2. Buaian Singa

1341 Words
“Aku mendengar banyak hal tentang mu dan adikmu.” Ucap George tanpa mengalihkan pandangannya padaku. “Benarkah?” tanyaku. “Hal yang bagus kuharap.” “Hah!” gelak George. “Jika kau bilang perjudian, pemerasan, dan penganiayaan adalah hal yang bagus.” “Hm.. Kau pasti salah dengar. Kami tidak pernah di tangkap dengan tuduhan seperti yang ucapkan.” “Bukan tidak pernah, tapi belum..” jawabnya “ Jika kau percaya bahwa aku terlibat dalam hal yang sebegitu buruknya, mengapa kau setuju untuk berkencan denganku?” tanyaku membuatnya terdiam sejenak. “Entahlah.” Sahutnya akhirnya. “Mungkin aku penasaran seperti apakah wanita yang mendapat julukan Red.” “Kau sudah mengumpulkan informasi tentangku rupanya. Hingga tahu julukan yang kupakai.” Ucapku tersenyum. “Percayalah, tumpukan riwayat kriminalmu dan adikmu jauh lebih tebal daripada siapapun yang tinggal di Kota Gremlin. Belum lagi entah koneksi apa yang kalian miliki dengan walikota Gremlin yang menjadikan tugas ku jauh lebih susah dari pada yang seharusnya.” Aku tertawa mendengarnya. Tebakan George tidaklah salah mengingat walikota Gremlin, aku dan Tomas sama sama berasal dari panti asuhan yang sama. “Benarkah?” tanyaku pura pura kebingungan. “Dengar George, seseorang menyebutkan bahwa kalian memerlukan banyak peralatan baru di kantor polisi. Bagaimana kalau aku membantu mu dengan memberikan sumbangan untuk kebutuhan para polisi? Lagipula setelah apa yang sudah dilakukan para polisi untuk keselamatan masyarakat, ini hanyalah hal kecil yang bisa kami lakukan.” “Ck..Sebuah suap? Dihadapan Kepala Polisi apalagi.” Decak Geoge keras. “Tidak..Jangan salah sangka, ini bukan suap.” Selaku cepat sambil menggeser duduk ku menempel ke tubuh pria itu. Bisa kucium bau cologne nya yang tajam di hidungku. “Anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami kepada pelindung kota ini. Lagipula, kudengar organisasi Vito makin membuat onar di Selatan Kota. Kau memerlukan semua bantuan yang bisa kau dapatkan.” “Jadi..? Apa bedanya dengan Salazar yang mengacau di Utara.” Ku letakkan tanganku ke pahanya sambil mengelus celananya nya pelan sebelum menjawab, “Tingkat kriminalitas di Utara jauh lebih rendah daripada Selatan, bukan? Dibawah kekuasaan Vito bersaudara, kudengar daerah Selatan kini penuh oleh kasus penculikan, obat terlarang dan pembunuhan.” George berdehem terlihat canggung oleh sentuhanku, tapi bisa kulihat bahwa pria itu menikmatinya. Semua pria sama, kau elus sedikit ego mereka, dan mereka pasti langsung menurut bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya. “Tidak perlukah kau berunding dengan Tomas untuk memutuskan sesuatu?” tanyanya pelan. “Tomas pasti akan menuruti apapun keinginan kakak nya, George.” Bisikku ke telinganya. Sengaja ku senggol kejantanannya dengan ujung jariku membuatnya menggeliat di sofanya. “Tidak salah reputasi yang kudengar tentangmu, Nona Salazar.” Bisiknya balik. “Panggil saja aku Lucia.” Jawabku tersenyum. Kulihat George sama sekali belum menyentuh minuman yang kami suguhkan. Kulepaskan tanganku dari atas pahanya dan menyambar 2 gelas kosong yang ada di depanku. Kutuangkan cairan coklat bening dari botol ke dalamnya. “Kau harus mencoba Whisky buatan pabrik kami. Terbaik di kota ini.” ujarku sambil menyodorkan gelas itu ke hadapannya. Pria itu menatapku sambil meraih gelas yang kutawarkan dan menyisipnya. “Bagaimana?” tanyaku. George hanya mengangguk pelan tapi bisa kulihat pria itu menikmati minumannya dan rayuanku karena kemudian pria itu meletakkan tangannya ke pahaku dan mengelusnya sebelum berbisik. “Bagaimana kalau kita kembali ke rumahku dan melanjutkan pembicaraan kita di sana?” ajaknya. Aku memikirkan tawarannya. Tomas pasti akan marah jika mengetahui aku pulang ke rumah orang asing tanpa pengawalan. Belum lagi orang yang di maksud adalah musuh mereka. Ugh!! Untuk apa aku peduli apa kata Tomas. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula memang cuman dia yang boleh mempunyai kekasih?,pikirku sebelum mengangguk menyetujui ide George. Pria itu langsung menghabiskan minuman di gelasnya sebelum berdiri dan menggandengku keluar. “Kita naik mobilku saja.” Ucapnya ketika aku mengusulkan untuk memakai mobil dan supirku. Walaupun was was, tapi aku menurutinya. Lagipula di dalam tas kecilku terdapat segala jenis senjata yang kuperlukan dalam emergency. Pisau lipat, taser, bahkan handgun kecil ada di dalamnya walaupun jarang kugunakan karena biasanya Tomas selalu ada di sisiku. Hanya sejak berpacaran dengan Ada-Mae lah, tampaknya pria itu mulai melupakan kebiasaannya. Melupakanku. Yang membuatku sering menyumpahi kehadiran wanita itu di hidupku Kami berkendara di dalam mobil mewah yang dikemudikan George menuju rumahnya yang tidak jauh dari pusat kota. Mobil berbelok memasuki sebuah jalan berkerikil dengan gerbang besi yang di aktifkan oleh remote yang ada di mobil sebelum berhenti di depan sebuah rumah yang megah. Jauh lebih bagus daripada rumah yang kutinggali saat ini.Membuatku sedikit terheran-heran bagaimana gaji seorang kepala polisi mampu membeli mobil dan rumah se mewah ini. George menawarkan wine untukku yang kutolak mengingat berada di rumah orang asing membuatku harus lebih waspada. Kuletakkan tas kecil ku diatas sofa. “Aku suka design rumahmu, George. Sangat nyaman. Apakah kau sudah lama tinggal di sini?” tanyaku berbasa basi. “Hm…sejak aku ditugaskan di kota ini.” Jawab George. Tidak ingin menyinggung perasaannya, kutahan keinginanku untuk menanyakan sumber penghasilannya yang lain sehingga bisa membeli rumah semegah ini. Sesuatu dari pria ini menakutkanku. Membuatku merasa seperti seekor anak rusa yang sedang masuk ke kandang singa. Harus siap untuk kabur setiap saat. “Oh..” jawabku singkat sambil berjalan berkeliling ruang tengahnya. Kuamati beberapa lukisan yang terpajang di dinding rumahnya dengan dahi sedikit berkerut. Ada beberapa lukisan wanita-wanita muda telanjang yang berpose dalam berbagai gaya yang tidak pantas terpajang di dinding ruang tengahnya. Agak aneh untuk seorang kepala polisi memiliki lukisan porno macam ini, pikirku sekilas. George mengamatiku yang tertegun di depan koleksi lukisannya dan berjalan mendekatiku. “Kau menyukainya?” Pandangannya mengikuti tatapanku akan sebuah lukisan seorang gadis telanjang yang sedang duduk bersimpuh. Wajahnya terlihat sedih, atau takut,entahlah aku tidak begitu bisa menebak. Pandangannya terarah lurus kepadaku yang sedang berdiri didepannya. Sementara tangannya tertarik kebelakang seolah terikat. Aku menelan ludah dan mengangguk. Bukan karena menyukainya, tapi insting anak rusaku sekali lagi memintaku untuk berhati hati di hadapan pria ini. Tomas benar, George bukan lah orang yang bisa kau sepelekan Pria itu mengangkat tangannya mengelus leherku pelan. Membuat bulu kudukku berdiri. Kubiarkan pria itu membungkuk dan mulai menciumi leherku ringan sementara tangannya mengelus rambutku. “Banyak orang yang takut pada Tomas Salazar, tapi kuminta kalian jangan meremehkanku. Aku berbeda. Jika kau sampai berada di jalur yang sedang kutuju, aku tidak akan memberi kan ampun.” Bisiknya di telingaku disela sela ciumannya. Jantung ku berdetak lebih kencang mendengar ancamannya. Sedikit karena takut, tapi lebih karena sesuatu dalam suaranya yang terdengar menantang. Membuatku bersemangat. Seolah akhirnya aku menemukan seseorang yang sama temperamentalnya denganku. Aku membalikkan badanku dan mendorong tubuh jangkung George terduduk diatas sofanya sebelum  merangkak naik ke atas pangkuannya. Kaki ku melingkar di pinggangnya sementara bibirku menciumi lehernya. Bisa kurasakan tubuhnya yang menegang menjamah pahaku sementara tangannya mengelus sisi pahaku yang terbuka. Aku sedang terengah menikmati belaian tangan nya ketika handphoneku berdering dengan keras nya di dalam tas kecilku. Sialan! “Teleponmu berbunyi.” Bisik George menarik wajahnya dari bibirku. “Aku tau, biarkan saja.” Ucapku kembali menarik wajahnya mendekat. Telepon berhenti berdering. Sebelum berbunyi lagi. “Ugh!!” geramku bangkit menarik tubuhku dari pangkuannya. Kuraih handphone dari dalam tas ku yang langsung kujawab dengan suara kesal. “Sebaiknya ada seseorang yang meninggal atau salah satu dari kalian akan kubunuh.” Geramku mengangkat telepon dari Bastian. “Sorry Red. Tadi Tomas memintaku untuk ke Pabrik. Ada sedikit masalah di sini. Tomas masih di rumah tapi tidak bisa dihubungi sama halnya dengan Ice. Bisakah kau kemari?” Tanya Bastian agak segan karena harus menggangguku. “Sialan! Baiklah jemput aku. Akan ku kirimkan alamatku.” Kututup teleponku dan membalikkan tubuhku ke arah George yang menatapku dengan tatapan gelapnya seolah berusaha menebak hal apa yang sedang terjadi. “Sorry, George. Ada hal penting yang harus ku kerjakan. Aku harus pergi dulu. Bisakah kita lanjutkan kencan kita lain waktu?” tanyaku. George bangkit dari kursinya dan meraih pinggangku. Memberikan sebuah ciuman panjang yang membuat nafasku kembali tersenggal. “Jangan terlibat hal yang tidak ku restui.” Ucapnya singkat sambil melepaskan pelukannya. Aku berjalan keluar setengah terhuyung oleh buaian sang singa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD