BAB 4: Sekolah

2449 Words
“Aku, anak kepala sekolah tempat kau sekolah.” Jawab pria itu dengan senyuman jahatnya. Alih-alih kaget dan takut dengan jawaban pria asing di depannya itu, Winter hanya menggerakan sebelas alisnya tampak meremehkan dan tidak peduli. Winter memalingkan wajahnya dan bersedekap melihat lurus ke depan. Winter merasa sedikit setres dan membutuhkan sedikit penenang dengan sebatang rokok, namun dia tidak bisa mendapatkannya karena masih di bawah umur. Neydish adalah negara yang paling banyak aturan, untuk sebungkus rokok saja, seseorang harus memberikan kartu identitasnya untuk memastikan bahwa dia sudah legal mendapatkan rokok. Kebungkaman Winter membuat Marius melihat ke sisi dan memperhatikan Winter yang sedikit berbeda dengan yang terakhir kali dia lihat setengah tahun yang lalu di sebuah pesta. Setengah tahun yang lalu mereka pernah bertemu dan berkenalan karena ibunya Marius yang bekerja sebagai kepala sekolah mengenal baik ayah Winter. Winter yang Marius lihat setengah tahun yang lalu berbeda dengan Winter yang sekarang. Setengah tahun yang lalu Winter adalah gadis polos, sangat pemalu dan lebih suka sendiri, bahkan gadis itu tidak pernah mau menatap mata orang yang berbicara dengannya, Winter tidak memiliki keberanian mengeluarkan suaranya sedikit lebih lantang. Winter hanya menghabiskan waktunya dengan merenung sambil makan sendirian mengasingkan diri dari keramaian. Sikap Winter saat itu tidak lebih seperti puteri malu, hanya mendapatkan sedikit sentuhan saja langsung memilih menutup diri. Kini Winter terlihat berbeda, gadis itu memiliki aura yang kuat dan tenang. Bahkan setelah ketahuan ingin merokok, Winter tidak menunjukan diri bahwa dia khawatir dan takut bahwa Marius akan melaporkannya kepada ibunya yang menjadi kepala sekolah di tempat Winter sekolah. “Kau” panggil Marius lagi terdengar dingin, Winter langsung menengok dan menatapnya lagi. “Apa kau baik-baik saja?.” Tanya Marius tidak yakin. Bola mata Winter yang biru itu terlihat sedikit gelap. Winter tidak mengerti mengapa orang asing yang ada di hadapannya itu berkata sesuatu yang tidak pahami ke mana arah tujuannya. “Memangnya ada apa denganku?” Tanya balik Winter. Bibir Marius sedikit memiring. Marius ingat, satu hari setelah Winter di temukan pingsan di sekolah karena perundungan, Benjami langsung datang menemui ibunya secara langsung ke rumahnya dan menuntutnya. Benjamin berbicara banyak hal dan menuntut ibunya Marius untuk mengusut tuntas atas perundungan yang menimpa Winter, termasuk bullyan yang mengarah kepada Winter setelah menyatakan cinta kepada seorang pria dan di tolak dengan hinaan. Saat itu Benjamin sangat marah, kemarahan Benjamin bisa di pastikan bahwa apa yang terjadi pada Winter bukan hal yang sepele. “Untuk apa kau datang ke tempat ini?.” Tanya Marius lagi tanpa menjawab pertanyaan Winter. Tidak sepatutnya Marius menanyakan hal pribadi orang lain, apalagi jika hal pribadi itu bukan berita baik. “Bertemu dokter gizi” jawab Winter dengan jujur. “Kau seperti tidak membutuhkan dokter gizi.” Winter langsung mendengus tidak suka sambil bersedekap dan mengangkat dagunya. “Kau tidak lihat tubuhku atau memang tidak bisa melihat? Aku jelas-jelas butuh dokter gizi untuk menurunkan berat badanku. Sama sepertimu yang datang ke sini, mungkin kau membutuhkan dokter syaraf untuk menyembuhkan kakimu yang belum bisa berjalan.” Komentar Winter dengan sangat pedas dan tidak sopan. Pupil mata Marius sedikit bergetar, rahangnya mengeras terlihat marah. Sudah lebih dari satu tahun ini dia selalu rutin datang untuk menyembuhkan kakinya yang lumpuh pasca kecelakaan. Tangan Marius terkepal kuat menahan emosi dengan ucapan kasar Winter yang sangat keterlaluan. “Sebaiknya kau jaga ucapanmu sebelum menyesal.” Geram Marius marah. Winter segera beranjak dari duduknya ketika melihat Vincent yang datang dari kejauhan. Sejenak Winter berdiri di hadapan Marius, Winter tidak peduli siapa orang yang ada di depannya. “Aku tidak menghinamu, harusnya kau bisa membedakan cacat, lumpuh, dan belum bisa berjalan. Aku mengatakan kau belum bisa berjalan karena suatu saat kau akan bisa berjalan.” Jelas Winter dengan ekspresi dinginnya. Dalam satu gerakan Winter berbalik dan pergi meninggalkan Marius yang diam terpaku melihat punggungnya. “Mengapa ucapannya mengingatkanku pada seseorang?” Bisik Marius bertanya, tiba-tiba Marius teringat seseorang yang sering dia perhatikan beberapa tahun yang lalu sebelum orang itu pergi. *** “Kau yakin akan pergi sekolah?” Tanya Vincent entah untuk yang ke berapa kalinya. Vincent merasa ragu dengan keputusan Winter yang ingin kembali pergi sekolah dalam waktu cepat, Vincent masih belum bisa memastikan apakah Winter akan aman jika kembali ke sekolah dengan cepat. “Ya, tentu saja. Waktunya beberapa hari lagi sebelum libur panjang.” Jawab Winter sambil berjalan di atas treadmill untuk memulai program olahraganya yang paling ringan setelah bertemu dan berkonsultasi dengan dokter gizi yang akan memantau dietnya sejak hari ini. Tubuh Winter harus mulai terbiasa dari olahraga yang kecil karena setelah ini tubuh itu akan setiap hari di latih untuk bergerak dan olahraga yang lebih berat. Tugas Winter sekarang tidak hanya memulai diet dan olahraga, Winter juga harus membuang semua pakaian kunonya yang tidak sesuai dengan usianya. Winter benar-benar harus berubah dari nol. Entah apa yang di lakukan pemilik tubuh Winter sebelumnya, Winter yang berwajah sangat cantik, berkepribadian yang sangat tulus dan terlahir dari keluarga konglomerat lebih dari empat generasi. Semua poin-poin itu adalah kombinasi yang sempurna. Seharusnya kini Winter menikmati kehidupan remajanya dengan baik, menggali banyak pengalaman, di kelilingi banyak teman, bermain, menciptakan kenalan-kenalan kecil. Anehnya, Winter yang asli malah menjalani kehidupannya dengan sangat menyedihkan dan terlihat tidak berguna. “Kau bisa pindah sekolah jika tidak nyaman di sana.” Suara lantang Vincent sedikit menyentak lamunan Winter yang tengah sedikit merenung. Winter mengusap wajahnya yang kini memerah karena panas dan berkeringat, sekilas Winter melihat waktu yang menunjukan bahwa Winter sudah lebih dari tiga puluh menit berjalan cepat di treadmill. “Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Jawab Winter dengan napas tersenggal. Kimberly yang kini menjadi pemilik baru tubuh Winter, dia harus tahu seperti apa kehidupan Winter yang sesungguhnya di sekolah. Jika memang benar Winter di temukan terluka dan kehilangan kesadarannya di sekolah, besar kemungkinan ada sebab tersembunyi di balik itu semua. Vincent membuang napasnya dengan berat, pria itu tetap tidak bisa mengizinkan adiknya pergi ke sekolah begitu saja setelah mengetahui bahwa Winter adalah korban bully dan menjalani kehidupannya yang sulit di sekolah. “Aku harus membicarakan masalah ini dengan ayah, aku ingin keselamatanmu di jamin baru kau boleh sekolah, jika sekolah tidak bisa menjamin keselamatanmu, kita akan menuntut mereka ke pengadilan dan kau pindah ke sekolah lain.” Winter mendengus geli mendengarnya, jiwa muda yang berkobar di dalam diri Vincent mengingatkan Winter pada kehidupannya dulu sebagai Kimberly. Sangat menggebu dan melawan apapun yang menantangnya. “Mengenai Paula” Winter mengalihkan pembicaraanya seketika “Apakah kakak menyukai dia?.” “Aku hanya menyukaimu.” Jawab Vincent secepatnya. “Bukan itu.” Winter memelankan laju treadmill, seluruh tubuhnya terasa basah dan panas, kakiya benar-benar sangat tersiksa kesakitan menahan beban tubuh yang terlalu besar saat berjalan. Winter mengambil air dan menegaknya beberapa kali karena haus. Kondisi tubuh Winter yang memiliki ukuran lambung besar membuat dia terus menerus merasakan perasakan lapar palsu, Winter mensiasatinya dengan minum air putih lebih banyak agar merasa kenyang. Winter hanya akan makan dua kali sehari apapun yang terjadi, dia tidak akan mengkonsumsi apapun lagi menjelang malam selain air putih. “Apakah kakak menyukai pertemananku dengan Paula?.” Winter memperjelas pertanyaannya. Vincent mengerut bingung, selama ini dia selalu memantau pertumbuhan Winter dan mengetahui bagaimana sangat dekatnya Winter dengan Paula. Jika boleh jujur, Vincent sangat tidak menyukai Paula, namun karena Winter sangat dekat dengan Paula, Vincent memilih diam saja. “Biasanya kau akan marah jika aku membahas hal buruk tentang Paula” jawab Vincent bingung. Winter mematikan treadmillnya dan perlahan turun, dia terduduk dengan napas kasar karena lelah. “Katakan saja dengan jujur.” Kimberly benar-benar harus tahu seperti apa Paula di mata orang lain. Vincent terdiam cukup lama, dia mengenal Paula sejak kecil karena ibunya Paula berteman dengan ibunya. Setelah kecelakaan besar yang membuat Winter trauma dan amnesia, Paula adalah salah satu orang yang membantu membangkitkan Winter untuk kembali bersemangat dengan kehidupannya. Paula selalu memberikan makanan manis untuk menghibur Winter yang bersedih, kebiasaan itu akhirnya membuat Winter menjadi ketergantungan kepada makanan hingga akhirnya Winter gemuk seperti sekarang. Vincent senang Paula bisa mebuat Winter kembali bangkit, namun Vincent tidak suka karena semakin sering dan semakin lama adiknya bergaul dengan Paula, kepribadian Winter menjadi berubah tidak normal. Vincent merasa cukup bimbang, dia sangat ingin menjauhkan adiknya dengan Paula. Namun di sisi lain, Winter yang tidak memiliki teman dekat selain Paula. “Kakak, kenapa diam saja?” Tanya Winter mendesak. “Kau terlalu berlebihan dalam mempercayai Paula.” Bisik Vincent terlihat ragu untuk berkata jujur karena terakhir kali Vincent berkata jujur, Winter marah kepadanya dan membela Paula. “Lanjutkan.” “Kau selalu melakukan apapun atas saran Paula, bahkan kau memaksa ayah untuk mempekerjakan ibu Paula sejak ayah Paula meninggal. Ayah tidak mau menerimanya karena ibu Paula pernah memiliki beberapa catatan buruk penggelapan dan meloby bisnis kotor perusahaan swasta. Tetapi, karena kau memaksa, akhirnya ayah mempekerjakan ibu Paula dengan jabatan yang bagus meski pekerjaannya tidak maksimal. Kau hidup dalam aturan orang lain, aku sangat berharap kau memiliki pendirian sendiri dan berhenti hidup di bawah aturan Paula.” Winter terdiam dan mendengarkan baik-baik ucapan Vincent. Kini Winter sudah menemukan benang merah permasalahannya. Melihat keterdiaman adiknya yang merenung membuat Vincent terlihat khawatir bahwa Winter akan marah lagi kepadanya. Vincent segera beranjak dan mendekati adiknya. “Jangan marah kepadaku, aku tidak melarangmu berteman dengan Paula, aku juga tidak akan melakukan apapun selama kau bahagia.” Bisik Vincent seraya menepuk bahu Winter. “Aku tidak marah.” Jawab Winter dengan tenang. Vincent tercekat kaget, jawaban Winter cukup menenangkan pikiran Vincent. Perlahan Vincent membuat napasnya dengan lega karena sepertinya perubahan Winter sekarang akan menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya. *** Winter duduk di kursi belakang dan menurunkan kaca jendela mobilnya untuk melihat Vincent yang kini berdiri di teras melambaikan tangannya terlihat tersenyum memaksakan meski khawatir melepaskan Winter pergi ke sekolah lagi. Sikap Vincent sangat mirip seperti seorang ibu yang khawatir dengan anaknya yang baru pertama kali akan pergi ke sekolah. Pagi ini Winter akan pergi ke sekolah setelah beberapa hari menenangkan diri dan mempelajari keadaan yang memaksa jiwa Kimberly harus beradapatasi dengan situasi. Selama menenangkan diri, jiwa Kimberly merasakan kehidupan yang sedikit membosankan karena Vincent terus memperlakukan dia seperti anak kecil selama berada di rumah. Tubuh Winter boleh saja berusia tujuh belas tahun. Namun sekarang jiwa di dalam tubuh Winter adalah jiwa yang baru, dan jiwa itu milik Kimberly yang berusia dua puluh tujuh tahun. Kimberly yang terbiasa dengan aktifitas yang padat, kini dia harus menahan diri dengan jiwanya yang memberontak, dia harus berusaha bersikap seperti anak tujuh belas tahun yang lugu dan polos. “Nona Winter.” Panggil Nai yang sedang fokus menyetir. “Anda mau menjemput Paula? Jika Anda belum menghubunginya, saya akan menelponnya.” Winter yang terdiam sambil menopang dagu langsung melihat ke arah Nai. “Kenapa kita harus menjemputnya?.” Tanya balik Winter yang tidak mengerti. “Anda selalu menjemputnya setiap kali akan pergi sekolah bersama” jawab Nai dengan datar. “Jika Anda dan Paula masih bertengkar, kita akan langsung ke sekolah saja.” “Kita langsung ke sekolah saja.” Jawab Winter seraya mengambil cermin kecil dari saku jass sekolahnya. Kimberly memandangi tubuh dan wajah barunya yang beberapa hari ini dia tempati. Kini Kimberly sedikit sedikit terbiasa dan tidak begitu setres lagi saat melihat fisiknya yang baru. Bibir Kimberly bergerak tersenyum merasa sedikit puas karena wajah cantik Winter sudah cukup bagus meski hanya di polesi pelembab bibir, dan makeup yang membuat dia terlihat lebih segar, apalagi kini rambutnya menjadi lebih berkilau setelah menghabiskan setengah hari perawatan. Kimberly menurunkan cerminnya lagi. Kimberly yang berada dalam tubuh Winter itu sudah bertekad. Dalam waktu setengah tahun dia akan berubah seratus persen dengan cara yang tepat, dia akan menghancurkan siapapun orang yang sudah berani memperalat dan memanfaatkan kebaikan, kepolosan dan keluguan gadis yang bernama Winter di masa lalu. Kimberly membuang napasnya dengan berat kembali melihat ke sisi ketika mobil yang di tumpanginya perlahan berhenti karena lampu merah. Kimberly menurunkan kaca jendela mobilnya dan melihat ke atas gedung alun-alun kota yang menanyangkan berita. Mata Winter terbelalak kaget, wajahnya sedikit memucat melihat berita mengenai tutupnya beberapa yayasan sekolah gratis yang dulu pernah di bangun olehnya Kimberly Feodora. Kini, Yayasan itu tutup karena bangkrut. Dulu, ketika Kimberly naik daun dan menjadi model yang mendapatkan bayaran yang fantastis, dia selalu menyisakan uangnya untuk membangun banyak sekolah dan yayasan. Apa yang Kimberly bangun tidak sedikit. Mungkin ada lebih dari seratus yayasan dan sekolah yang dia bangun. Kimberly menyumbangkannya banyak uang untuk membangun sekolah agar dia bisa mendorong anak-anak kecil yang tidak beruntung untuk bisa menjadi sukses sepertinya. Namun sepertinya perjuangannya di masa lalu berakhir tidak baik karena kini yayasan yang dulu dia bangun harus tutup karena bangkrut. Jika yayasannya bangkrut, maka sekolah-sekolah yang Kimberly bangun akan terkena imbasnya juga. Winter mengerjap sedih. Mobil kembali bergerak membuat Winter menaikan kaca mobilnya lagi. Winter menautkan jari-jarinya dengan kuat merasa khawatir dengan masa depan anak-anak yang pernah dia bantunya. *** Kepala Winter mendongkak menatap gerbang sekolah yang sangat besar terbuka lebar, beberapa bus sekolah berjajaran baru datang dan mengantar anak-anak sekolah. Hiro menghentikan mobilnya dan segera berlari keluar membukakan pintu untuk Winter. Winter menelan salivanya dengan kesulitan, Winter terlihat sedikit panik karena baru ingat bahwa dia tidak tahu di mana kelasnya berada. “Nona, Anda tidak apa-apa?” Tanya Hiro yang memperhatikan Winter masih duduk di kursinya. Winter segera keluar dan memasang ekspresi sedatar mungkin menyembunyikan kepanikannya. Anak-anak sekolah yang semula sibuk sendiri perlahan berhenti berjalan dan terlihat kaget karena Winter sudah kembali ke sekolah dengan penampilan yang sedikit berbeda. Winter terlihat lebih mencolok karena Winter mewarnai rambutnya menjadi terlihat lebih terang, rambut itu tidak lagi di kepang, Winter membiarkan rambutnya tergerai indah. Winter juga mengenakan pakaianna tidak lagi serba kebesaran, wajahnya terpoles make up dengan sederhana dan cantik, untuk pertama kalinya orang-orang melihat Winter mengenakan anting, jam tangan dan aksesoris yang sesuai dengan standar kemampuan kehidupan aslinya. Beberapa orang sedikit berbisik membicarakan keributan gosip minggu lalu mengenai Winter yang menyatakan cinta kepada Hendery dan mendapatkan balasan di permalukan. Perubahan kecil yang terjadi pada Winter berhasil mencuri perhatian banyak orang. Namun, orang-orang lebih menahan diri untuk tidak bergosip lagi karena orang tua Winter mengancam akan menuntut siapapun yang berbicara buruk kepada puterinya. “Nona, saya akan menunggu Anda di sini hingga pelajaran Anda selesai. Jika butuh bantuan, bodyguard akan membantu Anda.” Kata Hiro sambil menunjuk dua pria bertubuh kekar berdiri di depan mobil hitam yang sejak tadi mengikuti mereka. Winter mengangguk mengerti. “Winter!.” Tubuh besar Winter sedikit terhuyung ke sisi karena tiba-tiba seorang anak perempuan memeluknya dan menangis. “Winter, maafkan aku” isak gadis itu terlihat sedikit panik juga sedih penuh penyesalan. “Lepaskan pelukanmu!” Titah Winter tidak nyaman. Perlahan pelukan gadis itu terlepas, gadis itu menunjukan wajah cantik jelitanya yang berlinanagan air mata. “Bitch.” Bisik Winter memanggil Paula dengan tajam penuh penekanan. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD