2.

1427 Words
“Wen!” Roes mengayunkan tangan. Memanggil. Ariyani menyikut. “St, dipanggil tuh.” “Bentar ya. Tunggu aja di sini. Enggak lama kok,” Weni menghampiri Roes. “Bentar om!” Ariyani duduk sembari sesekali memfoto. Tangannya tidak pernah jauh dari lensa kamera. Ia sangat senang mengabadikan moment-moment yang singgah dalam hidupnya, baik itu menyedihkan maupun membahagiakan. Ia menyadari semua merupakan pemberian Tuhan yang patut disyukuri. Ariyani berjalan-jalan di sekitar lokasi shooting yang tengah dijalani Weni, sahabatnya. Ia merasa asing. Semua orang di sana nampak sibuk. Ada yang menaruh beberapa properti di dalam rumah, membereskan peralatan lain di luarnya, menghapal script, merapikan kostum yang dikenakan, duduk manis sambil didandani, dan di depan sana, tepat di depan sana, berdiri lelaki tadi yang memanggil Weni. Matanya mengarah ke kamera. “Camera.” “Roll.” “Action!” Adegan dimulai. Salah satu pemain salah mengucapkan kalimat. “Cut! Kamu gimana sih. Ini udah kedelepan kalinya loh. Masa masih enggak hapal juga! Sekali lagi gagal, ganti,” ucap Roes dengan kesal. “Yaah, jangan dong om.” “Makanya fokus!” “Iya iya.” “Konsentasi dulu,” Roes melihat ke arah lain. Menunjuk. “Eh, lu!” “Saya pak?” Seseorang yang ditunjuk keheranan. Dari wajahnya terpancar sedikit ketakutan. “Iya elu, sini!” Seseorang itu mendekati Roes. “Lu anak baru?” “Iya pak.” “Lu enggak becus di lighting. Pegangin kabel aja.” “Iya pak,” seseorang itu kembali ke tempat semula. Agak bergeser ke samping. Memastikan kabel-kabel tersambung dengan benar. Banyak bola-bola lampu berisi tanda tanya berputar-putar di atas kepalanya. Ia membenak, “Emang ada kerjaan megangin kabel?” Ia bingung sendiri. “Ok, siap Wen?” “Ya.” “Konsentrasi. Camera.” “Roll.” “Action.” Weni beraksi. Kali ini dilalui dengan lancar. Maklum kesempatan terakhir jadi mesti bisa. Tidak boleh sampai gagal. Ariyani kembali ke tempat semula. Menunggu Weni. Beberapa orang yang tengah berdiri dan duduk di dekat Ariyani melakukan aktivitasnya masing-masing. “Panas banget ya,” ujar seorang ibu di sebelahnya sambil mengipasi wajah. Rambut hitam sebahunya bergerak-gerak. “Iya panas banget,” yang lain menimpali. “Masih lama enggak ya? Gue dari pagi nungguin, tapi sampai sekarang belum dapat juga,” lanjut ibu yang tadi. “Sama bu. Kita juga,” ujar ibu-ibu lainnya. “Sabar aja nanti juga dipanggil,” kata salah seorang bapak yang baru saja datang dan ikut nimbrung “Bapak sudah?” “Sudah. Cuma numpang lewat,” si bapak sedikit nyengir. “Kelihatan kakinya doang.” “Kata orang pilem yang ngajakin saya, saya sih nanti ada adegannya sedikit. Nyapu.” “Nyapu kalau yang kelihatan cuma bagian belakangnya doang sih ya sama aja,” lanjut si bapak tadi meledek. Ariyani menahan tawa dalam hati. Ada-ada saja orang-orang ini. Tak berapa lama Weni kembali menemuinya. “Tadi itu om aku.” “Oh, kelihatannya galak ya.” “Biasalah itu kalau lagi di lokasi.” “Harus tahan banting ya berhadapan sama dia?” “Banget. Terjun di dunia perfilman itu enggak mudah. Enggak boleh cengeng dan manja. Kalau dikit-dikit ngeluh enggak bakal jadi.” “Jadi apa?” “Ya jadi artislah.” Ariyani yang sedang meneguk minuman tersedak mendengar ucapannya. “Emangnya kamu mau jadi artis?” “Ya main di lokalan aja dulu. Sambil terus mengasah bakat.” Ariyani mengangguk setuju. “Rencananya berapa malam nginep?” “Kenapa? Enggak boleh? Enggak ikhlas?” “Bukan. Soalnya om aku juga tidurnya di rumahku.” “Dia enggak punya tempat tinggal?” “Punya, tapi rumahnya sekarang lagi rame. Semua kru tidur di rumah dia. Rumahnya kan dekat-dekat sini.” “Oh, terus kenapa dianya malah ngungsi?” “Dia enggak bisa istirahat kalau rame. Enggak apa-apa kan kalau ada omku juga?” “Oh. Ya enggak apa-apa.” “Ya kali kamu canggung ketemu orang baru.” “Saya sih di sini paling cuma tiga harian.” “Tiga hari? Bentar amat.” “Dikasih liburnya segitu. Ya ke sini selain pengen refreshing kali aja nemu sesuatu yang baru.” “Kali aja kamu dapat pacar baru.” “Apaan sih.” “Ya iyalah. Ngapain sih lama-lama jomblo. Enggak enak tahu.” “Biasa aja.” “Ya enggak enaklah. Ke mana-mana enggak ada yang bisa ditebengin. Nonton bioskop sendiri. Jalan-jalan juga sendiri. Nih buktinya, kamu ke sini sendiri.” “Enakan sendiri lagi Wen. Enggak ada yang ngatur. Enggak ada yang ngekang. Bebas-bebas aja.” Seorang pria berjalan ke arah kami. Memberitahukan sesuatu pada kerumunan ibu-ibu dan bapak-bapak. “Sekarang lagi break. Nanti kalau udah dimulai, giliran kalian.” “Yaah, lama. Perut saya sampai penuh duluan sama jajanan.” “Sabar ya bu. Tunggu aja. Pasti dipanggil kok.” “Makasih ya mas.” “Ya.” Pria itu berjalan menjauh. Weni beranjak dari tempat duduknya. “Yuk!” “Udah selesai?” “Belum. Aku mau ngenalin kamu sama pacar aku.” Weni menarik tangan Ariyani. Mereka bergerak masuk ke dalam rumah yang dijadikan lokasi shooting barusan. Weni menepuk bahu. “Arga.” Lelaki itu membelikan badan. “Eh beb.” “Kenalin. Namanya Ariyani.” “Arga.” Ia mengulurkan tangan. “Maaf, Ariyani.” Ariyani menyatukan kedua telapak tangan. Tak ingin bersentuhan dengan pria manapun. “Nanti aku pulang duluan enggak apa-apa ya?” “Iya, enggak apa-apa.” “Kamu enggak sedih kan kalau kita enggak pulang bareng?” “Ya enggaklah beb. Aku ke sana dulu ya.” Arga mencium pipi Weni membuat Ariyani mengalihkan pandangan, kemudian ia berjalan mendekati omnya Weni. Mereka nampak mengobrol sebentar. Weni menyikut. “Kenapa? Makanya punya pacar.” “Kamu tahu kenapa saya sampai mutusin Iwan?” “Kenapa?” “Dia ngelakuin hal kayak barusan.” “Hah?” Weni tertawa terbahak. Orang-orang di sekitar memandang ke arah mereka. Seketika ia menutup mulutnya. Menurunkan volume suara. “Masa cuma gara-gara dicium terus kamu putusin. Kalian kan udah lama pacaran.” “Iya, tapi saya enggak suka sama caranya.” “Mungkin dia udah enggak tahan kali. Kebelet.” “Apaan sih! Harusnya kalau kebelet ya nikahin dong.” “Benar, benar. Benar juga. Tapi soal ciuman itu ya Ar, udah biasa. Enggak perlu aneh.” “Terserah deh. Setiap orang kan punya pandangan masing-masing. Yang jelas saya pengen ketika menikah, suami sayalah orang pertama yang menyentuh dan memiliki saya seutuhnya.” “Iya, iya.” Ariyani memandang sekeliling. Ruangan yang dipenuhi barang-barang antik menarik perhatian. Tangannya memegang salah satu hiasan memanjang yang menempel di dinding dan sungguh terkejutnya ia manakala hiasan itu terputus, lalu terjatuh, menimbulkan suara berdencing. Sekali lagi, orang-orang memandang ke arah mereka. Sekilas nampak omnya Weni menatap dengan tajam. “Mampus!” gumamnya dalam hati. Perlahan Ariyani mengambil bagian yang terputus, lalu menaruhnya di atas meja. Weni memijit-mijit kening menahan malu akibat ulah yang dilakukan oleh temannya itu. “Saya harus minta maaf sama siapa?” “Tuh,” Weni mengerucutkan bibirnya. Ariyani hendak bergerak mendekati omnya Weni, namun sebentar ditahan. Weni memegang bagian sikut tangannya. Ia berbisik, “Namanya Roesadi Permana. Panggilannya Roes. Bilang aja enggak sengaja.” “Oke.” Ariyani melanjutkan langkah dengan pasti. Tak ada keraguan sedikitpun. Ia memang bersalah dan harus meminta maaf. Ariyani berhenti di antara beberapa orang pria. “Permisi. Pak Roes?” “Ya kenapa?” Wajahnya nampak dingin. “Maaf saya telah merusakan salah satu properti di sini.” Lelaki yang bernama Roes itu terdiam. Mengacuhkan. Ia melanjutkan pembicaraan dengan orang-orang di samping kanan dan kirinya. Ariyani mendesah perlahan, kemudian berbalik mendekati Weni. “Om kamu tuh bisu ya?” Mereka ke luar ruangan. Berjalan sembarang arah. Ariyani menggerutu sepanjang jalan. “Tadi itu beneran om kamu?” “Iya.” “Kok beda banget sih.” “Dia emang gitu, tapi kalau udah dekat enggak kok. Dia orangnya baik dan kadangkala bisa juga melawak.” “Melawak? Hah, hah, hah. Muka kayak jalan tol. Lempeng. Lurus gitu bisa ngelawak?” “Jangan salah. Awalnya aja, tapi kalau udah lama, udah dekat ya enggak. Eh, sebelum balik kita mampir dulu yuk. Makan bubur ayam di tempat biasa.” “Boleh deh. Lihat om kamu barusan bikin saya jadi lapar.” Weni menyetop becak yang lewat. “Motorku lagi di bengkel. Naik becak enggak apa-apa ya.” “Santai aja. Lagian udah lama juga enggak naik becak.” “Emang biasanya?” “Angkot.” “Makanya belajar pakai motor biar enggak repot. Naik duluan.” Weni meminta Ariyani untuk lebih dulu menaiki becak. Dari jauh, Roes memperhatikan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD