Part 1

2004 Words
Suasana Flamboyan High School cukup tenang pagi ini, sekolah itu masih seperti sekolah-sekolah biasa. Lengang saat jam pelajaran dimulai, tidak ada yang terlalu dibuat pusing kecuali guru-guru BK yang sedang memburu siswa-siswa yang sedang bolos di sudut sekolah. Kecuali kelas Disha, murid-muridnya tengah dilingkupi rasa kalut yang luar biasa karena. Bu Nuri, baiklah guru matematika yang terkenal paling galak seantero sekolah tengah memberikan ulangan kepada murid-muridnya. Suasana dikelas itu mencekam, hening dan hanya suara gesekan pulpen dengan kertas yang terdengar. “Kumpulkan!” Suara keras Bu Nuri menggelegar diseluruh kelas, membuat semua murid di dalamnya menggidik ngeri dan buru-buru menyerahkan kertas ulangannya pada gurunya tersebut. Disha masih menatap kertas ujiannya dengan nanar. Hatinya mencelos, parah sekali soal-soalnya. Dia pasti akan mendapatkan sebagus-bagus nilai adalah B-. Baca : be min dan itu hanya pernah dia dapatkan sekali di sepanjang hidupnya. Disha melangkah gontai menuju meja guru di depan. Rata-rata dari teman-temannya sudah keluar kelas karena sudah selesai mengerjakan ujian. Dia adalah siswi terakhir yang mengumpulkan kertas kuis itu dan tentu saja mendapat sorotan tajam dari Bu Nuri. “Cepat Ladisha!” Perintah Bu Nuri dengan sebelah tangannya cekatan merebut kertas ujian anak didiknya itu. Gadis itu hanya diam menunduk dan menyerahkan kertas kuisnya dengan bimbang. Rasanya sudah tidak semangat untuk pergi ke sekolah lagi. Tadi malam dia memang tidak belajar karena kelelahan. Karena kemarin adalah hari pertandingan dia dan teman-temannya mengikuti lomba futsal antar sekolah. Sebenarnya dia sempat belajar, hanya membaca cepat dengan mencoba mengingat rumus-rumus penting pelajaran minggu lalu itu pada pagi hari ketika bangun dan itu... Sangat-sangat menjadi neraka saat ini. “Aduuhh gimana nih?” Gadis itu mulai frustasi. Dia mengacak rambutnya dan menumpukan kepalanya di meja. Mengamati teman-temannya yang tersenyum kecil melihat tingkahnya. Matematika, satu pelajaran paling terkutuk sepanjang abad. Disha sudah sangat terkenal tidak bisa matematika, gadis itu punya ingatan yang buruk dalam mengingat rumus dan juga perhitungannya yang sering sekali salah. Padahal, dia sudah kelas dua belas dan berarti sebentar lagi akan menempuh ujian akhir sekolah. Meskipun Flamboyan memiliki kurikulum sendiri yang berbeda dengan pemerintah, tetapi tetap saja seluruh lulusan Flamboyan di wajibkan untuk mengikuti Ujian Nasional. “Gagal satu mata pelajaran bukan berarti lo nggak bisa lulus tahun depan” Disha menggeleng pelan, catatan akademisnya memang tak terlalu buruk selama ini –selama dua semester ini, kecuali pada satu mata pelajaran, nilainya selalu buruk pada mata pelajaran ini. Yah apalagi, kalau tidak matematika. Reda menyodorkan air mineral yang selalu dibawanya pada Disha. Tanpa komentar lagi, dia menerima itu dengan cepat dan meneguknya lama sekali. “Dis, lo nggak akan gila cuma gara-gara matematika kan?” Komentarnya pelan. Disha memang selalu seperti ini setelah menghadapi ujian matematika. Reda kadang terheran-heran, apa benar Disha mendapat ranking lima besar semester kemarin? “Gue rasa udah mau gila” Disha mendesah frustasi, gadis manis itu mengerucutkan bibirnya merajuk, yang membuat Reda akhirnya terkekeh pelan “Lebay lo! Yuk ke kantin!” Reda menarik tangan Disha, mengajak temannya itu untuk mengisi perut mereka yang sudah kosong karena energi terkuras habis oleh ulangan matematika. Disha mencibir pelan dan mengikuti Reda. Belum beberapa langkah, mereka sudah mendapati Lia dan Anggie sedang berjalan kearah mereka, dua tim futsal putri lainnya. Mereka akan rapat hasil pertandingan final kemarin melawan SMA 30. * Langkah Disha berhenti menyadari siapa yang ada di dalam kantin tersebut. T-Couple ada disana bersama teman-teman mereka. Gadis itu sempat terpana, sebelum akhirnya lengan Disha disenggol oleh Reda karena Tristan hampir menyadari ditatap lama oleh gadis itu. “Bisa nggak sih, lo nggak malu-maluin gitu?” Disha tertawa kecil mendengar celotehan Reda. Gadis itu paling tau dan paling pertama tau akan ketertarikannya pada Tristan. Itu dimulai setengah tahun yang lalu, ketika dua orang yang ditatapnya tadi masuk ke kelas mereka sebagai murid tambahan. “Anjir!” Disha menghentikan langkahnya ketika mendengar u*****n yang begitu jelas dari mulut Feya, gadis yang paling ditakuti se-Flamboyan itu tengah berjalan kearahnya. Otomatis dia dan Deva menghentikan langkahnya, menunggu kedatangan queen-bee mereka. “Ampun kanjeng mami, pagi-pagi udah ngomong kotor. Telinga cewek gua jadi rusak nih” Feya menatap Disha dengan pandangan tidak suka dan mendengus. Dua bulan yang lalu, Disha akhirnya menentukan pilihannya untuk berpacaran dengan Deva, pantolan Flamboyan, sahabat karib Feya. Deva dengan santainya meletakkan tangannya di bahu Disha, tidak peduli dengan guru-guru yang akan melihat mereka. Siapa yang peduli? Mungkin hanya Disha yang peduli karena Deva sudah kebal dengan setiap omelan guru-guru di Flamboyan. Surat skorsing atau SP sudah tak mempan bagi cowok itu. Dia tak peduli sama sekali. “Bete banget gua itu cewek sekelas sama kita. Anjir. Emang nggak ada kelas yang bisa bikin gua tenang ya” omel Feya lagi tanpa peduli beberapa orang sudah melihat ke arah mereka. Bukan karena ocehan Feya, tapi karena suatu pemandangan baru melihat Disha berada ditengah-tengah pentolan sekolah mereka. Dua orang yang paling ditakuti disekolah. Disha menggerakkan bahunya hingga membuat tangan Deva terlepas, dia menatap Feya dengan datar, tak terkejut lagi dengan omelan gadis itu pagi ini. Dari minggu lalu, sejak beredarnya gosip bahwa dua murid teladan sekolah yang baru kembali dari exchange mereka akan masuk ke kelas mereka, Feya tak henti-hentinya mengomel. Gadis itu jelas menampakkan ketidaksukaannya pada salah satu diantara dua anak itu, dan Disha mengerti siapa. “Lo kenapa sensi banget sama dia?” Tanyanya akhirnya. Awalnya, kenalan dengan Feya adalah satu ketakutan bagi Disha, namun setelah mengenal gadis itu, dia tak sungkan sama sekali. Feya memang galak pada semua orang, tapi jauh di dalam dirinya Feya masih murid SMA biasa dan Disha mampu membaca itu semua. Karena mereka sama. Feya mendengus kesal, amarahnya semakin meledak saat melihat Deva mulai terkekeh geli diantara mereka. Disha langsung mengalihkan pandangannya pada Deva. Diantara mereka berdua, hanya Disha yang tak mengerti apa-apa. “Lo tau? Bagi gue suka dan benci itu sama. Sama-sama nggak butuh alasan!” Feya masuk ke dalam kelas sedangkan Deva tak tahan untuk tak tertawa keras-keras. Hati Disha mencelos mendengarnya. “Dulu, gebetan Feya suka sama Tanaya, dan lo tau lah Dia selalu kayak gini dengan apapun yang berhubungan sama Tanaya” Disha tertawa pelan mendengar penjelasan Deva. Dia menatap punggung Feya yang sudah menyandar di sandaran tempat duduknya, kaki gadis itu naik ke atas meja dan beberapa teman cowok mereka mendekati gadis itu. Membicarakan sesuatu, dan Disha masih bisa menebak apa isi pembicaraan itu. Tak akan jauh-jauh dari p*********n antar sekolah. Ia tetap menatap kerumunan itu sampai Deva bergabung dengan mereka. “Perhatian. Seperti yang udah lo tahu semua, kelas kita bakalan nambah dua orang” Disha mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas. Rangga –ketua kelas- berdiri dengan cepat di depan pintu itu. Mungkin dari sekian banyak murid di kelas ini, hanya rangga yang masih waras, bersama dirinya dan juga Reda –teman sebangkunya. Karena kelas ini didominasi oleh orang-orang semacam Feya dan Deva. Kelas yang dari tadi ribut menjadi hening ketika dua orang yang tak asing bagi mereka mulai memasuki kelas. Beberapa anak menahan nafas karena dua orang tersebut. “Sekarang kasih salam buat teman baru kalian” * Disha tak percaya dengan kesan pertama. Menurutnya kesan pertama mampu memberikan zonk kepada pandangan seseorang terhadap orang lain. Namun kali ini, Disha bisa kembali menarik kata-katanya. Dia tersenyum tipis saat mendapati Reda sudah duduk di sampingnya dan juga turut memperhatikan kedepan, kearah Rangga dan dua orang yang baru saja masuk ke dalam kelas. Dari awal mereka melangkah, Disha sudah tau ada aura lain yang mereka pancarkan. Aura perbedaan, aura gemerisik yang mengganggu, bukan hanya dia saja mungkin semua orang dikelas ini juga turut merasakan. “Harus?” Suara berat mengisi telinganya yang sempat hening karena keadaan, setelahnya terdengar bisik-bisik tidak jelas yang bersumber dari Feya dan gang disudut kelas. “Nama gue Tristan. Mungkin sebagian dari kita udah saling kenal. So, semoga kita bisa kerjasama dalam satu semester kedepan” ujar Tristan dengan cepat dan santai, yang langsung mengundang cemoohan dari anak laki-laki di belakang kelas. Sombong banget! Gadis disebelahnya tak membuang-buang waktu. “Nama gue Tanaya” ujarnya cepat. Seketika kelas kembali hening “Oh Tanayaku, Kembang Flamboyanku” suara berisik itu berasal dari arah belakang kelas. Disha langsung menoleh kebelakangnya dan mendapati suara tersebut berasal dari Rudi. Seketika kelas menjadi ricuh karena tawa, Disha tersenyum sambil serasa ingin muntah. Baru juga beberapa menit mereka kembali tapi sudah dikerjai seperti ini. Disha menoleh ke arah Reda yang sudah mangut-mangut tidak jelas. “Gombalan lo euy... Kampungan” tanggap Feya tak kalah keras yang mengundang aura mencekam ke seluruh kelas. Siapa yang berani melawan ucapan Feya? Disha menoleh ke arah belakang dan mendapati Rudi –si pemilik suara- sedang dikerjai habis-habisan oleh siswi-siswi di sekitarnya. Mereka mencubit dan menjitaki kepala Rudi dengan cepat. “Sirik aja lo Yaya!” Ujar Rudi menantang Feya. Mata Feya langsung melotot, Feya paling malas kalau orang lain memanggilnya Yaya, imut sekali dan tidak cocok bagi gadis garang sepertinya. Disha membekap mulutnya sendiri menahan tawa apalagi melihat wajah Feya yang tampak tidak suka dengan balasan Rudi. “Udik!” Suara Feya kembali lantang dan penuh penekanan membuat keheningan begitu tercipta di kelas. Disha tak mampu menahan senyumnya, ini benar-benar lucu. “Udah.. Udah.. Lo berdua duduk di belakang ya, Cuma itu yang tersisa” Rangga mulai menunjuk bangku di sebelah tempat duduk Deva, membuat Feya yang tepat berada di samping Deva  kembali mendengus.  Mereka berdua berjalan menuju bangku di deretan terakhir. Keadaan kelas sudah kembali seperti semula. Disha memalingkan wajahnya dan menatap dua orang itu dengan datar, sedater tatapan Feya pada kedua orang itu dan berharap dia tak begitu peduli seperti Deva. Sayangnya saat kedua orang itu melewati Disha dan menyebabkan tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang menarik perhatian gadis itu. Mungkin, ini akan menjadi sebuah perubahan besar. * “Duh ada neng model disini…” Feya masuk ke dalam kantin bersama gengnya, ada beberapa orang yang sempat Disha kenal seperti Maurin, Viona dan Ge. Keempatnya adalah kelompok pembuat onar di sekolah. Senior paling galak yang akan memangsa uang saku adik-adik kelasnya. Sudah tak awam lagi, Flamboyan memang terkenal dengan senioritasnya serta bullyingnya! Oh satu lagi, mereka juga paling tidak suka dengan kelompok junior yang suka cari perhatian lelaki. Maka dari itu, bermasalah dengan Feya and the gang akan membuat masa-masa sekolahmu menjadi nelangsa. Sudah banyak korban mereka dan yang paling Disha ingat adalah saat Feya melabrak salah satu adik kelas dan pada akhirnya, gadis itu keluar dari sekolah. Tidak akan ada yang berani macam-macam dengan Feya. Tanaya tampak tidak terganggu, gadis itu masih asik memakan makanannya seolah ucapan Feya tadi hanya angin lalu. Disebelahnya, Tris juga bersikap demikian membuat Feya semakin memanas di tempatnya. Gadis itu menghampiri dua orang itu dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Apa maksud ekspresi lo?!” Tanaya hanya diam dan menatap datar kearah Feya yang sudah memerah karena emosi. “Trus menurut lo gue harus berekspresi gimana?” Tanaya mulai menantang Feya, suasana kantin semakin hening. Rapat yang dipimpin Lia tadi spontan berhenti, memperhatikan adegan di depan mereka yang sinetron abis. Disha menggeleng-gelengkan kepalanya dan tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Feya menggertak meja kedua orang itu dengan kakinya, “Sok cantik!” Kemudian gadis itu pergi menuju mamang-mamang tukang bakso langganannya. Diikuti oleh gangnya. Feya langsung mendapat tempat disamping Deva dan teman-temannya.  Disha yang melihat hal itu hanya tersenyum tipis, memperhatikan ekspresi Tanaya yang sudah pucat entah karena takut atau menahan amarah. Yang jelas, gadis itu tak suka diteror terus-terusan oleh Feya. Bullying vokal yang dilakukan Feya memang sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir. Mungkin, gadis itu sudah mulai tidak nyaman. Tristan tampak sedang menenangkan Tanaya dengan kata-katanya. Posisi mereka yang jauh menyebabkan Disha tak bisa mendengar, gadis itu hanya berusaha mengalihkan perhatiannya. “Sakit ya Dis?” Reda tersenyum simpul kearahnya dan membuat Disha mau tak mau membalasnya. “Lo sih nggak bisa ngontrol perasaan lo, jadi jatuh kan kepesona Tristan” Lia tertawa menyela percakapannya dengan Reda, membuat Disha semakin tersudut. Saat Disha memperhatikan dua orang itu lagi, matanya bertumbuk pada mata hitam milik Deva yang juga tengah menatapnya. Disha hanya mengerjapkan mata sekali kemudian mengalihkan pandangannya, tidak mau terperangkap oleh tatapan intimidasi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD