Langit mulai meredup ketika jam di dinding kantor Aditya Corporation menunjukkan pukul 17.45. Di lantai tertinggi gedung pencakar langit itu, Ryan Aditya baru saja menyelesaikan rapat panjang dengan investor asing. Bahunya terasa berat. Suara-suara tentang angka, strategi, dan rencana ekspansi masih terngiang di telinganya.
Namun, yang muncul di pikirannya bukan angka. Bukan proposal. Tapi… Karin.
Tanpa banyak berpikir, Ryan melepas dasi, menggulung lengan kemejanya, dan langsung menuju basement. Sopirnya sempat terkejut saat ia berkata, “Aku nyetir sendiri sore ini.”
Mobil hitamnya melaju menyusuri jalanan kota. Tak sampai satu jam kemudian, ia tiba di sudut jalan kecil yang selalu wangi dan terasa damai: Toko Bunga Flamboyan.
Dari balik jendela kaca, Ryan melihat Karin sedang membungkuk merapikan rak mawar putih. Cahaya sore membentuk siluet lembut di wajahnya. Dan anehnya, hanya dengan melihatnya, penat yang ia rasakan seharian seperti menguap begitu saja.
Ia membuka pintu.
Bel pintu berdenting.
Karin menoleh, tersenyum begitu melihat siapa yang datang. “Baru pulang kantor?”
Ryan mengangguk sambil berjalan pelan ke dalam. “Dan langsung ke sini. Aneh, ya?”
“Tidak,” kata Karin sambil melanjutkan pekerjaannya. “Kalau kamu capek dan ingin tempat tenang, toko ini memang cocok.”
Ryan mendekat ke meja kerja. “Aku ingin ajak kamu jalan-jalan. Kalau kamu tidak keberatan.”
Karin menoleh. “Sekarang?”
“Ya. Nggak jauh. Tempatnya tenang. Nggak ada suara klakson, nggak ada rapat.”
Karin tertawa kecil. “Kamu izin sama orang tua aku?”
Ryan mengangkat alis. “Sudah. Waktu kamu di belakang tadi. Bu Retno mengizinkan, asal aku pulangin kamu sebelum malam benar-benar turun.”
Karin tersenyum. “Baiklah. Tapi aku ganti baju dulu ya. Tanganku bau tanah.”
Ryan mengangguk. “Aku tunggu.”
Setengah jam kemudian, mereka sudah duduk berdampingan di dalam mobil Ryan. Tujuan mereka: sebuah bukit kecil di pinggiran kota, tempat biasa orang menikmati senja tanpa kebisingan kota. Jalanan sepi, langit mulai berwarna oranye keemasan.
Karin menatap ke luar jendela. Hatinya masih tak percaya. Lelaki yang dulu ia kira terlalu jauh untuk didekati, kini duduk di sampingnya, membawa dia menjauh dari rutinitas.
“Aku jarang keluar begini,” kata Ryan sambil memutar setir. “Selama ini hidupku cuma kantor–rumah–bandara.”
Karin menoleh. “Dan kamu nggak merasa itu… membosankan?”
“Aku pikir enggak. Sampai Ayah pergi, dan semuanya terasa kosong.”
Ia diam sejenak. “Dan... sampai aku datang ke toko bunga itu.”
Karin menggenggam lututnya, tak berkomentar.
****
Bukit itu sepi. Hanya ada satu warung kecil di bawah dan satu bangku kayu di pinggir tebing. Dari sana, tampak pemandangan kota yang perlahan ditelan senja.
Karin turun lebih dulu, menghirup udara yang masih bersih. “Wah... sepi sekali.”
“Tempat rahasia,” kata Ryan sambil membawa dua minuman kaleng dari warung. “Dulu Ayah sering ke sini kalau sedang penat.”
Mereka duduk di bangku kayu. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput dan suara burung-burung sore.
“Waktu kecil, aku selalu berharap Ayah mengajakku ke sini,” ucap Ryan pelan. “Tapi beliau terlalu sibuk. Sekarang aku ke sini... tanpanya.”
Karin menatap langit yang mulai berubah warna. “Tapi kamu tidak sendiri.”
Ryan menoleh, dan untuk sesaat, matanya tak lagi sedingin dulu. “Terima kasih.”
Hening beberapa saat. Lalu Karin bicara lagi, lebih pelan.
“Kamu tahu? Dulu aku pikir kamu pasti sombong. Mewah. Tidak peduli orang lain.”
Ryan tertawa. “Dan sekarang?”
“Sekarang?” Karin menoleh sambil tersenyum, “Aku tahu kamu tidak sehebat yang semua orang pikirkan. Tapi kamu juga tidak seburuk bayanganku.”
Ryan tertawa kecil, senang tapi tak tersinggung. “Adil.”
Langit mulai gelap. Tapi tidak menakutkan. Warna-warnanya malah terasa hangat. Seperti lukisan tua yang membuat orang ingin duduk lebih lama.
“Aku ingin mengenal kamu lebih jauh, Karin,” ucap Ryan tiba-tiba.
Karin tak langsung menjawab. Ia menatap tangannya sendiri.
“Kamu yakin?” katanya lirih. “Aku ini cuma penjual bunga. Hidupku sederhana. Aku bukan bagian dari dunia kamu.”
Ryan menoleh. “Dan kamu pikir dunia aku lengkap? Aku punya semuanya… kecuali rasa damai.”
Ia menghela napas. “Dan saat aku duduk di toko itu, mendengar kamu bicara soal bunga... entah kenapa, aku merasa… utuh. Meskipun cuma sebentar.”
Karin menatapnya lama.
Matahari sudah nyaris tenggelam. Udara semakin dingin. Tapi di antara mereka, ada sesuatu yang hangat. Bukan cinta yang menggebu, tapi ketenangan yang perlahan menjelma jadi rasa.
“Kalau begitu,” kata Karin akhirnya, “mari kita saling mengenal. Tapi pelan-pelan saja. Seperti bunga. Biar mekar dengan caranya sendiri.”
Ryan tersenyum. “Aku janji nggak akan terburu-buru.”
Dan di atas bukit kecil itu, senja menjadi saksi—bahwa dua orang yang berbeda dunia bisa menemukan jalan pulang ke dalam hati satu sama lain, jika mereka mau duduk sejenak, dan saling mendengar.