4.

1221 Words
Ariyani berjalan sambil membaca buku dan terkejut ketika membuka pintu kamar bersamaan dengan Roes yang ke luar dari dalamnya. “Loh, om. Kok ada di kamar saya.” “Kamar kamu? Enggak salah. Itu kamar kamu.” Roes menunjuk ke kamar sebelah. “Ini kamar saya.” Ia menunjuk ke tempatnya berdiri. Bibir Ariyani sedikit menganga. Ia menahan malu. “Kelewat. Maaf.” “Makanya kalau jalan lihat ke depan. Untung enggak nabrak.” Roes pergi ke arah dapur, sedangkan Ariyani masuk ke dalam kamar. Ariyani menutup pintu, lalu bersandar di sebaliknya sambil menepuk jidat. “Kok bisa sih salah masuk. Hampir aja.” Ia melangkah ke kasur. Merebahkan diri. Mendadak perutnya terasa mulas. Mungkin karena terlalu banyak makan sambal tadi. Ia bergegas ke kamar mandi. Tangannya memegang gagang pintu, bermaksud membukanya bersamaan dengan Roes yang juga hendak masuk. Mereka bersitatap. “Kamu mau apa?” “Ke kamar mandi.” “Iya saya tahu. Maksudnya kamu mau apa ke kamar mandi?” “Om harus tahu?” “Ya enggak. Kebelet enggak?” “Banget. Permisi, saya duluan ya om.” Ariyani sedikit menggeser tubuh Roes yang sudah berada di pintu, kemudian masuk. Roes menghela nafas dalam. Menahan kesal. Ia berdiri menunggu giliran. Beberapa kali ia menggedor-gedor pintu kamar mandi. “Enggak sabar banget sih jadi orang. Tahu lagi buang air,” gerutu Ariyani. “Masih lama enggak?” tanya Roes dari balik pintu. “Bentar,” jawab Ariyani dengan sedikit meninggikan intonasi agar bisa terdengar olehnya. Selepas menuntaskan sisa kegelisahan, Ariyani ke luar dengan wajah agak kesal. Roes berdiri tepat di hadapan, menghalangi langkah Ariyani. Ariyani bergeser ke kanan hendak berjalan, Roes melangkah ke kiri. Ariyani ke kiri dan Roes ke kanan. Mereka saling bertatapan. Ariyani mendesah nafas kesal, kemudian maju menabrak bahu Ros. “Sukurin,” Ariyani menggerutu dalam hati. Ia kembali ke kamar merebahkan tubuh. Ponsel di atas meja berbunyi. Satu pesan masuk. Dari Iwan. Mengejutkan. “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” “Hai, apa kabar?” “Alhamdulillah baik.” “Tadi siang aku ke rumah kamu. Katanya kamu lagi pergi ke luar kota. Berapa lama di sana?” “Belum tahu.” “Ada yang pengen aku obrolin.” “Penting?” “Penting bagi aku. Ariyani, kamu masih marah?” “Enggak.” “Terus kenapa kamu selalu menjauh? Aku kangen sama kamu.” “Ada hal lain yang mau disampaikan?” “Ar, aku masih sayang sama kamu dan aku benar-benar menyesal karena telah melewati batas. Aku minta maaf.” “Saya udah maafin kamu daridulu.” “Aku pengen ketemu.” “Buat apa?” “Buat memastikan kalau kamu benar-benar udah maafin aku.” “Saya sudah melupakan semuanya dan membuang jauh-jauh masa lalu serta harapan yang pernah menjadi tujuan kita.” “Ar, please kasih aku kesempatan.” “Maaf, enggak bisa. Bagi saya, menjaga kehormatan dan kemuliaan itu penting.” “Ar, apa yang bisa aku lakuin supaya kamu mau memaafkan aku?” “Enggak ada. Saya mau istirahat.” Ariyani mematikan ponsel. Iwan mencoba hadir kembali, tapi maaf Ariyani tidak bisa menerimanya. Iwan sudah terlanjur membuatnya kecewa. Meski hanya sekali dilakukan, namun itu benar-benar mencerminkan dirinya yang tidak bisa menahan kesabaran dan tidak mampu memuliakan seorang wanita. Sejak awal pacaran, mereka punya komitmen yang harus dipatuhi bersama. Sebagai pasangan yang belum menikah, Ariyani mau mereka tidak bersentuhan, baik itu bersalaman, apalagi berciuman atau berpelukan. Ini diciptakan untuk kebaikan bersama. Ariyani sebagai perempuan yang belum sah menjadi istrinya ingin senantiasa menjaga kehormatan dan kemuliaan, pun dengan Iwan yang wajib menjaga diri sebagai lelaki yang baik. Ariyani mau, lelaki yang menyentuhnya adalah imamnya. Ariyani berusaha menepis bayangan Iwan yang tiba-tiba berkelebat. Jujur, ia masih mencintainya, namun ia tak bisa menerimanya kembali sampai Iwan benar-benar mampu memperlihatkan dirinya telah berubah. Lamat-lamat terdengar suara orang sedang mengaji entah dari mana. Ariyani beranjak. Berjalan pelan mendekati arah suara. Ia terdiam di pintu, suara tak begitu jelas, kemudian bergerak ke dinding di sebelah. Daun telinga ditempelkan. Semakin jelas suara itu. Hati menjadi tenang. Syahdu. Beberapa menit ia tenggelam dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh seorang lelaki di kamar sebelah. Kamar sebelah? Hah? Bukankah kamar sebelah itu ditempati oleh omnya Weni? Astaga! Ariyani bergegas naik ke kasur. Tidur menyamping memaksa memejamkan mata. Beberapa detik berlalu, suara itu semakin jelas terdengar. Ia semakin merapatkan mata. Tak ingin tergoda oleh suaranya yang indah. Menit demi menit seolah berputar melambat. Ia benar-benar menikmatinya. Menikmati suara yang timbul dari kamar sebelah. Tak berapa lama suara itu terhenti dan ia mengira omnya Weni sudah beranjak tidur. Ariyani mematikan lampu kamar. Terlelap. Berselang tak lama, terdengar suara pintu diketuk. Dengan mata mengantuk, tangannya mencari-cari ponsel di atas kasur, kemudian menyalakan senter. Ia berjalan ke arah pintu, membukanya. Handphone yang ia pegang tak sengaja mengarahkan senter ke wajah seseorang yang tengah berdiri di hadapan, membuatnya ketakutan. Ia terbelalak dan berteriak. Seketika yang berdiri di hadapan menyabet ponsel dari tangannya. “Apaan sih teriak malam-malam. Nanti yang lain bangun!” “Astaghfirullahal’adzim,” Ariyani baru menyadari jika orang yang berdiri itu adalah omnya Weni. Matanya mengeliling. “Kok gelap?” “Mati lampu.” “Oh, mati lampu. Saya kira om sudah tidur.” Tiba-tiba terdengar suara jendela yang tidak tertutup rapat. Roes melirik ke dalam kamar. “Suara apa itu?” Ia berjalan masuk. “Om, om mau apa?” Ariyani tergesa menyamai langkah Roes. Ponsel diarahkan ke depan. Nampak jendela bergerak-gerak, terbuka tertutup menimbulkan suara berisik. Roes menguncinya. “Ceroboh. Lain kali pastikan semua terkunci dengan baik. Apalagi kamu beranjak tidur. Kalau ada binatang masuk gimana. Mending binatang. Coba kalau ada orang yang berniat jahat.” “Iya maaf om.” “Ngapain minta maaf. Saya cuma kasih tahu supaya kamu lebih teliti dan berhati-hati.” “Iya, makasih om.” “Sekarang temani saya.” “Ke mana?” Ariyani terheran. “Mastiin ini beneran mati lampu atau cuma ngejeplak.” “Oh iya, iya om,” Ariyani berjalan di belakang Roes. “Arahin dong senternya ke sini.” Ariyani menggaruk rambut yang tidak terasa gatal. “Emang enggak punya handphone? Pakai nyuruh-nyuruh segala!” Ia menggerutu dalam hati. Sesampainya di teras rumah, Roes memperhatikan token listrik. “Mati lampu.” Roes terdiam sejenak, kemudian melihat Ariyani yang ikut terdiam. “Kamu ngapain masih di sini?” “Tadi katanya suruh nemenin. Minta diarahin senternya.” “Ya di dalam memang sempurna gelap, makanya aku butuh senter buat jalan biar enggak nabrak-nabrak. Lah kalau di sini, kan udah jelas agak terang, ngapain juga mesti pakai senter. Matiin.” “Iya.” Ariyani membalik badan hendak masuk. “Kamu mau ke mana?” “Masuk.” “Udah ngantuk?” “Tadi sih udah, tapi sekarang jadinya enggak lagi.” “Ya udah temani saya saja di sini.” “Bukannya tadi om sudah tidur?” “Belum.” “Saya kira habis ngaji langsung tidur.” Seketika Ariyani menutup mulut. “Astaghfirullahal’adzim.” Roes menatap heran. “Kenapa? Enggak apa-apa kali. Kamu dengar tadi saya mengaji? Sorry ya malam-malam bikin bising.” “Enggak. Suaranya bagus.” Ariyani kembali menutup mulut disertai mata yang dipejamkan sebentar. “Maksud saya, suara om terdengar syahdu ketika sedang mengaji.” “Makasih. Kita duduk di situ?” Mulut Ariyani ternganga sedikit. Tak menyangka jika omnya Weni bisa seramah itu. “Boleh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD