “b******n seperti kalian ini tidak punya rasa lelah apa? Kita baru saja mendayung gondola ini sekuat tenaga, dan sekarang kalian malah ingin memeriksa pulau sebesar ini?” Lizzie mendengus sebal dengan jengkel. “Ternyata benar apa kata pepatah, orang t***l biasanya lebih punya tenaga ekstra dibanding orang normal. Periksa saja pulau ini silahkan! Aku lebih baik cari tempat tidur!” “Hey, Lizzie, bisakah kau diam dulu di sini?” Tiba-tiba Isabella bersuara, membuat Lizzie yang hendak melangkah pergi jadi terhenti dan menoleh ke perempuan bertubuh seksi itu, begitu pula dengan rekan-rekannya yang lain, yang sama-sama penasaran pada maksud dari perempuan mantan p*****r tersebut. “Aku merasakan kehadiran seseorang di dekat kita, jadi tolong tetaplah di sini, Lizzie.” “Kehadiran seseorang? Apakah dia adalah salah satu penghuni pulau ini yang terusik dengan kedatangan kita dan bakal menyerang pendatang baru yang dianggap sebagai penyusup!? B-Bukankah itu gawat!?” Tanpa disadari, muka Colin jadi sangat pucat saking ketakutannya, dia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk dari yang Isabella ucapkan. “Bagaimana kalau nanti kita dijadikan makan malam oleh mereka!? I-Ini mengerikan! Kita harus lari dari pulau ini! Situasinya sangat berbahaya!” “Tenanglah, Colin,” kata Nico dengan berjalan mendekat ke lelaki berambut biru sembari mengusap-usap bahu dari kekasih hatinya itu. “Jangan takut. Kita bisa melaluinya bersama-sama.” “J-Jangan takut kau bilang!?” Bahkan Colin menentang ucapan Nico dengan membalikkan badannya dan meremas pundak si lelaki berkaca mata berambut putih itu, dan mulai mencecarnya dengan ucapan-ucapan penuh rasa ngeri. “Maaf Nico, aku mengerti kau ini sangat cerdas dan jenius, tapi tolong jangan terlalu santai di situasi begini, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di sini, lebih baik kita memikirkan kemungkinan terburuknya dari pada—“ “BERISIK KAU, b******n!” Tak tahan mendengar pekikan-pekikan dari Colin, Lizzie akhirnya berteriak dengan sangat kencang, membuat beberapa burung jadi beterbangan dari pepohonan. “Tutup mulutmu atau kurobek bibirmu!” “Hiiiiiiiii! A-Ancamanmu terlalu berlebihan! Lizzie!” Colin segera berlindung ke punggung Nico saat Lizzie meneriakinya seraya mengumpati gadis tomboi itu. “Dari sikapnya saja, aku yakin dia pasti bakal tewas lebih dulu jika ada monster yang menghuni pulau ini!” “Ayolah, Colin, tenanglah.” lirih Nico dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian Nico pun memandang ke sosok Isabella dan bertanya, “Jadi bagaimana? Apakah benar ada seseorang selain kita di pulau ini?” “Ya, dan dia sedang berdiri di puncak batu yang ada di depan kita.” Jawab Isabella dengan mengacungkan telunjuk tangan kananya ke area yang diucapkannya. Mengikuti arah telunjuk dari Isabella, mereka semua terkejut karena sosok yang tersiram sinar rembulan di malam hari yang gelap ini adalah seorang laki-laki kekar bertelanjang d**a, yang hanya mengenakan celana pendek saja, sedang berdiri gagah memandangi sembilan pahlawan yang baru mendarat di pulau ini. Sosok itu tidak melakukan pergerakan apa pun, hanya berdiri dan memandangi mereka, seakan-akan seperti petugas keamanan yang sedang mengawasi gerak-gerik dari para penyusup. “Siapa laki-laki itu?” tanya Victor dengan membulatkan bola matanya. “Tunggu, kalau dilihat baik-baik, bukankah dia mirip seperti—“ Perkataan Nico terpotong saat Colin tiba-tiba berteriak di belakangnya dengan ikut mengulurkan jari telunjuknya. “ITU ABBAS!” pekik Colin dengan napas yang terengah-engah, meyakinkan teman-temannya untuk percaya pada omongannya. “TIDAK SALAH LAGI! ITU ABBAS!” “Abbas!?” Jeddy menoleh pada Colin dan terkejut, ia pun kembali memalingkan pandangannya untuk melihat baik-baik sosok tersebut. “Eh? Tunggu, sepertinya memang benar!” Cherry ikut girang dan gembira, ia sampai meloncat-loncat saking senangnya karena telah menemukan sosok yang sangat dirindukannya. “Cherry tidak salah lihat! Itu Abbas! Itu Abbas!” “Benarkah?” Meski sudah diperiksa baik-baik dengan penglihatannya, Naomi merasa sosok itu tidak ada kemiripannya dengan Abbas. “Mungkin kalian salah mengira.” “Tidak! Dia memang Abbas!” tukas Lizzie dengan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar, membuat Naomi terkaget dan merenungi ucapan dari gadis tomboi itu. “OOOOOOOOOOOOI! TURUNLAH KAU DARI SANA, b******n!” panggil Lizzie dengan berseru-seru seperti serigala di malam hari. Tiba-tiba, sosok laki-laki kekar itu dengan santainya melompat dari puncak batu yang besar itu dan mendarat dengan sempurna di depan para pahlawan bimbingan Paul, menunjukkan rupa aslinya yang terlihat jelas di mata mereka semua. Ternyata memang benar, laki-laki asing itu adalah Abbas, ia menyunggingkan senyuman tipisnya pada teman-temannya. “Aku senang kalian bisa sampai di pulau ini,” ucap Abbas dengan suara baritonenya yang ngebass dan gagah. “Kalian memang anak-anak yang baik.” “ABBAAAAAAAAAAAAAS!” Cherry, Colin, Jeddy, Victor, dan Naomi menjerit histeris dan berlarian mendekati lelaki kekar berwajah datar itu, sementara Nico, Lizzie, Koko, dan Isabella hanya tersenyum senang melihat kembalinya Abbas di kelompok mereka. “Maafkan aku karena telah meninggalkan kalian di tengah laut,” kata Abbas dengan mengusap-usap kepala Cherry, Colin, Jeddy, Victor, dan Naomi dengan lembut, seperti seorang ayah yang sedang berbicara pada anak-anak kesayangannya. “Mulai sekarang, aku akan menjaga kalian.” Terharu dengan omongan Abbas, Cherry dan Colin menangis tersengguk-sengguk dan langsung memeluk tubuh si lelaki kekar berambut abu-abu itu, sementara Naomi, Jeddy, dan Victor hanya tertawa renyah melihat tingkah dua orang itu yang manja sekali pada Abbas. “Baiklah, baiklah,” Nico mendadak ikut mendatangi Abbas, namun dia tidak seperti beberapa temannya yang lain, yang menyambut lelaki berambut abu-abu itu dengan perasaan yang berlebihan, melainkan ingin menginterogasi soal dibalik alasan mengapa orang itu sempat terjun ke laut dan meninggalkan gondola. “Sepertinya sudah cukup sesi reuni penuh tangisnya, sekarang biarkan aku menanyakan beberapa hal pada orang ini, jadi tolong mundurlah sedikit.” Colin dan Cherry mematuhi ucapan Nico dan melepas pelukannya masing-masing di badan Abbas dan segera menjauhi lelaki kekar itu untuk diinterogasi oleh si pahlawan berkaca mata. “Hai Nico,” sapa Abbas ketika melihat Nico mendatanginya dengan kaca matanya yang berkilat-kilat terkena sinar bulan. “Aku senang kau juga baik-baik saja.” Saat Abbas hendak mendaratkan salah satu tangannya untuk mengusap-usap rambut putih Nico, lelaki berkaca mata itu langsung menepis tangan si lelaki kekar dan mulai bersuara. “Jangan menyentuh kepalaku dan jawablah pertanyaanku,” sambar Nico dengan tatapan mata yang tajam dan nada yang sangat dingin, membuat Abbas terpaksa menarik kembali lengan kanannya dan mengangguk. “Jelaskan pada kami alasan, tujuan, dan hasil dari terjunnya kau ke laut? Tolong paparkan sejelas mungkin agar kami bisa mengerti dan memaafkan tindakan cerobohmu itu.” Mengatur napasnya sebisa mungkin, Abbas mulai memberanikan diri untuk mengungkapan dasar dibalik dirinya yang tiba-tiba terjun ke laut pada teman-temannya. “Aku tidak punya alasan apa pun,” Sontak, mendengar itu membuat Nico dan yang lain terkesiap dengan jawaban Abbas yang terkesan polos dan apa adanya. “Aku cuma ingin menyelidiki sesuatu yang menggangguku.” “Lantas, sesuatu apa yang mengganggumu?” “Entahlah.” ucap Abbas dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kesal pada cara Abbas yang tidak transparan dalam menjelaskan alasannya, membuat Nico pasrah dan mulai menyerah untuk menginterogasi orang pendiam itu. “Oke, terserahlah, aku tidak peduli,” lontar Nico dengan memijit-mijit keningnya. “Tapi jangan mengulanginya lagi. Kau membuat kami semua khawatir. Oh, ya. Apakah tubuhmu baik-baik saja? Kau tidak menelan sedikit pun air laut mati, kan?” “Aku menelannya, lumayan banyak, saat aku berenang,” jawab Abbas dengan suaranya yang hangat. “Tapi aku baik-baik saja. Terima kasih telah bertanya, Nico.” “EEEEEEEEEEEEEH!?” Lagi-lagi, Colin, Cherry, Victor, Jeddy, dan Naomi menjerit histeris secara bersamaan saat mendengar jawaban dari Abbas. “B-BUKANKAH DIA BAKAL MATI!?” tanya Colin dengan wajahnya yang pucat pasi. “MUNTAHKAN! AYO MUNTAHKAN SEMUA AIRNYA, ABBAS!” Cherry memekik-mekik sambil menggoyang-goyangkan badan Abbas dengan kencang. “AKU TIDAK MAU MELIHAT KAWANKU MATI DI SINI, BRO!” Jeddy jatuh terduduk dengan memukul-mukul pasir pantai dengan kesal, hingga serbukan pasirnya melebur kemana-mana. “Uhuk! Uhuk!” Koko terbatuk-batuk saat hidungnya kemasukan pasir yang beterbangan. Melihat semua temannya tampak panik membuat Abbas hanya memiringkan kepala dan kebingungan. “Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu cemas,” kata Abbas dengan terheran-heran. “Soalnya aku sudah bukan lagi manusia normal,” Tiba-tiba semuanya jadi mematung saat Abbas berkata demikian. “Aku merasa ada sesuatu yang di tanamkan di dalam tubuhku, dan rasanya seperti sebuah mesin. Bahkan sekarang, dengan mataku, aku bisa melihat diri kalian dengan jelas, sampai menembus ke bagian organ-organ tubuh kalian.” Terkejut, Isabella hampir tersedak air ludahnya sendiri. “Apa-apaan itu?” “Mungkin,” ucap Abbas dengan mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan tubuhnya yang jadi berubah. “Saat aku disembuhkan dan dirawat oleh orang itu, dia juga sempat mengacak-acak tubuhku, dan sepertinya menanamkan mesin kecil ke dalam tubuhku.” “Hah?” Lizzie menaikan sebelah alisnya, bertanya-tanya pada kebenaran dari yang dikatakan oleh Abbas. “Siapa orang yang kau maksud?” “Kalau tidak salah, dia bisa mengendalikan robot raksasa,” Abbas memejamkan matanya sejenak, lalu kembali membuka matanya lebar-lebar saat ingatannya berhasil mengingat nama dari orang tersebut. “Tommy Rigmagog, itulah namanya.” “Tommy…” Naomi tercekat mendengarnya. “… Rigmagog?” Isabella mengernyitkan alisnya, merasa asing pada nama tersebut. “Siapa itu Tommy Rigmagog?” Victor ikut bingung dengan pembicaraan itu. “Di mana kau bertemu dengan Tommy Rigmagog?” Ingin mendengar lebih lanjut soal orang asing itu, Nico kembali bertanya dengan menatap serius pada Abbas. “Di Sablo, ketika aku, Lizzie, dan Paul mencari Naomi yang menghilang.” Namanya disebut, Naomi dan Lizzie saling memandang dan tersentak. “Eh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD