3. Insiden Ruang VIP

1982 Words
Hari ini sudah sore dan pekerjaanku sudah selesai. Tapi aku sengaja masih berada di rumah sakit. Ya kau benar, aku tengah menunggu seseorang lebih tepatnya. Anggelia. Akhirnya setelah penantianku selama seminggu terbayar sudah hari ini. Sungguh aku tidak sabar untuk menunggunya di rumah sakit. Memang tadi siang aku sudah bertemu dengannya, tapi itu tidak cukup. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Aku akan mendekatinya, bahkan kalau bisa akan mengantarnya pulang. Kutengok jarum jam di pergelangan tanganku. Pukul 6 sore. Mengapa ia tidak keluar-keluar? Bahkan aku sudah menunggu selama satu jam disini. Apa terjadi sesuatu di dalam? Apa dia kenapa-kenapa? Berbagai pikiran buruk mulai berkelebat dalam benakku. Tanpa pikir panjang aku langsung kembali memasuki rumah sakit untuk menjemput Anggelia. Ketika mulai menaiki lift menuju lantai atas entah kenapa aku merasakan perasaanku meremang, tapi segera kutepis karena yang menjadi tujuanku sekarang adalah Anggelia. Keluar dari lift aku mendapati lorong- lorong rumah sakit dengan pencahayaan remang- remang. Bahkan ada beberapa lampu yang berkedip-kedip atau bahkan mati. Wajar sih mengingat ruang rawat di lantai atas jarang dipakai. Bahkan para pasien dengan tegas menolak untuk menginap di kamar rawat VIP, meski mereka dari kalangan atas sekalipun. Aneh? Ya, aku juga merasakannya. Dimana seharusnya ruang rawat VIP dilengkapi dengan fasilitas yang memadai dan paling nyaman. Tapi di sini malah kebalikannya, bukan karena fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Malah bisa dikatakan fasilitas ruang rawat VIP sangat lengkap dan terjamin, tapi ada satu hal yang janggal. Ketika kau memasuki lantai atas bukan rasa nyaman yang kau dapatkan, melainkan aura mencekam yang membuatmu merasa tak nyaman berada di sini. Meski aku bukan penganut aliran yang mempercayai hal-hal mistis. Tetap saja aku harus mengakui bahwa tak jarang bulu kudukku meremang terutama saat aku pulang telat di atas jam sore. Tapi berulang kali kutepis rasa raguku dan kembali melangkah mencari Anggelia. Lorong rumah sakit ini sepi dan sunyi seolah tak berpenghuni. Dengan sedikit ragu kuputar kenop pintu ruang rawat VIP yang biasa di masuki oleh Anggelia. Semoga saja Anggelia masih ada di dalam. Batinku berdo'a. CKLEKK Kubuka secara perlahan pintu ruang rawat VIP di depanku. Dan hasilnya nihil. Tak ada siapa pun di dalam. Entah apa yang kupikirkan aku kembali memasuki ruang rawat tersebut. Aku kembali terhenti di depan nakas yang terdapat bunga tulip yang baru saja di ganti. Ini seperti... De javu. Sayup-sayup kudengar langkah kaki mendekat kearahku. Semakin dekat dan dekat, seseorang itu berhenti tepat di belakangku dan ia menepuk pundakku. Aku menahan napas sejenak dan secara perlahan kutolehkan kepalaku kebelakang. DEG Seketika senyum lebar langsung kutunjukkan ketika mendapati bahwa Anggelia yang menepuk pundakku barusan. "Anggelia? Kau mengagetkanku." Ujarku seraya menghembuskan napas lega. "Sedang apa kau disini?" Tanyanya dengan menyunggingkan senyum manis. "Hm aku sedang mencarimu." ujarku dengan menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal untuk menutupi rasa canggung. "Benarkah? Aku senang mendengarnya. Kalau begitu, bagaimana kalau kau mengantarku pulang saja. Kebetulan aku tidak membawa kendaraan, kalau kau tidak keberatan tentunya." "Kau serius? Tentu saja aku tidak keberatan. Ayo!" Langsung saja kuseret tangannya untuk segera keluar dari ruang rawat VIP ini. Tapi ketika aku hendak menggapai kenop pintu dapat kurasakan bahwa tangan Anggelia yang sedang kupegang terasa begitu dingin. Dan dia menghentikan langkah kakinya sehingga mau tak mau membuatku ikut menghentikan langkah kakiku juga. Aku menolehkan kepalaku secara perlahan kearahnya yang tak bergerak sama sekali. Dan perasaan meremang itu kembali hadir. DEG Sontak langsung kuhempaskan pegangan tanganku pada sesosok yang entah apa namanya, yang dimana di sekujur badannya dipenuhi dengan darah. Aku terus memundurkan badanku hingga punggungku membentur pintu yang belum sempat kubuka tadi. Sesosok itu semakin mendekat kearahku dengan kepala tertunduk. Sementara aku hanya bisa menahan napas ketika sesosok itu semakin mendekat dan hendak menyentuhku. Aku langsung memejamkan mata rapat-rapat memungkiri segala sesuatu hal buruk yang akan menimpaku nanti. Aku hanya bisa pasrah bahwa makhluk aneh itu akan melakukan hal yang buruk padaku kini. Tapi sekian lama aku memejamkan mataku, aku merasa tak ada yang terjadi padaku. Perlahan kubuka mataku yang tertutup rapat. Dan anehnya, sesosok yang tadi hendak mencekikku hilang begitu saja. Seolah apa yang baru saja kulihat hanyalah sebuah ilusi semata. Ya, pasti yang barusan kulihat hanya sebuah ilusi semata. Batinku menyakinkan. Tanpa basa-basi segera kubuka pintu ruang rawat VIP tersebut dan keluar dari sana. Kuhempaskan tubuhku ke kursi tunggu yang disediakan di masing- masing sisi lorong di depan ruang rawat tersebut. Kuacak-acak rambutku hingga berantakan untuk mengembalikan kesadaranku dari halusinasi tadi. DEG Lagi-lagi ada seseorang yang menepuk sisi kiri pundakku. Aku tidak tahu apa ini hanya ilusi semata atau memang sebuah fakta. Entah apa salahku hingga makhluk seperti mereka begitu suka menggangguku. Tetap kutundukkan kepalaku seraya meremas rambutku frustasi. Jika memang itu hanya sebuah ilusi, pasti sebentar lagi makhluk itu akan menghilang. Tapi kenapa dia malah semakin kencang mengguncang bahuku? Dapat kudengar, bahwa dia juga menyebutkan namaku berulang kali. Akhirnya dengan terpaksa, kuangkat kepalaku ke atas melihat sesosok apa yang mengguncang bahuku sedari tadi. DEG Anggelia? Benarkah? Atau ini hanya sebuah ilusi seperti tadi? "Dr.Brian? Anda kenapa? Aku sedari tadi mengguncang bahumu tapi kau tidak menyahut dan kau mengacak rambutmu seolah-olah sedang frustasi." "Anggelia? Apa benar itu kau?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya. "Hm? Tentu saja aku Anggelia, memangnya kenapa?" "Ini bukan ilusi kan?" "Kau berbicara apa? Aku tadi baru dari toilet sebelum pulang. Dan aku tak sengaja melihatmu yang tengah terduduk sendirian di lorong rumah sakit ini." "Benarkah ini kau?" Tanpa menunggu jawaban dari Anggelia, segera saja ku dekap erat tubuh Anggelia seraya bernapas lega. Untuk memastikan, kurenggangkan kembali dekapanku dan melihat wajahnya. 'Benar, ini Anggelia. Dia tidak berubah, dan kakinya pun masih berpijak pada lantai.' Setelah memastikan kembali bahwa yang kini sedang bersamaku adalah Anggelia. Kini aku kembali mendekap erat tubuh Anggelia dan meresapi aroma tubuhnya yang membuatku candu. "Dr.Brian kau tak apa?" "Ya, aku tak apa. Sebagai ucapan terimakasihku, ayo kuantar pulang." Tanpa menunggu jawaban dari Anggelia, segera kugandeng lengan Anggelia dengan erat. Tapi tentu saja aku tidak berjalan mendahului Anggelia, karena aku tidak ingin kejadian sebelum ini terulang kembali. Jadi kuputuskan untuk menautkan jemari kami meski pada awalnya aku merasa ragu, tapi melihat tidak adanya penolakan dari Anggelia maka aku pun dengan percaya diri berjalan di sisi Anggelia sambil menautkan genggaman jari-jemari kami. Sejenak aku dapat melupakan ilusi buruk yang selama beberapa saat yang lalu kulalui. Ya, kuakui untuk mendekatimu memang di butuhkan adrenalin yang tinggi. Tapi aku telah berusaha mendekatimu hingga sejauh ini. Maka jangan harap aku akan menyerah, karena aku telah bertekad. Aku akan selalu ada disisimu. *** Sekeluarnya dari rumah sakit, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu lebih tepatnya aku yang memutuskan. Hitung-hitung untuk memperpanjang waktuku bersamanya. Aku mengajaknya makan malam di sebuah restoran bergaya Italia. Dimana aku sengaja memesan privat room untuk kami berdua dengan nuansa romantis yang di sekeliling meja makan kami di hiasi lilin-lilin cantik berbentuk setengah lingkaran berwarna biru. "Wow kau sengaja menyiapkan semua ini?" Anggelia berdecak kagum menatap kumpulan lilin cantik berwarna biru yang telah dinyalakan. "Ya, bagimana? Kau menyukainya?" Tanyaku tak melepaskan senyum bahagiaku. "Tentu saja semua wanita yang melihat ini akan menyukainya, termasuk aku." "Syukurlah kalau kau suka. Ayo, saatnya makan malam." kutarikkan kursi untuk Anggelia duduk dan dengan senang hati dia menerimanya. "Terima kasih." "Sama-sama." "Apa kau selalu melakukan hal seperti ini pada teman wanitamu?" "Uhuk.. uhukk.." Secara tiba-tiba Anggelia menanyakan hal ini yang membuatku tersedak. Bagaimana tidak tersedak, jujur saja baru pertama kali ini aku bersikap romantis pada seorang perempuan. Hanya pada Anggelia, tidak dengan yang lain. "Kau tak apa? Ini minumlah." Anggelia menyodorkan segelas air putih padaku yang langsung kutegak habis. "Terimakasih. Dan tentang pertanyaanmu tadi, jujur saja ini kali pertama aku bersikap romantis pada seorang wanita." lagi-lagi aku kembali menggaruk tengkukku untuk menutupi rasa malu. "Oh ya? Jadi aku yang pertama? Jadi perkiraanku selama ini salah." "Memang apa yang kau pikirkan tentangku selama ini hm?" "Yaaa aku berpikir bahwa kau adalah seorang pria dewasa yang sering melakukan hal-hal romantis seperti ini pada setiap teman kencanmu." ujarnya disertai tawa kecilnya. "Dalam artian selama ini kau berpikir bahwa aku adalah seorang lelaki hidung belang yang suka menjerat wanita dengan hal-hal romantis, bukan begitu Nona Anggelia?" ucapku retoris dengan raut muka memberengut. "Haha maafkan aku dr.Brian, aku yakin bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu." lagi-lagi tawa renyah keluar dari bibir Anggelia. "Oh baiklah Nona, memang sebagian dari pernyataanmu benar. Aku sering mengencani para wanita di luar sana. Tapi itu karena mereka yang mengejar-ngejarku, bahkan aku sendiri tidak pernah berusaha mendekati mereka. Mereka sendiri yang mendekatiku oke." "Oh ya? Lantas apakah ada seseorang yang spesial bagimu saat ini?" "Ada." "Siapa?" "Kamu... Anggelia." Tak ada jawaban sama sekali dari Anggelia dan aku memutuskan untuk melanjutkan ucapanku. "Aku tahu ini terlalu cepat untukmu, tapi jujur... baru pertama kali ini aku berusaha mendekati seorang perempuan hingga seperti ini. Ini pertama kali aku begitu nyaman dengan seseorang yang baru kukenal selama beberapa hari, bahkan aku selalu memikirkanmu setiap saat. Jadi aku tidak mau menunggu terlalu lama lagi... maukah kamu menjadi kekasihku?" Hening selama beberapa saat, membuatku gugup menanti jawaban dari Anggelia. Karena ini pertama kalinya aku menyatakan perasaanku pada seorang wanita. "A-aku... maaf, aku tidak bisa." Anggelia segera bergegas dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari restoran tempat kami makan. Aku pun segera bergegas membayar makanan kami dan menyusul Anggelia. Aku tahu ini terlalu cepat, tapi sungguh aku ingin segera memiliki Anggelia. Aku tidak ingin menunggu terlalu lama, karena aku telah yakin dengan pilihanku kali ini. Kulihat Anggelia telah berjalan keluar dari restoran. Tanpa basa basi segera kulangkahkan kakiku kearah parkiran dan mengemudikan mobilku mengejar Anggelia. "Anggelia tunggu!" Ku klakson mobilku berulang kali agar Anggelia berhenti. Tapi gagal, ia terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Aku pun tak hilang akal segera kulajukan mobilku mendahului Anggelia dan berhenti tepat di depannya. Sehingga langkah Anggelia pun terhenti karena mobilku yang menghalangi jalannya. Tanpa membuang kesempatan segera kulangkahkan kakiku keluar dari kemudi dan menghampiri Anggelia. "Anggelia tunggu, aku tahu ini terlalu cepat. Tapi jujur kumohon jangan pernah menghindariku. Belum pernah aku merasakan perasaan ini pada wanita mana pun. Jika kau belum siap, aku tak masalah jika harus menunggu. Tapi kumohon... beri aku kesempatan. Karena aku mencintaimu." Anggelia hanya bisa menunduk mendengar setiap kata yang terucap dariku. Aku takut, aku takut jika Anggelia akan marah padaku dan berujung dengan dia yang akan menghindariku. Andai saja aku bisa lebih bersabar. "Baiklah..." "Apa?" "Baiklah jika itu yang kamu inginkan, aku akan memberimu kesempatan. Tapi aku tidak bisa berjanji banyak. Kuharap kau mampu bertahan dengan pendirianmu." ucap Anggelia dengan raut muka yang sulit untuk kujabarkan. Seketika kuembuskan napas lega ketika menyadari bahwa aku masih memiliki kesempatan. Baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan terus berusaha untuk meyakinkanmu, bahwa aku adalah pria yang pantas untukmu. "Tentu aku akan tetap dengan pendirianku, akan kutunjukkan bahwa aku adalah pria yang pantas untukmu." ucapku serius yang secara perlahan memunculkan senyum manis dari bibir Anggelia. "Ayo. Aku akan mengantarmu pulang." Kubukakan pintu penumpang di sebelah kemudi untuk Anggelia. Lalu kuputar langkahku untuk memasuki kemudi dan segera menjalankan mobilku menuju rumah Anggelia. Sesampainya di rumah Anggelia, aku segera bergegas keluar dari kemudi dan membukakan pintu untuk Anggelia keluar. "Terimakasih." "Sama-sama." "Mau mampir?" "Tidak, mungkin lain kali. Sudah larut malam, sebaiknya kamu segera masuk dan istirahat." kutolak ajakan Anggelia untuk mampir ke rumahnya, karena aku tidak enak jika harus bertamu ke rumah seorang wanita lajang pada malam hari. Segera kukemudikan mobilku menuju kerumah seusai mengantar Anggelia tadi. Senyum tak lepas dari bibirku ketika mengingat kesempatan yang diberikan Anggelia padaku tadi. DEG Kini dapat kulihat sesosok pria yang sama dengan yang di rumah sakit dengan tubuh berlumuran darah tengah terduduk di kursi kemudi belakang melalui kaca spion yang berada di dalam mobilku. Dengan ragu kutolehkan kepalaku kearah kursi belakang dan aku tidak mendapati siapa pun. Kulirik lagi pada kaca spion dan memang benar tidak ada siapa-siapa. Kuabaikan apa yang baru saja kulihat tadi dan tetap berusaha fokus pada mengemudiku. Kebetulan jalanan cukup sepi malam ini. Jadi segera kutancap gas dan sedikit mempercepat laju mobilku untuk segera sampai di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD