Sudah hampir dua minggu sejak Ryan pertama kali datang ke Toko Bunga Flamboyan.
Kini, kedatangannya bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Setiap dua atau tiga hari sekali, ia akan muncul tanpa banyak bicara, sering kali hanya duduk di bangku dekat jendela sambil memandangi bunga-bunga yang tertata rapi. Kadang-kadang, ia membawa buku. Kadang hanya duduk diam, menatap hujan atau langit sore yang berubah warna.
Karin tidak bertanya banyak.
Ia hanya membiarkannya ada. Memberi teh hangat. Menyodorkan bunga potong segar. Menjawab pertanyaan ringan. Dan diam-diam, ia mulai terbiasa dengan keberadaan Ryan—seperti kebiasaan baru yang tak direncanakan tapi terasa pas.
Hari itu, toko sepi. Hanya ada suara kipas angin dan aroma mawar yang kuat dari buket pesanan pengantin. Karin sedang memotong batang melati ketika Ryan datang.
“Hari ini aku bawa sesuatu,” katanya pelan.
Karin menoleh. Ryan mengangkat kantong kertas berisi dua kotak kecil.
“Kue kesukaan Ibu,” jelasnya. “Bolu kukus pandan. Aku baru ingat beliau sering beli ini tiap hari Minggu waktu aku kecil.”
Karin tersenyum. “Mau makan di sini?”
Ryan mengangguk. Mereka duduk di meja kecil dekat jendela, menikmati bolu kukus dan teh krisan hangat. Tak banyak kata. Hanya gumaman ringan dan tawa kecil saat Karin salah menyebut nama bunga—sengaja, untuk menghibur.
“Kalau kamu boleh memilih jadi bunga,” tanya Ryan tiba-tiba, “kamu mau jadi bunga apa?”
Karin memiringkan kepala. “Pertanyaan aneh.”
“Tapi kamu pasti sudah pernah mikirkan, kan?” Ryan menatapnya sambil tersenyum.
Karin berpikir sejenak. “Aku mau jadi melati. Bukan karena warnanya putih atau aromanya lembut, tapi karena dia sederhana. Nggak pernah berteriak ‘lihat aku’, tapi selalu membuat ruangan jadi lebih tenang.”
Ryan mengangguk pelan. “Pas. Kamu memang seperti itu.”
Karin nyaris tersedak kuenya. “Apa?”
“Tenang. Tapi bikin orang ingin berhenti sejenak.”
Karin tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rona hangat yang naik ke pipinya.
Lalu, hening sesaat.
“Dulu,” kata Karin pelan, “aku pernah lihat kamu sekali.”
Ryan menoleh, keningnya berkerut. “Kapan?”
“Waktu aku masih SMP. Ayah mengajakku ke rumah Pak Wijaya. Aku nggak ikut masuk, cuma duduk di mobil. Tapi aku lihat kamu keluar sebentar, bawa koper. Waktu itu kamu kayaknya mau ke luar negeri.”
Ryan terdiam. “Mungkin itu waktu aku mau berangkat kuliah ke London.”
Karin mengangguk. “Waktu itu aku lihat kamu dari jauh. Kamu... kelihatan sangat berbeda dari dunia kecilku. Seperti orang dari dunia lain.”
“Dingin dan asing?” tanya Ryan setengah bercanda.
“Bukan. Lebih ke… jauh. Seperti bintang yang cuma bisa dilihat, tapi nggak bisa diraih.”
Ryan menghela napas, lalu bersandar di kursinya. “Lucu ya, ternyata kita pernah ada di waktu dan tempat yang sama. Tapi baru sekarang saling bicara.”
Karin menatap cangkir tehnya. “Mungkin dulu semesta belum siap. Atau… kita yang belum.”
Ryan tertawa pelan. “Sekarang pun aku nggak yakin sudah siap. Tapi setidaknya… aku nggak lagi merasa sendiri.”
Karin mengangguk. “Sama.”
Beberapa hari kemudian, toko kembali ramai dengan pesanan. Karin dan Bu Retno sibuk menyiapkan bunga papan untuk sebuah pernikahan, sementara Pak Budi menerima telepon dari pelanggan tetap.
Di tengah kesibukan itu, Ryan datang.
Tapi kali ini berbeda. Ia tak duduk di dekat jendela. Ia melangkah ke belakang meja, membantu Karin menyusun tangkai bunga dalam vas kaca.
“Boleh aku bantu?” tanyanya waktu itu.
Karin menoleh cepat. “Kamu yakin? Ini bisa berantakan kalau salah potong.”
Ryan tersenyum. “Kalau pun berantakan, setidaknya bukan urusan saham jutaan dolar.”
Karin tertawa.
Dan hari itu menjadi hari pertama Ryan menyentuh bunga bukan sebagai simbol duka, tapi sebagai bagian dari kehidupan.
Sore menjelang malam. Pelanggan terakhir telah pergi, dan toko mulai sepi. Musik klasik kembali mengalun. Ryan duduk di kursi dekat rak melati, mengamati satu tangkai yang baru mekar.
“Aku belum pernah merasa… damai seperti ini,” katanya pelan.
Karin menoleh. “Damai itu bukan tempat. Tapi orang.”
Ryan memandangnya lama.
Dan di antara tumpukan bunga dan sisa aroma mawar, Karin merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Ia tahu, masih banyak hal yang belum terucap. Tentang janji orang tua mereka. Tentang ketakutan dan kemungkinan. Tapi hari ini, di toko kecil ini, ada sesuatu yang mulai tumbuh.
Bukan cinta. Belum.
Tapi benih yang mengarah ke sana.