Chapter Satu

1417 Words
            Seorang puteri termenung di beranda kamarnya. Menatap langit yang penuh dengan taburan bintang yang bermain mata. Mencoba menarik perhatian sang puteri yang merasa kesepian.             Tiap bintang memiliki warna indah yang berbeda. Kadang ada satu yang redup seakan tak berusaha untuk memancarkan sinar.             Puteri memerlukan satu, tuk dijadikan penuntun perjalanan panjang yang hendak dia lakukan. Namun beberapa hari berlalu, belum bisa dia putuskan, mana bintang terbaik yang kan dia pilih. Mungkin kan dia tunggu, salah satunya yang jatuh menyerahkan diri.                                                                 ***               Ilyana sedikit berlari setelah keluar dari pintu bus. Tak sabar untuk bisa sampai ke sebuah tempat—di mana seseorang telah menunggu. Ini hari pertama dari kehidupannya di ibu kota. Setelah empat tahun menyelesaikan kuliah dan melewati tantangan dari hubungan jarak jauh dengan sang pacar.             Hari ini jalanan ibu kota ramai seperti biasa. Mungkin jadi lebih penuh sesak berkat orang-orang yang melepas penat di akhir minggu. Beberapa pedagang kaki lima turut meramaikan di beberapa titik. Sedikit menggoda Ilyana yang mulai merasakan kering di kerongkongannya. Tapi, dia masih bisa bersabar untuk itu.             Godaan dari wangi kerak telor yang semerbak masih bisa Ilyana lewati. Namun, ada satu titik yang berhasil mencuri perhatian hingga memaksa kakinya untuk berhenti sesaat. Di depan sebuah toko buku kecil, orang-orang berkumpul. Ilyana tidak bisa untuk tidak memeriksa, apa yang membuat orang-orang itu rela berdesakkan.             ‘Eksklusif! 100 eksemplar novel Trilogi Bintang Kejora karya Miss Rigel BERTANDA TANGAN bisa didapatkan HANYA HARI INI!’             Sehelai banner cukup besar menyambut Ilyana yang baru saja melangkah di depan pintu masuk toko. Cukup menjelaskan penyebab dari penuh sesaknya bangunan kecil tersebut.             Miss Rigel merupakan nama yang beberapa tahun ke belakang selalu banyak dibicarakan oleh kalangan penggemar literasi. Novel-novelnya yang ber-genre young-adult selalu laku di pasaran. Dari mulai media online, majalah, hingga acara televisi membicarakannya.             Di samping itu, yang paling membuat semua orang penasaran adalah identitas Miss Rigel yang misterius. Tidak ada satu orang pun yang tahu siapa nama aslinya, dari mana asalnya, bahkan banyak yang tidak yakin kalau dia seorang wanita. Ketidaktahuan itu lah yang akhirnya turut mendongkrak ketenaran dari penulis tersebut. Selain memang karyanya yang dinilai mampu untuk bersaing di pasar nasional.             “Tahun lalu aku cuma telat lima menit lho, lima menit! Tapi buku bertandatangannya udah langsung sold out. Kali ini aku gak mau ketinggalan!”             “Samaaa! Parahnya, sampe ada reseller yang ngejual bukunya berlipat lebih mahal dari harga aslinya, tau!”             “Tapi gimana ya, emang banyak yang suka sama tulisannya Miss Rigel. Aku aja ngikutin dia dari sewaktu masih nulis di platform.”             “Iya, aku juga sama! Eh, terus katanya buku yang Pesawat Ulang-alik Aleya mau dibuat jadi film, ya?”             “Masa, sih? Kok, aku baru denger.”             “Belum ada penguruman resmi dari penerbitnya, sih.”                 “Wah, aku pasti bakal nonton langsung kalau beneran ada!”             Ilyana hanya tersenyum sebelum kembali melangkah. Dia agak terkejut karena jarum jamnya menunjukkan kalau waktu pertemuannya sudah lewat. “Aduh!” celetuknya sembari menepuk dahi. Saat mengecek lokasi pada maps, masih butuh sekitar sepuluh menit berjalan kaki hingga sampai di tempat tujuan.             Sebuah panggilan masuk ke ponsel Ilyana. Nama ‘Rendy’ muncul pada layarnya.             “Ya, Kak?”             “Kamu dari tadi ke mana? Kok, chat-ku gak dibalas?”             “Bentar lagi sampai kok. Tunggu ya. Baterai hp-ku udah mau habis nih, Kak.”             Tidak ada balasan apa pun yang terdengar. “Halo, halo, Kak?” Ilyana memastikan, sebelum sadar kalau ponselnya terlanjur mati. Dia spontan mempercepat langkah hingga hampir berlari. Tidak ingin membiarkan orang yang akan ditemuinya menunggu terlalu lama.             Di tempat lain, seorang lelaki berkemeja biru muda berkali-kali mengecek jam tangan. Sudah dua puluh menit dia berdiri di depan cafe yang tak kunjung dia masuki. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan mencari sosok yang baru saja berbelok di ujung jalan.             “Kak Rendy!” teriak Ilyana. “Maaf, lama, Kak...” sambungnya lagi terbata-bata. Napasnya masih belum beraturan.             “Ya ampun, kamu kenapa gak naek trans atau ojek aja, sih, Na?”            “Habisnya... aku belum ngerti cara naek trans. Terus kalau naek ojek kan sayang. Lagian masih bisa jalan kaki, kok. Hehe.”             Rendy hanya tersenyum sembari mengusap-usap rambut Ilyana yang tersenyum lebar. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus akibat kepanasan. “Maaf, ya. Mobilku lagi diservis. Kamu jadi harus jalan kaki.”             “Nyantai aja sih, Kak. Lagian biasanya aja di kampung kita naek motor Kak Rendy yang berisik itu tuh.”             “Wah, hampir lupa sama Si Jago.”             “Kenapa gak dibawa aja ke sini sih, Kak?”             “Bisa-bisa ditangkep polisi tar aku.”             Keduanya pun berjalan masuk ke dalam kafe sambil mengobrol asik. Melepas kerinduan yang sudah ditahan selama hampir setengah tahun. Rendy sudah lebih dulu pindah dan bekerja di ibu kota sejak tiga tahun yang lalu. Sementara Ilyana, atau yang lebih sering dipanggil Ana, belum lama pindah setelah menerima ijazah strata satunya.             Ana sudah lama ingin lekas tinggal di ibu kota. Karena sejak kecil, dia selalu bermimpi ingin tinggal di tengah kota besar. Apalagi setelah Rendy pun akhirnya mendapatkan pekerjaan di sana. Ana semakin semangat untuk meraih mimpinya itu.             “Oiya, dari kemarin aku lihat orang-orang ramai sekali ngomongin soal karya baru Miss. Rigel. Gak nyangka aku bisa makan bareng orangnya.”             “Kak Rendy! Sst! Jangan keras-keras!” Ana tampak sedikit kesal. Dia melirik ke sekeliling—memastikan tidak ada orang yang mendengar hal barusan.             “Kenapa sih kamu masih gak mau open ke publik? Padahal ketenaran kamu itu udah hampir sama kayak artis sinetron.”             “Gak ah, Kak. Kalau semua orang tahu aku cuma orang biasa, pasti mereka kecewa.”             “Justru orang-orang paling suka ngelihat perjalanan seseorang dari nol. Pasti kamu langsung dapat banyak undangan dari tv, deh.”             “Emang kakak mau kita gak bisa sering ketemu gara-gara terlalu sibuk?”             “Hm...” Rendy berpikir sejenak. “Tapi gawat juga sih kalau kamu jadi punya banyak temen artis. Terus nanti di antara mereka ada yang naksir sama kamu. Atau lebih parahnya, kamu yang suka sama mereka. Aku bisa repot.”             Ana tertawa mendengar kata-kata Rendy. Hampir lupa kapan terakhir kalinya dia bisa tertawa seperti itu.             Hari ini, agenda mereka bukan hanya reuni dan bersantai di kafe. Rendy berjanji akan membantu Ana membereskan barang-barang di kosannya. Sekaligus melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda saat di tempat makan.             “Sorry, ya, Kak. Jadi ngerepotin harus bantu aku beresin kosan.”             “Emangnya kapan kamu gak repotin aku?”             “Kok, kesannya aku ngerepotin terus?” Ana melempar bantal ke punggung Rendy yang sedang fokus menancapkan paku pada tembok.             “Hei! Kalau raknya miring, jangan nyalahin ya!”             Ana berjalan cepat, dan memeluk Rendy dari belakang. “Iya, iya, maaf, Kak...” ucapnya sembari memejamkan mata. Dia terdiam sejenak sembari tak henti tersenyum. Rasa lelah hilang seketika, berganti dengan kebahagiaan setelah bertemu dengan sosok yang selalu dia rindukan.             “Nah kan, kamu ganggu aku lagi. Mending kamu bikinin makanan, sana! Bentar lagi beres.”             “Perasaan tadi baru aja makan. Emang udah lapar lagi?”             “Kamu enak cuma liatin doang. Aku dari tadi ngangkut-ngangkutin barang.”             “Iya, iya. Siap, Bos!”             Ana melompat-lompat kecil ke bagian ruangan tempat memasak sembari bersenandung. Rendy hanya tersenyum melihat tingkah pacarnya—yang terkadang membuatnya merasa gemas itu. Untung saja dia sedang sibuk memegang palu dan paku, batinnya.             “Apartemen Kak Rendy jauh gak sih dari sini?”             “Hmm... ya lumayan lah. Sejam mungkin.”             “Hah, serius?”             “Kalau naik umum dan gak macet ya.”             “Pindah ke deket sini aja sih, Kak.”             “Enak di kamu kalau gitu. Aku jadi tambah jauh ke kantornya.”             Ana tertawa. Lalu melahap nasi goreng yang belum lama matang. Padahal hanya berisi telur dan irisan sosis setipis uang lima puluh perak. Tapi rasanya jauh lebih enak, karena tidak dia nikmati sendirian lagi.             “Kamu besok udah langsung masuk kerja ya?”             “Iya. Paling cuma semacam orientasi dulu.”             “Kerja yang bener, lho ya. Jangan sampai bikin bos marah di hari pertama."             Ana menjulurkan lidahnya. "Kak Rendy sendiri gimana kerjaannya?" "Lancar-lancar aja. Justru aku lagi disorot sama bos. Katanya sih mau dipromosiin jadi asisten manajer."             "Wah, beneran? Kok, baru cerita sekarang."             "Ya gimana... Belum pasti juga, kan."             "Pokoknya, kalau udah ada keputusan, harus kasih tau aku langsung ya! Nanti aku bikinin makanan kesukaan Kak Rendy."             "Emang tau aku suka apa?"             "Cumi lada hitam."             "Salah."             "Hah? Sukanya apa dong kalau gitu?"             "Kamu."             Ana lagi-lagi melempar benda yang ada di dekatnya—yang langsung ditangkap oleh Rendy. Untung saja hanya ada bantal sofa dekat sana.             Hari pertama Ana sebagai warga ibu kota masih terasa menyenangkan. Setidaknya, akan tetap seperti itu untuk beberapa waktu. Sebelum dia menyadari, bahwa hidup, terkadang memberikan kejutan di saat kita belum bersiap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD