Adis Pulang

2054 Words
"Dis, gue pulang dulu ya? Mau ganti baju. Bau banget baju gue," ucap Jordan yang baru saja muncul dari kamar mandi. Tangannya sibuk menutup hidungnya. Lalu dia nggeleyor begitu saja keluar kamar Adis. Lagi dan lagi, Adis hanya bisa melongo melihat tingkah Jordan. Dia sama sekali tidak basa-basi menanyakan keadaan Adis setelah muntah. Dia pergi begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa pada Adis. Ya, dia memang sangat royal dan sama sekali tidak perhitungan tentang uang. Dia sering memberi macam-macam untuk Adis meskipun status mereka sekarang ini hanya sebatas teman. Namun, sikapnya yang seperti inilah yang membuat Adis merasa bahwa Beno jauh lebih baik dari Jordan. Ah, entahlah. Yang jelas, Beno tidak akan membiarkan dia kesakitan sendiri. Meskipun pelitnya setengah mati, tapi rasa sayangnya setengah hidup, eh. Adis menggerutu sejenak. Namun untungnya, beberapa menit kemudian perawat datang dan membantu Adis untuk membersihkan bekas muntahan. Dia membantu Adis ke kamar mandi untuk ganti baju, dan membersihkan tempat tidur Adis. Setelah itu, Adis sama sekali tidak selera memandang pizza yang ada di atas nakas, dan lontong telur yang tadinya membuat dia begidik, kini seolah melambai-lambai ingin diraih. Lontong telur atau pizza? Yang jelas, 2 makanan itu punya plus minusnya sendiri. Seperti Jordan dan Beno. 2 makhluk yang sangat jauh berbeda. Namun, Entah kenapa, kepelitan Beno masih termaafkan sampai saat ini. 'Ya Allah, Aku ingin laki-laki yang sempurna. Laki-laki yang royal dan juga peduli terhadapku. Yang setia dan menjadikan aku satu-satunya. Adakah di dunia ini yang seperti itu?' Nggak. Nggak ada. Itu hanya ada dalam hayalanmu, Adis. Ah, elah … ada-ada saja makhluk satu itu. *** "Akhirnya, Lo udah boleh pulang, Ting. Seneng nggak?" Beno membantu kekasihnya untuk membaringkan tubuh mungil itu di atas tempat tidur kamar kosnya. Kamar yang membuat Adis nyaman, meskipun kamar itu tidak pernah rapi. Namun hari ini kamar si ceroboh itu begitu rapi, karena Beno menyempatkan diri untuk merapikan kamar Adis sebelum menjemputnya pulang dari rumah sakit. "Seneng banget lah, Ben. Apalagi kalau kamar gue lo bersihin begini, makin seneng gue. Sering-sering gih kayak gini." "Siap, Bu bos. Nanti kalau kita udah jadi suami istri, gue janji bakal bersihin kamar tiap hari." Mendengar ucapan Beno, Adis langsung terbatuk-batuk. Menjadi suami istri? Adis shock mendengar ucapan yang sebenarnya lumrah bagi pasangan muda yang sudah lama menjalin hubungan. Namun, Adis merasa bahwa Beno telah berpikir terlalu jauh. Adis memang menyayangi Beno, tetapi untuk menjadikannya sebagai suami, dia harus berpikir ribuan kali dulu. Memang sih, kadang dia berfikir tentang kehidupan pernikahan antara dirinya dan Beno, tetapi pikiran itu selalu membuat dia begidik ngeri membayangkan masa depan bersama dengan orang yang untuk menyenangkan dirinya sendiri saja pelit. Apalagi menyenangkan istri dan anaknya? Santi memang sering bilang pada Adis, bisa jadi setelah menikah nanti Beno bisa berubah. Namun, Siapa yang bisa menjamin? "Ah … kamu kenapa, Ting? Sebentar, aku ambilkan minum dulu ya?" Beno Panik melihat Adis yang terbatuk-batuk dengan muka memerah. Dengan tergesa, dia melangkahkan kakinya menuju ke tas ransel yang ada di pojok kamar. Diambilnya air putih dalam botol dan segera meminumnya pada Adis. "Makasih, Ben." "Lo kenapa sih, dengar kata nikah bisa keselek begitu?" Bagaimana adis tidak keselek, tentu saja adis kaget. Belum ada sedikitpun terbersit dalam hati Adis untuk menjadi istri dari Beno. Mungkin saat ini adis memang sangat menyayangi Beno, tetapi ada zat yang maha membolak-balikkan hati manusia kan? Bisa jadi di belakang Nanti Tuhan menyiapkan makhluk perfect yang diinginkan oleh Adis. "Lo ada-ada aja. Gue masih kuliah semester 4, Beno. Belum ada kepikiran ke sana." Beno tersenyum. Diraihnya tangan sang kekasih lalu digenggamnya erat. "Kepiting rebus gue yang jorok dan ceroboh, Bukankah sebuah hubungan itu memiliki tujuan untuk serius. Gue serius sama lo. Gue pengen kita melangkah ke jenjang yang selanjutnya. Gue pengen kita menua bersama. Nanti kalau gue sudah siap, gue bakalan datang ke orang tua Lo." Deg. Jantung Adis berdetak dengan begitu kencang. Tidak, dia belum siap untuk itu. Dia tidak bisa membayangkan Bagaimana kalau suatu saat nanti dia menjadi istri dari laki-laki yang pelit. Dia pasti akan malu kalau nanti ke kondangan, baju Beno hanya itu-itu saja. Terbayang di pelupuk mata Adis, setiap hari dia dan anak-anaknya hanya akan makan sama tempe dan terong setiap harinya. Ketika mereka butuh piknik, hanya akan diajak ke taman dan bawa makanan sendiri dari rumah. Tentu saja tidak akan lepas dari tempe dan terong lagi. Terus, mereka akan sering ke mana-mana bersepeda dengan alasan kesehatan. "Aaaa … nggak mau … " Tiba-tiba adis berteriak sambil memejamkan mata dan meletakkan kedua tangannya di telinga kanan dan kirinya. "Ting, lu kerasukan apa sih. Maksudnya nggak mau? Nggak mau jadi istri gue?" Adis tergagap. Dia membuka matanya dan menatap sang kekasih yang saat itu ada di hadapannya. Oh God, dia benar-benar larut dalam lamunannya. Lamunan yang mengerikan. "Em … Bukan Ben, bukan begitu. Gue tadi cuma ngebayangin hal yang serem-serem aja. Udah, kita jangan ngomong ini dulu. Serem tahu." Beno tertawa, lalu dia mengacak kasar rambut kekasihnya. Sedangkan Adis menghembuskan nafas lega. Ah, Untung saja dia bisa ngeles. "Lo ada-ada aja sih. Ketika orang-orang membayangkan pernikahan, pasti yang terbayang keindahan. Kenapa lo malah membayangkan hal yang serem? Lo tahu kan betapa sayangnya gue sama lo. Gue janji bakal bikin lo bahagia. Dis, gue serius. Gue sama lo nggak main-main." Setelah tawa yang meledak, Beno kembali memusatkan perhatiannya pada Adis. Rasanya kali ini, adis pengen menghilang saja dari hadapan Beno. Ah, Kenapa beno bisa seserius ini. Pandangannya benar-benar dalam, Tidak seperti biasanya. Apakah kali ini Beno benar-benar serius dengan ucapannya? Apakah dia ada niatan untuk segera menikah dan melamar adis? Ah, sungguh. Adis sama sekali belum siap. Baru kali ini Beno membicarakan tentang pernikahan. Tentu saja hal ini membuat Adis panik sendiri. Kalau para wanita di luar sana selalu menunggu-nunggu momen ini, tetapi tidak dengan adis. dia masih ingin menemukan lelaki sempurna yang dia inginkan. Meskipun saat ini memang hatinya sudah terikat pada Beno. "Ben, Gue masih belum mau memikirkan ini. Kita kuliah aja yang bener yok. Baru deh mikir nikah-nikahan." "Apaan kuliah yang bener, Lo aja suka ngorok pas matkulnya pak Dori. Sok-sokan." Beno kembali mengacak rambut Adis dengan penuh kasih sayang. "Itu karena Pak Dorinya Botak." Adis tertawa, sengaja memberikan jawaban yang tak logis. Beno hanya tersenyum sedikit. Matanya kembali menatap sang kekasih, Entah untuk yang ke berapa kalinya. "Ting, akhir-akhir ini lo sering sakit-sakitan. Rasanya pengen banget bisa jagain lo setiap waktu. Doain, Semoga gue bisa cepat halalin Lo ya? Sekarang nggak usah dipikir dulu. Istirahat yang cukup! Gue mau kuliah dulu ya?" Kicep. Adis hanya bisa diam dengan mulut menganga. "Ting, Gue serius. Kenapa dari tadi plonga plongo gitu sih. Udah ah, mau kuliah dulu. Bye. Jangan lupa makan. Udah aku pesenin makan, bentar lagi datang. Love you, kepiting rebusku." Beno mengecup kening sang kekasih lembut. Kemudian, beranjak pergi dari hadapan Adis. Meninggalkan sang kekasih yang masih bengong dan belum menggerakkan tubuhnya sedikit pun. "Lo yakin banget sih mau nikah sama gue, Ben. Gue belum siap jadi istri. Apalagi menjadi istri laki-laki Koret. Bisa kering kerontang beneran gue nanti." Adis mencebik dengan ekspresi sedih, lalu dia menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ah … membayangkan akan diseriusin sama Beno benar-benar membuat hatinya kobat kabit. Tak lama kemudian, Santi datang. Ya, Santi adalah sahabat Adis sekaligus sahabat dari Beno. Dulu Beno dan Santi sangat bersahabat dekat. Namun, Santi tahu, bersahabat dengan lawan jenis itu pasti akan menimbulkan masalah. Apalagi jika sahabat kita itu sudah memiliki kekasih. Santi berusaha untuk menjaga diri. Lebih tepatnya, menjaga agar dia tidak jatuh cinta pada sahabatnya itu. Sahabat yang dari dulu dia kagumi. "Kudis, Lo udah baikan?" Santi nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar kost Adis yang kebetulan tidak dikunci. Dia meletakkan sesuatu di atas meja, lalu mendarat dengan kasar di kasur kesayangan Adis. "Kebiasaan banget sih Lo, manggil nama orang seenak jidat." "Itu nama kesayangan kali. Lo udah sehat kan? Tapi kok nafas Lo nggak beraturan begitu. Kenapa?" "San, gue harus gimana?" Tiba-tiba Adis menatap mata Santi yang saat itu sedang duduk di sampingnya. "Kenapa? Ada apa?" "Sepertinya Beno mau ngajak serius," ucap Adis. Dia menunduk dengan wajah yang muram. Santi membulatkan matanya. Deg. Jantungnya berdetak dengan begitu kencang. Untuk sepersekian detik, rasanya dunia seakan berhenti. Mata Santi yang sebelumnya bersinar, kini tampak begituan redup. 'Beno ingin serius sama Adis? Kenapa Rasanya sesakit ini. Kenapa Rasanya seperti tidak rela melihat Adis diseriusin sama Beno. Ingat, Santi. Beno bukan siapa-siapa lo. Dia hanya seorang sahabat yang sekarang sudah memiliki seorang kekasih. Lo harus sadar itu. Lo seharusnya bahagia.' Santi menunduk. Selama ini dia selalu menyangkal kepada dirinya sendiri tentang perasaannya kepada Beno. Namun, kali ini dia tidak bisa memungkiri, bahwa dia sakit mendengar hubungan mereka yang akan dibawa ke arah yang serius. Adis masih tertunduk dan terdiam. Merasa aneh dengan sikap Santi. Biasanya dia paling heboh dan selalu rame, tetapi, Kenapa Adis tidak mendengar suara sama sekali. Dia mendongakkan kepalanya, dan dilihat sang sahabat sedang terdiam dan menunduk. "Oe Santo, kok jadi Lo yang mellow. Gue lagi sedih nih." Santi langsung tergagap. Dia segera menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ah, dia tidak mau membuat sahabatnya curiga. Santi mendongakkan kepalanya. "Lo jangan sok-sokan sedih deh. Harusnya Gue yang lebih sedih karena akhirnya Beno serius sama Gadis ceroboh macem Lo. Sahabat gue tuh, masa dapetnya beginian." Pluk. Sebuah bantal langsung mendarat ke kepala Santi. "Temen bangke Lo." Santi bukannya marah, tetapi malah tertawa terbahak-bahak. Namun, hanya dia yang tahu kalau tawa itu hanya sebuah cangkang yang menutupi keadaan hati yang sebenarnya. "Habisnya, lo itu benar-benar kurang bersyukur. Masa mau di seriusin sama cowok yang sangat peduli dan sangat sayang sama lo, malah sedih. Dimana lagi lu bisa nemuin laki-laki yang mau melakukan apapun demi Lo. Cuma Beno doang." "San, lo bisa bayangin nggak sih, Bagaimana nanti kalau gue sudah berumah tangga sama dia. Gue bakal diijinin beli baju 1 potong pertahun, setiap hari gue bakal makan sama tempe dan terong doang. Dia pasti akan minta gue untuk di rumah terus ngurus anak-anak. Orang seperti Beno pasti tidak akan mau pakai jasa asisten rumah tangga, San. Gue yakin, kehidupan gue sama dia pasti akan menyeramkan. Gue yakin itu." Adis berbicara menggebu-gebu. Tampak sekali, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya benar-benar dari hati. Entah kenapa, ini membuat Santi merasa ngilu. "Dis, Apakah selama ini ada orang yang mencintai lo sebesar rasa sayang Beno? Apakah selama ini ada seorang laki-laki yang selalu ada untuk lo dalam keadaan apapun. Apakah selama ini ada laki-laki yang mau repot-repot menyalinkan materi kuliah saat lo berhalangan hadir? Apakah ada laki-laki lain yang mau dengan suka rela menyeterika baju lo? Hah? Apakah lo pikir lo akan bisa menemui laki-laki sebaik dia di luar sana? Ada?" Santi berbicara dengan serius sambil menatap mata Adis. Jujur, dia geram dengan Adis yang sama sekali tidak mau bersyukur memiliki laki-laki sebaik Beno. Dia memang pelit, tetapi itu memang sisi buruknya. Wajar kan jika manusia memiliki sisi buruk? Adis terdiam. Ya, Santi memang benar. Mungkin, dari 1000 orang, hanya bisa ditemukan satu orang seperti dia. Laki-laki yang rasa sayangnya begitu besar. Lelaki yang selalu berada di garda terdepan untuk membela Adis saat dia ada masalah. Ah, Adis sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang. Kata-kata dari Santi membuat dia berfikir, bahwa memang dia sangat beruntung mendapatkan laki-laki yang sangat menyayangi dirinya seperti Beno, tetapi tetap saja, dia masih merasa belum siap untuk menjalani pernikahan dengan orang yang bahkan perhitungan dengan dirinya sendiri. "Memang baru Beno, San. Baru dia yang selalu menyayangi gue tanpa syarat." "Terus? Dia sudah melakukan ribuan kebaikan sama lo. Apa hanya karena satu kekurangan, Lo jadi ragu begini?" "Ah au ah. Ngobrol sama lo malah bikin gue pusing. Stop dulu deh bahas ini. Tambah botak gue. Itu Lo bawa apa di atas meja? siniin!" Adis sengaja mengalihkan pembicaraan. karena dia tahu, semua omongan Santi memang benar dan dia tidak bisa menyangkal. "Hilih, kebiasaan mengalihkan pembicaraan. Ini makan siang Lo dari Beno." "Paling terong penyet." "Bukan, ini menu yang berbeda dari biasanya." "Masa? palingan telur ceplok, kalau nggak gitu tempe penyet." "Jangan banyak bicit anak muda, nih dimakan. ini pacar Lo beliin dari hasil keringatnya. cepet di makan." Santi mengambil bungkusan yang ada di atas meja, meletakkannya di atas piring dan memberikannya pada Adis. menu yang berbeda dari biasanya? Adis tak yakin. Dia segera membuka makanan yang terbungkus kertas minyak itu. Dia membelalakkan matanya saat tahu apa isi di dalam kertas minyak itu. "Beno si KORET!!!!!!" Adis langsung teriak saking kesalnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD