1. The Salazar

1604 Words
Enam belas tahun kemudian. PRANGGG!!! Suara gelas pecah menabrak tembok membekukan nafas ketiga pekerja buruh pabrik itu. Mereka hanya mampu menunduk menatap kaki masing-masing sementara keringat dingin menetes di wajah-wajah kosong mereka. Aku yang tadinya sedang membaca majalah, mengalihkan pandangan ke arah pria yang merupakan tangan kanan di organisasi Salazar, Ricky ‘Ice’ Colton. Wajahnya kini mulai memerah karena menahan marah. Rambutnya yang biru dan di gel keatas terlihat seperti iceberg yang membuatnya mendapat julukan Ice. Ditambah, icepick adalah senjata yang selalu terselip di kaos kakinya. “LIHAT AKU KALAU AKU SEDANG BICARA!!!” teriak Ice menyentak. BRAKKK!!! Tangannya menggebrak meja di sampingnya, membuat ketiga pria yang tadinya menunduk segera mengangkat kepala menatapnya. Bagaikan tikus yang sedang terpojok, mereka hanya bisa gemetaran mengatur nafas sementara Ice kembali meneriakkan amukannya. “Kalian pikir kami tidak akan sadar bahwa kalian sudah mencuri dari pabrik hah?!? JAWAB!!” Seorang pria yang paling tinggi dan tertua dari mereka langsung menjatuhkan lututnya ke atas lantai dan menangis. Kedua adiknya yang berdiri di belakang pria itu mengikuti kakaknya dan ikut berlutut.  “Maa…maafkan saya, Tuan dan Nona. Sa..saya hanya melakukannya sekali. Saya butuh membayar biaya rumah sakit ibu saya yang waktu itu dirawat karena typus. Saya… sudah..berniat mengembalikannya begitu ada uang.” “KAU KIRA AKU PEDULI PADA IBUMU??!!” teriak Ice berjalan maju menghampiri sang buruh yang kini mulai gemetaran menelungkup di lantai. Tangannya yang terkepal langsung di hujamkan berkali kali ke arah wajah pria itu yang tidak berani membalas sama sekali. Setelah beberapa saat terdiam dan membiarkan Ice menjadikan wajah pria itu menjadi bubur, adikku menghela nafas, berdiri dan menepuk bahu Ice. Ringan, tapi cukup untuk membuatnya berhenti. Ice mendengus dan berdiri menjauh, membiarkan pria itu tergeletak di lantai dengan hidung berlumuran darah. “Allan bukan namamu? Dan adik mu Rory dan Fin?” tanya adikku pelan. Allan mengangguk pelan, menyeka darah yang menetes dari hidungnya. Tomas membungkuk dan menyerahkan sapu tangannya pada pria itu dan memintanya menggunakannya untuk menyumpal hidungnya yang terus mengucurkan darah. “Mencuri dari kami bukanlah solusinya, Allan. Jika kau memang butuh uang. Seharusnya kau langsung datang pada kami. Sekarang..” Tomas berjalan menuju meja kerjanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dalamnya dan menyerahkannya pada salah satu adik Allan. “…bawa uang ini ke klinik dan obati wajah kakak mu. Besok kembalilah bekerja. Aku akan menyuruh kakak ku untuk memotong gaji kalian per bulan, menggantikan uang yang kau curi.” Suara Tomas datar dan tenang tapi cukup membuat ketiga orang itu tersungkur berterima kasih pada nya sebelum bergegas berdiri dan keluar dari ruangan. Aku hanya terdiam memandangi kejadian yang barusan terjadi dari tempatku duduk. “Ck..Kau terlalu lunak pada mereka, Tom.” Decakku setelah ke tiga buruh itu menghilang, tidak setuju dengan cara adikku mengurus pencurian di pabrik. "Mereka perlu dijadikan contoh apa yang terjadi jika mencuri dari kita.” “Red...Kau dengar sendiri mereka butuh uang untuk biaya rumah sakit,” jawabnya datar. “Tahu dari mana kalau mereka tidak bohong?” sela Ice yang tampaknya setuju dengan pendapatku. “Tidak percayakah kalian pada kemampuanku? Bukankah karena itu kita masih bisa hidup selama ini? Percayalah, mereka terlalu takut pada kita untuk berbohong,” sahut Tomas sambil mendudukkan tubuhnya kembali ke kursi. Berbeda umur hanya setahun lebih muda dariku, Tomas ‘Boss’ Salazar memiliki pemikiran dan pembawaan yang berbanding terbalik dariku.  Jika aku terkenal karena temperamenku yang meledak ledak, yang akhirnya membuatku mendapatkan julukan ‘Red’, Tomas terkenal oleh kepala dinginnya.  Pria bertubuh penuh tato, jangkung, dan kekar itu, memiliki tatapan mata tajam dan bisa mengintimidasi siapapun yang ada di sekitarnya tanpa perlu menggerakkan sebuah otot pun. Rambut hitamnya selalu tersisir rapi membingkai wajah tampannya yang berahang keras dan berhidung mancung. Membuatku sering menggodanya, bahwa bila situasi berbeda, dirinya mungkin bisa menjadi seorang bintang film karena ketampanannya. Atau minimal model majalah. Tapi inilah situasi yang kami jalani. Hanya berdua, Aku dan Tomas hanya memiliki satu sama lain untuk bertahan hidup di kerasnya kota Gremlin yang penuh dengan kriminal dan para koruptor. Kepandaian Tomas dan kebrutalanku lah yang akhirnya berhasil membuat Salazar sebagai salah satu kelompok gangster yang di takuti di kota kami. Kekuasaan yang kami bagi bersama dengan keluarga gangster lain dan menjadikan Gremlin terpecah menjadi menjadi 2 wilayah. Salazar, di utara, dan organisasi Vito bersaudara di selatan.  “Ice,” panggil Tomas ke arah pria yang merupakan teman baik dan tangan kanan nya. “Panggil seseorang untuk membersihan lantai yang kau kotori,” perintahnya yang dijawab oleh dengusan dari Ice sebelum pria itu berlalu keluar dan meninggalkan kami berdua di kantor. Tomas sudah duduk kembali ke meja kerjanya dan sedang mengamati pembukuan yang barusan kuserahkan padanya. “Kau keluar malam ini?” tanyaku pada adikku tanpa mengangkat kepalaku dari majalah yang k****a. “Mungkin. Ada-Mae tidak bekerja malam ini,” sahutnya pendek. Ada-Mae Tores. Duri dalam tangkai mawarku. Seorang penyanyi di club malam milik kami yang sudah beberapa bulan di pacari oleh Tomas. Polos dan cantik,  gadis berumur 19 tahun itu tampaknya sudah berhasil memikat hati adikku. Kini setiap waktu luang yang dimiliki Tomas adalah milik Ada-Mae, yang entah kenapa, membuatku merasa tersingkirkan. Wanita itu bahkan lebih sering menginap di rumah kami dibanding apartemennya sendiri. Membuatku jadi harus sering menatap wajah bodohnya setiap hari. “Baguslah. Kebetulan aku juga ada kencan dengan George Lopez. Kami berencana untuk bertemu malam ini di club,” jawabku agak kesal. “George Lopez? Kepala kepolisian Gremlin yang baru?” tanya Tomas dengan nada kaget. “Uh huh.” Aku mengiyakan. “Tidak ada salahnya untuk mengenalnya lebih dekat,” jawabku tersenyum sambil mengedipkan mataku. Tapi Tomas tidak terhibur, alisnya berkerut ketika melanjutkan, “Kudengar George Lopez bukanlah orang yang bisa kau permainkan, Red.Beberapa kali dia menolak tawaran ku untuk bertemu. Aku tidak yakin terlibat dengannya adalah hal yang bijaksana.” Dalam setahun menjabat, sudah beberapa kali George berusaha menggrebek pabrik kami berusaha untuk menemukan lokasi casino ilegal atau tempat kami menyimpan mobil-mobil curian. Yang untungnya selalu gagal karena anak buahnya sendiri biasanya memperingati kami sebelum pria itu muncul di pintu gerbang. Kebanyakan dari polisi di kota Gremlin masuk ke dalam daftar payroll organisasi sebagai imbalan atas bantuan mereka menutupi hal-hal ilegal yang kami lakukan. Dan sebagai pemegang keuangan organisasi, aku bisa memastikan bahwa hampir 80% polisi kota Gremlin ada di dalam daftar payroll kami, sementara 20% nya adalah orang-orang yang tidak bisa di suap. Orang-orang seperti George Lopez. “Dan dia setuju untuk bertemu denganku. Bukankah ini suatu keberhasilan? Lagipula Aku lebih tua darimu, Tom. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, baby brother,” ucapku menutup majalah dan bangkit dari sofa. Kucium pipi Tomas sebelum melangkah keluar dari kantornya menuju pabrik. Seperti kebanyakan organisasi, kami memiliki perusahaan agar terlihat legal di mata orang awan dan hukum. Di kota kami, selain dikenal sebagai keluarga mafia, Tomas dan Lucia Salazar juga di kenal sebagai pemilik dari sebuah pabrik pembuatan whisky dan sebuah club malam di pusat kota. Memiliki kantor dan pembukuan yang terdaftar dan legal membuat kami lebih leluasa melakukan hal-hal di bawah hidung hukum. Pencurian kendaraan bermotor, pengendalian serikat buruh, penganiayaan, pemerasan, dan perjudian hanyalah sebagian dari hal yang di takuti dari organisasi dalam keluarga Salazar. Tapi bukan berarti kami sepenuhnya bebas untuk melakukan apa saja. Karena ada dua hal yang Tomas dengan sepenuh hati, anti untuk melakukannya. Peredaean obat terlarang dan perdagangan manusia. Bersikeras agar tidak menemui Geoge sendirian, Tomas menginginkan agar aku berangkat ke club bersamanya  dan kekasihnya yang seperti biasa sedang menginap di rumah. Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah jam 7 sore, dan belum ada tanda tanda kehidupan dari kamar Tomas. Kuketuk pintu kamar Tomas tidak sabar menunggu. “Tom, buruan. George sudah menunggu!” jeritku dari balik pintu. Tom membuka pintu dengan wajah setengah mengantuk, bertelanjang d**a dan hanya mengenakan pakaian dalam. Memperlihatkan tubuhnya yang dipenuhi tato mulai dari leher hingga entah ke bagian mana karena gambar masih berlanjut masuk ke dalam celananya. Aku melotot melihatnya. “Apa yang kau lakukan dari tadi? Sudah jam berapa ini?” seruku mendorong tubuhnya masuk. Kulihat Ada-Mae masih tertidur diatas kasur . Setengah tubuhnya yang telanjang tertutup selimut. Bisa kulihat payudaranya yang mungil dan padat setengah tersembunyi di balik lengannya yang tersilang diatas dadanya. “Serius Tom, jangan jangan kau ingin kencanku dengan George gagal ya?!” teriakku. “Sorry, Red.. Sepertinya kami ketiduran. Tenang saja, nanti ku telpon club meminta Jordan untuk menemani George dan menyiapkan makanan sementara kita beres beres.” Jawabnya menawarkan diri untuk menghubungi pria yg kami pekerjakan sebagai manager club, sebelum kemudian buru buru berjalan ke ranjang dan membangunkan kekasihnya. Tomas mengelus bahu putih wanita itu yang kemudian menggeliat sambil membuka mata lebarnya yang lentik. Dasar p*****r, pikirku dalam hati. Sesuatu bergerak naik dari dalam perutku membakar dadaku. “Ugh..Sudahlah, aku pergi sendiri saja,” seruku tergesa gesa berjalan keluar dari kamarnya. Kutengok sekilas bayangan wajahku di cermin besar yang terpasang di meja makan. Bertubuh cukup tinggi dan ramping, rambut coklatku yang bergelombang sepunggung ku biarkan terurai membingkai wajahku yang elegant. Kurapikan lagi baju yang kukenakan. Sebuah setelan kaos rajut ketat dan rok selutut dengan belahan kaki tinggi ke paha, membuatku terlihat cukup menawan dan seksi untuk wanita berumur 26 tahun. Tidak kalah oleh kecantikan wanita muda yang sedang tertidur di ranjang adikku itu. Tomas mengejarku keluar tepat ketika aku sudah masuk ke dalam mobil yang di kemudikan oleh supir ku. “Paling tidak ajak Bastian bersamamu, Red.” Teriaknya menunjuk ke body guard ku yang kutinggal dan kini sedang duduk di kursi depan teras. Yang kujawab dengan acungan dari jari tengah ku. Mobil yang kunaiki tiba di sebuah gedung di tengah kota yang terlihat lumayan ramai untuk hari Jumat malam. Supirku membukakan pintu untukku dan sebagai pemilik club, aku langsung masuk ke dalam tanpa menunggu antrian di luar. Aku langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai 2 club dimana terletak meja VIP. Jordan, manajer club, tampak sedang duduk menemani seorang pria berpakaian setelan jas dan celana panjang yang rapi. “George! Maafkan aku terlambat.” Seruku sambil mencium pipinya. George memiliki badan yang tinggi hampir mendekati Tomas. Kurus tapi tegap dan punya kehadiran yang sama mengintimidasinya seperti adikku. Tidak salah dijuluki Kepala Polisi Tanpa Ampun oleh orang orang, mata hitam pria itu menatapku tanpa berkedip membuatku sedikit tidak siap dan melakukan satu hal yang belum pernah kulakukan di hadapan siapapun. Aku menundukan pandanganku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD