DUA

1795 Words
"Obatin," ucap Jevan sambil menyodorkan kotak P3K pada Veyla. Kini keduanya tengah berada di rumah besar milik Jevan. Laki-laki itu memang sengaja membawa Veyla terlebih dahulu membawa ke rumahnya untuk mengobati lebam yang ada di pipi mulus cewek itu. Masa iya Jevan langsung membawa Veyla pulang ke rumahnya? Yang ada dia akan jadi sasaran kedua orang tua Veyla karena dituduh sudah memukuli anak orang sembarangan. Mendengar perintah dari Jevan itu membuat Veyla berdecak karena saat ia membuka kotak P3K kepunyaan cowok itu, ternyata yang tersedia di dalam sana hanyalah obat merah, minyak kayu putih, dan perban. "Masa gue ngobatin lebam pakai kayak ginian?!" seru Veyla tepat di telinga Jevan yang langsung membuat si empunya telinga mengusap pelan karena takut telinganya kenapa-napa setelah seruan dari Veyla yang memekakkan telinga. Seperti biasa, Jevan menaikkan alisnya sebelah. Jujur, memang ia tak paham masalah seperti ini. Kalau dirinya luka atau wajahnya babak belur sehabis berkelahi, biasanya sang ibulah yang mengobati. "Terus?" tanya Jevan dengan menatap Veyla bingung. Veyla yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan laki-laki dingin itu hanya bisa menepuk jidatnya. Ini manusia dingin kagak peka atau kagak ngerti, sih? "Dikompres pakai air dinginlah. Gitu aja gak tau!" sungut Veyla kesal. "Emang gak tau," jawab Jevan acuh tak acuh membuat Veyla harus lebih ekstra menyiapkan kesabaran untuk makhluk yang satu itu. "Serah, mending gue balik aja!" Veyla langsung berdiri dari sofa milik sang tuan rumah. Namun, Jevan mendorongnya kembali ke sofa hingga Veyla terduduk kembali di sana. Merasa diperlakukan dengan kasar, Veyla melebarkan matanya ke arah Jevan yang kini sedang menatapnya datar. Baru saja Veyla ingin memarahinya, Jevan malah membawa dirinya ke dapur untuk mengambil air dingin dan handuk kecil untuk Veyla. Sambil menunggu Jevan, Veyla melihat-lihat rumah mewah milik cowok dingin itu. Namun, ia baru sadar kalau rumah itu sangatlah sepi. Hanya ada mereka berdua yang ada di rumah sebesar itu. Fantasi Veyla terhenti karena sebuah deheman yang dapat dipastikan itu adalah deheman dari Jevan. Veyla menatap sebuah wadah kecil yang ada di tangan Jevan dan juga handuk kecil yang tersampir di tangan kekarnya. Tanpa berbasa-basi, Jevan langsung menyodorkannya kepada Veyla dan diterima dengan baik oleh cewek judes tersebut. "Makasih manusia dingin." Veyla menampilkan senyum yang teramat jelek di mata Jevan. Tanpa membalas ucapan terima kasih darinya, Jevan berjalan meninggalkan Veyla yang mulai sibuk mengompres lebamnya. Cowok itu menaiki tangga yang tak jauh dari ruang tamu tempat di mana saat ini Veyla berada. Mungkin dia ingin ke kamarnya? Pikir Veyla. Setelah beberapa menit kemudian, Jevan kembali ke ruang tamu dengan memakai baju kaus berwarna putih yang bertuliskan salah satu merk sepatu kesukaannya dengan masih menggunakan celana abu-abu. "Udah?" tanyanya pada Veyla yang terlihat masih mengompres lebam tersebut. Mendengar pertanyaan konyol dari mulut Jevan itu membuatnya memutarkan bola mata. "Lo gak lihat kalo gue masih ngompresin ini lebam, hah?" tanyanya balik dengan judes. "Nggak usah ngegas Ratu Judes," sahut Jevan yang langsung mendapat pelototan gratis dari Veyla. "APA LO BILANG?!" Jevan hanya mengendikkan bahunya acuh tak acuh, kemudian merogoh ponsel miliknya yang tergeletak begitu saja di meja ruang tamu. "Van, gue mau nanya boleh?" Veyla membuka obrolan agar suasana tak hening seperti sekarang. "Hm..." Jevan menyahut hanya dengan sebuah gumaman singkat. Kedua bola mata hitamnya pun masih setia dengan ponsel yang sekarang ada di hadapannya. Karena rasa penasaran yang tak bisa ditahan lagi, Veyla langsung to the point agar dirinya tak dihantui pertanyaan yang sedari tadi berkeliaran di pikirannya. "Lo sendirian di rumah segede gini?" tanyanya sambil memandang Jevan yang tampak serius mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Ya." singkat, padat, dan jelas. "Gak takut ada hantu gitu?" Jevan memalingkan kepalanya sebentar ke arah Veyla yang sedang memandangnya dengan pandangan yang penuh tanda tanya. Tanpa mereka sadari, kini mereka tengah saling menatap satu sama lain. Jevan menatap dalam bola mata coklat hazel milik Veyla, begitu juga dengan Veyla. Ia menatap dalam bola mata hitam milik Jevan. Hanya dalam hitungan beberapa detik mereka terkunci dengan tatapan itu. Namun, memberikan aura yang berbeda bagi keduanya. Setelah tatapan mereka terputus, Jevan dan Veyla langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Anjir! Ni jantung kenapa geluduk-geluduk gini? Jangan sampe gue ada perasaan macem-macem sama nih manusia dingin. Apa-apaan, nih! Jantung gue kok jadi deg-deg-an? Gak-gak, jangan sampai gue ada something sama cewek judes ini. Mereka berdua sama-sama membatin. Setelah itu Veyla berdehem untuk mencairkan suasana yang sangat canggung itu. "Ja-Jadi... lo gak takut sendirian di rumah?" tanya Veyla lagi kali ini dengan nada yang terdengar gugup. "Gak," jawab Jevan singkat kembali membuat Veyla memutar otaknya lagi agar suasana yang sekarang bisa berubah mencair seperti beberapa menit yang lalu. "Kalo gue jadi lo, sih, takut. Apalagi rumahnya segede gini." Entah apa yang ada di pikiran Veyla saat ini sehingga terlontar kata-kata tersebut di mulutnya. "Hm..." Jevan kembali menyahut ucapan Veyla dengan gumaman membuat cewek judes itu berdecak kesal dan memukul lengan Jevan. "Lo dari tadi jawabnya hm-hm aja. Kalau gak hm, ya. Kalau gak ya, gak. Emang kosakata yang lo tau cuman itu aja, hah?!" "Emang kenyataannya gitu," jawab Jevan seadanya, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang masih berada di genggamannya. Karena sudah tak tahan lagi berlama-lama bersama Jevan si Manusia Dingin, Veyla pun berdiri sambil membenahi seragamnya yang acak-acakan dan tas berwarna biru yang tersampir tak sempurna di kedua bahunya. "Anterin gue pulang," perintah Veyla sambil bersidekap d**a. Seketika pandangan Jevan yang daritadi hanya tertuju pada ponsel miliknya, langsung beralih ke arah Veyla yang sudah berdiri di hadapannya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a seperti bos yang sedang memerintah anak buahnya. "Punya uang?" Tanya Jevan sambil mendongakkan kepalanya. "Punya," "Ya sudah, naik angkot," ucapan Jevan barusan sontak membuat Veyla melebarkan matanya tak percaya. "Angkot jam segini susah dicari tau! Lagian ini udah sore banget. Entar gue ditanya macem-macem sama bokap-nyokap gue gimana?" terdengar nada gelisah di sela-sela kalimat Veyla. "Derita lo," jawab Jevan santai dengan memasang wajah polosnya. "ISH, JEVAN!! ANTERIN GUE!" teriak Veyla sambil menarik-narik tangan Jevan agar cowok itu mau mengalah untuk mengantarkannya pulang ke rumah. "FINE-FINE!" Putus Jevan. Tanpa berba-bi-bu lagi, Jevan langsung meraih kunci motornya yang berada di meja ruang tamu. Kemudian berjalan dengan langkah besarnya mendahului Veyla. Sedangkan Veyla yang berada di belakangnya hanya bisa nyengir melihat perilaku Jevan. "Naik," perintah Jevan dengan nada dingin membuat Veyla semakin gencar untuk menjahili cowok tersebut. "Gak ada lembut-lembutnya banget, sih, jadi cowok!" "Bacot, gue tinggalin," ucap Jevan yang lamgsung membuat Veyla bungkam dan membatalkan rencananya untuk menjahili Jevan. "IYA-IYA!" Dengan pasrah, Veyla langsung menaiki motor ninja milik Jevan. Setelah dirinya mendapat posisi yang nyaman, Jevan langsung menyalakan motornya dan melajukan motornya dengan kecepatan yang sedang. *** 05:30 PM "Assalamualaikum! Bunda!" teriak Veyla sambil mengetuk pintu rumahnya, sedangkan Jevan berdiri di belakangnya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana dan memasang wajah tanpa ekspresi. Beberapa detik kemudian terdengar sahutan seseorang dari dalam sambil membuka pintu tersebut. "Waalaikumsalam! Kamu ke mana aja, sih, Vey?! Ini udah jam berap--" Kalimat Rina menggantung seketika karena netra matanya yang menangkap seorang laki-laki tampan tengah berdiri tepat di belakang anaknya. "Vey, ini siapa?" tanya Rina dengan suara yang pelan namun masih dapat didengar oleh Jevan dan Veyla. "Ini Jevan, Bun." Veyla memperkenalkannya dengan ogah-ogahan. Sementara Jevan langsung mengambil tangan kanan Rina berniat untuk mencium punggung tangannya. "Jevan, Tan." Jevan memperkenalkan dirinya dengan nada yang sangat sopan. Sama Bunda lembut, sekalinya sama gue dingin banget kek es batu. Batin Veyla. "Oh, nama kamu Jevan, ya? Aduh ganteng banget kamu Nak..." puji Rina. Veyla yang mendengar itu langsung memutar bola matanya malas. Bundanya itu memang tipe ibu-ibu yang gak bisa liat cowok muda yang ganteng sedikit aja, pasti dia bakalan histeris. "Gak juga, Tan." Jevan merendahkan dirinya. "Kok bisa, sih, cowok seganteng kamu mau sama Veyla yang judesnya gak ketulungan ini?" Rina menyenggol bahu Veyla sambil terkekeh. "Apaan, sih, Bun. Kita gak ada apa-apa juga," sungut Veyla kesal karena Bundanya itu sudah menuduh mereka mempunyai hubungan. "Kalo nggak ada apa-apa, Jevan buat Bunda aja, ya?" goda Rina lagi. "Ya sudah ambil, nih. Entar Veyla kasih tahu ke Ayah biar perang dunia ketiga nanti!" sahut Veyla kesal. Jevan yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran ibu dan anak itu hanya bisa mengulum senyumnya. Merasa sudah terlalu lama di sana, Jevan pun memutuskan untuk berpamitan. "Tan, saya izin pamit," ucapnya sambil mencium punggung tangan Rina lagi. "Lah, belum juga masuk. Mau ke mana emangnya?" "Ada tugas, Tan," jawab Jevan mengada-ngada. Karena saat ini tubuhnya benar-benar lelah, jadi apapun itu ia akan lakukan agar terbebas dari rumah itu segera. "Ya sudah. Hati-hati, ya. Makasih udah repot-repot anterin Veyla." "Iya Tan, Assalamualaikum." Setelah itu Jevan menyalakan motor ninja kesayangannya dan melajukannya menjauh dari kediaman Veyla. "Waalaikumsalam," jawab Rina dan Veyla secara bersamaan. Setelah Jevan sudah benar-benar meninggalkan rumah Veyla, Rina langsung menoel pipi anak semata wayangnya itu. "Cie... yang lagi kasmaran." Rina menggoda anaknya itu kembali membuat Veyla memasang wajah lelahnya. "Apaan, sih, Bun. Udah ah Veyla capek mau istirahat." Baru saja Veyla melangkahkan kakinya, Rina kembali menahannya. "Bentar-bentar, itu... lebam bekas kenapa, Vey?" Skak! Kenapa bundanya harus melihat lebam sialan itu? Semoga saja Veyla dapat menemukan jawaban yang tepat agar Rina percaya padanya. "Mmm... anu... tadi pas jalan sama Jevan kesandung batu terus pipi Veyla kena tanah," jawab Veyla asal. "Habis jalan, ya?" goda Rina sambil memutarkan jari telunjuknya di depan wajah Veyla. Kenapa dia harus mengatakan hal itu? Ah, fix! Veyla sidah gila gara-gara manusia dingin itu. "Ih, enggak!" elak Veyla "Tadi bilangnya jalan, hayo ngaku..." Rina memang tak ada habisnya menggoda anaknya itu, karena hal itu sudah menjadi kebiasaannya. "Ih, Bunda! Udah ah Veyla masuk dulu. Ini badan udah lengket banget tau," Veyla mencari-cari alasan agar terbebas dari godaan Rina yang bisa saja akan membuat pipinya memerah. "Ya sudah. Entar habis mandi Bunda obatin lebamnya, ya?" Veyla mengangguk kepalanya sebagai jawaban, kemudian masuk ke dalam rumahnya. Saat dirinya sudah berada di kamar, ia merebahkan dirinya sebentar ke kasurnya sambil memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Ia teringat kembali akan hal yang terjadi antara dirinya dan Jevan. Entah mengapa, ia jadi senyum-senyum sendiri ketika mengingat tingkah laku Jevan yang sangat dingin dengan orang, tetapi dengan orang yang lebih tua dia masih menjunjung tinggi kesopanan. Cowok aneh emang. Batin Veyla
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD