3.

1283 Words
Ariyani berdiri di halaman rumah Weni, menatap ribuan bintang yang berkilauan. “Ar, makan dulu yuk,” Weni memanggil. Mereka melangkah memasuki ruang makan. “Kamar kamu bersebelahan dengan kamar Om Roes enggak apa-apa ya?” “Ya enggak apa-apalah.” Ariyani menggeser salah satu kursi yang melingkar di meja makan. “Ayo, ayo kita makan dulu,” ajak mamah Weni. “Seadanya ya,” sambung papah Weni. Percakapan demi percakapan tertuang. Tak berapa lama Roes datang. “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam. Roes sudah pulang? Sini makan.” “Roes udah makan kok kak tadi di lokasi.” “Oh.” “Roes bersih-bersih dulu,” ia menunjuk ke kamarnya. Ia masuk, kemudian melangkah ke kamar mandi sambil menenteng handuk. “Udah bisa motor belum?” tanya mamah Weni. “Belum tante. Belum ada keinginan buat belajar.” “Loh, kenapa? Padahal kalau bisa motor kan enak. Ke mana-mana ongkosnya irit.” “Iya sih, tapi saya masih takut. Tante kan tahu sendiri sewaktu Sisil masih ada, saya sempat diajari dia, tapi berselang tak lama, Sisil justru kecelakaan dan meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di tempat kejadian, di depan mata saya yang saat itu baru saja turun dari angkot, padahal waktu itu saya hampir bisa menyetir,” air mata menggenang. “Ar, udah dong. Jangan sedih.” Weni mengelus bahu Ariyani. Mencoba menenangkan. “Namanya umur enggak ada yang tahu. Padahal sehari sebelumnya saya, Weni, dan Sisil pergi bersama, tapi besok paginya, Sisil udah enggak ada. Di antara kami bertiga, cuma dia yang setiap harinya ceria dan bisa menghidupkan suasana.” “Ar, jangan dilanjut. Nanti aku nangis nih,” pinta Weni. Ariyani menghapus air mata yang menetes. “Sorry ya jadi nostalgia.” “Nostalgia kalau isinya yang manis-manis dan bisa bikin bahagia enggak apa-apa, tapi kalau yang sedih-sedih jangan. Kita doakan saja semoga Sisil berada di tempat terbaik.” “Aamiin.” Mereka melanjutkan makan. Ariyani memandang sekilas Roes yang ke luar dari kamar mandi. Ia menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. “Besok Ariyan ikut aja sama Weni ke lokasi shooting. Siapa tahu diajakin juga sama Roes buat ikut main.” “Kayaknya enggak deh tante. Maksudnya saya enggak minat untuk ikut main film. Saya sih tim horenya Weni aja besok.” “Kamu bisa aja.” Selepas makan malam, Ariyani kembali ke halaman rumah, duduk, memandang taburan bintang. Beberapa di antaranya berkedip-kedip. Di tangan tergenggam sebuah buku yang hendak dibaca. Roes memperhatikan sebentar melalui jendela kamar. “Dor!” Weni mengagetkan, membuat Ariyani sedikit terlonjak. “Enggak lucu.” “Emang enggak.” Weni memergoki omnya. Roes yang merasa dilirik, kemudian menutup gorden. “Daridulu kebiasaan kamu tuh enggak pernah berubah. Apa enaknya sih lihatin bintang?” “Enaknya apa ya? Hati jadi lebih tenang dan,” Ariyani menghirup udara panjang. “coba rasain udaranya yang sejuk. Bikin hati damai.” “Lebay. Kebanyakan makan buku-buku sastra.” “Daripada nonton sinetron yang isinya drama percintaan melulu.” “Eh, jangan salah. Itu penting loh. Kita juga bisa belajar dari situ.” “Belajar apa? Belajar cinta-cintaan? Sinetron itu kebanyakan lebaynya. Terlalu didramatisir.” “Justru kalau enggak didramatisir jadinya enggak seru. Enggak bakal ada yang nonton.” “Tapi kan jalan cerita di dalam sinetron itu jauh banget dari kenyataan yang ada.” “Siapa bilang. Justru kadangkala cerita yang di angkat malah dari realita loh.” “Terserah deh.” Ariyani mulai membaca buku sambil sesekali mengobrol. “Aku tuh ya setiap kali nonton film atau sinetron rasanya pengen banget cepet-cepet jadi pemain film beneran.” “Emang sekarang belum?” “Ya belumlah. Mainnya masih di lokalan. Coba Om Roes kayak dulu lagi. Aku jadi bisa ikut main film di Jakarta.” “Emang om kamu dulunya sutradara beneran?” Weni mengernyitkan kening. “Maksud saya, om kamu dulunya sutradara di Jakarta? Sutradara film-film kelas nasional gitu?” “Iya. Selain bikin film yang nantinya bakal ditayangin di beberapa stasiun televisi, dia juga pernah bikin film layar lebar.” “Oh ya?” “Iya. Percaya?” “Percaya.” “Kisah hidupnya tuh tragis banget.” “Oh ya?” “Iya. Kayak sinetron. Pernah lihat enggak film yang ceritanya tentang seorang lelaki kaya raya, punya pacar yang kerjaannya meloroti kekayaan dia, terus selingkuh, dan ditinggal pergi setelah laki-laki itu bangkrut dan jatuh miskin.” “Emang gitu? Separah itu?” “Iya, bahkan lebih parah dari itu.” “Kasihan.” “Emang kasihan.” “Terus?” “Ya terus om aku memilih untuk pulang kampung karena sudah terlalu sakit hati.” “Sampai segitunya?” “Iya. Gimana enggak sakit hati coba. Dia itu pacaran bertahun-tahun sama tu cewek. Ceweknya beuh. Cantik Ar. Namanya juga model, tapi sayang beda agama. Cinta emang bisa bikin orang buta. Om Roes benar-benar tergila-gila sama cewek itu. Dia rela menyerahkan uang-uang yang ia dapatkan demi membahagiakan sang pacar. Apapun keinginan cewek itu pasti dituruti. Beli ini itu. Pengen ini itu, semua permintaannya diwujudkan oleh Om Roes, tapi ternyata cinta tulus yang diberikan justru dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Semua barang-barang yang dibeli atas nama om beberapa di antaranya menggunakan sistem kredit yang kalau tidak dibayarkan maka bunganya akan semakin membengkak. Om Roes terlalu polos. Mau saja dibohongi. Cewek itu pergi dengan lelaki lain. Dia selingkuh. Jelas om marah besar. Amarahnya yang meledak-ledak dan tak bisa tertahankan membuatnya hilang kontrol. Ia memukuli habis-habisan laki-laki selingkuhan pacarnya itu sampai akhirnya om harus menerima konsekuensinya. Ia ditangkap dan sempat ditahan beberapa lama. Keluarga yang saat itu cukup kaget langsung mencari pengacara. Om bisa bebas, tapi dengan menyerahkan uang denda yang nilainya tidak sedikit.” “Soal kreditan itu berarti mereka menagihnya ke om kamu?” “Iya jelas. Om harus melunasi semua kreditan atas namanya. Makanya dia benar-benar habis-habisan waktu itu. Enggak ada lagi yang tersisa, kecuali rumahnya yang satu lagi.” “Kasihan.” “Emang kasihan. Ya begitulah cinta. Kalau sudah terlena kita jadi tidak bisa membedakan mana baik dan buruk, mana yang masih sewajarnya dan mana yang berlebihan.” “Itu benar. Kamu juga mesti hati-hati.” “Iyalah jelas.” “Jangan mau dipegang-pegang. Dicium.” “Eits, itu beda lagi. Itu artinya dia sedang menunjukan kasih sayang.” “Harus begitu caranya?” “Ya enggak juga sih. Terus kapan kamu sendiri move on?” “Ih, kok jadi saya. Saya ini daridulu sudah move on.” “Masa sih. Buktinya kamu belum punya pacar lagi sampai sekarang.” “Emangnya yang dikatakan move on itu harus menggandeng pacar baru. Enggak kan?” “Ya enggak juga.” “Saya lagi pengen sendiri. Lagipula setelah dipikir-pikir emang lebih enak sendiri. Bisa bebas. Enggak ada yang ngatur-ngatur.” “Heem, kamu sih daridulu hidupnya emang enggak pernah mau diatur.” “Emang. Ya sebelum janur kuning melengkung harus sepuas-puasnya menikmati hidup.” “Lah, emangnya udah nikah enggak bisa nikmatin hidup?” “Bisa, tapi terbatas. Terbatas karena kewajiban sebagai seorang istri terlebih kalau sudah ada anak. Jamin enggak bakal bisa ke mana-mana. Susah cari waktu buat sendiri apalagi buat ke luar sekadar refreshing. Ah, pokoknya serba terbatas deh.” “Tahu darimana?” “Ibu. Ibu saya pernah cerita.” “Eh iya, gimana kabar ibu sama ayah?” “Alhamdulillah baik. Mereka titip salam buat kamu.” “Kok baru ngasih tahu sekarang?” “Kan kamunya juga baru nanyain mereka.” “Dasar. Ar, aku tidur duluan ya. Besok harus bangun pagi soalnya. Kalau telat bisa-bisa bapak sutradara marah-marah.” “Ya udah gih sana.” “Ya udah. Jangan kemaleman.” “Iya.” Weni masuk ke dalam rumah. Di jendela nampak Roes kembali membuka gorden sedikit. Ariyani meneruskan membaca. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD