Part 2

2261 Words
Sekali lagi. Dia harus berusaha menahan diri untuk tak mendekati Tristan yang sedang serius membaca buku di kelasnya. Guru-guru memang tengah rapat bulanan sehingga seluruh kelas pagi ini menjadi kosong, Disha langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk ngapel di kelas Anggie yang juga merupakan kelas Tristan. Mata hitamnya terus memeperhatikan gerakan Tristan secara diam-diam yang semakin ditanggapi oleh teman-teman disekelilingnya dengan senyuman tertahan. Disha selalu seperti ini saat berada di dekat Tristan. Lupa akan segalanya. “Jangan diperhatiin terus, Dis. Dia nggak kemana-mana kok” Anggie tertawa di depannya sembari tersenyum menggoda, membuat Disha hanya merengut kesal karena dipermainkan Anggie. Wajah Disha bersemu merah. Disha hanya tertawa pelan dan menghabiskan sisa jam pelajarannya di kelas itu, mengobrol bersama Anggie sekaligus juga berusaha mencuri perhatian pemuda itu. Namun Tristan tetap bergeming, tetap membaca buku dan tak mengobrol dengan siswa lainnya. Mungkin memang benar, satu-satunya yang bisa mengajak pemuda itu mengobrol hanya Tanaya. Disha cukup tau diri akan hal itu. “Lo nggak berusaha mendekati dia gitu?” Disha terkekeh pelan dan menggeleng. “Masa gue harus mendekati dia duluan? Lo tau kan si Tanaya lebih segala-galanya dibanding gue, sebelum start gue udah kalah” Disha kembali memperhatikan Tris, namun pemuda itu menyadarinya dan pandangan mereka terkunci untuk beberapa saat. “Siapa yang tau loh.. Setau gue, Tanaya belum mau pacaran sampe lulus. Nah, elo nikung disana!” Jelas Anggie sambil tertawa pelan. Wajah Disha tampak menegang dan kembali normal saat Anggie melanjutkan gosipnya. “Lagian suka kan nggak mandang fisik, dish. Sebelum dia belum pacaran sama siapapun, elo masih ada kesempatan” Disha mengerutkan keningnya sesaat. “ya mau gimana, yang mau dideketin nggak ngerespon” Disha terkekeh geli. “By the way, bandnya Tristan lagi nyari keyboardist buat lomba di sekolah tetangga dua minggu lagi. Kali aja lo bisa” Jantung Disha tersentak mendengar hal tersebut, “Keyboardist?” Anggie mengangguk dengan bersemangat. “Iya. Si Anto lagi diopname kan, jadinya mereka kelabakan nyari penggantinya. Lo nggak baca pengumuman di grup? Atau di mading? Seinget gue, seleksinya hari ini jam 3 di ruang musik” informasi dari Anggie benar-benar membuat Disha tercengang.Ini adalah kesempatan. Disha bisa memandang Tristan lebih dekat lagi, dia bisa berinteraksi dengan pemuda itu lebih lama dan dia bisa selangkah mendekati cowok itu jika dia lolos seleksi. Disha tersenyum menang dan pamit kepada Anggie untuk kembali ke kelasnya. Informasi dari Anggie ini benar-benar membuatnya bersemangat hari ini. Setelah ini, semuanya akan berubah. Disha memandang ke arah Tristan yang kembali serius membaca bukunya dan tersenyum simpul. Dia pasti lolos seleksi. Tidak ada yang bisa menandingi tangan Disha ketika sudah berhadapat dengan keyboard atau piano. Tidak ada, sampai sesuatu hal merenggut semua mimpinya dan membuat Disha menjauh dari kebiasaan lamanya itu. Tristan, mulai hari ini tak akan ada lagi Tanaya. Disha berjanji akan merebut perhatian Tristan dari Tanaya dan Ia memang akan bersungguh sungguh untuk melakukan hal tersebut, Sebelum semuanya menjadi lebih kacau. * Disha menyelesaikan permainannya dengan cepat, tangannya kaku karena sudah lama tidak bersentuhan dengan tuts-tuts keyboard, membuat permainannya sedikit buruk karena hal tersebut. Namun, Disha masih bisa memastikan bahwa dia yang akan terpilih dalam seleksi ini. “Wow! Dis, gue nggak nyangka kalau permainan lo sebagus ini” Aldo menepuk tangannya keras dan menghampiri Disha, tak menyangka bahwa temannya itu bisa. “Well, gue pernah les musik” Disha sedikit gamang ketika mengatakannya, kilasan masa kecilnya saat mendapatkan les musik langsung terbayang di kepalanya. Membawa perasaan yang begitu dia kenal. “Menurut gue, kita nggak butuh diskusi buat hasil seleksi ini. Gimana Tris?” Aldo menghampiri teman-temannya, Tristan bergabung dengan mereka dan mengangguk setuju. Disha tersenyum puas. Dia tau penampilannya tak akan pernah mengecewakan. Karena Disha tak akan mengecewakan siapapun. Baik musik maupun futsal. Saat gadis itu akan berbicara, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Tak perlu waktu lama bagi Disha untuk mencerna tiap-tiap kata yang ada di dalam pesan singkat. “Guys, gue pergi duluan ya” Disha segera pamit saat Aldo, Tristan dan Sailendra mendiskusikan beberapa hal yang tidak dimengertinya. “Oke, Dis, thankyou udah datang dan siap-siap ya kita mulai latihan besok sore” Disha menghentikan langkahnya. Teringat akan sesuatu. “Jangan sampai bentrok sama latihan futsal gue, oke?” Aldo mengacungkan jarinya tanda setuju dan Disha langsung pergi dari ruang musik tersebut. Belum beberapa langkah dia keluar, sebuah u*****n keluar dari mulutnya. “Kenapa harus hujan disaat begini sih?” Disha menghembuskan nafasnya pelan, dia mengetik beberapa kata untuk membalas pesan singkat tadi. Sebelum akhirnya balasan pesannya kembali datang. Disha sengaja memilih untuk menunggu hujan Reda di pelataran gedung kelasnya. Beberapa kelas dua belas masih ada kegiatan belajar-mengajar dan menyebabkan Disha tak perlu takut untuk menunggu di depan sekolah. Dia kembali mengetikkan pesan untuk membalas pesan tadi. Entah berapa lama gadis itu berkutat dengan ponselnya hingga tak menyadari bahwa sekarang ada seseorang berada di depannya. “Permisi” Disha terperangah oleh suara itu, menyadari bahwa dirinya sekarang berada di tengah-tengah koridor sambil membalas pesan-pesan tadi. Disha mundur beberapa langkah dengan malu, astaga, bagaimana mungkin dia tidak menyadari kehadiran Tristan? Disha bodoh. Ia mengangkat kepalanya saat mendengar seseorang berdehem pelan. Tristan berada disana dan menatap kedepan, Disha mengerinyitkan dahi kemudian gadis itu kembali buru-buru menoleh saat merasa Tristan menoleh ke arahnya. “Nggak pulang lo?” Tanya Tristan singkat, memulai pembicaraan. Tristan bertanya padanya? Jantung Disha hampir melompat dari tempatnya saking kagetnya. Kenapa sih, Tristan nggak jalan aja tanpa berbicara dengannya? Disha menahan kekhawatiran di dalam dirinya dengan cepat. Gadis itu hanya menoleh ke arah Tristan sekilas, menahan dirinya lebih tepatnya. “Lo nggak liat hujannya makin deres?” Balasnya terdengar menantang. Tristan mengerinyitkan dahi. “Kok nyolot sih?” Ucapnya tak suka. Double bodoh, Disha. Sudah ada orangnya di depan mata, malah semakin ketus. Gadis itu menghela nafas panjang. “Sori, gue nggak bermaksud. Ehm… gue tadi emang niat pulang tapi karena hujan, yaa seperti yang lo liat gue terjebak disini” dia berusaha menahan kegugupannya. Belum pernah sekalipun bahkan ketika mereka satu kelas Tristan mengajaknya bicara. “Gue nggak pernah tau lo bisa main keyboard sebagus tadi” Disha memalingkan wajahnya, memandang wajah tampan Tristan untuk pertama kali dengan waktu yang lama. Biasanya, hanya gadis itu yang memandang pemuda itu, sekarang Tristan balik membalasnya. Menatapnya. Tristan suka orang-orang yang passionate. Ucapnya tanpa sadar di dalam hati. “Mungkin karena kita nggak saling kenal dan yaa, gue emang nggak pernah menunjukannya” Disha menjawab dengan malas-malas, ponselnya kembali berdering, tanda pesan singkat kembali masuk. Demi menutupi kegugupannya Disha membalas pesan itu tanpa mau menatap kearah sampingnya, tempat Tristan berdiri. “Permainan lo bagus. Sekelas profesional” puji Tristan, membuat Disha mau tak mau kembali memandangnya. Gadis itu sempat terpana untuk beberapa detik, hanya beberapa detik sebelum Disha menunduk untuk menundukkan wajahnya. “Thanks” Tristan menatap Disha dengan enggan. “Selamat bergabung ya Dis, semoga kita bisa kerjasama dua minggu kedepan” Disha terperangah dan mengangguk. Ponsel ditangannya digenggamnya kuat-kuat, tak mampu menjelaskan segala perasaan yang sekarang dia rasakan. Selangkah lagi. Lo salah Tris.. Disha memandang punggung Tristan yang menjauh darinya. Punggung orang yang selama ini berhasil mencuri perhatiannya. * “Lo gila!” Disha hanya bisa menghela nafasnya dalam ketika melihat Deva tengah terbaring dengan lebam-lebam di wajahnya. Gadis itu benar-benar yakin, lebam itu tak akan hilang dalam waktu seminggu kedepan. Inilah hal yang paling tidak Disha suka dari cowok ini. Deva yang sering tawuran, Deva yang sering sekali bertengkar bahkan untuk hal-hal yang sepele. Emosi Deva sangat buruk dalam kondisi-kondisi tertentu membuat Deva bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin bisa dipikirkan dengan nalar. Disha tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya, yang ditanggapi oleh Deva dengan seulas senyum kemenangan. “Minggu depan kita udah try out pertama bodoh! Gimana kalau guru-guru nanya muka lo yang jelek banget ini!” Disha menggerutu pelan, dia duduk di salah satu kursi di rumah sakit ini, tempat Deva dilarikan karena tidak sadarkan diri oleh warga setempat. “Mereka udah ngerti kenapa wajah gue kayak gini” Deva terkekeh dan berusaha mengacak rambut Disha, namun gadis itu langsung mengelak. “ya terserah elo” Deva tersenyum lirih ke arahnya. “Darimana lo? Seinget gue, gue sms lo dari dua jam yang lalu” Disha mendengus pelan. “Hujan! Gue habis seleksi keyboardist bandnya Tristan” ucap gadis itu enteng, membuat perubahan raut wajah Deva terlihat dengan jelas. “Lo mau ngapain sama dia?” Tanya Tristan yang langsung diberikan Disha pandangan yang menyipit. “Jadi keyboardistnya. Elo kenapa jadi lemot gini abis berantem? Otak lo nggak geser kan?” “Bukan itu maksud gue, Disha!” Disha tertawa pelan. “ya buat deketin Tristan lah, you know” Disha tersenyum kearah Deva yang sudah tak bisa lagi tertawa. Cowok itu benar-benar sebal dengannya, dan Disha tau akan hal itu. “Apa sih yang lo suka dari dia?” Disha mengangkat bahunya menanggapi pertanyaan sarkatis dari Deva. “Dia Cuma punya tampang dish, dia nggak bisa melindungi elo kayak gue” Disha mengerinyitkan dahi. “Kita udah sepakat untuk nggak membahas ini” raut wajah Disha yang tadi sedikit friendly berubah total. Moodnya rusak karena Deva berusaha menghancurkan apa yang dia inginkan. “Gue bisa jamin hal itu. Dia nggak akan bisa melindungi elo” “Dan gue bakalan melindungi diri gue sendiri, puas lo?” Deva tertawa miris kearah Disha seolah mengasihani gadis itu, “Dia suka Tanaya Dis, elo harus tau kenyataan itu” “Justru karena itu…..” Disha tak bisa melanjutkan kata-katanya. “Bisa nggak kita berenti berdebat gara-gara hal ini lagi? We’re bestfriend, Dev” Deva menggeleng pelan, “We used to be partner" “Deva lo masih ingat jelas alasan kita nggak bisa” Disha menatap Deva dengan benar-benar serius sekarang. Dia tidak bisa lagi menghindar dengan percakapan ini. “Apa lo nggak bisa berhenti? Berhenti, Disha. Lo hanya akan bahagia sama gue” gadis itu hanya terdiam menanggapi pertanyaan Deva. Hanya ini satu-satunya cara. Tidak perlu dijawab, karena Deva sudah tau jawabannya. “ya.. Gue mengerti” Deva mengalah pada akhirnya dan membuang muka kearah lain, membuat Disha merasa bersalah dengan keadaan pemuda itu. Mungkin memang benar, Disha akan terus menerus menyakiti Deva setelah hari itu. Menyadarkan Deva bahwa perasaan tak mungkin bisa dipaksakan, meskipun Disha sudah berusaha sekalipun. Dia akan menyakiti cowok itu, sayangnya hatinya tak bisa menolak karena memang benar, tidak ada yang bisa melindungi Disha seperti Deva melindunginya. Itu adalah satu fakta dari persahabatan mereka yang sedari kecil. Deva harus segera menemukan orang yang tepat baginya. “Lo harus buka mata, dev. Lo cuma buta karena selalu melihat kearah gue” Disha tersenyum tulus ke arah sahabatnya. “Siapa?” Disha tak mampu menjawab pertanyaan itu. Keduanya hanya diam dan saling memandang sampai suara kaki melangkah mendekat ke arah mereka. “Dev, babak belur juga lo akhirnya?” Feya datang bersama teman-teman mereka dan terkekeh pelan. Disha segera beranjak mundur. Karena ini bukan lagi waktunya bersama Deva. Mereka memang sahabat, tapi kenyataan bahwa mereka telah dipisahkan waktu dan melangkah menuju tujuan masing-masingpun tak bisa dihindarkan. Benar, Disha dan Deva adalah sahabat, tapi mereka mempunyai lingkungan dan tujuan yang benar-benar jauh berbeda. Sejauh waktu memisahkan mereka. * Tok..Tok..Tok Palu itu diketuk tiga kali. Tamat. Berakhir. Atau kata apa saja yang menunjukkan kata akhir. Hanya satu kata yang merajai pikirannya saat itu. Dia menatap kosong ke arah depan. Satu bulir air matanya mulai keluar dari ujung matanya. Vonis sudah dijatuhkan kepada sang tersangka. Ayahnya. Ya. Ayahnya adalah tersangka utama dalam kasus itu. Menyadari kenyataan bahwa hidupnya akan berubah setelah ini, sebagai anak narapidana membuat dadanya sesak. Pikirannya meracau kemana-mana. Ayahnya... Begitu teganya. Tidak! Dia bukannya tidak percaya kepada Ayahnya, tetapi vonis itu sudah jatuh. Dimata masyarakat disana Ayahnya adalah seorang tersangka, seorang narapidana yang telah dijatuhkan hukuman penjara oleh penegak hukum. Dan dia tidak bisa menutupi itu semua. Satu bulir air matanya jatuh lagi. Bibirnya terkatup rapat menahan isak tangis yang akan terpecah. Menggelegar diruangan ini. Tapi dia yakin, segalanya tak akan semudah itu berubah. Karena dia... Berada sangat jauh dari Ayahnya. Dan dia yakin, Ayahnya tidak akan menggunakan cara sekotor itu untuk menghidupi kehidupannya. Dia yakin, Ayah adalah lelaki terhebat di dunia ini. Ayah adalah sosok yang akan dicintai sepanjang hidupnya. Tapi sayangnya keteguhan hatinya sirna seiring selesainya sidang itu. “Kamu masih disana?” Dia masih bisa mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Hatinya sakit. Badannya bergetar hebat dan dia tak ingin kesedihannya diketahui siapapun. Pelan, suara isak tangis itu mulai terdengar setelah nada sambungan video call itu terputus. Dia memekik dan menangis kuat-kuat, tak peduli bahwa saat ini pun angin sudah memberikan vonis mutlak kepada dirinya. Dia mengabaikan suara-suara di dalam pikirannya. Dia hanya ingin mengabaikan ketakutannya. Dia ingin mengabaikan segala hal tentang masa depannya bersama Ayah. Sayangnya, keinginan tak selamanya bisa terpenuhi. Seluruh benda di kamarnya menjadi saksi bisu kesakitannya dan juga ketakutannya. Mimpi itu kembali merenggut malamnya. Disha terbangun dari tidurnya. Tubuhnya gemetar hebat, disandarkan ke dinding kamar. Dinding kamar itu terasa sangat dingin, seperti malam ini. Disha hanya tak suka dengan perasaannya yang terus terhantui seperti ini. Tubuhnya melemas seketika. Jantungnya masih berdetak abnormal. Kenapa lagi-lagi dia mengalami mimpi buruk seperti ini? Disha menelan ludah, dia tak bisa terus-terusan berada di dalam keadaan yang tak menguntungkan seperti ini. Semua sudah terjadi, tidak ada lagi yang bisa di ubah. Disha mengerjapkan mata saat pintu kamarnya terbuka dan seseorang langsung menghidupkan lampu kamarnya. Budhe terlihat di mulut pintu dengan raut cemas yang kentara. Disha yakin dirinya tadi berteriak, meskipun sekarang dia lupa. “Kamu mimpi buruk lagi?” Disha hanya mengangguk, kerongkongannya kering dan dia tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Setidaknya untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD